"Mas, tidak berbohong?" Suara Rasti gamang. Sebenarnya ia begitu takut dengan pikirannya sendiri.
"Mana mungkin Mas berani berbohong, Sayang." Raihan segera menghampiri dan mengambil alih hadiah itu. "Memang ada-ada saja si Robbi, Mas sampai malu sendiri melihatnya hingga disembunyikan di sana biar kamu tidak usah lihat." "Ya." Rasti menjawab dingin. Ia keluar kamar dan membiarkan suaminya berganti pakaian. Rasti bolak balik di teras rumah, padahal matahari sudah terbenam dan langit menjadi gelap. Rasanya ia tidak bisa memendam perasaan yang kini menghantuinya. Rasti menghubungi Pak Salim, kebetulan ia memiliki kontak ponselnya karena memang pria itu adalah konsumen setia mereka dari dulu. [Rasti. Tumben sekali. Ada apa?] Pak Salim menjawab dengan nada ceria. Barangkali ia berharap ada kabar gembira tentang wanita pujaannya setelah beberapa kali mendapat sinyal bagus. [Eum ...] Ragu sekali Rasti menanyakannya. [Hadiah itu?] [Hadiah?] tanya Pak Salim. [Hadiah dari ibu.] [Oh, ya. Apa Bu Mayang meminta Rasti untuk memberikannya?] [Sebelumnya, Rasti ingin menanyakan isinya. Kata Pak Salim sebelumnya hadiah itu berisi celana pria?] Suara Rasti melemah. [Oh, ya. Benar.] [Apa itu seperti celana dalam?] Rasti berhati-hati, ia malu menanyakan itu. [Hahaha! Saya lihat mirip seperti itu.] Pak Salim tertawa geli. Ia pun tidak berpikir akan mendapatkan hadiah pertamanya sebuah celana dalam, mungkin karena harganya lebih murah. Rasti langsung menutup panggilan dan mencari kotak hadiah itu. "Di mana, Mas?" "Apa, Sayang?" "Hadiah itu!" "Untuk apa?" "Katakan saja!" Raihan sudah mengendus hal yang tidak baik dari cara Rasti mencarinya dan nada suara yang meninggi. "Mas simpan di laci." Brank! Laci itu terbuka dan tertutup dengan cepat. Rasti langsung berjalan dengan emosi yang menggebu-gebu, mengetuk pintu kamar ibunya. "Ya." "Apa itu?" Rasti menjatuhkan hadiahnya di atas kasur hingga tutupnya terbuka. Bu Mayang melirik pada Raihan yang juga menyusul di belakang. "Kamu tahu?" "Apa yang sebenarnya ingin ibu lakukan?" Mata gadis itu menatap nyalang. Menuduh dengan tatapan sinis. "Ti-tidak ada. Ibu hanya ingin memberikannya pada menantu ibu." "Apa tidak ada hadiah yang lebih baik selain itu?" Rasti masih tetap menghakimi. Raihan memegang kedua lengannya dari belakang, meminta Rasti untuk tenang. "Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Sayang," lirihnya pada Rasti. "Apa yang bisa dibicarakan, Mas?" Rasti menoleh. "Apa kamu kira aku masih bisa berpikir positif setelah semua ini? Semua keganjilan ini terlalu mencolok." Rasti meremas kepalanya yang sakit. "Apa jangan-jangan kalian?" "Tidak!" Raihan langsung menggeleng cepat. "Mari kita bicarakan ini di luar." Raihan tahu istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ia memapah gadis itu untuk keluar dan duduk di ruang tengah. Tidak berapa lama Bu Mayang ikut duduk menghadap keduanya. Menantu dan putrinya hanya diam. Bu Mayang tahu ia yang harus berbicara, sekarang. "Ibu hanya melihatnya dan berpikir itu bagus untuk hubungan malam kalian. Tidak ada apa-apa selain itu," jelas Bu Mayang. "Itu tidak perlu, Bu." "Iya, maaf, Rasti. Ibu hanya berpikir kamu akan senang saat Raihan mengenakannya." Wajah wanita itu tertunduk lesu. "Sudah." Raihan mengusap lembut puhu tangan Rasti. Wanita itu berdiri dan meninggalkan anak menantunya. Ia masih tertunduk lemah saat masuk ke dalam kamar. Rasti melenguh serba salah. Entah harus bagaimana sikapnya menyikapi semua hal ini. Sesuatu yang dianggap ibunya biasa justru membuat gadis itu tidak nyaman. "Ibu hanya terlalu menyayangi kamu," ujar Raihan lagi. "Tapi, ini tidak normal, Mas." "Ya, memang tidak biasa. Tapi, jangan terlalu keras pada ibu. Kasian, apa kamu pernah melihat beban yang ditanggungnya begitu berat?" Malam itu Raihan mendengar tangisan mertuanya lebih menyayat dan menyedihkan. "Tidak! Bukan berarti Mas membenarkan perilaku ibu. Hanya saja jangan terlalu keras padanya. Kamu percaya pada Mas. Diantara kami tidak pernah terjadi apapun." Rasti menoleh pada pria di sampingnya saat ini, menatap penuh selidik. "Bukankah terlalu mudah untukku percaya setelah banyak bukti?" "Kamu mencurigaiku?" "Seharusnya memang seperti itu, bukan?" "Rasti?!" Mata Raihan melebar. Rasti bangkit. "Rasanya seperti terlalu bodoh, jika aku harus tidak menaruh curiga." "Kamu mencurigai ibumu sendiri?" "Orang pertama yang harus aku curigai adalah kamu, jika memang benar ini terjadi. Seperti katamu, Ibu adalah wanita yang telah melahirkan dan membersamaiku selama ini. Terlalu banyak beban dan tekanan untuknya. Jika pun ia berubah itu artinya ada pihak lain yang sangat kuat mempengaruhinya." Alis Raihan berkerut, apa yang dimaksud oleh Rasti itu berarti ia mencurigai dirinya? Brugh! Pintu kamarnya terkunci dari dalam. Raihan melongo bingung karena ia yang kini menjadi kambing hitam dari semua masalah yang bahkan tidak dimengerti olehnya. Raihan terpaksa pergi dengan mobilnya. Berada di dalam rumah itu sendirian membuatnya serasa orang asing. Rasti mendengar suara mesin mobil suaminya meninggalkan halaman rumah. Ia sungguh ingin menghentikan kepergiannya, namun rasa cemburu dan marah menjadi satu. Tidak ada pilihan untuk menahan tidak pergi, berperang dengan pikiran sendiri membuat gadis itu kelabakan. Ia bahkan harus menekan rasa marah pada ibunya dan tetap memperlakukannya dengan baik. Malam berlalu, jarum jam terus bergerak ke kanan, Raihan masih belum pulang, padahal Rasti sengaja tidak mengunci pintu rumah agar saat kembali dia bisa masuk sendiri. Hati Rasti gelisah, mengingat pernikahannya baru saja seumur jamur, bagaimana mungkin harus kandas begitu saja. Belum lagi pandangan orang-orang terhadap keluarganya, nanti. Hati dan kepala gadis itu terasa pecah memikirkannya. Pagi menjelang, Raihan belum kunjung pulang. Ia masih menggunakan pakaian santai, bagaimana bisa pergi bekerja? Rasti semakin gelisah. Ibunya pun belum terlihat keluar dari kamar. Rasti masih tidak sanggup menekan egonya sampai harus mengetuk pintu itu dan meminta ibunya untuk keluar, membersihkan diri dan sarapan. Belum lagi toko kue milik mereka tidak dibuka sejak kemarin, bisa jadi banyak kue yang basi dan harus menanggung rugi. Rasti semakin serba salah. Terpaksa Rasti harus menunggu ibunya keluar dari kamar. Ibunya mungkin bisa menahan diri untuk tidak makan dan minum barang sehari, tapi untuk buang air kecil apalagi hajat besar mana bisa ditolerir. Dan dugaan Rasti benar, wanita yang menjadi ibunya itu keluar setelah pukul 09.00. Rasti yang mengintip sejak tadi segera masuk untuk mengambil kunci. Ia tetap memikirkan banyak hal, meski hati dan perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu membuka toko kue mereka, sosok sang ayah menjadi penguat hatinya saat ini. Toko peninggalan itu jangan sampai gulung tikar dan tutup, apalagi hanya itu lah tempat mereka mengais rezeki. "Di mana Bu Mayang?" Pak Salim menjadi pelanggan pertama Rasti hari ini. Ia tidak banyak membuat kue hanya beberapa saja yang dikuasainya, sisanya menjual yang sudah tersedia di dalam display. "Ibu---ibu sedang tidak enak badan, Pak." "Oh, ya. Kalau begitu bungkuskan aku kue ini." Pria itu menunjuk satu kue berukuran sedang. "Aku akan menjenguknya." Rasti hanya tersenyum kecil, ada baiknya memang ibunya bertemu dengan orang lain, mungkin saja ia bisa sedikit menenangkan pikiran dan perasaannya, gadis itu mengangguk setuju. Pak Salim bergegas dengan senang karena selain mendapat lampu hijau dari sang dambaan hati juga dari putri semata wayangnya, sikap Rasti menunjukkan sebuah support. Rasti mengecek ponsel dan hatinya sangat berharap kalau Raihan menghubungi. Cinta yang dalam pada laki-laki itu membuat marahnya begitu cepat pergi, belum lagi jika harus memikirkan pernikahannya, menurunkan sedikit ego mungkin akan membuat pernikahan dan keluarganya selamat. "Mas Raihan?" Mata Rasti berbinar senang, namun ia tetap menjaga nada suaranya. [Sayang, kamu dimana?] tanya pria itu. [Di toko.] [Maaf, aku tidak pulang.] Sunyi. Rasti masih menjaga gengsinya. [Sayang bagaimana kalau kita pergi berlibur berdua? Barangkali salah paham diantara kita bisa diatasi.] Rasti masih tidak menanggapi, suara darinya tetap sunyi. [Tidak apa-apa, jika kamu tidak mau. Ini memang ide Robbi. Sudah aku katakan kamu tidak mungkin setuju dengan ide dan meninggalkan ibu sendiri,] tukas Raihan menyela ucapannya sendiri. [Aku mau.] [Ya?] [Aku mau pergi liburan.] [Sungguh. Ini adalah berita yang bagus. Mas akan mengatur jadwal.] [Ya.] * Raihan mematikan panggilan menurunkan ponselnya pelan. "Bagaimana, Pak. Apakah istri Anda setuju?" Robbi masih menunggu, sebagai pemberi ide ia harus memastikan rencananya berhasil. "Dia mau." "Benarkah? Itu adalah cara yang jitu untuk mendamaikan dua sejoli yang sedang renggang." Robbi menepuk dadanya bangga. "Aku tidak yakin. Kamu harus bertanggung jawab sampai rencana ini tidak berbuntut rusuh!" Raihan memang masih ragu, Rasti sangat berat terhadap ibunya. Pergi berdua tanpa ibunya seperti hal yang mustahil. Bersambung ....Rasti setuju akan rencana suaminya untuk membawanya pergi berlibur. Sejak menikah memang tidak ada waktu berdua, hari-hari bahagianya bahkan nyaris kandas karena masalah yang timbul dari sang ibu."Apa sudah izin ibu?" Raihan bertanya sesaat sebelum berangkat. Keduanya sudah berada di dalam mobil. Rasti menggeleng, ibunya masih belum keluar dari kamar. Toko sudah disterilkan oleh gadis itu. Menggunakan strategi diskon untuk menghabiskan stok kue dan itu berhasil. Ia bahkan pulang lebih awal untuk menyiapkan pakaian. Raihan meminta sore ini langsung berangkat, hanya menginap di hotel terdekat sebelum pergi jalan-jalan ke luar kota. Mengurai ketegangan saja."Ibu tidak keluar dari kamarnya. Dan---" Rasti menggigit bibir. Sejak kemarin malam ia belum lagi berbicara dengan sang ibu. Wanita itu terlihat lebih tertekan dan mengunci diri setelah mendapatkan bentakan beberapa kali dari Rasti."Apa sebaiknya kita izin dulu?" Raihan masih memberi kesempatan kepada istrinya untuk berbicara deng
Hari-hari berlalu, rumah yang biasanya rame meski hanya berdua mendadak sepi seperti kuburan.Rasti dan ibunya masih satu rumah, tapi mereka tidak lagi bertegur sapa, lebih tepatnya Rasti memilih menghindari dari sang ibu. Ia pun tidak lagi pergi ke toko, keluar rumah setiap pagi, berjalan tanpa tujuan sekedar menghindari ibunya dan kembali saat wanita itu sudah pergi ke toko."Neng Rasti, Nak Raihannya mana kok jarang terlihat?" Banyak orang yang bertanya-tanya, gadis itu hanya tersenyum kecil menanggapi.Rasti memblokir nomor suaminya. Ia tidak ingin lagi ada komunikasi diantara keduanya. Keputusan Rasti untuk melepaskan pujaan hatinya demi sang ibu sudah bulat.Malam-malam, isak tangis terdengar menyayat. Rasti sering bangun dan menangis sendirian, cinta yang besar pada Raihan membuat hatinya terluka sangat dalam."Nak." Malam itu, Rasti mendengar ibunya mengetuk pintu, hampir satu minggu tidak ada komunikasi, sekarang akhirnya Bu Mayang memberanikan diri.Ia sudah bolak-balik di d
Rasti menutup toko kuenya lebih cepat dan membawa ibunya segera pulang. Akan menjadi bahan gunjingan orang-orang saat melihat keadaan ibunya, sekarang. Padahal, gosip tentang pernikahannya dengan Raihan pun masih belum reda."Ibu istirahat saja." Rasti membawakan minuman dan membersihkan luka pada jemari tangan ibunya. Terluka karena benda-benda yang dijatuhkan dan dilempar dengan sengaja. Kali ini Rasti benar-benar baru melihat kemarahan ibunya hingga seperti itu, hingga rasa penasaran pada wanita tua yang datang kemarin semakin menjadi.Bu Mayang semakin murung. Kelopak matanya terlihat sembab dengan tatapan mata yang semakin lemah. Sehari-hari ia hanya melamun. Rasti sangat khawatir akan keadaan ibunya, namun terpaksa ia harus meninggalkannya agar bisa tetap membuka toko. "Di mana ibumu?" Wanita tua itu kembali datang seperti janjinya. Tidak hanya sendiri ia datang bersama dua orang pria sekarang. Satu bertubuh besar dan kekar, satu lagi kira-kira seusia dirinya atau hanya lebih m
Bu Mayang tertawa-tawa senang, Rasti mendengarnya dengan risih. Terlalu berlebihan ibunya mengekspresikan kebahagiaan. Sesekali suaranya bahkan terdengar mengumpat."Kamu pikir aku masih sama?""Tidak! Dia mencintaiku dan akan melakukan apapun untukku! Kamu harus terpaksa kalah wanita tua!"Rasti menguping ibunya berbicara, diselingi tawa yang membuat gadis itu malah khawatir dibanding ikut bahagia karena toko mereka tidak jadi diambil alih.Belum lagi kata-kata sumbang itu membuat hati Rasti perih, ia tidak tahu siapa yang sebenarnya ibunya maksud, tapi entah kenapa perasaannya mengarah pada Raihan. Sungguh tidak pernah terpikirkan olehnya untuk berbagi segalanya dengan ibunya bahkan masalah pria.Sudah lebih 2 minggu perpisahan Rasti dengan Raihan. Mereka sudah tidak lagi menjalin komunikasi, tapi hubungan ibunya dan Raihan terlihat baik-baik saja. Pria itu bahkan datang hanya untuk menemui sang ibu alih-alih berupaya berbaikan dengannya.Rasti mengambil ponsel. Berkali-kali ia berp
"Anda bernama, Raihan?" Seorang suster menghentikan pria itu mengelus punggung istrinya."Benar, Sus.""Ibu Anda ingin bertemu.""Ya." Raihan berdiri. Ekor matanya melihat Rasti yang masih duduk membungkuk. Ia masih menata hati, kabar itu membuatnya syok. Lalu, tiba-tiba suster mengatakan kalau ibunya ingin bertemu dengan Raihan, alih-alih menanyakan putrinya sendiri."Ayo." Raihan mengajak Rasti untuk menemui Bu Mayang.Rasti menyeka air mata dan menstabilkan emosi. Ia berjalan di belakang pria itu, berjaga barang kali ibunya memang sedang tidak ingin bertemu dengannya dan ia tidak bisa lagi menuntut pertanyaan apalagi keadilan. Rasti tahu ibunya tengah sakit dan bukan waktunya dihakimi."Syukurlah kamu masih di sini." Tangan Bu Mayang menyambut kedatangan Raihan."Ibu sudah baikan?""Aku baik-baik saja." Ia kembali tersenyum, menggenggam tangan Raihan dengan lembut."Aku dan Rasti membutuhkanmu. Mari kita pulang ke rumah," ucap Bu Mayang.Raihan melirik Rasti, lalu mengangguk. Bu Ma
Bu Mayang mengendus parfum putrinya, Rasti sampai mundur karena merasa risih. Ibunya terus menyeruduk, mengendus dengan mata mendelik, beda."Wanita ular! Bisa-bisanya kau merebut suamiku!"Brugh! Rasti terdorong begitu saja ke lantai."Ibu!" teriak Rasti kaget.Napasnya berburu, bola matanya berputar. Ia tampak kebingungan dengan sikapnya sendiri. "Ibu! Ibu!" Rasti memanggil ibunya yang berlari bingung ke dalam kamar.Pintu tertutup kencang, Rasti belum sempat berdiri saat pintu itu terdengar terkunci dari dalam.Rasti bangkit sendiri dan memeriksa tangannya yang terasa sakit. Ada sedikit sobekan di telapak tangan itu, sepertinya terkena ujung meja saat ia terdorong ke lantai."Ibu ...." Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 siang dan ibunya masih belum keluar. Ia bahkan belum sarapan. "Rasti sudah siapkan makanan kesukaan ibu." Gadis itu dengan sabar mengetuk pintu. Sayang, tidak ada respon dari dalam. Rasti mengulang hingga tiga kali. Usahanya terlihat sia-sia."Ibu ini sudah sore. Da
Rasti menggulir ponsel, melihat group alumni Sekolah Dasarnya dulu sebelum mereka pindah ke tempat ini.Benar, dulu mungkin mereka masih satu kota dengan ayahnya, tapi sekali pun Rasti tidak pernah melihat pria itu menemuinya. Hati gadis itu semakin sakit dan terkuliti. Tangannya bersemangat mencari kontak dari Jihan dan berharap gadis itu tidak mengganti nomor kontaknya. Group itu mati suri, jarang sekali aktif, terutama Jihan. Sudah lama Rasti tidak bertegur sapa, meski hanya lewat chat WA.Rasti menatap foto profil gadis itu yang terlihat glamor. Pakaian mahal yang terlihat kurang bahan, namun begitu cocok ditubuhnya yang terawat. Gadis itu tampak hidup dengan baik dan bahagia.[Jihan.]Setelah susah payah Rasti mengatur hatinya, ia selesai juga mengetik 5 huruf itu dan mengirimkannya.Tidak lama centang 2 terlihat, sayangnya Rasti harus menunggu untuk bisa berubah biru.[Ya. Rasti, sudah lama tidak berkabar. Apa kabar kamu sekarang?]Rasti menelan ludah dan memberi kekuatan pada j
"Bawa aku keluar," bisik Rasti. Raihan mendekap istrinya lebih dekat dan membawanya keluar.Gadis itu sebenarnya tidak sanggup mendapat tatapan dari banyak pasang mata sekaligus, namun karena Raihan ada di sampingnya, ia sedikit lebih kuat."Kamu harus menegakkan wajahmu, dan lihat itu, Rasti!" bisik Raihan. "Sebelah kanan."Gadis itu mencoba mengangkat wajahnya perlahan, ia sungguh memberanikan diri untuk itu. Matanya menangkap sosok wanita yang menjadi istri dari ayahnya. Ia meninggalkan pelaminan penuh emosi. Mulutnya bahkan terlihat tengah berucap kasar. "Apa yang terjadi?" tanya Rasti.Raihan memperlihatkan pesan singkatnya.[Temui aku, besok. Istriku sangat malu dengan kejadian ini!]Rupanya pria itu menghubungi suami Jihan dan mengirimkan pesan. Menantu dan mertua baru itu cekcok sebentar, sebelum ibu mertuanya pergi dari pelaminan.Rasti menatap pria disampingnya, ia memang tidak tahu banyak tentang pekerjaan pria itu. Raihan hanya mengaku sebagai Manager sebuah perusahaan. G
Raihan baru saja berganti pakaian setelah selesai mandi. Apartemennya cukup nyaman dan luas, jika hanya ditempati oleh pasangan suami istri dan satu anak. Ia memang membelinya saat masih single. Rasti bahkan belum sempat tahu. Sebenarnya satu sama lain diantara keduanya belum saling mengenal lebih jauh. Sebelum menikah, mereka hanya sempat pergi beberapa kali, sebelum memutuskan untuk mengakhiri hubungan tali kasih dengan ikatan pernikahan. Raihan pikir tidak punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan hanya bermain-main saja. Siapa sangka ia seperti terjebak dalam dilema, cinta semakin kuat saat gadis itu menjadi istrinya, rasanya ia masih belum bisa menerima jika harus kehilangan sekarang, di mana pucuk cintanya baru saja mekar dan tidak ada cacat pada wanita yang dicintainya itu.[Ada apa? Sudah aku bilang, aku tidak mau pergi denganmu!] tukas Raihan saat mengangkat panggilan dari asistennya. Setelah pulang kerja, mode mereka biasanya lebih seperti teman.[Saya tidak b
Pria berpakain hitam itu keluar dari tempatnya bersembunyi. Motornya melaju menapaki rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela bebatuan. Ia sangat jarang keluar saat terang, biasanya hanya ditemani pemilik malam. Siang ini, satu keberanian muncul, temannya bukan lagi rembulan yang sembunyi di balik awan, tapi matahari yang terang menantang.Sampai di depan rumah besar, ia berbelok dan menaikkan motornya, menyusuri samping pagar yang menjulang tinggi untuk menemui seseorang. Ia menaikkan satu kerikil kecil memberi kode. Biasanya ia harus menunggu beberapa waktu agar penghuni rumah itu merespons. Sayangnya, setelah berkali-kali menghubungi lewat ponsel pun tidak ada diangkat juga. Itu alasan kedua, kenapa pria itu berani muncul pada siang hari dengan identitas yang selama ini disembunyikan.*"Tidak ada satu orang pun yang menghargaiku di rumah ini." Pak Bagus menarik napas sesak. Bertahun-tahun, puluhan tahun tepatnya ia hanya hidup sendiri. Dijadikan alat untuk mencari uang demi memenu
"Ada kekacauan apa ini?" Bu Nawang mendengar keributan di kamar cucunya. Padahal ia baru saja tiba, suara itu sampai hingga pintu depan."Zaki marah, Bu," jawab Dara mengiba."Marah kenapa?""Mas Bagus menempatkannya sebagai OB di perusahaan.""Apa?""Itu dia, Bu. Zaki menunggu Ibu datang. Ia sangat malu karena banyak yang mengolok-oloknya. Kami malah jadi tontonan karyawan kantor. Orang-orang mengumpat kami di belakang."Mendengar suara neneknya di balik pintu Zaki berpikir sejenak. Ia mengambil serpihan benda dan melukai tangannya hingga mengalirkan darah merah. "Nenek!" Anak lelaki itu menghambur, menangis sejadinya. "Nenek akan berbicara dengan papamu," ujar Bu Nawang."Nenek. Zaki malu, Nek. Kenapa papa seperti itu, bukankah aku adalah pewarisnya?" Zaki menangis tersedu. Memeluk neneknya erat."Benar. Kamu adalah pewaris keluargaku. Semua kekayaanku akan turun padamu.""Aku akan menjalankan perusahaan dengan baik, Nek. Menyenangkan nenek dan menurut apapun pada keinginan, Nenek.
Rasti menjadi gundah gulana. Ia tak berhenti bolak balik di dalam tokonya, bak orang yang tengah sembelit dan sulit untuk keluar. Matanya tidak berhenti menatap jam dinding yang terasa bergerak cepat. Jam makan siang akan segera tiba, berkali-kali gadis itu merasa greget dan sangat ingin menghentikkan detik jarum jam agar berhenti saja, agar waktu makan siang itu tidak pernah ada. "Apa dia sengaja?" Rasti bergelut dengan pikirannya sendiri. Selain itu, hal yang membuatnya resah adalah Raihan tidak lagi menghubungi padahal jelas ia menutup panggilannya secara sepihak dan mengakhirinya dengan marah. "Mana ada lelaki peka. Dia malah senang 'kan? Siapa yang tidak suka makan siang ditemani gadis cantik dan berpenampilan menarik?" Rasti menjadi sangat geram saat ia mengingat pakaian pegawai kantoran yang memang biasa terlihat rapi."Bu! Bu!" Rasti mengetuk pintu. "Aku tutup dulu tokonya sebentar ya, Bu. Aku akan kembali setelah jam makan siang.""Ya." Hanya ada jawaban itu dari dalam sana.
Pak Bagus pergi dari rumahnya seperti biasa. Ia pamit untuk berangkat kerja namun berbelok di persimpangan untuk menemui teman yang sudah ia beritahu sebelumnya. Tidak terlalu jauh jaraknya hingga ia tidak perlu menghabiskan banyak waktu. Akhir-akhir ini, ibunya tahu kalau ia jarang pergi ke kantor karena mencari keberadaan Rasti dan Mayang. Setelah malam di mana Mayang datang dan mengatakan Rasti terluka, Bagus tahu kalau ibunya telah mengingkari janji mereka."Apa yang bisa saya lakukan, Pak?" Seorang lelaki berumur sedikit di bawahnya datang menghampiri. Bagus sudah sampai lebih dulu, ia menunggu di bawah jembatan besar, di mana jarang orang yang melihat keberadaan mereka dari atas sana. "Bagaimana dengan aset yang aku titipkan padamu?" tanya Pak Bagus tanpa menoleh. Pandangannya tetap tertuju pada aliran air sungai yang terlihat lebih surut."Aman, Pak. Perkebunan sawit sebentar lagi sudah bisa dipanen. Villa pun ramai pengunjung. Sapi-sapi yang di pelihara oleh para petani pun s
[Iya, Bu.][Aku sudah di depan rumah mertuamu. Kenapa tidak ada yang membuka pintu?][Apa? Ibu sudah berada di depan rumah?] Mata Raihan melotot menoleh pada Rasti yang bingung. "Ibu Widia ada di depan rumahmu?" bisiknya."Apa?"[Ibu tunggu, sebentar. Aku dan Rasti segera datang. Ibu Mayang mungkin sedang tidur, beliau kurang sehat.][Benarkah? Kalau begitu cepatlah!][Iya, Bu. Sebentar lagi Raihan sampai.]"Bagaimana ini, Mas?" Rasti mulai khawatir begitu pula Raihan. Pria itu menambah kecepatan laju mobilannya agar lebih cepat sampai."Ibu tidak memberitahuku kalau beliau akan datang.""Apa ibu tahu kalau kita---?"Raihan melihat kegugupan Rasti sebentar, lalu menggeleng. "Aku belum menceritakan apapun tentang pernikahan kita, karenanya ibu datang ke rumah."Rasti mengangguk paham. Namun, ia mengkhawatirkan keadaan ibunya. Tadi pagi, penyakitnya kembali kambuh, gadis itu khawatir ibunya semakin meracau."Aku takut ibu Mayang berlaku macam-macam pada Ibu Widia, Mas. Kalau ibu berpik
"Dia pikir dia akan menang!" Bu Nawang menghembuskan napasnya berkali-kali ia terlihat gelisah dan kepanasan. Menahan emosi yang meletup-letup tak karuan. "Perempuan itu memang duri, bahkan sudah puluhan tahun dia tetap jadi duri!" umpatnya lagi.[Hallo! Aku ingin kamu datang, besok pagi.] Nenek tua itu menghubungi seseorang. "Dia hanya wanita miskin. Mana bisa dia menyewa pengacara sehebat aku!" gumannya lagi dengan gelak tawa. Mengobati kekesalan dirinya sendiri. "Tidak sudi sepeserpun hartaku digunakan dan tertelan oleh mereka."Pak Bagus yang hendak menanyakan itu sudah mendengar secara langsung. Ia berdiri dan melihat semuanya. Apa yang dikatakan Rasti ternyata benar. Pria itu mengurungkan niatnya untuk masuk dan bertanya pada ibunya. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja. Ruangan paling nyaman di rumah besar itu, karena jarang ada orang yang datang untuk masuk. Ia lebih suka menghabiskan waktunya sendirian.Bagus duduk di kursi kerjanya. Bertahun-tahun lelaki itu menuruti
"Ibu minum dulu." Rasti membawakan ibunya segelas air. Wanita itu bangun dan duduk untuk menghabiskan segelas air minum yang dipegangnya saat ini. Energinya terkuras habis, suaranya pun serak karena terus menangis. Rasti pun menyiapkan potongan kue yang dibeli ibunya bersama Pak Salim, menyiapkannya ke dalam piring. Gadis itu menaburkan obat yang telah digerusnya menjadi bubuk kecil hingga tersamarkan. "Rasti tinggal dulu, sebentar." Gadis itu tengah beranjak saat tangan ibunya menggenggam. "Bagaimana kalau rumah ini benar-benar diambil Bu Nawang?" lirihnya lemah.Rasti membalas tatapan ibunya yang lemah, mengusap punggung telapak tanganya. "Kita tidak akan kehilangan apapun lagi, Bu. Rasti tidak akan membiarkan itu. Rasti akan mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hak ibu." Bola mata Bu Mayang melihat keberanian yang terpancar. Jarang sekali, putrinya menatap seperti itu, seperti ada ruh berbeda yang mengisinya kini."Istirahatlah! Jangan pikirkan apapun lagi. Ibu sudah cukup
Rasti mencoba mengenakan beberapa pakaian, entah apa yang ada dalam pikirannya, pagi ini. "Ini terlalu formal." Rasti menghempaskannya di atas ranjang. Ia kembali memilih, sebenarnya tidak banyak pilihan. Tapi, karena hatinya bingung antara harus berpenampilan bagus atau biasa saja."Bukankah ini akan terlihat aku sangat menantikan pertemuan ini?" Gadis itu kembali menggeleng di depan cermin. Melemparkannya kembali ke atas tumpukan baju yang lain."Begini lebih nyaman." Rasti memilih celana kulot dengan atasan berwarna putih. "Enggak Rasti! Raihan akan berpikir kalau kamu mendapat kesulitan setelah berpisah dengannya." Gadis itu putus asa. Ia merentangkan tubuhnya di atas pakaian yang berserakan di atas kasur."Sebaiknya aku batalkan saja pertemuan ini." Pikirannya buntu. Tatapan lemas menatap langit-langit kamar. Lalu, sebuah mobil terdengar masuk ke halaman. Rasti menengoknya. Taksi yang dipesan Raihan sudah sampai."Tunggu sebentar, Pak." Ia melambai dari jendela kamar saat pengem