"Bapak sedang mencari seseorang?" "Tidak." Pria itu langsung berbalik, berjalan meninggalkan ruangan yang tengah ia intip. Suster mengendikkan bahu, menggeleng tak paham."Kenapa, Sus?" tanya Rasti. Ia melihat suster yang menjaganya selama 3 hari ini terlihat bingung saat masuk."Tidak apa-apa. Hanya saja saya lihat seorang pria selalu berdiri di balik ruangan ini. Ketika ditanya mau bertemu siapa, selalu jawab tidak dan langsung pergi. Padahal, setiap hari dia terpergok berada di sekitar sini," jelas suster."Seorang pria?" tanya Rasti lagi curiga."Tepatnya seorang bapak-bapak."Bu Mayang langsung berdiri saat mendengar itu. "Ibu mau kemana?" tanya Rasti khawatir."Ke depan sebentar. Tunggulah!" Rasti menyipitkan alis melihat ibunya yang berjalan cepat keluar."Apakah orangnya berkulit putih, hidung mancung dan memiliki gaya rambut dibelah pinggir?""Benar.""Ayah?" Rasti beringsut untuk turun dari ranjang. Ia mengkhawatirkan ibunya, bertemu dengan pria yang telah menyakitinya di
"Apa yang sedang bapak pikirkan?" Robbi melihat atasannya melamun sembari memainkan balpoin. Menganyunkan kursi kerjanya naik turun. Pria itu yakin atasannya benar-benar tengan melamun hingga tidak menyadari kedatangannya, padahal sudah mengetuk pintu berkali-kali."Pak." Tok! Tok! Robbi mengetuk meja di hadapan Raihan. Ia baru tersadar dan mengerutkan alis karena wajah Robbi mendongak dekat. "Mundur! Apa yang sedang kamu lihat?""Harusnya saya yang bertanya, Pak. Apa yang sedang bapak pikirkan hingga tidak menyadari saya masuk ruangan. Bagaimana kalau tiba-tiba ada penyusup datang, mengambil berkas-berkas berharga, dan---"Raihan keburu menutup mulut asistennya itu. "Orang pertama yang akan aku pecat saat itu terjadi adalah dirimu! Kamu tahu apa gunanya mejamu berada di samping ruanganku?""Eum ...." Robbi berpikir."Ish! Sudahlah! Aku akan menangkap sendiri penyelundupnya daripada menunggumu berpikir." Raihan kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dan memutarnya."Bapak, m
Sinar matahari yang tadi begitu terik, perlahan redup. Rasti yang tengah beristirahat di dalam kamar, bangun untuk menutup gorden jendela. Ibunya tampak kelelahan dan masih belum bangun. Selain itu, perutnya terasa lapar. Pasti, tidak ada apa-apa di meja makan, hingga ia harus menyiapkan sendiri."Permisi." Rasti mengintip di balik jendela saat salam seseorang terdengar di luar pintu. Seorang pria berpakaian seragam, tampak seperti kurir. Namun, Rasti merasa tidak pernah memesan apapun."Apakah benar ini rumahnya Mbak Rasti?" tanya pria itu dengan senyum ramah ketika Rasti membukakan pintu."Benar. Saya Rasti.""Ini ada pesanan untuk, Mbak.""Saya tidak memesan apapun, Mas.""Orang lain yang memesan, Mbak. Mbak Rasti tinggal tanda tangan saja sebagai penerima." Gamang, Rasti membubuhkan parafnya di sana, saat kurir menyodorkannya."Terimakasih, Mbak. Selamat menikmati." Kurir itu kembali tersenyum sebelum pergi."Eeeh!" Rasti hendak memanggil. Ia ingin menanyakan siapa yang telah men
"Tidak salah lagi. Ini adalah motor dengan plat nomor yang sesuai." Setelah mengamati cukup lama dan menfokuskan matanya, Hendra memotret kendaraan tersebut dari balik pohon samping jalan raya. Langit yang masih gelap membantunya untuk tidak terlihat. Pria itu masih di sana, saat melihat pria berjalan dari arah samping rumah keluarga Jihan. Ia masih menelaah dan berpikir, setahunya tidak ada jalan samping karena rumah besar itu di kelilingi pagar yang cukup tinggi."Aku harus mendapatkan gambar pria itu." Hendra melangkah lebih dekat. Ia berusaha tetap bersembunyi karena merasa aura dari wajah pria itu menyeramkan. Ganas dan bringas."Aih!" Hendra memekik pelan saat ia terperosok karena tertipu rerumputan tebal yang diijaknya. Dikira datar ternyata berlubang. Breum! Pengendara motor itu melaju. Hendra membungkuk agar tidak terlihat. Selepas pria itu pergi, ia keluar dan memperhatikan hasil potretnya yang buram. Selain dari efek cahaya yang masih gelap, jarak yang terlalu jauh, juga k
Rasti mencoba mengenakan beberapa pakaian, entah apa yang ada dalam pikirannya, pagi ini. "Ini terlalu formal." Rasti menghempaskannya di atas ranjang. Ia kembali memilih, sebenarnya tidak banyak pilihan. Tapi, karena hatinya bingung antara harus berpenampilan bagus atau biasa saja."Bukankah ini akan terlihat aku sangat menantikan pertemuan ini?" Gadis itu kembali menggeleng di depan cermin. Melemparkannya kembali ke atas tumpukan baju yang lain."Begini lebih nyaman." Rasti memilih celana kulot dengan atasan berwarna putih. "Enggak Rasti! Raihan akan berpikir kalau kamu mendapat kesulitan setelah berpisah dengannya." Gadis itu putus asa. Ia merentangkan tubuhnya di atas pakaian yang berserakan di atas kasur."Sebaiknya aku batalkan saja pertemuan ini." Pikirannya buntu. Tatapan lemas menatap langit-langit kamar. Lalu, sebuah mobil terdengar masuk ke halaman. Rasti menengoknya. Taksi yang dipesan Raihan sudah sampai."Tunggu sebentar, Pak." Ia melambai dari jendela kamar saat pengem
"Ibu minum dulu." Rasti membawakan ibunya segelas air. Wanita itu bangun dan duduk untuk menghabiskan segelas air minum yang dipegangnya saat ini. Energinya terkuras habis, suaranya pun serak karena terus menangis. Rasti pun menyiapkan potongan kue yang dibeli ibunya bersama Pak Salim, menyiapkannya ke dalam piring. Gadis itu menaburkan obat yang telah digerusnya menjadi bubuk kecil hingga tersamarkan. "Rasti tinggal dulu, sebentar." Gadis itu tengah beranjak saat tangan ibunya menggenggam. "Bagaimana kalau rumah ini benar-benar diambil Bu Nawang?" lirihnya lemah.Rasti membalas tatapan ibunya yang lemah, mengusap punggung telapak tanganya. "Kita tidak akan kehilangan apapun lagi, Bu. Rasti tidak akan membiarkan itu. Rasti akan mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hak ibu." Bola mata Bu Mayang melihat keberanian yang terpancar. Jarang sekali, putrinya menatap seperti itu, seperti ada ruh berbeda yang mengisinya kini."Istirahatlah! Jangan pikirkan apapun lagi. Ibu sudah cukup
"Dia pikir dia akan menang!" Bu Nawang menghembuskan napasnya berkali-kali ia terlihat gelisah dan kepanasan. Menahan emosi yang meletup-letup tak karuan. "Perempuan itu memang duri, bahkan sudah puluhan tahun dia tetap jadi duri!" umpatnya lagi.[Hallo! Aku ingin kamu datang, besok pagi.] Nenek tua itu menghubungi seseorang. "Dia hanya wanita miskin. Mana bisa dia menyewa pengacara sehebat aku!" gumannya lagi dengan gelak tawa. Mengobati kekesalan dirinya sendiri. "Tidak sudi sepeserpun hartaku digunakan dan tertelan oleh mereka."Pak Bagus yang hendak menanyakan itu sudah mendengar secara langsung. Ia berdiri dan melihat semuanya. Apa yang dikatakan Rasti ternyata benar. Pria itu mengurungkan niatnya untuk masuk dan bertanya pada ibunya. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja. Ruangan paling nyaman di rumah besar itu, karena jarang ada orang yang datang untuk masuk. Ia lebih suka menghabiskan waktunya sendirian.Bagus duduk di kursi kerjanya. Bertahun-tahun lelaki itu menuruti
[Iya, Bu.][Aku sudah di depan rumah mertuamu. Kenapa tidak ada yang membuka pintu?][Apa? Ibu sudah berada di depan rumah?] Mata Raihan melotot menoleh pada Rasti yang bingung. "Ibu Widia ada di depan rumahmu?" bisiknya."Apa?"[Ibu tunggu, sebentar. Aku dan Rasti segera datang. Ibu Mayang mungkin sedang tidur, beliau kurang sehat.][Benarkah? Kalau begitu cepatlah!][Iya, Bu. Sebentar lagi Raihan sampai.]"Bagaimana ini, Mas?" Rasti mulai khawatir begitu pula Raihan. Pria itu menambah kecepatan laju mobilannya agar lebih cepat sampai."Ibu tidak memberitahuku kalau beliau akan datang.""Apa ibu tahu kalau kita---?"Raihan melihat kegugupan Rasti sebentar, lalu menggeleng. "Aku belum menceritakan apapun tentang pernikahan kita, karenanya ibu datang ke rumah."Rasti mengangguk paham. Namun, ia mengkhawatirkan keadaan ibunya. Tadi pagi, penyakitnya kembali kambuh, gadis itu khawatir ibunya semakin meracau."Aku takut ibu Mayang berlaku macam-macam pada Ibu Widia, Mas. Kalau ibu berpik
"Bagaimana?" Bu Nawang menyambut antusias kedatangan putranya yang baru pulang dari Bali. Ia sudah tahu kalau Bagus akan melamar Mayang lagi di sana untuk menjadikannya istri."Di tolak, Bu.""Apa? Ditolak? Si Mayang menolak anak ibu yang kaya raya ini?" Wanita tua itu tidak terima. "Apa dia sudah gila, beraninya menolak anakku? Si Mayang harus tahu banyak mengantri untuk menjadi istrimu, Bagus."Pak Bagus berjalan gontai menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Setelah mendengar penolakan kejam itu, Pak Bagus tidak lagi berani dekat-dekat dengan Mayang, ia insicure pada dirinya sendiri."Apa alasan dia menolakmu? Apa dia meminta agar semua hartamu di alihkan atas namanya?" Bu Nawang masih tidak percaya ada yang menolak keinginannya."Mayang bilang, Bagus bukan lagi tipe pria idamannya, Bu.""Dia tidak suka sama pria gendut, perut buncit dan berleher pendek ini." Pak Bagus melanjutkan dengan nelangsa."Apa? Dia berani mengatakan itu pada anak semata wayangku?" Bu Nawang mulai mem
"Hanya 2 tas saja, Bu. Nggak bisa lebih!" Rasti sudah mewanti-wanti ibunya untuk tidak membawa banyak barang, seperti saat mereka pergi ke kampung Raihan, sebelumnya."Iya. Kamu udah bilang 4 kali sama ibu, Rasti," jawab Bu Mayang tidak menoleh. Ia terlalu sibuk dengan packingan bajunya. Menyiasati bagaimana cara semua barang bawaannya masuk ke dalam 2 tas seperti yang dikatakan putrinya itu."Ini, dia pasti butuh dan lupa membawanya. Ini juga harus aku bawa, Bu Widia akan marah besar, jika aku tidak membawanya." Wanita itu berpikir untuk memasukkannya pada kemasan yang lebih kecil. Hingga pukul 23.00 wanita itu masih sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa pergi.Di rumahnya sudah sepi, suara Raihan dan Rasti pun tidak lagi terdengar. "Apa mereka udah tidur?" Bu Mayang menyelinap ke bawah kursi ruang tamunya. Perlahan ia berjongkok dan memicingkan sebelah mata. Mengintip dari lubang kancing yang menembus ke kamar anak menantunya."Arg!" Bu Mayang terkaget sampat terbentur kursi
Rasti masuk ke dalam ruangan persidangan sesaat sebelum sidang di mulai. Raihan sudah duduk di sana bersama pengacaranya. Ia menoleh pada gadis itu yang hanya menunduk sambil berjalan hingga sampai ke tempat duduknya.Hakim memasuki ruangan sidang. Berkas perkara mulai dibacakan. Berkas tuntutan dari Rasti kosong. Ia tidak menuliskan apapun. Di matanya tidak ada kekurangan untuk suaminya itu.Rasti diminta untuk berdiri dan menjelaskan perasaannya secara langsung. Ia diberi kesempatan oleh hakim untuk mengungkapkan sendiri alasan dari penuntutannya. "Raihan adalah pria yang sangat baik. Itu alasan kenapa saya tidak menuliskan satu pun kekurangannya. Tapi, ada sesuatu yang tidak bisa saya ungkapkan pada halayak ramai mengenai gugatan perceraian ini. Saya dan Raihan sama-sama tahu alasannya. Saya sungguh minta, maaf," ucap Rasti menunduk. Tubuhnya terasa bergetar, ia bahkan meneteskan air mata di sana. Raihan yang tahu beratnya perasaan istrinya saat ini, sontak berdiri. Berkali-kali,
Pak Bagus duduk di samping ranjang ibunya. Ia tidak ingin kecolongan lagi, mungkin saja orang itu kembali. Sejak kejadian tadi malam, ia bahkan tidak bisa memejamkan mata. Menatap wajah ibunya yang sudah menua. Wanita di hadapannya bukanlah ibu yang sempurna, tapi apa yang dilakukannya adalah sebuah cara siaga untuk melindungi diri dan anaknya. Setelah melihat fakta sesungguhnya, mungkin puluhan tahun ini, apa yang ibunya lakukan tidak semua atas kehendaknya sendiri."Bu." Bagus menggenggam tangan ibunya. Ia mengelusnya sembari mengenang masa-masa yang telah lalu. Ibunya memang berwatak keras, tapi di mata Pak Bagus tidak ada orang sebaik ibunya, seburuk apapun wanita itu memperlakukannya. Ia bisa hidup hingga saat ini semua karena jasa-jasanya yang tidak akan mungkin terbalas. Apalagi mereka hidup berdua sejak dulu. Melihat ibunya kerja keras untuk menghidupinya, Pak Bagus tidak pernah melihat wajah ayahnya sendiri, hingga kini."Bangunlah, Bu. Kita masih bisa memperbaiki keadaan ini
"Argh! Sial!" Dara menumpahkan emosinya. Ia tahu pengacara itu mengkhianatinya."Pecat Haikal, sekarang! Jadikan, dia gelandangan!" pekiknya lagi saat Zaki mengunjunginya. Kemudian, menceritakan kalau pengacara yang datang kemarin adalah pengacara ayahnya. "Anak bodoh! Kamu memang tol*l!"Zaki hanya diam saat dimaki ibunya, ia menyadari kebodohannya."Lalu, bagaimana dengan nenek tua itu. Apakah dia sudah mati?"Zaki masih diam. Mata Dara bergerak mengintai."Bukankah kamu telah menghabiskan waktu dengan sia-sia, Zaki?" tanyanya emosi.Anak lelaki itu sudah kecanduan. Minumannya adalah alkohol, dan ia tidak bisa melepaskan game online di tangannya. Zaki lupa akan tugas-tugasnya dari sang ibu."Benar-benar, kamu!" Dara menendang meja di depannya, pemisah antara mereka. Zaki sampai berdiri kaget. "Cari pengacara lain, sekarang! Aku harus keluar dari sini!"Zaki segera pergi. Ia yang tidak punya relasi dan hanya menghabiskan hidupnya untuk dunia game, bingung. Uangnya yang banyak itu, ti
Raihan dan Rasti pulang ke rumah, malam hari. Bu Mayang tidak banyak bertanya tentang kedatangan mereka yang terlambat. Ia seperti lelah setelah perjalanan jauh. Rasti mendapati ibunya dengan mata mengantuk dan langsung kembali ke kamar setelah membuka pintu."Ibu, sudah tidur lagi," ucap pelan Rasti sembari menutup kembali pintu kamar ibunya yang ia baru saja dibuka. Memastikan.Raihan mengangguk. Mereka duduk sebentar di meja tamu. Rasti mengambil air minum untuk suaminya itu. Pria itu seperti ingin menyampaikan sesuatu."Sidang perceraian kita akan digelar, 6 hari lagi." Raihan mulai membuka pembicaraan. Suaranya kecil dan nyaris hilang. Ia sama sekali tidak ingin duduk di depan meja hijau itu.Rasti terdiam. Sebenarnya, ia selalu mengingat hari itu, di setiap detiknya. Apalagi setelah masa-masa kebahagiaan bersama Raihan dan keluarganya. Wanita mana yang ingin melepaskan keberuntungan itu?"Aku ingin kamu mempertimbangkannya kembali, Rasti. Kita bisa hadapi masalah ibu sama-sama."
Raihan dan Rasti sampai tidak lama setelah dihubungi ayahnya. Jaraknya saat itu memang tidak terlalu jauh."Rasti!" panggil Pak Bagus. Rupanya pria itu pun baru saja sampai ke Rumah Sakit."Ada apa, yah?" tanya Raihan saat Rasti hanya menengok saat namanya dipanggil, namun tidak mengucapkan satu kata pun.Pak Bagus menceritakan semua yang dikatakan oleh suster melalui telepon, sebelumnya. Rasti mendengarkan dengan seksama."Aku tidak tahu apa golongan darahku sendiri," jawab Rasti. Ia bahkan tidak pernah memikirkan itu. Ibunya pun belum pernah membawanya ke fasilitas kesehatan untuk memeriksa."Kalau begitu kita bisa cek dulu," ucap Raihan, menatap, meyakinkan persetujuan dari Rasti. Ia tidak ingin istrinya itu merasa terpaksa. Kalaupun Rasti tidak mau, ia akan tetap mendukung dan membelanya dari ayah mertua. "Kamu bersedia?" tanya Raihan memastikan.Pak Bagus pun tidak memaksa, ia paham betul perasaan Rasti saat ini. Siapa yang tidak akan berpikir, jika berada di posisi Rasti?"Ya."
Haris tidak punya waktu untuk kembali dan mencari penutup wajahnya. Ia tahu betul dua orang tadi mencarinya. Ia harus pergi sejauh mungkin, sekarang. Bersembunyi untuk sementara.Motornya kembali dipacu, ia menarik maksimal stang gas. meninggalkan kekecewaannya terhadap wanita yang dicintai. Mata petugas polisi lalu lintas langsung tertuju, menghubungi teman-temannya dan mengejar, mengepung.Mata Haris menoleh, "Sial!" Ia menyadari kalau dirinya dikejar. Matanya tak lagi sempat melirik kanan kiri, ia hanya fokus memacu kendaraannya ke depan. Kondisi tubuhnya belum benar-benar sehat, tapi ia tidak hiraukan itu. Lolos dan bebas, hanya itu yang ada di pikirannya.Mata Haris melotot, pasukan polisi sudah bersiap menjegal di depan sana. Berkeliling, mengepung. Bersiap melepaskan tembakan saat dia menyerobot garda terdepan. "Berhenti! Serahkan dirimu secara baik-baik!" Suara petugas terdengar menggema dari pengeras suara. Tapi, Haris tidak bisa berhenti. Ia tidak akan mungkin bisa lepas se
"Pak, Mas Haris sudah siuman. Mela memanggil bapaknya yang tengah duduk di luar ruangan. "Apa?""Mas Haris siuman." "Benarkah?" Keduanya langsung masuk, Haris yang tertidur selama dua hari setelah mengalami panas tinggi akhirnya membuka mata."Syukurlah, Nak. Kamu sudah siuman." Pria tua itu mendekati Haris dan melihatnya dengan senang.Haris melihat satu persatu dari dua orang asing yang pertama ia lihat setelah siuman. Dan, ini yang kedua kalinya ia hampir kehilangan nyawa, dua orang itu masih setia menemani.Mata Haris menyapu sekeliling, ruangan putih bersih dan harum. Berbeda dengan ruangan pertama saat ia terbangun, sebuah langit-langit yang rendah dengan dinding kayu yang cukup dekat dengan tubuhnya. "Di mana ini?" tanyanya lemah."Di Rumah Sakit, Nak.""Rumah Sakit?" Haris sontak bangun."Tenanglah! Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, perawatanmu sudah dibayar oleh seseorang. Kamu mendapatkan pengobatan yang sangat bagus hingga lukamu begitu cepat pulih." Jelas bapak tu