"Anda bernama, Raihan?" Seorang suster menghentikan pria itu mengelus punggung istrinya."Benar, Sus.""Ibu Anda ingin bertemu.""Ya." Raihan berdiri. Ekor matanya melihat Rasti yang masih duduk membungkuk. Ia masih menata hati, kabar itu membuatnya syok. Lalu, tiba-tiba suster mengatakan kalau ibunya ingin bertemu dengan Raihan, alih-alih menanyakan putrinya sendiri."Ayo." Raihan mengajak Rasti untuk menemui Bu Mayang.Rasti menyeka air mata dan menstabilkan emosi. Ia berjalan di belakang pria itu, berjaga barang kali ibunya memang sedang tidak ingin bertemu dengannya dan ia tidak bisa lagi menuntut pertanyaan apalagi keadilan. Rasti tahu ibunya tengah sakit dan bukan waktunya dihakimi."Syukurlah kamu masih di sini." Tangan Bu Mayang menyambut kedatangan Raihan."Ibu sudah baikan?""Aku baik-baik saja." Ia kembali tersenyum, menggenggam tangan Raihan dengan lembut."Aku dan Rasti membutuhkanmu. Mari kita pulang ke rumah," ucap Bu Mayang.Raihan melirik Rasti, lalu mengangguk. Bu Ma
Bu Mayang mengendus parfum putrinya, Rasti sampai mundur karena merasa risih. Ibunya terus menyeruduk, mengendus dengan mata mendelik, beda."Wanita ular! Bisa-bisanya kau merebut suamiku!"Brugh! Rasti terdorong begitu saja ke lantai."Ibu!" teriak Rasti kaget.Napasnya berburu, bola matanya berputar. Ia tampak kebingungan dengan sikapnya sendiri. "Ibu! Ibu!" Rasti memanggil ibunya yang berlari bingung ke dalam kamar.Pintu tertutup kencang, Rasti belum sempat berdiri saat pintu itu terdengar terkunci dari dalam.Rasti bangkit sendiri dan memeriksa tangannya yang terasa sakit. Ada sedikit sobekan di telapak tangan itu, sepertinya terkena ujung meja saat ia terdorong ke lantai."Ibu ...." Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 siang dan ibunya masih belum keluar. Ia bahkan belum sarapan. "Rasti sudah siapkan makanan kesukaan ibu." Gadis itu dengan sabar mengetuk pintu. Sayang, tidak ada respon dari dalam. Rasti mengulang hingga tiga kali. Usahanya terlihat sia-sia."Ibu ini sudah sore. Da
Rasti menggulir ponsel, melihat group alumni Sekolah Dasarnya dulu sebelum mereka pindah ke tempat ini.Benar, dulu mungkin mereka masih satu kota dengan ayahnya, tapi sekali pun Rasti tidak pernah melihat pria itu menemuinya. Hati gadis itu semakin sakit dan terkuliti. Tangannya bersemangat mencari kontak dari Jihan dan berharap gadis itu tidak mengganti nomor kontaknya. Group itu mati suri, jarang sekali aktif, terutama Jihan. Sudah lama Rasti tidak bertegur sapa, meski hanya lewat chat WA.Rasti menatap foto profil gadis itu yang terlihat glamor. Pakaian mahal yang terlihat kurang bahan, namun begitu cocok ditubuhnya yang terawat. Gadis itu tampak hidup dengan baik dan bahagia.[Jihan.]Setelah susah payah Rasti mengatur hatinya, ia selesai juga mengetik 5 huruf itu dan mengirimkannya.Tidak lama centang 2 terlihat, sayangnya Rasti harus menunggu untuk bisa berubah biru.[Ya. Rasti, sudah lama tidak berkabar. Apa kabar kamu sekarang?]Rasti menelan ludah dan memberi kekuatan pada j
"Bawa aku keluar," bisik Rasti. Raihan mendekap istrinya lebih dekat dan membawanya keluar.Gadis itu sebenarnya tidak sanggup mendapat tatapan dari banyak pasang mata sekaligus, namun karena Raihan ada di sampingnya, ia sedikit lebih kuat."Kamu harus menegakkan wajahmu, dan lihat itu, Rasti!" bisik Raihan. "Sebelah kanan."Gadis itu mencoba mengangkat wajahnya perlahan, ia sungguh memberanikan diri untuk itu. Matanya menangkap sosok wanita yang menjadi istri dari ayahnya. Ia meninggalkan pelaminan penuh emosi. Mulutnya bahkan terlihat tengah berucap kasar. "Apa yang terjadi?" tanya Rasti.Raihan memperlihatkan pesan singkatnya.[Temui aku, besok. Istriku sangat malu dengan kejadian ini!]Rupanya pria itu menghubungi suami Jihan dan mengirimkan pesan. Menantu dan mertua baru itu cekcok sebentar, sebelum ibu mertuanya pergi dari pelaminan.Rasti menatap pria disampingnya, ia memang tidak tahu banyak tentang pekerjaan pria itu. Raihan hanya mengaku sebagai Manager sebuah perusahaan. G
Malam sudah larut, suasana toko yang biasanya cukup ramai terdengar sepi, apalagi karena hujan tak kunjung berhenti. Rasti hanya duduk menatap keluar, ia masih menunggu ibunya muncul dari kamar. Kamar tempat mereka beristirahat di toko. Sunyi, tidak ada suara dari sana. Beberapa kali, Rasti mengetuk pintu, ibunya hanya mengeluarkan sedikit suara. Itu sudah cukup untuk ia diam menunggu hingga suasana hati ibunya kembali baik. Meski, mungkin akan sangat sulit."Ayo, pulang!" Bu Mayang tiba-tiba saja sudah berdiri di dekat Rasti. Gadis itu sampai berdiri karena kaget. Ia segera mengambil kunci untuk menutup toko. Ibunya berjalan lebih dulu tanpa kembali berbalik. Cepat-cepat Rasti menguncinya dari luar dan menyusul ibunya yang sudah terlihat cukup jauh."Ibu, tunggu!" Rasti berlari, Bu Mayang tidak mengubris. Ia tetap berjalan sendiri dan meninggalkan Rasti. Gadis itu sampai berlari mengejar.Sebuah lampu sorot terlihat dari kejauhan. Jaraknya semakin cepat mendekat dan menyilaukan. Rast
"Di mana Rasti?""Dia tidak bisa menghadiri sidang. Aku adalah perwakilannya." Hari memperkenalkan diri pada Raihan dan pengacaranya. Pria itu menerima dengan lemah. Ia tidah berpikir, kalau Rasti bahkan tidak ingin bertemu dengannya lagi, padahal ini adalah kesempatan mereka untuk mediasi dan memperbaiki hubungan yang buruk.Raihan benar-benar tidak bergairah, ia hanya diam dan menunggu pengacaranya menyelesaikan urusan sidang perdana mereka. Mediasi gagal, pihak Rasti menolak. Raihan bahkan tidak berkata apa-apa, karena merasa semuanya percuma. Ia hanya mendengarkan pengacaranya saat mengajukan untuk berdamai."Ibu Rasti sudah bulat pada keputusannya untuk bercerai dan mengajukan gugatan, Pak Raihan. Saya harap ini akan segera selesai, karena Ibu Rasti sendiri tidak ingin masalah ini menjadi melebar dan menghabiskan banyak waktu untuk persidangan. Tidak ada yang perlu dipersulit dari proses perceraian ini." Hari melirik pada Raihan saat mengatakan itu, karena saat ini ia berhadapan
"Bapak sedang mencari seseorang?" "Tidak." Pria itu langsung berbalik, berjalan meninggalkan ruangan yang tengah ia intip. Suster mengendikkan bahu, menggeleng tak paham."Kenapa, Sus?" tanya Rasti. Ia melihat suster yang menjaganya selama 3 hari ini terlihat bingung saat masuk."Tidak apa-apa. Hanya saja saya lihat seorang pria selalu berdiri di balik ruangan ini. Ketika ditanya mau bertemu siapa, selalu jawab tidak dan langsung pergi. Padahal, setiap hari dia terpergok berada di sekitar sini," jelas suster."Seorang pria?" tanya Rasti lagi curiga."Tepatnya seorang bapak-bapak."Bu Mayang langsung berdiri saat mendengar itu. "Ibu mau kemana?" tanya Rasti khawatir."Ke depan sebentar. Tunggulah!" Rasti menyipitkan alis melihat ibunya yang berjalan cepat keluar."Apakah orangnya berkulit putih, hidung mancung dan memiliki gaya rambut dibelah pinggir?""Benar.""Ayah?" Rasti beringsut untuk turun dari ranjang. Ia mengkhawatirkan ibunya, bertemu dengan pria yang telah menyakitinya di
"Apa yang sedang bapak pikirkan?" Robbi melihat atasannya melamun sembari memainkan balpoin. Menganyunkan kursi kerjanya naik turun. Pria itu yakin atasannya benar-benar tengan melamun hingga tidak menyadari kedatangannya, padahal sudah mengetuk pintu berkali-kali."Pak." Tok! Tok! Robbi mengetuk meja di hadapan Raihan. Ia baru tersadar dan mengerutkan alis karena wajah Robbi mendongak dekat. "Mundur! Apa yang sedang kamu lihat?""Harusnya saya yang bertanya, Pak. Apa yang sedang bapak pikirkan hingga tidak menyadari saya masuk ruangan. Bagaimana kalau tiba-tiba ada penyusup datang, mengambil berkas-berkas berharga, dan---"Raihan keburu menutup mulut asistennya itu. "Orang pertama yang akan aku pecat saat itu terjadi adalah dirimu! Kamu tahu apa gunanya mejamu berada di samping ruanganku?""Eum ...." Robbi berpikir."Ish! Sudahlah! Aku akan menangkap sendiri penyelundupnya daripada menunggumu berpikir." Raihan kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dan memutarnya."Bapak, m
Raihan baru saja berganti pakaian setelah selesai mandi. Apartemennya cukup nyaman dan luas, jika hanya ditempati oleh pasangan suami istri dan satu anak. Ia memang membelinya saat masih single. Rasti bahkan belum sempat tahu. Sebenarnya satu sama lain diantara keduanya belum saling mengenal lebih jauh. Sebelum menikah, mereka hanya sempat pergi beberapa kali, sebelum memutuskan untuk mengakhiri hubungan tali kasih dengan ikatan pernikahan. Raihan pikir tidak punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan hanya bermain-main saja. Siapa sangka ia seperti terjebak dalam dilema, cinta semakin kuat saat gadis itu menjadi istrinya, rasanya ia masih belum bisa menerima jika harus kehilangan sekarang, di mana pucuk cintanya baru saja mekar dan tidak ada cacat pada wanita yang dicintainya itu.[Ada apa? Sudah aku bilang, aku tidak mau pergi denganmu!] tukas Raihan saat mengangkat panggilan dari asistennya. Setelah pulang kerja, mode mereka biasanya lebih seperti teman.[Saya tidak b
Pria berpakain hitam itu keluar dari tempatnya bersembunyi. Motornya melaju menapaki rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela bebatuan. Ia sangat jarang keluar saat terang, biasanya hanya ditemani pemilik malam. Siang ini, satu keberanian muncul, temannya bukan lagi rembulan yang sembunyi di balik awan, tapi matahari yang terang menantang.Sampai di depan rumah besar, ia berbelok dan menaikkan motornya, menyusuri samping pagar yang menjulang tinggi untuk menemui seseorang. Ia menaikkan satu kerikil kecil memberi kode. Biasanya ia harus menunggu beberapa waktu agar penghuni rumah itu merespons. Sayangnya, setelah berkali-kali menghubungi lewat ponsel pun tidak ada diangkat juga. Itu alasan kedua, kenapa pria itu berani muncul pada siang hari dengan identitas yang selama ini disembunyikan.*"Tidak ada satu orang pun yang menghargaiku di rumah ini." Pak Bagus menarik napas sesak. Bertahun-tahun, puluhan tahun tepatnya ia hanya hidup sendiri. Dijadikan alat untuk mencari uang demi memenu
"Ada kekacauan apa ini?" Bu Nawang mendengar keributan di kamar cucunya. Padahal ia baru saja tiba, suara itu sampai hingga pintu depan."Zaki marah, Bu," jawab Dara mengiba."Marah kenapa?""Mas Bagus menempatkannya sebagai OB di perusahaan.""Apa?""Itu dia, Bu. Zaki menunggu Ibu datang. Ia sangat malu karena banyak yang mengolok-oloknya. Kami malah jadi tontonan karyawan kantor. Orang-orang mengumpat kami di belakang."Mendengar suara neneknya di balik pintu Zaki berpikir sejenak. Ia mengambil serpihan benda dan melukai tangannya hingga mengalirkan darah merah. "Nenek!" Anak lelaki itu menghambur, menangis sejadinya. "Nenek akan berbicara dengan papamu," ujar Bu Nawang."Nenek. Zaki malu, Nek. Kenapa papa seperti itu, bukankah aku adalah pewarisnya?" Zaki menangis tersedu. Memeluk neneknya erat."Benar. Kamu adalah pewaris keluargaku. Semua kekayaanku akan turun padamu.""Aku akan menjalankan perusahaan dengan baik, Nek. Menyenangkan nenek dan menurut apapun pada keinginan, Nenek.
Rasti menjadi gundah gulana. Ia tak berhenti bolak balik di dalam tokonya, bak orang yang tengah sembelit dan sulit untuk keluar. Matanya tidak berhenti menatap jam dinding yang terasa bergerak cepat. Jam makan siang akan segera tiba, berkali-kali gadis itu merasa greget dan sangat ingin menghentikkan detik jarum jam agar berhenti saja, agar waktu makan siang itu tidak pernah ada. "Apa dia sengaja?" Rasti bergelut dengan pikirannya sendiri. Selain itu, hal yang membuatnya resah adalah Raihan tidak lagi menghubungi padahal jelas ia menutup panggilannya secara sepihak dan mengakhirinya dengan marah. "Mana ada lelaki peka. Dia malah senang 'kan? Siapa yang tidak suka makan siang ditemani gadis cantik dan berpenampilan menarik?" Rasti menjadi sangat geram saat ia mengingat pakaian pegawai kantoran yang memang biasa terlihat rapi."Bu! Bu!" Rasti mengetuk pintu. "Aku tutup dulu tokonya sebentar ya, Bu. Aku akan kembali setelah jam makan siang.""Ya." Hanya ada jawaban itu dari dalam sana.
Pak Bagus pergi dari rumahnya seperti biasa. Ia pamit untuk berangkat kerja namun berbelok di persimpangan untuk menemui teman yang sudah ia beritahu sebelumnya. Tidak terlalu jauh jaraknya hingga ia tidak perlu menghabiskan banyak waktu. Akhir-akhir ini, ibunya tahu kalau ia jarang pergi ke kantor karena mencari keberadaan Rasti dan Mayang. Setelah malam di mana Mayang datang dan mengatakan Rasti terluka, Bagus tahu kalau ibunya telah mengingkari janji mereka."Apa yang bisa saya lakukan, Pak?" Seorang lelaki berumur sedikit di bawahnya datang menghampiri. Bagus sudah sampai lebih dulu, ia menunggu di bawah jembatan besar, di mana jarang orang yang melihat keberadaan mereka dari atas sana. "Bagaimana dengan aset yang aku titipkan padamu?" tanya Pak Bagus tanpa menoleh. Pandangannya tetap tertuju pada aliran air sungai yang terlihat lebih surut."Aman, Pak. Perkebunan sawit sebentar lagi sudah bisa dipanen. Villa pun ramai pengunjung. Sapi-sapi yang di pelihara oleh para petani pun s
[Iya, Bu.][Aku sudah di depan rumah mertuamu. Kenapa tidak ada yang membuka pintu?][Apa? Ibu sudah berada di depan rumah?] Mata Raihan melotot menoleh pada Rasti yang bingung. "Ibu Widia ada di depan rumahmu?" bisiknya."Apa?"[Ibu tunggu, sebentar. Aku dan Rasti segera datang. Ibu Mayang mungkin sedang tidur, beliau kurang sehat.][Benarkah? Kalau begitu cepatlah!][Iya, Bu. Sebentar lagi Raihan sampai.]"Bagaimana ini, Mas?" Rasti mulai khawatir begitu pula Raihan. Pria itu menambah kecepatan laju mobilannya agar lebih cepat sampai."Ibu tidak memberitahuku kalau beliau akan datang.""Apa ibu tahu kalau kita---?"Raihan melihat kegugupan Rasti sebentar, lalu menggeleng. "Aku belum menceritakan apapun tentang pernikahan kita, karenanya ibu datang ke rumah."Rasti mengangguk paham. Namun, ia mengkhawatirkan keadaan ibunya. Tadi pagi, penyakitnya kembali kambuh, gadis itu khawatir ibunya semakin meracau."Aku takut ibu Mayang berlaku macam-macam pada Ibu Widia, Mas. Kalau ibu berpik
"Dia pikir dia akan menang!" Bu Nawang menghembuskan napasnya berkali-kali ia terlihat gelisah dan kepanasan. Menahan emosi yang meletup-letup tak karuan. "Perempuan itu memang duri, bahkan sudah puluhan tahun dia tetap jadi duri!" umpatnya lagi.[Hallo! Aku ingin kamu datang, besok pagi.] Nenek tua itu menghubungi seseorang. "Dia hanya wanita miskin. Mana bisa dia menyewa pengacara sehebat aku!" gumannya lagi dengan gelak tawa. Mengobati kekesalan dirinya sendiri. "Tidak sudi sepeserpun hartaku digunakan dan tertelan oleh mereka."Pak Bagus yang hendak menanyakan itu sudah mendengar secara langsung. Ia berdiri dan melihat semuanya. Apa yang dikatakan Rasti ternyata benar. Pria itu mengurungkan niatnya untuk masuk dan bertanya pada ibunya. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja. Ruangan paling nyaman di rumah besar itu, karena jarang ada orang yang datang untuk masuk. Ia lebih suka menghabiskan waktunya sendirian.Bagus duduk di kursi kerjanya. Bertahun-tahun lelaki itu menuruti
"Ibu minum dulu." Rasti membawakan ibunya segelas air. Wanita itu bangun dan duduk untuk menghabiskan segelas air minum yang dipegangnya saat ini. Energinya terkuras habis, suaranya pun serak karena terus menangis. Rasti pun menyiapkan potongan kue yang dibeli ibunya bersama Pak Salim, menyiapkannya ke dalam piring. Gadis itu menaburkan obat yang telah digerusnya menjadi bubuk kecil hingga tersamarkan. "Rasti tinggal dulu, sebentar." Gadis itu tengah beranjak saat tangan ibunya menggenggam. "Bagaimana kalau rumah ini benar-benar diambil Bu Nawang?" lirihnya lemah.Rasti membalas tatapan ibunya yang lemah, mengusap punggung telapak tanganya. "Kita tidak akan kehilangan apapun lagi, Bu. Rasti tidak akan membiarkan itu. Rasti akan mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hak ibu." Bola mata Bu Mayang melihat keberanian yang terpancar. Jarang sekali, putrinya menatap seperti itu, seperti ada ruh berbeda yang mengisinya kini."Istirahatlah! Jangan pikirkan apapun lagi. Ibu sudah cukup
Rasti mencoba mengenakan beberapa pakaian, entah apa yang ada dalam pikirannya, pagi ini. "Ini terlalu formal." Rasti menghempaskannya di atas ranjang. Ia kembali memilih, sebenarnya tidak banyak pilihan. Tapi, karena hatinya bingung antara harus berpenampilan bagus atau biasa saja."Bukankah ini akan terlihat aku sangat menantikan pertemuan ini?" Gadis itu kembali menggeleng di depan cermin. Melemparkannya kembali ke atas tumpukan baju yang lain."Begini lebih nyaman." Rasti memilih celana kulot dengan atasan berwarna putih. "Enggak Rasti! Raihan akan berpikir kalau kamu mendapat kesulitan setelah berpisah dengannya." Gadis itu putus asa. Ia merentangkan tubuhnya di atas pakaian yang berserakan di atas kasur."Sebaiknya aku batalkan saja pertemuan ini." Pikirannya buntu. Tatapan lemas menatap langit-langit kamar. Lalu, sebuah mobil terdengar masuk ke halaman. Rasti menengoknya. Taksi yang dipesan Raihan sudah sampai."Tunggu sebentar, Pak." Ia melambai dari jendela kamar saat pengem