"Pak Salim." Pagi sekali lelaki itu datang ke rumah Rasti. Tumben sekali memang, sampai gadis itu mengerutkan dahinya.
"Bu Mayang meminta saya untuk mengantarnya belanja hari ini," ujar Pak Salim dengan senyum merekah. Bahagia dan tidak percaya, dugaannya pada lampu hijau kemari benar-benar nyata. "Silahkan masuk, Pak." Rasti mempersilahkan. Tapi, ibunya keburu datang. Pakaiannya jauh lebih modis dan ia terlihat cantik. "Bisa kita berangkat, sekarang?" "Oh, ya, tentu saja." Pria berusia 47 tahunan itu hampir tidak bisa mengepakkan kelopak matanya. "Cantik," lirihnya terdengar Rasti dan hanya bisa dibalas dengan tegukan air ludah dari gadis itu. "Ibu berangkat dulu. Toko biar buka siang saja." Pesannya sebelum pergi dan hanya mendapat anggukan Rasti. Masih ada sekat diantara keduanya setelah beberapa kejadian akhir-akhir ini terutama karena kemarin malam. Mereka terlihat seperti pasangan, Rasti menelaah dan memperhatikan. Baru kali ini ibunya bersikap seperti itu pada pria, tentunya setelah sikap anehnya pada Raihan. "Ibu mau pergi kemana?" Raihan menyembul dari samping kepala Rasti. "Aku juga tidak tahu." "Mereka terlihat serasi ya?" kelakar Raihan mencairkan suasana yang sempat tegang semalam. Rasti hanya mendelik sebelum pergi meninggalkannya ke dapur. Tugasnya masih menunggu, sebelum ikut menjaga toko. "Aku berangkat dulu, Sayang." Raihan harus mengalah dan mengunjungi istrinya ke dapur alih-alih mengantarkannya ke depan seperti beberapa hari sebelum ini. "Ya," jawab Rasti lemah, dingin, dan tertahan. Raihan sudah berjalan pergi, namun ia sempat berbalik. "Tidak ada apapun yang terjadi antara aku dan ibu. Mas kira, ibu hanya sangat bahagia dengan pernikahan kita. Kamu pasti lebih tahu bagaimana cintanya selama ini padamu, Sayang. Rasanya terlalu jahat, jika kita memikirkan hal tidak baik pada ibu." Raihan mencoba berbicara setelah semalaman ia tidak punya kesempatan. Rasti mengacuhkannya bahkan sampai kini. Dan gadis itu hanya diam, tidak menanggapi. Raihan punya kendaraan roda empat, terbilang bagus dan mewah. Ia pun adalah salah satu manager disebuah perusahaan ternama, namun memilih untuk mengikuti keinginan istri dan mertuanya yang tinggal bersama di rumah ini. Mengontrak apartemen atau membeli rumah di pinggir kota masih bisa ia lakukan, tapi tidak untuk sekarang karena janjinya sebelum pernikahan. Rasti meminta untuk tidak meninggalkan ibunya yang hanya tinggal sendiri. "Mungkin Mas Raihan benar." Rasti terduduk lemah. "Perasaanku saja yang terlalu over thinking. Harusnya aku senang, setelah begitu lama ibu hidup sendiri tanpa pasangan, pagi ini aku melihatnya ia pergi dengan seorang pria." Rasti terus berusaha menepis dugaan-dugaan buruk yang ditunjukkan pada ibunya. Hal itu hanya membuat hubungan mereka menjadi renggang, di mana harusnya menjadi moment kedekatan yang lebih intensif karena kini ia bisa belajar lebih banyak dari ibunya cara menjadi istri yang baik. Selama ini, ibunya itu sangat jarang bahkan hampir tidak pernah membicarakan kenangannya bersama sang ayah. Beranjak siang ibunya masih belum datang, Rasti tetap menunggu karena kunci toko dipegang sang ibu. "Terimakasih sudah menemani saya berbelanja." Suaranya ibunya terdengar setelah deru suara mobil jadul milik Pak Salim terdengar di halaman. "Sama-sama Bu Mayang. Tiap hari pun saya siap." Jelas sekali nada suara Pak Salim yang kegirangan. Rasti melihat ibunya berjalan melewati kamar dengan dua kantong plastik putih yang penuh. Ia berbelanja banyak hingga entah ke berapa kali membuat gadis itu tercengang dengan perubahan sikap ibunya yang diluar kebiasaan. Pantang baginya menghabiskan uang untuk berbelanja apalagi keperluan diri sendiri. Ia akan mementingkan Rasti selama ini, urusannya adalah urutan terakhir. "Pak Salim masih di sini?" Rasti yang keluar dan masih melihat pintu terbuka berniat untuk menutupnya, namun ternyata pria yang mengantar ibunya pun masih bolak balik di sana. "Itu loh, Ras." Pak Salim nampak gugup dan malu-malu. "Kenapa, Pak?" "Bu Mayang kayanya akan memberi saya hadiah, tadi." "Oh, ya?" Rasti menengok ke dalam. Kamar ibunya bahkan tidak terbuka lagi. "Pak Salim yakin?" "Iya. Saya melihatnya sedikit. Ibumu membeli celana laki-laki," bisik Pak Salim malu-malu senang. "Eum ... tapi ibu sepertinya tidak akan memberikannya sekarang, Pak." Rasti pastikan kalau pintu kamar ibunya tidak terbuka lagi. "Oh gitu, mungkin Bu Mayang masih malu. Baiklah kalau begitu, biar saya tunggu sampai dia siap memberikannya." Pak Salim pergi dengan senyum yang tak lepas dari garis bibirnya, sungguh bahagia hingga berkali-kali melompat sendiri. "Ibu memberi hadiah pada seorang pria? Benar-benar berubah." Rasti menggeleng tidak percaya, tapi perubahan itu memang nyata beberapa hari ini. Bu Mayang izin pada Rasti untuk tidak membuka toko, ia merasa kelelahan setelah berjalan memutari Mall dengan sepatu hak tinggi. Lagi-lagi aneh. Padahal sebelumnya Rasti tidak pernah melihat hak tinggi itu ada di jajaran sepatu milik ibunya. Gadis itu pun tidak pergi sendiri, karena ibunya melarang hingga sore mereka hanya tinggal berdua saja dan terasa sepi karena pembicaraan diantara keduanya seakan terbatas. Menjelang Magrib Rasti mandi dan Raihan yang sudah datang meluruskan punggungnya pada sandaran kursi ruang tamu. Lalu, samar-samar suara ibu mertuanya memanggil dari arah pintu kamar. Raihan segera beranjak dari duduk dan menghampiri mertuanya. "Ibu, Bu." "Ini, ibu punya hadiah untuk Raihan." Bu Mayang tampak sembunyi-sembunyi, matanya bahkan tidak lepas dari menatap arah kamar mandi. "Tidak perlu dikatakan pada Rasti, cukup pakai saja." Bu Mayang langsung kembali masuk setelah memberikannya. Gamang, Raihan membawa kotak hadiah yang didapatkannya dari ibu mertua. Kotak berpita di bagian atas itu bisa langsung dibuka. Mata Raihan terbelalak kaget. Beberapa celana dalam yang kekinian. "Astaghfirullah, apa ini?!" "Mas." Raihan berlari ke lemari dan menyembunyikannya. "Ayo cepat mandi. Air panasnya sudah aku campur." Rasti muncul dari balik pintu. Sekarang, ia sendiri yang menyiapkan itu dan berusaha untuk tidak memberi kesempatan pada ibunya mengambil alih tugasnya sebagai istri Raihan. "Ya. Mas akan segera mandi." Raihan segera pergi guna menyembunyikan kegugupannya. Ia tidak habis pikir akan mendapatkan hadiah seperti itu dari ibu mertuanya. Sepanjang membersihkan diri, pikiran Raihan mengarah kemana-mana. Mau tidak mau kini ia harus ikut risih dan mulai tidak nyaman dengan sikap ibu mertuanya yang dinilai semakin berlebihan. "A-apa yang sedang kamu lakukan, Sayang?" Raihan kaget mendapati istrinya yang tengah merapikan lemari baju. "Bajunya acak-acakan. Ini pasti kerjaan kamu kan, Mas?" "I--tu. Tadi, mas." Raihan semakin khawatir kalau kotak hadiah itu akan ketahuan. "Apa ini?" Rasti sungguh menemukannya. Raihan hanya bisa mengumpat, "Mati gue!" "I-tu ...." "Jadi, Mas menyembunyikan ini hingga membuat isi lemari berjatuhan?" Rasti membawanya. "Iya, maaf, Sayang." Raihan mengacak rambut setengah basahnya. "Dari siapa?" Rasti membukanya. "I-itu teman kantor, Mas. Nggak sopan memang, masa hadiah pernikahan seperti itu." Raihan tertawa semu. Namun, tangan Rasti mengambang di udara. Kata-kata Pak Salim tadi siang, sialnya terus terngiang. "Sayang, itu benar-benar hadiah dari teman Mas, namanya Robbi. Besok biar Mas marahi dia!" Raihan tahu Rasti tidak percaya, namun tidak ada jalan lain selain terus berbohong untuk meyakinkannya. Mana mungkin dia katakan kalau itu hadiah dari ibunya. Bisa jadi situasinya semakin kacau. Bersambung ...."Mas, tidak berbohong?" Suara Rasti gamang. Sebenarnya ia begitu takut dengan pikirannya sendiri."Mana mungkin Mas berani berbohong, Sayang." Raihan segera menghampiri dan mengambil alih hadiah itu. "Memang ada-ada saja si Robbi, Mas sampai malu sendiri melihatnya hingga disembunyikan di sana biar kamu tidak usah lihat.""Ya." Rasti menjawab dingin. Ia keluar kamar dan membiarkan suaminya berganti pakaian.Rasti bolak balik di teras rumah, padahal matahari sudah terbenam dan langit menjadi gelap.Rasanya ia tidak bisa memendam perasaan yang kini menghantuinya.Rasti menghubungi Pak Salim, kebetulan ia memiliki kontak ponselnya karena memang pria itu adalah konsumen setia mereka dari dulu.[Rasti. Tumben sekali. Ada apa?] Pak Salim menjawab dengan nada ceria. Barangkali ia berharap ada kabar gembira tentang wanita pujaannya setelah beberapa kali mendapat sinyal bagus.[Eum ...] Ragu sekali Rasti menanyakannya. [Hadiah itu?][Hadiah?] tanya Pak Salim.[Hadiah dari ibu.][Oh, ya. Apa Bu
Rasti setuju akan rencana suaminya untuk membawanya pergi berlibur. Sejak menikah memang tidak ada waktu berdua, hari-hari bahagianya bahkan nyaris kandas karena masalah yang timbul dari sang ibu."Apa sudah izin ibu?" Raihan bertanya sesaat sebelum berangkat. Keduanya sudah berada di dalam mobil. Rasti menggeleng, ibunya masih belum keluar dari kamar. Toko sudah disterilkan oleh gadis itu. Menggunakan strategi diskon untuk menghabiskan stok kue dan itu berhasil. Ia bahkan pulang lebih awal untuk menyiapkan pakaian. Raihan meminta sore ini langsung berangkat, hanya menginap di hotel terdekat sebelum pergi jalan-jalan ke luar kota. Mengurai ketegangan saja."Ibu tidak keluar dari kamarnya. Dan---" Rasti menggigit bibir. Sejak kemarin malam ia belum lagi berbicara dengan sang ibu. Wanita itu terlihat lebih tertekan dan mengunci diri setelah mendapatkan bentakan beberapa kali dari Rasti."Apa sebaiknya kita izin dulu?" Raihan masih memberi kesempatan kepada istrinya untuk berbicara deng
Hari-hari berlalu, rumah yang biasanya rame meski hanya berdua mendadak sepi seperti kuburan.Rasti dan ibunya masih satu rumah, tapi mereka tidak lagi bertegur sapa, lebih tepatnya Rasti memilih menghindari dari sang ibu. Ia pun tidak lagi pergi ke toko, keluar rumah setiap pagi, berjalan tanpa tujuan sekedar menghindari ibunya dan kembali saat wanita itu sudah pergi ke toko."Neng Rasti, Nak Raihannya mana kok jarang terlihat?" Banyak orang yang bertanya-tanya, gadis itu hanya tersenyum kecil menanggapi.Rasti memblokir nomor suaminya. Ia tidak ingin lagi ada komunikasi diantara keduanya. Keputusan Rasti untuk melepaskan pujaan hatinya demi sang ibu sudah bulat.Malam-malam, isak tangis terdengar menyayat. Rasti sering bangun dan menangis sendirian, cinta yang besar pada Raihan membuat hatinya terluka sangat dalam."Nak." Malam itu, Rasti mendengar ibunya mengetuk pintu, hampir satu minggu tidak ada komunikasi, sekarang akhirnya Bu Mayang memberanikan diri.Ia sudah bolak-balik di d
Rasti menutup toko kuenya lebih cepat dan membawa ibunya segera pulang. Akan menjadi bahan gunjingan orang-orang saat melihat keadaan ibunya, sekarang. Padahal, gosip tentang pernikahannya dengan Raihan pun masih belum reda."Ibu istirahat saja." Rasti membawakan minuman dan membersihkan luka pada jemari tangan ibunya. Terluka karena benda-benda yang dijatuhkan dan dilempar dengan sengaja. Kali ini Rasti benar-benar baru melihat kemarahan ibunya hingga seperti itu, hingga rasa penasaran pada wanita tua yang datang kemarin semakin menjadi.Bu Mayang semakin murung. Kelopak matanya terlihat sembab dengan tatapan mata yang semakin lemah. Sehari-hari ia hanya melamun. Rasti sangat khawatir akan keadaan ibunya, namun terpaksa ia harus meninggalkannya agar bisa tetap membuka toko. "Di mana ibumu?" Wanita tua itu kembali datang seperti janjinya. Tidak hanya sendiri ia datang bersama dua orang pria sekarang. Satu bertubuh besar dan kekar, satu lagi kira-kira seusia dirinya atau hanya lebih m
Bu Mayang tertawa-tawa senang, Rasti mendengarnya dengan risih. Terlalu berlebihan ibunya mengekspresikan kebahagiaan. Sesekali suaranya bahkan terdengar mengumpat."Kamu pikir aku masih sama?""Tidak! Dia mencintaiku dan akan melakukan apapun untukku! Kamu harus terpaksa kalah wanita tua!"Rasti menguping ibunya berbicara, diselingi tawa yang membuat gadis itu malah khawatir dibanding ikut bahagia karena toko mereka tidak jadi diambil alih.Belum lagi kata-kata sumbang itu membuat hati Rasti perih, ia tidak tahu siapa yang sebenarnya ibunya maksud, tapi entah kenapa perasaannya mengarah pada Raihan. Sungguh tidak pernah terpikirkan olehnya untuk berbagi segalanya dengan ibunya bahkan masalah pria.Sudah lebih 2 minggu perpisahan Rasti dengan Raihan. Mereka sudah tidak lagi menjalin komunikasi, tapi hubungan ibunya dan Raihan terlihat baik-baik saja. Pria itu bahkan datang hanya untuk menemui sang ibu alih-alih berupaya berbaikan dengannya.Rasti mengambil ponsel. Berkali-kali ia berp
"Anda bernama, Raihan?" Seorang suster menghentikan pria itu mengelus punggung istrinya."Benar, Sus.""Ibu Anda ingin bertemu.""Ya." Raihan berdiri. Ekor matanya melihat Rasti yang masih duduk membungkuk. Ia masih menata hati, kabar itu membuatnya syok. Lalu, tiba-tiba suster mengatakan kalau ibunya ingin bertemu dengan Raihan, alih-alih menanyakan putrinya sendiri."Ayo." Raihan mengajak Rasti untuk menemui Bu Mayang.Rasti menyeka air mata dan menstabilkan emosi. Ia berjalan di belakang pria itu, berjaga barang kali ibunya memang sedang tidak ingin bertemu dengannya dan ia tidak bisa lagi menuntut pertanyaan apalagi keadilan. Rasti tahu ibunya tengah sakit dan bukan waktunya dihakimi."Syukurlah kamu masih di sini." Tangan Bu Mayang menyambut kedatangan Raihan."Ibu sudah baikan?""Aku baik-baik saja." Ia kembali tersenyum, menggenggam tangan Raihan dengan lembut."Aku dan Rasti membutuhkanmu. Mari kita pulang ke rumah," ucap Bu Mayang.Raihan melirik Rasti, lalu mengangguk. Bu Ma
Bu Mayang mengendus parfum putrinya, Rasti sampai mundur karena merasa risih. Ibunya terus menyeruduk, mengendus dengan mata mendelik, beda."Wanita ular! Bisa-bisanya kau merebut suamiku!"Brugh! Rasti terdorong begitu saja ke lantai."Ibu!" teriak Rasti kaget.Napasnya berburu, bola matanya berputar. Ia tampak kebingungan dengan sikapnya sendiri. "Ibu! Ibu!" Rasti memanggil ibunya yang berlari bingung ke dalam kamar.Pintu tertutup kencang, Rasti belum sempat berdiri saat pintu itu terdengar terkunci dari dalam.Rasti bangkit sendiri dan memeriksa tangannya yang terasa sakit. Ada sedikit sobekan di telapak tangan itu, sepertinya terkena ujung meja saat ia terdorong ke lantai."Ibu ...." Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 siang dan ibunya masih belum keluar. Ia bahkan belum sarapan. "Rasti sudah siapkan makanan kesukaan ibu." Gadis itu dengan sabar mengetuk pintu. Sayang, tidak ada respon dari dalam. Rasti mengulang hingga tiga kali. Usahanya terlihat sia-sia."Ibu ini sudah sore. Da
Rasti menggulir ponsel, melihat group alumni Sekolah Dasarnya dulu sebelum mereka pindah ke tempat ini.Benar, dulu mungkin mereka masih satu kota dengan ayahnya, tapi sekali pun Rasti tidak pernah melihat pria itu menemuinya. Hati gadis itu semakin sakit dan terkuliti. Tangannya bersemangat mencari kontak dari Jihan dan berharap gadis itu tidak mengganti nomor kontaknya. Group itu mati suri, jarang sekali aktif, terutama Jihan. Sudah lama Rasti tidak bertegur sapa, meski hanya lewat chat WA.Rasti menatap foto profil gadis itu yang terlihat glamor. Pakaian mahal yang terlihat kurang bahan, namun begitu cocok ditubuhnya yang terawat. Gadis itu tampak hidup dengan baik dan bahagia.[Jihan.]Setelah susah payah Rasti mengatur hatinya, ia selesai juga mengetik 5 huruf itu dan mengirimkannya.Tidak lama centang 2 terlihat, sayangnya Rasti harus menunggu untuk bisa berubah biru.[Ya. Rasti, sudah lama tidak berkabar. Apa kabar kamu sekarang?]Rasti menelan ludah dan memberi kekuatan pada j
Raihan baru saja berganti pakaian setelah selesai mandi. Apartemennya cukup nyaman dan luas, jika hanya ditempati oleh pasangan suami istri dan satu anak. Ia memang membelinya saat masih single. Rasti bahkan belum sempat tahu. Sebenarnya satu sama lain diantara keduanya belum saling mengenal lebih jauh. Sebelum menikah, mereka hanya sempat pergi beberapa kali, sebelum memutuskan untuk mengakhiri hubungan tali kasih dengan ikatan pernikahan. Raihan pikir tidak punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan hanya bermain-main saja. Siapa sangka ia seperti terjebak dalam dilema, cinta semakin kuat saat gadis itu menjadi istrinya, rasanya ia masih belum bisa menerima jika harus kehilangan sekarang, di mana pucuk cintanya baru saja mekar dan tidak ada cacat pada wanita yang dicintainya itu.[Ada apa? Sudah aku bilang, aku tidak mau pergi denganmu!] tukas Raihan saat mengangkat panggilan dari asistennya. Setelah pulang kerja, mode mereka biasanya lebih seperti teman.[Saya tidak b
Pria berpakain hitam itu keluar dari tempatnya bersembunyi. Motornya melaju menapaki rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela bebatuan. Ia sangat jarang keluar saat terang, biasanya hanya ditemani pemilik malam. Siang ini, satu keberanian muncul, temannya bukan lagi rembulan yang sembunyi di balik awan, tapi matahari yang terang menantang.Sampai di depan rumah besar, ia berbelok dan menaikkan motornya, menyusuri samping pagar yang menjulang tinggi untuk menemui seseorang. Ia menaikkan satu kerikil kecil memberi kode. Biasanya ia harus menunggu beberapa waktu agar penghuni rumah itu merespons. Sayangnya, setelah berkali-kali menghubungi lewat ponsel pun tidak ada diangkat juga. Itu alasan kedua, kenapa pria itu berani muncul pada siang hari dengan identitas yang selama ini disembunyikan.*"Tidak ada satu orang pun yang menghargaiku di rumah ini." Pak Bagus menarik napas sesak. Bertahun-tahun, puluhan tahun tepatnya ia hanya hidup sendiri. Dijadikan alat untuk mencari uang demi memenu
"Ada kekacauan apa ini?" Bu Nawang mendengar keributan di kamar cucunya. Padahal ia baru saja tiba, suara itu sampai hingga pintu depan."Zaki marah, Bu," jawab Dara mengiba."Marah kenapa?""Mas Bagus menempatkannya sebagai OB di perusahaan.""Apa?""Itu dia, Bu. Zaki menunggu Ibu datang. Ia sangat malu karena banyak yang mengolok-oloknya. Kami malah jadi tontonan karyawan kantor. Orang-orang mengumpat kami di belakang."Mendengar suara neneknya di balik pintu Zaki berpikir sejenak. Ia mengambil serpihan benda dan melukai tangannya hingga mengalirkan darah merah. "Nenek!" Anak lelaki itu menghambur, menangis sejadinya. "Nenek akan berbicara dengan papamu," ujar Bu Nawang."Nenek. Zaki malu, Nek. Kenapa papa seperti itu, bukankah aku adalah pewarisnya?" Zaki menangis tersedu. Memeluk neneknya erat."Benar. Kamu adalah pewaris keluargaku. Semua kekayaanku akan turun padamu.""Aku akan menjalankan perusahaan dengan baik, Nek. Menyenangkan nenek dan menurut apapun pada keinginan, Nenek.
Rasti menjadi gundah gulana. Ia tak berhenti bolak balik di dalam tokonya, bak orang yang tengah sembelit dan sulit untuk keluar. Matanya tidak berhenti menatap jam dinding yang terasa bergerak cepat. Jam makan siang akan segera tiba, berkali-kali gadis itu merasa greget dan sangat ingin menghentikkan detik jarum jam agar berhenti saja, agar waktu makan siang itu tidak pernah ada. "Apa dia sengaja?" Rasti bergelut dengan pikirannya sendiri. Selain itu, hal yang membuatnya resah adalah Raihan tidak lagi menghubungi padahal jelas ia menutup panggilannya secara sepihak dan mengakhirinya dengan marah. "Mana ada lelaki peka. Dia malah senang 'kan? Siapa yang tidak suka makan siang ditemani gadis cantik dan berpenampilan menarik?" Rasti menjadi sangat geram saat ia mengingat pakaian pegawai kantoran yang memang biasa terlihat rapi."Bu! Bu!" Rasti mengetuk pintu. "Aku tutup dulu tokonya sebentar ya, Bu. Aku akan kembali setelah jam makan siang.""Ya." Hanya ada jawaban itu dari dalam sana.
Pak Bagus pergi dari rumahnya seperti biasa. Ia pamit untuk berangkat kerja namun berbelok di persimpangan untuk menemui teman yang sudah ia beritahu sebelumnya. Tidak terlalu jauh jaraknya hingga ia tidak perlu menghabiskan banyak waktu. Akhir-akhir ini, ibunya tahu kalau ia jarang pergi ke kantor karena mencari keberadaan Rasti dan Mayang. Setelah malam di mana Mayang datang dan mengatakan Rasti terluka, Bagus tahu kalau ibunya telah mengingkari janji mereka."Apa yang bisa saya lakukan, Pak?" Seorang lelaki berumur sedikit di bawahnya datang menghampiri. Bagus sudah sampai lebih dulu, ia menunggu di bawah jembatan besar, di mana jarang orang yang melihat keberadaan mereka dari atas sana. "Bagaimana dengan aset yang aku titipkan padamu?" tanya Pak Bagus tanpa menoleh. Pandangannya tetap tertuju pada aliran air sungai yang terlihat lebih surut."Aman, Pak. Perkebunan sawit sebentar lagi sudah bisa dipanen. Villa pun ramai pengunjung. Sapi-sapi yang di pelihara oleh para petani pun s
[Iya, Bu.][Aku sudah di depan rumah mertuamu. Kenapa tidak ada yang membuka pintu?][Apa? Ibu sudah berada di depan rumah?] Mata Raihan melotot menoleh pada Rasti yang bingung. "Ibu Widia ada di depan rumahmu?" bisiknya."Apa?"[Ibu tunggu, sebentar. Aku dan Rasti segera datang. Ibu Mayang mungkin sedang tidur, beliau kurang sehat.][Benarkah? Kalau begitu cepatlah!][Iya, Bu. Sebentar lagi Raihan sampai.]"Bagaimana ini, Mas?" Rasti mulai khawatir begitu pula Raihan. Pria itu menambah kecepatan laju mobilannya agar lebih cepat sampai."Ibu tidak memberitahuku kalau beliau akan datang.""Apa ibu tahu kalau kita---?"Raihan melihat kegugupan Rasti sebentar, lalu menggeleng. "Aku belum menceritakan apapun tentang pernikahan kita, karenanya ibu datang ke rumah."Rasti mengangguk paham. Namun, ia mengkhawatirkan keadaan ibunya. Tadi pagi, penyakitnya kembali kambuh, gadis itu khawatir ibunya semakin meracau."Aku takut ibu Mayang berlaku macam-macam pada Ibu Widia, Mas. Kalau ibu berpik
"Dia pikir dia akan menang!" Bu Nawang menghembuskan napasnya berkali-kali ia terlihat gelisah dan kepanasan. Menahan emosi yang meletup-letup tak karuan. "Perempuan itu memang duri, bahkan sudah puluhan tahun dia tetap jadi duri!" umpatnya lagi.[Hallo! Aku ingin kamu datang, besok pagi.] Nenek tua itu menghubungi seseorang. "Dia hanya wanita miskin. Mana bisa dia menyewa pengacara sehebat aku!" gumannya lagi dengan gelak tawa. Mengobati kekesalan dirinya sendiri. "Tidak sudi sepeserpun hartaku digunakan dan tertelan oleh mereka."Pak Bagus yang hendak menanyakan itu sudah mendengar secara langsung. Ia berdiri dan melihat semuanya. Apa yang dikatakan Rasti ternyata benar. Pria itu mengurungkan niatnya untuk masuk dan bertanya pada ibunya. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja. Ruangan paling nyaman di rumah besar itu, karena jarang ada orang yang datang untuk masuk. Ia lebih suka menghabiskan waktunya sendirian.Bagus duduk di kursi kerjanya. Bertahun-tahun lelaki itu menuruti
"Ibu minum dulu." Rasti membawakan ibunya segelas air. Wanita itu bangun dan duduk untuk menghabiskan segelas air minum yang dipegangnya saat ini. Energinya terkuras habis, suaranya pun serak karena terus menangis. Rasti pun menyiapkan potongan kue yang dibeli ibunya bersama Pak Salim, menyiapkannya ke dalam piring. Gadis itu menaburkan obat yang telah digerusnya menjadi bubuk kecil hingga tersamarkan. "Rasti tinggal dulu, sebentar." Gadis itu tengah beranjak saat tangan ibunya menggenggam. "Bagaimana kalau rumah ini benar-benar diambil Bu Nawang?" lirihnya lemah.Rasti membalas tatapan ibunya yang lemah, mengusap punggung telapak tanganya. "Kita tidak akan kehilangan apapun lagi, Bu. Rasti tidak akan membiarkan itu. Rasti akan mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hak ibu." Bola mata Bu Mayang melihat keberanian yang terpancar. Jarang sekali, putrinya menatap seperti itu, seperti ada ruh berbeda yang mengisinya kini."Istirahatlah! Jangan pikirkan apapun lagi. Ibu sudah cukup
Rasti mencoba mengenakan beberapa pakaian, entah apa yang ada dalam pikirannya, pagi ini. "Ini terlalu formal." Rasti menghempaskannya di atas ranjang. Ia kembali memilih, sebenarnya tidak banyak pilihan. Tapi, karena hatinya bingung antara harus berpenampilan bagus atau biasa saja."Bukankah ini akan terlihat aku sangat menantikan pertemuan ini?" Gadis itu kembali menggeleng di depan cermin. Melemparkannya kembali ke atas tumpukan baju yang lain."Begini lebih nyaman." Rasti memilih celana kulot dengan atasan berwarna putih. "Enggak Rasti! Raihan akan berpikir kalau kamu mendapat kesulitan setelah berpisah dengannya." Gadis itu putus asa. Ia merentangkan tubuhnya di atas pakaian yang berserakan di atas kasur."Sebaiknya aku batalkan saja pertemuan ini." Pikirannya buntu. Tatapan lemas menatap langit-langit kamar. Lalu, sebuah mobil terdengar masuk ke halaman. Rasti menengoknya. Taksi yang dipesan Raihan sudah sampai."Tunggu sebentar, Pak." Ia melambai dari jendela kamar saat pengem