Rasti setuju akan rencana suaminya untuk membawanya pergi berlibur. Sejak menikah memang tidak ada waktu berdua, hari-hari bahagianya bahkan nyaris kandas karena masalah yang timbul dari sang ibu.
"Apa sudah izin ibu?" Raihan bertanya sesaat sebelum berangkat. Keduanya sudah berada di dalam mobil. Rasti menggeleng, ibunya masih belum keluar dari kamar. Toko sudah disterilkan oleh gadis itu. Menggunakan strategi diskon untuk menghabiskan stok kue dan itu berhasil. Ia bahkan pulang lebih awal untuk menyiapkan pakaian. Raihan meminta sore ini langsung berangkat, hanya menginap di hotel terdekat sebelum pergi jalan-jalan ke luar kota. Mengurai ketegangan saja. "Ibu tidak keluar dari kamarnya. Dan---" Rasti menggigit bibir. Sejak kemarin malam ia belum lagi berbicara dengan sang ibu. Wanita itu terlihat lebih tertekan dan mengunci diri setelah mendapatkan bentakan beberapa kali dari Rasti. "Apa sebaiknya kita izin dulu?" Raihan masih memberi kesempatan kepada istrinya untuk berbicara dengan ibu. Rasti sempat berpikir, namun ia tetap menggeleng. "Baiklah kalau begitu. Rencananya kita akan pergi satu minggu. Besok, kita akan berangkat sekitar pukul 08.00 pagi ke Yogya." Rasti mengangguk. Raihan mulai mengemudikan kendaraannya menuju salah satu hotel yang ada di Jakarta. Tempat bermalamnya sekarang, mencari suasana baru agar ketegangan diantara keduanya segera sirna. Beberapa kali Rasti mulai menarik garis senyum, apalagi saat suaminya memesan beberapa hidangan makan malam yang mewah. "Enak?" "Aku sangat suka apalagi ibu---" Rasti keceplosan. Pikiran ternyata tidak bisa lepas dari sosok wanita yang telah banting tulang menyiapkan makanan untuknya setiap hari. Raihan terdiam, ia bisa melihat kalau sebenarnya Rasti ingin ibunya merasakan apa yang ia rasakan sekarang. Malam sudah hampir larut. Raihan yang terkulai lelah setelah pertempuran mereka, terlelap nyenyak. Hanya Rasti yang masih terjaga dan memikirkan ibunya yang ditinggal sendiri. Tidak biasa ia pergi tanpa wanita itu, kemana pun mereka selalu berdua, kecuali ada acara sekolah itupun tidak lepas dari banyak nasehat dan panggilan telepon di setiap jamnya. Ponsel Raihan tiba-tiba berbunyi. Rasti yang masih terjaga meraihnya. Kedua ponsel itu diletakkan di atas nakas. Rupanya pesan dari Bu Mayang. [Nak Raihan, kenapa tidak pulang?] Rasti terdiam sejenak. Ia berpikir kenapa ibunya malah menghubungi Raihan dan bukan putrinya sendiri. Lalu, ia melihat ponselnya dan ternyata kehabisan baterai. "Pantas saja," gumam Rasti. Gadis itu memutuskan untuk membalas pesan ibunya setelah berpikir cukup lama. Tidak ingin ibunya berpikir macam-macam karena mereka yang tidak akan pulang satu minggu ini. Kesempatan juga untuk Rasti izin. [Rasti dan Raihan tidak akan pulang, Bu. Kami sedang menghabiskan waktu berdua. Honey moon satu minggu.] Balas Rasti. Beberapa menit ditunggu ibunya tidak kunjung membalas. Rasti yang sebetulnya lelah juga akhirnya tertidur, pikirannya sedikit tenang karena sudah izin. Ponsel Raihan terus berdering, hingga pagi saat pria itu terbangun. "Sayang." Raihan membangunkan Rasti. "Ibu semalaman menghubungi kita." Raihan menunjukkan puluhan panggilan tak terjawab dan sederet pesan singkat yang meminta mereka kembali. Dalam pesan itu bahkan tertulis sebuah permohonan. "Ibu sepertinya tidak bisa ditinggal sendiri, Sayang." Raihan merasa khawatir, mertuanya bersikap berlebihan, tapi tetap saja membuat keduanya tidak tenang. "Bagaimana kalau Mas jemput ibu. Kita bawa saja liburan ke Yogya," usul Raihan yang mendapat anggukan dari Rasti. Pagi sekali Raihan berangkat untuk menjemput ibu mertuanya agar bisa ikut bersama pukul 08.00 nanti dengan mereka. Rencananya Rasti menunggu di hotel selama Raihan menjemput Bu Mayang. Namun, perasaan gadis itu tidak tenang. Ia mendalami pesan-pesan yang dikirimkan oleh ibunya seolah bukan permintaan dari seorang ibu untuk anak dan menantunya agar pulang, tapi untuk sang kekasih yang harus memilih kembali dibanding pergi. Rasti nekat naik taksi umum untuk menyusul suaminya. Dadanya bergemuruh kencang. Pesan-pesan itu seolah menari-nari dalam otaknya, dadanya bergemuruh. Pesan ibunya terlalu romantis untuk disampaikan melalui kontak menantu. ** "Ibu." Raihan baru saja sampai, ia berusaha lebih cepat agar tidak terlambat. Napasnya bahkan berlomba-lomba. Pria itu terus mengetuk pintu. Tapi, tidak terdengar ibu mertua datang untuk membuka. "Bu." Raihan mengitari jendela. Pintu dikunci, untungnya ada jendela samping dapur yang terbuka. Raihan merasa harus masuk untuk memastikan ibu mertuanya baik-baik saja. "Bu." Raihan mendorong pintu kamar Bu Mayang yang sedikit terbuka, setelah mencari tidak ada di manapun ia berpikir ibu mertuanya pasti ada di dalam kamar. "Ibu!" Raihan kaget karena ibunya tergeletak di lantai. Ia tampak ketiduran dengan mata yang sembab, tubuhnya dingin setengah kaku. Dipastikan sudah lama berada di sana. Dicoba dibangunkan pun tidak bisa. "Kenapa ibu tidur di bawah?" Raihan mengangkat ibu mertuanya ke atas ranjang. Tidak ada siapapun di sana selain dia. "Sayang." Bu Mayang meraih lengan Raihan, mengalungkan tangannya di leher dan menarik kencang. Raihan yang tidak siap terjerembab di atas wanita itu. "Kamu akhirnya pulang, Sayang." Mata Bu Mayang berkaca-kaca hingga menciumi wajah pria di hadapannya. "Bu, lepaskan saya!" Sayang, kekuatan Bu Mayang sangat kuat hingga mengunci pria itu yang tidak siap. Prang! Tas Rasti terjatuh dengan sendirinya. Di depan matanya sendiri ia melihat suami dan ibunya melakukan hal yang tidak pantas. "Rasti!" Raihan memanggil. Ia melepaskan diri sekuat tenaga dan menyusul istrinya. Rasti melarikan diri ke dalam kamar. Air mata seperti badai yang tidak bisa terbendung, ia tergugu sendiri. Namun, ketika pria yang menjadi suaminya itu datang. Gadis itu langsung berdiri, menyeka air matanya dan menunjukkan tangan. Tanpa menatap ia berkata dengan tegas. "Pergilah dari rumah ini!" "Rasti!" "Aku akan mengajukan gugatan cerai. Pergilah sekarang juga dan tinggalkan kami!" Sekali pun Rasti tidak menoleh. Raihan beberapa kali menggeleng. "Ini tidak benar." "Tidak ada yang benar, sekarang! Semua kesalahan ini aku yang bawa. Dari awal aku mengenalmu dan memperkenalkannya pada ibu, seharusnya aku menyadari sikap ibu yang berubah saat melihatmu. Ibu yang sudah bertahun-tahun tidak memiliki suami mungkin merasa tergugah kembali saat tinggal bersama seorang pria asing. Seharusnya, aku peka terhadap perubahan itu sejak awal, sebelum memutuskan untuk menikah. Pergilah!" Keputusan Rasti sudah bulat. Berusaha menjelaskan pun seolah percuma, Raihan hanya bisa diam, fakta yang terlihat lebih kuat dari hanya sekedar kata-kata penjelasan ataupun alasan. Raihan mengemas pakaiannya. Ia memang tidak membawa banyak baju, terutama karena pernikahan mereka masih baru. Ia pun tidak bingung untuk kembali, tempat tinggalnya akan dengan mudah didapatkannya lagi. Ia hanya menyayangkan pernikahannya, padahal pernikahan itu didasari dengan cinta yang kuat. "Apa kamu sedang mencari ini?" Raihan terlihat mencari sesuatu di balik figura foto. Ia berbalik dan melihat Rasti sudah memegang lensa kamera itu. "Jadi, ini milikmu? Aku seharusnya menyadari itu dan bukan malah mencurigai ibu. Kamu memang aneh! Kamu sengaja merekam aktivitas malam kita, bukan?" "Bawa ini dan pergilah sejauh mungkin!" Rasti meraih tangan suaminya dan menyimpan lensa kamera itu di sana. Raihan tidak punya pilihan ia hanya menerima semua tuduhan dan kemarahan. Pergi meninggalkan rumah itu seperti permintaan Rasti. Harga dirinya akan mati, jika ia masih memohon untuk tinggal di sana saat ini. "Aku pergi." Raihan benar-benar pergi. Tangan Rasti bergetar hebat, tubuhnya menggigil, ia hanya bisa duduk membungkuk dan memeluk kedua kakinya. Air matanya luruh. Kehilangan suami yang sangat dicintainya bukan perkara kecil, tapi Rasti harus melakukan itu demi kehormatan sang ibu. Ia tahu, ibunya ambil andil yang dalam, tapi dia tetap seorang ibu yang sangat dicintai oleh Rasti. Memilih untuk mengakhiri pernikahan dan mempertahankan ibunya adalah keputusan yang berat, tapi itulah keputusan Rasti. Bersambung ....Hari-hari berlalu, rumah yang biasanya rame meski hanya berdua mendadak sepi seperti kuburan.Rasti dan ibunya masih satu rumah, tapi mereka tidak lagi bertegur sapa, lebih tepatnya Rasti memilih menghindari dari sang ibu. Ia pun tidak lagi pergi ke toko, keluar rumah setiap pagi, berjalan tanpa tujuan sekedar menghindari ibunya dan kembali saat wanita itu sudah pergi ke toko."Neng Rasti, Nak Raihannya mana kok jarang terlihat?" Banyak orang yang bertanya-tanya, gadis itu hanya tersenyum kecil menanggapi.Rasti memblokir nomor suaminya. Ia tidak ingin lagi ada komunikasi diantara keduanya. Keputusan Rasti untuk melepaskan pujaan hatinya demi sang ibu sudah bulat.Malam-malam, isak tangis terdengar menyayat. Rasti sering bangun dan menangis sendirian, cinta yang besar pada Raihan membuat hatinya terluka sangat dalam."Nak." Malam itu, Rasti mendengar ibunya mengetuk pintu, hampir satu minggu tidak ada komunikasi, sekarang akhirnya Bu Mayang memberanikan diri.Ia sudah bolak-balik di d
Rasti menutup toko kuenya lebih cepat dan membawa ibunya segera pulang. Akan menjadi bahan gunjingan orang-orang saat melihat keadaan ibunya, sekarang. Padahal, gosip tentang pernikahannya dengan Raihan pun masih belum reda."Ibu istirahat saja." Rasti membawakan minuman dan membersihkan luka pada jemari tangan ibunya. Terluka karena benda-benda yang dijatuhkan dan dilempar dengan sengaja. Kali ini Rasti benar-benar baru melihat kemarahan ibunya hingga seperti itu, hingga rasa penasaran pada wanita tua yang datang kemarin semakin menjadi.Bu Mayang semakin murung. Kelopak matanya terlihat sembab dengan tatapan mata yang semakin lemah. Sehari-hari ia hanya melamun. Rasti sangat khawatir akan keadaan ibunya, namun terpaksa ia harus meninggalkannya agar bisa tetap membuka toko. "Di mana ibumu?" Wanita tua itu kembali datang seperti janjinya. Tidak hanya sendiri ia datang bersama dua orang pria sekarang. Satu bertubuh besar dan kekar, satu lagi kira-kira seusia dirinya atau hanya lebih m
Bu Mayang tertawa-tawa senang, Rasti mendengarnya dengan risih. Terlalu berlebihan ibunya mengekspresikan kebahagiaan. Sesekali suaranya bahkan terdengar mengumpat."Kamu pikir aku masih sama?""Tidak! Dia mencintaiku dan akan melakukan apapun untukku! Kamu harus terpaksa kalah wanita tua!"Rasti menguping ibunya berbicara, diselingi tawa yang membuat gadis itu malah khawatir dibanding ikut bahagia karena toko mereka tidak jadi diambil alih.Belum lagi kata-kata sumbang itu membuat hati Rasti perih, ia tidak tahu siapa yang sebenarnya ibunya maksud, tapi entah kenapa perasaannya mengarah pada Raihan. Sungguh tidak pernah terpikirkan olehnya untuk berbagi segalanya dengan ibunya bahkan masalah pria.Sudah lebih 2 minggu perpisahan Rasti dengan Raihan. Mereka sudah tidak lagi menjalin komunikasi, tapi hubungan ibunya dan Raihan terlihat baik-baik saja. Pria itu bahkan datang hanya untuk menemui sang ibu alih-alih berupaya berbaikan dengannya.Rasti mengambil ponsel. Berkali-kali ia berp
"Rasti! Raihan sudah pulang!" Ibu berteriak dari depan. Rasti yang tengah mencuci perabot masak segera mengakhiri aktivitasnya dan mengeringkan tangan."Iya, Bu."Sejenak bibirnya tersenyum mesem, hatinya sedikit bergetar mengingat rasa tadi malam. Rasanya begitu indah dan menegangkan. Pengalaman baru yang hampir saja membuat jantungnya berhenti. Ia bahkan tidak mengenali dirinya sendiri. Tentu saja, malam-malam indah itu tidak perlu diketahui orang lain, terutama ibunya yang tinggal satu atap bersama mereka."Mas, sudah---pulang?" Suara Rasti melemah saat melihat pemandangan asing di depannya."Kamu pasti sangat lelah, Nak." Bu Mayang mengelap kening Raihan yang meneteskan keringat."Bu----" Suara Rasti tertahan di udara."Ambilkan Raihan minum!" tukas Bu Mayang tanpa menoleh."Ya?""Apa kamu tidak lihat suamimu kelelahan?" Matanya sedikit melotot saat menoleh pada Rasti, namun begitu lembut ketika kembali menatap menantunya."Biarkan ibu yang bawa tasnya. Duduklah!" Rasti melihat se
"Rasti!" Rasti mendengar suara ibunya mengetuk pintu. Setelah kejadian tadi, Rasti dan Raihan tidak keluar lagi dari kamar. Keduanya berbaring di ranjang dengan pikirannya masing-masing hingga membuat Raihan bahkan mendengkur halus, kelelahan dan terlelap."Suamimu tidak mandi?" Bu Mayang menengok dari celah pintu yang sengaja Rasti halangi."Tidur, Bu.""Ibu sudah siapkan air panas. Mana enak tidur sebelum mandi, nanti malam bisa lengket. Ibu tidak suka aroma keringat.""Ayo bangunkan!" Ujar Bu Mayang membuat mata Rasti menyelidik.Rasti memang tidak suka aroma keringat. Mungkin itu maksud ibunya. Hal yang tidak mereka suka bahkan bisa sama.Bu Mayang pergi setelah mengatakan itu. Rasti kembali ke kamar dan duduk di samping ranjang, menatap lekat suaminya yang tampan. Siapa yang tidak akan jatuh cinta pada pria itu, senyum dan sikapnya yang lembut bahkan sangat memikat wanita yang mendekat."Mas." Rasti membangunkan suaminya pelan. "Mandi dulu. Ibu sudah menyiapkan air hangat," tamba
"Boleh kita istirahat, malam ini?" Rasti berkelit lemah saat tangan Raihan menyibak rambutnya. "Hatiku sedang tidak enak."Raihan mengangguk. Ia adalah pria yang baik, mengerti keadaan istrinya. Dari sejak pulang kerja dan beberapa kejadian random setelahnya memang membuat situasi keduanya tidak nyaman."Tidurlah kalau begitu." Raihan mengecup pipi Rasti yang berbantal puhu tangannya.Pria itu mendengkur terlebih dulu, Rasti hanya meliriknya dengan ekor mata, dan suaminya benar-benar sudah terlelap, berbeda hal dengan dirinya yang masih terjaga. Pikirannya kacau, dipenuhi dengan dugaan-dugaan jelek tentang ibunya.Rasti beringsut, ia turun dari ranjang dan membiarkan Raihan tidur tanpa terganggu dengan pikirannya yang kacau. Wanita itu berjalan mengendap-endap untuk keluar. Ia berdiri di depan kamar ibunya untuk beberapa saat. Lalu, memberanikan diri mendorong pintunya lagi. Kamar mereka memang tidak pernah dikunci, hidup berdua di rumah itu, seolah tidak ada privasi. Hanya sekarang s
Menjelang siang Rasti harus menyusul ibunya pergi ke toko. Toko kue itu memang dijaga oleh keduanya. Sebenarnya Rasti ragu untuk menghampiri ibunya apalagi setelah kejadian ini dan pikirannya dipenuhi hal negatif tentang wanita yang sangat baik di matanya, selama ini."Kamu sudah datang?" Bu Mayang mengangkat sedikit kepalanya dan kembali menggulung kue. Rasti menyimpan barang-barang di meja dan ia menemukan ponsel ibunya yang tergeletak di sana.Mata Rasti cukup lama menatap pada layar ponsel itu, rasa penasaran membuat ia termenung ke arahnya. Gadis itu ingin memastikan video apa sebenarnya yang terunduh tadi."Bu Mayang," panggil pelanggan dari etalase depan."Ya." Wanita itu segera bangkit dan melepaskan sarung tangannya, menghampiri pembeli dan melayaninya dengan ramah. Memang Bu Mayang terkenal ramah di mata orang-orang apalagi pelanggan.Rasti menunggu hingga ibunya pergi dari sana. Tangannya bergetar meraih ponsel milik ibunya dan memeriksa. Beberapa aplikasi Rasti lihat, say
"Pak Salim." Pagi sekali lelaki itu datang ke rumah Rasti. Tumben sekali memang, sampai gadis itu mengerutkan dahinya."Bu Mayang meminta saya untuk mengantarnya belanja hari ini," ujar Pak Salim dengan senyum merekah. Bahagia dan tidak percaya, dugaannya pada lampu hijau kemari benar-benar nyata."Silahkan masuk, Pak." Rasti mempersilahkan. Tapi, ibunya keburu datang. Pakaiannya jauh lebih modis dan ia terlihat cantik."Bisa kita berangkat, sekarang?""Oh, ya, tentu saja." Pria berusia 47 tahunan itu hampir tidak bisa mengepakkan kelopak matanya. "Cantik," lirihnya terdengar Rasti dan hanya bisa dibalas dengan tegukan air ludah dari gadis itu."Ibu berangkat dulu. Toko biar buka siang saja." Pesannya sebelum pergi dan hanya mendapat anggukan Rasti. Masih ada sekat diantara keduanya setelah beberapa kejadian akhir-akhir ini terutama karena kemarin malam.Mereka terlihat seperti pasangan, Rasti menelaah dan memperhatikan. Baru kali ini ibunya bersikap seperti itu pada pria, tentunya se