"Pak Salim." Pagi sekali lelaki itu datang ke rumah Rasti. Tumben sekali memang, sampai gadis itu mengerutkan dahinya.
"Bu Mayang meminta saya untuk mengantarnya belanja hari ini," ujar Pak Salim dengan senyum merekah. Bahagia dan tidak percaya, dugaannya pada lampu hijau kemari benar-benar nyata. "Silahkan masuk, Pak." Rasti mempersilahkan. Tapi, ibunya keburu datang. Pakaiannya jauh lebih modis dan ia terlihat cantik. "Bisa kita berangkat, sekarang?" "Oh, ya, tentu saja." Pria berusia 47 tahunan itu hampir tidak bisa mengepakkan kelopak matanya. "Cantik," lirihnya terdengar Rasti dan hanya bisa dibalas dengan tegukan air ludah dari gadis itu. "Ibu berangkat dulu. Toko biar buka siang saja." Pesannya sebelum pergi dan hanya mendapat anggukan Rasti. Masih ada sekat diantara keduanya setelah beberapa kejadian akhir-akhir ini terutama karena kemarin malam. Mereka terlihat seperti pasangan, Rasti menelaah dan memperhatikan. Baru kali ini ibunya bersikap seperti itu pada pria, tentunya setelah sikap anehnya pada Raihan. "Ibu mau pergi kemana?" Raihan menyembul dari samping kepala Rasti. "Aku juga tidak tahu." "Mereka terlihat serasi ya?" kelakar Raihan mencairkan suasana yang sempat tegang semalam. Rasti hanya mendelik sebelum pergi meninggalkannya ke dapur. Tugasnya masih menunggu, sebelum ikut menjaga toko. "Aku berangkat dulu, Sayang." Raihan harus mengalah dan mengunjungi istrinya ke dapur alih-alih mengantarkannya ke depan seperti beberapa hari sebelum ini. "Ya," jawab Rasti lemah, dingin, dan tertahan. Raihan sudah berjalan pergi, namun ia sempat berbalik. "Tidak ada apapun yang terjadi antara aku dan ibu. Mas kira, ibu hanya sangat bahagia dengan pernikahan kita. Kamu pasti lebih tahu bagaimana cintanya selama ini padamu, Sayang. Rasanya terlalu jahat, jika kita memikirkan hal tidak baik pada ibu." Raihan mencoba berbicara setelah semalaman ia tidak punya kesempatan. Rasti mengacuhkannya bahkan sampai kini. Dan gadis itu hanya diam, tidak menanggapi. Raihan punya kendaraan roda empat, terbilang bagus dan mewah. Ia pun adalah salah satu manager disebuah perusahaan ternama, namun memilih untuk mengikuti keinginan istri dan mertuanya yang tinggal bersama di rumah ini. Mengontrak apartemen atau membeli rumah di pinggir kota masih bisa ia lakukan, tapi tidak untuk sekarang karena janjinya sebelum pernikahan. Rasti meminta untuk tidak meninggalkan ibunya yang hanya tinggal sendiri. "Mungkin Mas Raihan benar." Rasti terduduk lemah. "Perasaanku saja yang terlalu over thinking. Harusnya aku senang, setelah begitu lama ibu hidup sendiri tanpa pasangan, pagi ini aku melihatnya ia pergi dengan seorang pria." Rasti terus berusaha menepis dugaan-dugaan buruk yang ditunjukkan pada ibunya. Hal itu hanya membuat hubungan mereka menjadi renggang, di mana harusnya menjadi moment kedekatan yang lebih intensif karena kini ia bisa belajar lebih banyak dari ibunya cara menjadi istri yang baik. Selama ini, ibunya itu sangat jarang bahkan hampir tidak pernah membicarakan kenangannya bersama sang ayah. Beranjak siang ibunya masih belum datang, Rasti tetap menunggu karena kunci toko dipegang sang ibu. "Terimakasih sudah menemani saya berbelanja." Suaranya ibunya terdengar setelah deru suara mobil jadul milik Pak Salim terdengar di halaman. "Sama-sama Bu Mayang. Tiap hari pun saya siap." Jelas sekali nada suara Pak Salim yang kegirangan. Rasti melihat ibunya berjalan melewati kamar dengan dua kantong plastik putih yang penuh. Ia berbelanja banyak hingga entah ke berapa kali membuat gadis itu tercengang dengan perubahan sikap ibunya yang diluar kebiasaan. Pantang baginya menghabiskan uang untuk berbelanja apalagi keperluan diri sendiri. Ia akan mementingkan Rasti selama ini, urusannya adalah urutan terakhir. "Pak Salim masih di sini?" Rasti yang keluar dan masih melihat pintu terbuka berniat untuk menutupnya, namun ternyata pria yang mengantar ibunya pun masih bolak balik di sana. "Itu loh, Ras." Pak Salim nampak gugup dan malu-malu. "Kenapa, Pak?" "Bu Mayang kayanya akan memberi saya hadiah, tadi." "Oh, ya?" Rasti menengok ke dalam. Kamar ibunya bahkan tidak terbuka lagi. "Pak Salim yakin?" "Iya. Saya melihatnya sedikit. Ibumu membeli celana laki-laki," bisik Pak Salim malu-malu senang. "Eum ... tapi ibu sepertinya tidak akan memberikannya sekarang, Pak." Rasti pastikan kalau pintu kamar ibunya tidak terbuka lagi. "Oh gitu, mungkin Bu Mayang masih malu. Baiklah kalau begitu, biar saya tunggu sampai dia siap memberikannya." Pak Salim pergi dengan senyum yang tak lepas dari garis bibirnya, sungguh bahagia hingga berkali-kali melompat sendiri. "Ibu memberi hadiah pada seorang pria? Benar-benar berubah." Rasti menggeleng tidak percaya, tapi perubahan itu memang nyata beberapa hari ini. Bu Mayang izin pada Rasti untuk tidak membuka toko, ia merasa kelelahan setelah berjalan memutari Mall dengan sepatu hak tinggi. Lagi-lagi aneh. Padahal sebelumnya Rasti tidak pernah melihat hak tinggi itu ada di jajaran sepatu milik ibunya. Gadis itu pun tidak pergi sendiri, karena ibunya melarang hingga sore mereka hanya tinggal berdua saja dan terasa sepi karena pembicaraan diantara keduanya seakan terbatas. Menjelang Magrib Rasti mandi dan Raihan yang sudah datang meluruskan punggungnya pada sandaran kursi ruang tamu. Lalu, samar-samar suara ibu mertuanya memanggil dari arah pintu kamar. Raihan segera beranjak dari duduk dan menghampiri mertuanya. "Ibu, Bu." "Ini, ibu punya hadiah untuk Raihan." Bu Mayang tampak sembunyi-sembunyi, matanya bahkan tidak lepas dari menatap arah kamar mandi. "Tidak perlu dikatakan pada Rasti, cukup pakai saja." Bu Mayang langsung kembali masuk setelah memberikannya. Gamang, Raihan membawa kotak hadiah yang didapatkannya dari ibu mertua. Kotak berpita di bagian atas itu bisa langsung dibuka. Mata Raihan terbelalak kaget. Beberapa celana dalam yang kekinian. "Astaghfirullah, apa ini?!" "Mas." Raihan berlari ke lemari dan menyembunyikannya. "Ayo cepat mandi. Air panasnya sudah aku campur." Rasti muncul dari balik pintu. Sekarang, ia sendiri yang menyiapkan itu dan berusaha untuk tidak memberi kesempatan pada ibunya mengambil alih tugasnya sebagai istri Raihan. "Ya. Mas akan segera mandi." Raihan segera pergi guna menyembunyikan kegugupannya. Ia tidak habis pikir akan mendapatkan hadiah seperti itu dari ibu mertuanya. Sepanjang membersihkan diri, pikiran Raihan mengarah kemana-mana. Mau tidak mau kini ia harus ikut risih dan mulai tidak nyaman dengan sikap ibu mertuanya yang dinilai semakin berlebihan. "A-apa yang sedang kamu lakukan, Sayang?" Raihan kaget mendapati istrinya yang tengah merapikan lemari baju. "Bajunya acak-acakan. Ini pasti kerjaan kamu kan, Mas?" "I--tu. Tadi, mas." Raihan semakin khawatir kalau kotak hadiah itu akan ketahuan. "Apa ini?" Rasti sungguh menemukannya. Raihan hanya bisa mengumpat, "Mati gue!" "I-tu ...." "Jadi, Mas menyembunyikan ini hingga membuat isi lemari berjatuhan?" Rasti membawanya. "Iya, maaf, Sayang." Raihan mengacak rambut setengah basahnya. "Dari siapa?" Rasti membukanya. "I-itu teman kantor, Mas. Nggak sopan memang, masa hadiah pernikahan seperti itu." Raihan tertawa semu. Namun, tangan Rasti mengambang di udara. Kata-kata Pak Salim tadi siang, sialnya terus terngiang. "Sayang, itu benar-benar hadiah dari teman Mas, namanya Robbi. Besok biar Mas marahi dia!" Raihan tahu Rasti tidak percaya, namun tidak ada jalan lain selain terus berbohong untuk meyakinkannya. Mana mungkin dia katakan kalau itu hadiah dari ibunya. Bisa jadi situasinya semakin kacau. Bersambung ...."Mas, tidak berbohong?" Suara Rasti gamang. Sebenarnya ia begitu takut dengan pikirannya sendiri."Mana mungkin Mas berani berbohong, Sayang." Raihan segera menghampiri dan mengambil alih hadiah itu. "Memang ada-ada saja si Robbi, Mas sampai malu sendiri melihatnya hingga disembunyikan di sana biar kamu tidak usah lihat.""Ya." Rasti menjawab dingin. Ia keluar kamar dan membiarkan suaminya berganti pakaian.Rasti bolak balik di teras rumah, padahal matahari sudah terbenam dan langit menjadi gelap.Rasanya ia tidak bisa memendam perasaan yang kini menghantuinya.Rasti menghubungi Pak Salim, kebetulan ia memiliki kontak ponselnya karena memang pria itu adalah konsumen setia mereka dari dulu.[Rasti. Tumben sekali. Ada apa?] Pak Salim menjawab dengan nada ceria. Barangkali ia berharap ada kabar gembira tentang wanita pujaannya setelah beberapa kali mendapat sinyal bagus.[Eum ...] Ragu sekali Rasti menanyakannya. [Hadiah itu?][Hadiah?] tanya Pak Salim.[Hadiah dari ibu.][Oh, ya. Apa Bu
Rasti setuju akan rencana suaminya untuk membawanya pergi berlibur. Sejak menikah memang tidak ada waktu berdua, hari-hari bahagianya bahkan nyaris kandas karena masalah yang timbul dari sang ibu."Apa sudah izin ibu?" Raihan bertanya sesaat sebelum berangkat. Keduanya sudah berada di dalam mobil. Rasti menggeleng, ibunya masih belum keluar dari kamar. Toko sudah disterilkan oleh gadis itu. Menggunakan strategi diskon untuk menghabiskan stok kue dan itu berhasil. Ia bahkan pulang lebih awal untuk menyiapkan pakaian. Raihan meminta sore ini langsung berangkat, hanya menginap di hotel terdekat sebelum pergi jalan-jalan ke luar kota. Mengurai ketegangan saja."Ibu tidak keluar dari kamarnya. Dan---" Rasti menggigit bibir. Sejak kemarin malam ia belum lagi berbicara dengan sang ibu. Wanita itu terlihat lebih tertekan dan mengunci diri setelah mendapatkan bentakan beberapa kali dari Rasti."Apa sebaiknya kita izin dulu?" Raihan masih memberi kesempatan kepada istrinya untuk berbicara deng
Hari-hari berlalu, rumah yang biasanya rame meski hanya berdua mendadak sepi seperti kuburan.Rasti dan ibunya masih satu rumah, tapi mereka tidak lagi bertegur sapa, lebih tepatnya Rasti memilih menghindari dari sang ibu. Ia pun tidak lagi pergi ke toko, keluar rumah setiap pagi, berjalan tanpa tujuan sekedar menghindari ibunya dan kembali saat wanita itu sudah pergi ke toko."Neng Rasti, Nak Raihannya mana kok jarang terlihat?" Banyak orang yang bertanya-tanya, gadis itu hanya tersenyum kecil menanggapi.Rasti memblokir nomor suaminya. Ia tidak ingin lagi ada komunikasi diantara keduanya. Keputusan Rasti untuk melepaskan pujaan hatinya demi sang ibu sudah bulat.Malam-malam, isak tangis terdengar menyayat. Rasti sering bangun dan menangis sendirian, cinta yang besar pada Raihan membuat hatinya terluka sangat dalam."Nak." Malam itu, Rasti mendengar ibunya mengetuk pintu, hampir satu minggu tidak ada komunikasi, sekarang akhirnya Bu Mayang memberanikan diri.Ia sudah bolak-balik di d
Rasti menutup toko kuenya lebih cepat dan membawa ibunya segera pulang. Akan menjadi bahan gunjingan orang-orang saat melihat keadaan ibunya, sekarang. Padahal, gosip tentang pernikahannya dengan Raihan pun masih belum reda."Ibu istirahat saja." Rasti membawakan minuman dan membersihkan luka pada jemari tangan ibunya. Terluka karena benda-benda yang dijatuhkan dan dilempar dengan sengaja. Kali ini Rasti benar-benar baru melihat kemarahan ibunya hingga seperti itu, hingga rasa penasaran pada wanita tua yang datang kemarin semakin menjadi.Bu Mayang semakin murung. Kelopak matanya terlihat sembab dengan tatapan mata yang semakin lemah. Sehari-hari ia hanya melamun. Rasti sangat khawatir akan keadaan ibunya, namun terpaksa ia harus meninggalkannya agar bisa tetap membuka toko. "Di mana ibumu?" Wanita tua itu kembali datang seperti janjinya. Tidak hanya sendiri ia datang bersama dua orang pria sekarang. Satu bertubuh besar dan kekar, satu lagi kira-kira seusia dirinya atau hanya lebih m
Bu Mayang tertawa-tawa senang, Rasti mendengarnya dengan risih. Terlalu berlebihan ibunya mengekspresikan kebahagiaan. Sesekali suaranya bahkan terdengar mengumpat."Kamu pikir aku masih sama?""Tidak! Dia mencintaiku dan akan melakukan apapun untukku! Kamu harus terpaksa kalah wanita tua!"Rasti menguping ibunya berbicara, diselingi tawa yang membuat gadis itu malah khawatir dibanding ikut bahagia karena toko mereka tidak jadi diambil alih.Belum lagi kata-kata sumbang itu membuat hati Rasti perih, ia tidak tahu siapa yang sebenarnya ibunya maksud, tapi entah kenapa perasaannya mengarah pada Raihan. Sungguh tidak pernah terpikirkan olehnya untuk berbagi segalanya dengan ibunya bahkan masalah pria.Sudah lebih 2 minggu perpisahan Rasti dengan Raihan. Mereka sudah tidak lagi menjalin komunikasi, tapi hubungan ibunya dan Raihan terlihat baik-baik saja. Pria itu bahkan datang hanya untuk menemui sang ibu alih-alih berupaya berbaikan dengannya.Rasti mengambil ponsel. Berkali-kali ia berp
"Rasti! Raihan sudah pulang!" Ibu berteriak dari depan. Rasti yang tengah mencuci perabot masak segera mengakhiri aktivitasnya dan mengeringkan tangan."Iya, Bu."Sejenak bibirnya tersenyum mesem, hatinya sedikit bergetar mengingat rasa tadi malam. Rasanya begitu indah dan menegangkan. Pengalaman baru yang hampir saja membuat jantungnya berhenti. Ia bahkan tidak mengenali dirinya sendiri. Tentu saja, malam-malam indah itu tidak perlu diketahui orang lain, terutama ibunya yang tinggal satu atap bersama mereka."Mas, sudah---pulang?" Suara Rasti melemah saat melihat pemandangan asing di depannya."Kamu pasti sangat lelah, Nak." Bu Mayang mengelap kening Raihan yang meneteskan keringat."Bu----" Suara Rasti tertahan di udara."Ambilkan Raihan minum!" tukas Bu Mayang tanpa menoleh."Ya?""Apa kamu tidak lihat suamimu kelelahan?" Matanya sedikit melotot saat menoleh pada Rasti, namun begitu lembut ketika kembali menatap menantunya."Biarkan ibu yang bawa tasnya. Duduklah!" Rasti melihat se
"Rasti!" Rasti mendengar suara ibunya mengetuk pintu. Setelah kejadian tadi, Rasti dan Raihan tidak keluar lagi dari kamar. Keduanya berbaring di ranjang dengan pikirannya masing-masing hingga membuat Raihan bahkan mendengkur halus, kelelahan dan terlelap."Suamimu tidak mandi?" Bu Mayang menengok dari celah pintu yang sengaja Rasti halangi."Tidur, Bu.""Ibu sudah siapkan air panas. Mana enak tidur sebelum mandi, nanti malam bisa lengket. Ibu tidak suka aroma keringat.""Ayo bangunkan!" Ujar Bu Mayang membuat mata Rasti menyelidik.Rasti memang tidak suka aroma keringat. Mungkin itu maksud ibunya. Hal yang tidak mereka suka bahkan bisa sama.Bu Mayang pergi setelah mengatakan itu. Rasti kembali ke kamar dan duduk di samping ranjang, menatap lekat suaminya yang tampan. Siapa yang tidak akan jatuh cinta pada pria itu, senyum dan sikapnya yang lembut bahkan sangat memikat wanita yang mendekat."Mas." Rasti membangunkan suaminya pelan. "Mandi dulu. Ibu sudah menyiapkan air hangat," tamba
"Boleh kita istirahat, malam ini?" Rasti berkelit lemah saat tangan Raihan menyibak rambutnya. "Hatiku sedang tidak enak."Raihan mengangguk. Ia adalah pria yang baik, mengerti keadaan istrinya. Dari sejak pulang kerja dan beberapa kejadian random setelahnya memang membuat situasi keduanya tidak nyaman."Tidurlah kalau begitu." Raihan mengecup pipi Rasti yang berbantal puhu tangannya.Pria itu mendengkur terlebih dulu, Rasti hanya meliriknya dengan ekor mata, dan suaminya benar-benar sudah terlelap, berbeda hal dengan dirinya yang masih terjaga. Pikirannya kacau, dipenuhi dengan dugaan-dugaan jelek tentang ibunya.Rasti beringsut, ia turun dari ranjang dan membiarkan Raihan tidur tanpa terganggu dengan pikirannya yang kacau. Wanita itu berjalan mengendap-endap untuk keluar. Ia berdiri di depan kamar ibunya untuk beberapa saat. Lalu, memberanikan diri mendorong pintunya lagi. Kamar mereka memang tidak pernah dikunci, hidup berdua di rumah itu, seolah tidak ada privasi. Hanya sekarang s