Share

Hadiah dari Ibu 2

"Mas, tidak berbohong?" Suara Rasti gamang. Sebenarnya ia begitu takut dengan pikirannya sendiri.

"Mana mungkin Mas berani berbohong, Sayang." Raihan segera menghampiri dan mengambil alih hadiah itu. "Memang ada-ada saja si Robbi, Mas sampai malu sendiri melihatnya hingga disembunyikan di sana biar kamu tidak usah lihat."

"Ya." Rasti menjawab dingin. Ia keluar kamar dan membiarkan suaminya berganti pakaian.

Rasti bolak balik di teras rumah, padahal matahari sudah terbenam dan langit menjadi gelap.

Rasanya ia tidak bisa memendam perasaan yang kini menghantuinya.

Rasti menghubungi Pak Salim, kebetulan ia memiliki kontak ponselnya karena memang pria itu adalah konsumen setia mereka dari dulu.

[Rasti. Tumben sekali. Ada apa?] Pak Salim menjawab dengan nada ceria. Barangkali ia berharap ada kabar gembira tentang wanita pujaannya setelah beberapa kali mendapat sinyal bagus.

[Eum ...] Ragu sekali Rasti menanyakannya. [Hadiah itu?]

[Hadiah?] tanya Pak Salim.

[Hadiah dari ibu.]

[Oh, ya. Apa Bu Mayang meminta Rasti untuk memberikannya?]

[Sebelumnya, Rasti ingin menanyakan isinya. Kata Pak Salim sebelumnya hadiah itu berisi celana pria?] Suara Rasti melemah.

[Oh, ya. Benar.]

[Apa itu seperti celana dalam?] Rasti berhati-hati, ia malu menanyakan itu.

[Hahaha! Saya lihat mirip seperti itu.] Pak Salim tertawa geli. Ia pun tidak berpikir akan mendapatkan hadiah pertamanya sebuah celana dalam, mungkin karena harganya lebih murah.

Rasti langsung menutup panggilan dan mencari kotak hadiah itu.

"Di mana, Mas?"

"Apa, Sayang?"

"Hadiah itu!"

"Untuk apa?"

"Katakan saja!" Raihan sudah mengendus hal yang tidak baik dari cara Rasti mencarinya dan nada suara yang meninggi.

"Mas simpan di laci."

Brank! Laci itu terbuka dan tertutup dengan cepat. Rasti langsung berjalan dengan emosi yang menggebu-gebu, mengetuk pintu kamar ibunya.

"Ya."

"Apa itu?" Rasti menjatuhkan hadiahnya di atas kasur hingga tutupnya terbuka.

Bu Mayang melirik pada Raihan yang juga menyusul di belakang.

"Kamu tahu?"

"Apa yang sebenarnya ingin ibu lakukan?" Mata gadis itu menatap nyalang. Menuduh dengan tatapan sinis.

"Ti-tidak ada. Ibu hanya ingin memberikannya pada menantu ibu."

"Apa tidak ada hadiah yang lebih baik selain itu?" Rasti masih tetap menghakimi. Raihan memegang kedua lengannya dari belakang, meminta Rasti untuk tenang.

"Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Sayang," lirihnya pada Rasti.

"Apa yang bisa dibicarakan, Mas?" Rasti menoleh. "Apa kamu kira aku masih bisa berpikir positif setelah semua ini? Semua keganjilan ini terlalu mencolok." Rasti meremas kepalanya yang sakit.

"Apa jangan-jangan kalian?"

"Tidak!" Raihan langsung menggeleng cepat. "Mari kita bicarakan ini di luar."

Raihan tahu istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ia memapah gadis itu untuk keluar dan duduk di ruang tengah. Tidak berapa lama Bu Mayang ikut duduk menghadap keduanya. Menantu dan putrinya hanya diam. Bu Mayang tahu ia yang harus berbicara, sekarang.

"Ibu hanya melihatnya dan berpikir itu bagus untuk hubungan malam kalian. Tidak ada apa-apa selain itu," jelas Bu Mayang.

"Itu tidak perlu, Bu."

"Iya, maaf, Rasti. Ibu hanya berpikir kamu akan senang saat Raihan mengenakannya." Wajah wanita itu tertunduk lesu.

"Sudah." Raihan mengusap lembut puhu tangan Rasti.

Wanita itu berdiri dan meninggalkan anak menantunya. Ia masih tertunduk lemah saat masuk ke dalam kamar. Rasti melenguh serba salah. Entah harus bagaimana sikapnya menyikapi semua hal ini. Sesuatu yang dianggap ibunya biasa justru membuat gadis itu tidak nyaman.

"Ibu hanya terlalu menyayangi kamu," ujar Raihan lagi.

"Tapi, ini tidak normal, Mas."

"Ya, memang tidak biasa. Tapi, jangan terlalu keras pada ibu. Kasian, apa kamu pernah melihat beban yang ditanggungnya begitu berat?" Malam itu Raihan mendengar tangisan mertuanya lebih menyayat dan menyedihkan.

"Tidak! Bukan berarti Mas membenarkan perilaku ibu. Hanya saja jangan terlalu keras padanya. Kamu percaya pada Mas. Diantara kami tidak pernah terjadi apapun."

Rasti menoleh pada pria di sampingnya saat ini, menatap penuh selidik. "Bukankah terlalu mudah untukku percaya setelah banyak bukti?"

"Kamu mencurigaiku?"

"Seharusnya memang seperti itu, bukan?"

"Rasti?!" Mata Raihan melebar.

Rasti bangkit. "Rasanya seperti terlalu bodoh, jika aku harus tidak menaruh curiga."

"Kamu mencurigai ibumu sendiri?"

"Orang pertama yang harus aku curigai adalah kamu, jika memang benar ini terjadi. Seperti katamu, Ibu adalah wanita yang telah melahirkan dan membersamaiku selama ini. Terlalu banyak beban dan tekanan untuknya. Jika pun ia berubah itu artinya ada pihak lain yang sangat kuat mempengaruhinya."

Alis Raihan berkerut, apa yang dimaksud oleh Rasti itu berarti ia mencurigai dirinya?

Brugh! Pintu kamarnya terkunci dari dalam. Raihan melongo bingung karena ia yang kini menjadi kambing hitam dari semua masalah yang bahkan tidak dimengerti olehnya.

Raihan terpaksa pergi dengan mobilnya. Berada di dalam rumah itu sendirian membuatnya serasa orang asing.

Rasti mendengar suara mesin mobil suaminya meninggalkan halaman rumah. Ia sungguh ingin menghentikan kepergiannya, namun rasa cemburu dan marah menjadi satu. Tidak ada pilihan untuk menahan tidak pergi, berperang dengan pikiran sendiri membuat gadis itu kelabakan. Ia bahkan harus menekan rasa marah pada ibunya dan tetap memperlakukannya dengan baik.

Malam berlalu, jarum jam terus bergerak ke kanan, Raihan masih belum pulang, padahal Rasti sengaja tidak mengunci pintu rumah agar saat kembali dia bisa masuk sendiri. Hati Rasti gelisah, mengingat pernikahannya baru saja seumur jamur, bagaimana mungkin harus kandas begitu saja. Belum lagi pandangan orang-orang terhadap keluarganya, nanti. Hati dan kepala gadis itu terasa pecah memikirkannya.

Pagi menjelang, Raihan belum kunjung pulang. Ia masih menggunakan pakaian santai, bagaimana bisa pergi bekerja? Rasti semakin gelisah. Ibunya pun belum terlihat keluar dari kamar. Rasti masih tidak sanggup menekan egonya sampai harus mengetuk pintu itu dan meminta ibunya untuk keluar, membersihkan diri dan sarapan. Belum lagi toko kue milik mereka tidak dibuka sejak kemarin, bisa jadi banyak kue yang basi dan harus menanggung rugi. Rasti semakin serba salah.

Terpaksa Rasti harus menunggu ibunya keluar dari kamar. Ibunya mungkin bisa menahan diri untuk tidak makan dan minum barang sehari, tapi untuk buang air kecil apalagi hajat besar mana bisa ditolerir. Dan dugaan Rasti benar, wanita yang menjadi ibunya itu keluar setelah pukul 09.00.

Rasti yang mengintip sejak tadi segera masuk untuk mengambil kunci. Ia tetap memikirkan banyak hal, meski hati dan perasaannya sedang tidak baik-baik saja.

Gadis itu membuka toko kue mereka, sosok sang ayah menjadi penguat hatinya saat ini. Toko peninggalan itu jangan sampai gulung tikar dan tutup, apalagi hanya itu lah tempat mereka mengais rezeki.

"Di mana Bu Mayang?" Pak Salim menjadi pelanggan pertama Rasti hari ini. Ia tidak banyak membuat kue hanya beberapa saja yang dikuasainya, sisanya menjual yang sudah tersedia di dalam display.

"Ibu---ibu sedang tidak enak badan, Pak."

"Oh, ya. Kalau begitu bungkuskan aku kue ini." Pria itu menunjuk satu kue berukuran sedang. "Aku akan menjenguknya."

Rasti hanya tersenyum kecil, ada baiknya memang ibunya bertemu dengan orang lain, mungkin saja ia bisa sedikit menenangkan pikiran dan perasaannya, gadis itu mengangguk setuju.

Pak Salim bergegas dengan senang karena selain mendapat lampu hijau dari sang dambaan hati juga dari putri semata wayangnya, sikap Rasti menunjukkan sebuah support.

Rasti mengecek ponsel dan hatinya sangat berharap kalau Raihan menghubungi. Cinta yang dalam pada laki-laki itu membuat marahnya begitu cepat pergi, belum lagi jika harus memikirkan pernikahannya, menurunkan sedikit ego mungkin akan membuat pernikahan dan keluarganya selamat.

"Mas Raihan?" Mata Rasti berbinar senang, namun ia tetap menjaga nada suaranya.

[Sayang, kamu dimana?] tanya pria itu.

[Di toko.]

[Maaf, aku tidak pulang.]

Sunyi. Rasti masih menjaga gengsinya.

[Sayang bagaimana kalau kita pergi berlibur berdua? Barangkali salah paham diantara kita bisa diatasi.]

Rasti masih tidak menanggapi, suara darinya tetap sunyi.

[Tidak apa-apa, jika kamu tidak mau. Ini memang ide Robbi. Sudah aku katakan kamu tidak mungkin setuju dengan ide dan meninggalkan ibu sendiri,] tukas Raihan menyela ucapannya sendiri.

[Aku mau.]

[Ya?]

[Aku mau pergi liburan.]

[Sungguh. Ini adalah berita yang bagus. Mas akan mengatur jadwal.]

[Ya.]

*

Raihan mematikan panggilan menurunkan ponselnya pelan. "Bagaimana, Pak. Apakah istri Anda setuju?" Robbi masih menunggu, sebagai pemberi ide ia harus memastikan rencananya berhasil.

"Dia mau."

"Benarkah? Itu adalah cara yang jitu untuk mendamaikan dua sejoli yang sedang renggang." Robbi menepuk dadanya bangga.

"Aku tidak yakin. Kamu harus bertanggung jawab sampai rencana ini tidak berbuntut rusuh!" Raihan memang masih ragu, Rasti sangat berat terhadap ibunya. Pergi berdua tanpa ibunya seperti hal yang mustahil.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status