Rasti setuju akan rencana suaminya untuk membawanya pergi berlibur. Sejak menikah memang tidak ada waktu berdua, hari-hari bahagianya bahkan nyaris kandas karena masalah yang timbul dari sang ibu.
"Apa sudah izin ibu?" Raihan bertanya sesaat sebelum berangkat. Keduanya sudah berada di dalam mobil. Rasti menggeleng, ibunya masih belum keluar dari kamar. Toko sudah disterilkan oleh gadis itu. Menggunakan strategi diskon untuk menghabiskan stok kue dan itu berhasil. Ia bahkan pulang lebih awal untuk menyiapkan pakaian. Raihan meminta sore ini langsung berangkat, hanya menginap di hotel terdekat sebelum pergi jalan-jalan ke luar kota. Mengurai ketegangan saja. "Ibu tidak keluar dari kamarnya. Dan---" Rasti menggigit bibir. Sejak kemarin malam ia belum lagi berbicara dengan sang ibu. Wanita itu terlihat lebih tertekan dan mengunci diri setelah mendapatkan bentakan beberapa kali dari Rasti. "Apa sebaiknya kita izin dulu?" Raihan masih memberi kesempatan kepada istrinya untuk berbicara dengan ibu. Rasti sempat berpikir, namun ia tetap menggeleng. "Baiklah kalau begitu. Rencananya kita akan pergi satu minggu. Besok, kita akan berangkat sekitar pukul 08.00 pagi ke Yogya." Rasti mengangguk. Raihan mulai mengemudikan kendaraannya menuju salah satu hotel yang ada di Jakarta. Tempat bermalamnya sekarang, mencari suasana baru agar ketegangan diantara keduanya segera sirna. Beberapa kali Rasti mulai menarik garis senyum, apalagi saat suaminya memesan beberapa hidangan makan malam yang mewah. "Enak?" "Aku sangat suka apalagi ibu---" Rasti keceplosan. Pikiran ternyata tidak bisa lepas dari sosok wanita yang telah banting tulang menyiapkan makanan untuknya setiap hari. Raihan terdiam, ia bisa melihat kalau sebenarnya Rasti ingin ibunya merasakan apa yang ia rasakan sekarang. Malam sudah hampir larut. Raihan yang terkulai lelah setelah pertempuran mereka, terlelap nyenyak. Hanya Rasti yang masih terjaga dan memikirkan ibunya yang ditinggal sendiri. Tidak biasa ia pergi tanpa wanita itu, kemana pun mereka selalu berdua, kecuali ada acara sekolah itupun tidak lepas dari banyak nasehat dan panggilan telepon di setiap jamnya. Ponsel Raihan tiba-tiba berbunyi. Rasti yang masih terjaga meraihnya. Kedua ponsel itu diletakkan di atas nakas. Rupanya pesan dari Bu Mayang. [Nak Raihan, kenapa tidak pulang?] Rasti terdiam sejenak. Ia berpikir kenapa ibunya malah menghubungi Raihan dan bukan putrinya sendiri. Lalu, ia melihat ponselnya dan ternyata kehabisan baterai. "Pantas saja," gumam Rasti. Gadis itu memutuskan untuk membalas pesan ibunya setelah berpikir cukup lama. Tidak ingin ibunya berpikir macam-macam karena mereka yang tidak akan pulang satu minggu ini. Kesempatan juga untuk Rasti izin. [Rasti dan Raihan tidak akan pulang, Bu. Kami sedang menghabiskan waktu berdua. Honey moon satu minggu.] Balas Rasti. Beberapa menit ditunggu ibunya tidak kunjung membalas. Rasti yang sebetulnya lelah juga akhirnya tertidur, pikirannya sedikit tenang karena sudah izin. Ponsel Raihan terus berdering, hingga pagi saat pria itu terbangun. "Sayang." Raihan membangunkan Rasti. "Ibu semalaman menghubungi kita." Raihan menunjukkan puluhan panggilan tak terjawab dan sederet pesan singkat yang meminta mereka kembali. Dalam pesan itu bahkan tertulis sebuah permohonan. "Ibu sepertinya tidak bisa ditinggal sendiri, Sayang." Raihan merasa khawatir, mertuanya bersikap berlebihan, tapi tetap saja membuat keduanya tidak tenang. "Bagaimana kalau Mas jemput ibu. Kita bawa saja liburan ke Yogya," usul Raihan yang mendapat anggukan dari Rasti. Pagi sekali Raihan berangkat untuk menjemput ibu mertuanya agar bisa ikut bersama pukul 08.00 nanti dengan mereka. Rencananya Rasti menunggu di hotel selama Raihan menjemput Bu Mayang. Namun, perasaan gadis itu tidak tenang. Ia mendalami pesan-pesan yang dikirimkan oleh ibunya seolah bukan permintaan dari seorang ibu untuk anak dan menantunya agar pulang, tapi untuk sang kekasih yang harus memilih kembali dibanding pergi. Rasti nekat naik taksi umum untuk menyusul suaminya. Dadanya bergemuruh kencang. Pesan-pesan itu seolah menari-nari dalam otaknya, dadanya bergemuruh. Pesan ibunya terlalu romantis untuk disampaikan melalui kontak menantu. ** "Ibu." Raihan baru saja sampai, ia berusaha lebih cepat agar tidak terlambat. Napasnya bahkan berlomba-lomba. Pria itu terus mengetuk pintu. Tapi, tidak terdengar ibu mertua datang untuk membuka. "Bu." Raihan mengitari jendela. Pintu dikunci, untungnya ada jendela samping dapur yang terbuka. Raihan merasa harus masuk untuk memastikan ibu mertuanya baik-baik saja. "Bu." Raihan mendorong pintu kamar Bu Mayang yang sedikit terbuka, setelah mencari tidak ada di manapun ia berpikir ibu mertuanya pasti ada di dalam kamar. "Ibu!" Raihan kaget karena ibunya tergeletak di lantai. Ia tampak ketiduran dengan mata yang sembab, tubuhnya dingin setengah kaku. Dipastikan sudah lama berada di sana. Dicoba dibangunkan pun tidak bisa. "Kenapa ibu tidur di bawah?" Raihan mengangkat ibu mertuanya ke atas ranjang. Tidak ada siapapun di sana selain dia. "Sayang." Bu Mayang meraih lengan Raihan, mengalungkan tangannya di leher dan menarik kencang. Raihan yang tidak siap terjerembab di atas wanita itu. "Kamu akhirnya pulang, Sayang." Mata Bu Mayang berkaca-kaca hingga menciumi wajah pria di hadapannya. "Bu, lepaskan saya!" Sayang, kekuatan Bu Mayang sangat kuat hingga mengunci pria itu yang tidak siap. Prang! Tas Rasti terjatuh dengan sendirinya. Di depan matanya sendiri ia melihat suami dan ibunya melakukan hal yang tidak pantas. "Rasti!" Raihan memanggil. Ia melepaskan diri sekuat tenaga dan menyusul istrinya. Rasti melarikan diri ke dalam kamar. Air mata seperti badai yang tidak bisa terbendung, ia tergugu sendiri. Namun, ketika pria yang menjadi suaminya itu datang. Gadis itu langsung berdiri, menyeka air matanya dan menunjukkan tangan. Tanpa menatap ia berkata dengan tegas. "Pergilah dari rumah ini!" "Rasti!" "Aku akan mengajukan gugatan cerai. Pergilah sekarang juga dan tinggalkan kami!" Sekali pun Rasti tidak menoleh. Raihan beberapa kali menggeleng. "Ini tidak benar." "Tidak ada yang benar, sekarang! Semua kesalahan ini aku yang bawa. Dari awal aku mengenalmu dan memperkenalkannya pada ibu, seharusnya aku menyadari sikap ibu yang berubah saat melihatmu. Ibu yang sudah bertahun-tahun tidak memiliki suami mungkin merasa tergugah kembali saat tinggal bersama seorang pria asing. Seharusnya, aku peka terhadap perubahan itu sejak awal, sebelum memutuskan untuk menikah. Pergilah!" Keputusan Rasti sudah bulat. Berusaha menjelaskan pun seolah percuma, Raihan hanya bisa diam, fakta yang terlihat lebih kuat dari hanya sekedar kata-kata penjelasan ataupun alasan. Raihan mengemas pakaiannya. Ia memang tidak membawa banyak baju, terutama karena pernikahan mereka masih baru. Ia pun tidak bingung untuk kembali, tempat tinggalnya akan dengan mudah didapatkannya lagi. Ia hanya menyayangkan pernikahannya, padahal pernikahan itu didasari dengan cinta yang kuat. "Apa kamu sedang mencari ini?" Raihan terlihat mencari sesuatu di balik figura foto. Ia berbalik dan melihat Rasti sudah memegang lensa kamera itu. "Jadi, ini milikmu? Aku seharusnya menyadari itu dan bukan malah mencurigai ibu. Kamu memang aneh! Kamu sengaja merekam aktivitas malam kita, bukan?" "Bawa ini dan pergilah sejauh mungkin!" Rasti meraih tangan suaminya dan menyimpan lensa kamera itu di sana. Raihan tidak punya pilihan ia hanya menerima semua tuduhan dan kemarahan. Pergi meninggalkan rumah itu seperti permintaan Rasti. Harga dirinya akan mati, jika ia masih memohon untuk tinggal di sana saat ini. "Aku pergi." Raihan benar-benar pergi. Tangan Rasti bergetar hebat, tubuhnya menggigil, ia hanya bisa duduk membungkuk dan memeluk kedua kakinya. Air matanya luruh. Kehilangan suami yang sangat dicintainya bukan perkara kecil, tapi Rasti harus melakukan itu demi kehormatan sang ibu. Ia tahu, ibunya ambil andil yang dalam, tapi dia tetap seorang ibu yang sangat dicintai oleh Rasti. Memilih untuk mengakhiri pernikahan dan mempertahankan ibunya adalah keputusan yang berat, tapi itulah keputusan Rasti. Bersambung ....Hari-hari berlalu, rumah yang biasanya rame meski hanya berdua mendadak sepi seperti kuburan.Rasti dan ibunya masih satu rumah, tapi mereka tidak lagi bertegur sapa, lebih tepatnya Rasti memilih menghindari dari sang ibu. Ia pun tidak lagi pergi ke toko, keluar rumah setiap pagi, berjalan tanpa tujuan sekedar menghindari ibunya dan kembali saat wanita itu sudah pergi ke toko."Neng Rasti, Nak Raihannya mana kok jarang terlihat?" Banyak orang yang bertanya-tanya, gadis itu hanya tersenyum kecil menanggapi.Rasti memblokir nomor suaminya. Ia tidak ingin lagi ada komunikasi diantara keduanya. Keputusan Rasti untuk melepaskan pujaan hatinya demi sang ibu sudah bulat.Malam-malam, isak tangis terdengar menyayat. Rasti sering bangun dan menangis sendirian, cinta yang besar pada Raihan membuat hatinya terluka sangat dalam."Nak." Malam itu, Rasti mendengar ibunya mengetuk pintu, hampir satu minggu tidak ada komunikasi, sekarang akhirnya Bu Mayang memberanikan diri.Ia sudah bolak-balik di d
Rasti menutup toko kuenya lebih cepat dan membawa ibunya segera pulang. Akan menjadi bahan gunjingan orang-orang saat melihat keadaan ibunya, sekarang. Padahal, gosip tentang pernikahannya dengan Raihan pun masih belum reda."Ibu istirahat saja." Rasti membawakan minuman dan membersihkan luka pada jemari tangan ibunya. Terluka karena benda-benda yang dijatuhkan dan dilempar dengan sengaja. Kali ini Rasti benar-benar baru melihat kemarahan ibunya hingga seperti itu, hingga rasa penasaran pada wanita tua yang datang kemarin semakin menjadi.Bu Mayang semakin murung. Kelopak matanya terlihat sembab dengan tatapan mata yang semakin lemah. Sehari-hari ia hanya melamun. Rasti sangat khawatir akan keadaan ibunya, namun terpaksa ia harus meninggalkannya agar bisa tetap membuka toko. "Di mana ibumu?" Wanita tua itu kembali datang seperti janjinya. Tidak hanya sendiri ia datang bersama dua orang pria sekarang. Satu bertubuh besar dan kekar, satu lagi kira-kira seusia dirinya atau hanya lebih m
Bu Mayang tertawa-tawa senang, Rasti mendengarnya dengan risih. Terlalu berlebihan ibunya mengekspresikan kebahagiaan. Sesekali suaranya bahkan terdengar mengumpat."Kamu pikir aku masih sama?""Tidak! Dia mencintaiku dan akan melakukan apapun untukku! Kamu harus terpaksa kalah wanita tua!"Rasti menguping ibunya berbicara, diselingi tawa yang membuat gadis itu malah khawatir dibanding ikut bahagia karena toko mereka tidak jadi diambil alih.Belum lagi kata-kata sumbang itu membuat hati Rasti perih, ia tidak tahu siapa yang sebenarnya ibunya maksud, tapi entah kenapa perasaannya mengarah pada Raihan. Sungguh tidak pernah terpikirkan olehnya untuk berbagi segalanya dengan ibunya bahkan masalah pria.Sudah lebih 2 minggu perpisahan Rasti dengan Raihan. Mereka sudah tidak lagi menjalin komunikasi, tapi hubungan ibunya dan Raihan terlihat baik-baik saja. Pria itu bahkan datang hanya untuk menemui sang ibu alih-alih berupaya berbaikan dengannya.Rasti mengambil ponsel. Berkali-kali ia berp
"Anda bernama, Raihan?" Seorang suster menghentikan pria itu mengelus punggung istrinya."Benar, Sus.""Ibu Anda ingin bertemu.""Ya." Raihan berdiri. Ekor matanya melihat Rasti yang masih duduk membungkuk. Ia masih menata hati, kabar itu membuatnya syok. Lalu, tiba-tiba suster mengatakan kalau ibunya ingin bertemu dengan Raihan, alih-alih menanyakan putrinya sendiri."Ayo." Raihan mengajak Rasti untuk menemui Bu Mayang.Rasti menyeka air mata dan menstabilkan emosi. Ia berjalan di belakang pria itu, berjaga barang kali ibunya memang sedang tidak ingin bertemu dengannya dan ia tidak bisa lagi menuntut pertanyaan apalagi keadilan. Rasti tahu ibunya tengah sakit dan bukan waktunya dihakimi."Syukurlah kamu masih di sini." Tangan Bu Mayang menyambut kedatangan Raihan."Ibu sudah baikan?""Aku baik-baik saja." Ia kembali tersenyum, menggenggam tangan Raihan dengan lembut."Aku dan Rasti membutuhkanmu. Mari kita pulang ke rumah," ucap Bu Mayang.Raihan melirik Rasti, lalu mengangguk. Bu Ma
Bu Mayang mengendus parfum putrinya, Rasti sampai mundur karena merasa risih. Ibunya terus menyeruduk, mengendus dengan mata mendelik, beda."Wanita ular! Bisa-bisanya kau merebut suamiku!"Brugh! Rasti terdorong begitu saja ke lantai."Ibu!" teriak Rasti kaget.Napasnya berburu, bola matanya berputar. Ia tampak kebingungan dengan sikapnya sendiri. "Ibu! Ibu!" Rasti memanggil ibunya yang berlari bingung ke dalam kamar.Pintu tertutup kencang, Rasti belum sempat berdiri saat pintu itu terdengar terkunci dari dalam.Rasti bangkit sendiri dan memeriksa tangannya yang terasa sakit. Ada sedikit sobekan di telapak tangan itu, sepertinya terkena ujung meja saat ia terdorong ke lantai."Ibu ...." Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 siang dan ibunya masih belum keluar. Ia bahkan belum sarapan. "Rasti sudah siapkan makanan kesukaan ibu." Gadis itu dengan sabar mengetuk pintu. Sayang, tidak ada respon dari dalam. Rasti mengulang hingga tiga kali. Usahanya terlihat sia-sia."Ibu ini sudah sore. Da
Rasti menggulir ponsel, melihat group alumni Sekolah Dasarnya dulu sebelum mereka pindah ke tempat ini.Benar, dulu mungkin mereka masih satu kota dengan ayahnya, tapi sekali pun Rasti tidak pernah melihat pria itu menemuinya. Hati gadis itu semakin sakit dan terkuliti. Tangannya bersemangat mencari kontak dari Jihan dan berharap gadis itu tidak mengganti nomor kontaknya. Group itu mati suri, jarang sekali aktif, terutama Jihan. Sudah lama Rasti tidak bertegur sapa, meski hanya lewat chat WA.Rasti menatap foto profil gadis itu yang terlihat glamor. Pakaian mahal yang terlihat kurang bahan, namun begitu cocok ditubuhnya yang terawat. Gadis itu tampak hidup dengan baik dan bahagia.[Jihan.]Setelah susah payah Rasti mengatur hatinya, ia selesai juga mengetik 5 huruf itu dan mengirimkannya.Tidak lama centang 2 terlihat, sayangnya Rasti harus menunggu untuk bisa berubah biru.[Ya. Rasti, sudah lama tidak berkabar. Apa kabar kamu sekarang?]Rasti menelan ludah dan memberi kekuatan pada j
"Bawa aku keluar," bisik Rasti. Raihan mendekap istrinya lebih dekat dan membawanya keluar.Gadis itu sebenarnya tidak sanggup mendapat tatapan dari banyak pasang mata sekaligus, namun karena Raihan ada di sampingnya, ia sedikit lebih kuat."Kamu harus menegakkan wajahmu, dan lihat itu, Rasti!" bisik Raihan. "Sebelah kanan."Gadis itu mencoba mengangkat wajahnya perlahan, ia sungguh memberanikan diri untuk itu. Matanya menangkap sosok wanita yang menjadi istri dari ayahnya. Ia meninggalkan pelaminan penuh emosi. Mulutnya bahkan terlihat tengah berucap kasar. "Apa yang terjadi?" tanya Rasti.Raihan memperlihatkan pesan singkatnya.[Temui aku, besok. Istriku sangat malu dengan kejadian ini!]Rupanya pria itu menghubungi suami Jihan dan mengirimkan pesan. Menantu dan mertua baru itu cekcok sebentar, sebelum ibu mertuanya pergi dari pelaminan.Rasti menatap pria disampingnya, ia memang tidak tahu banyak tentang pekerjaan pria itu. Raihan hanya mengaku sebagai Manager sebuah perusahaan. G
Malam sudah larut, suasana toko yang biasanya cukup ramai terdengar sepi, apalagi karena hujan tak kunjung berhenti. Rasti hanya duduk menatap keluar, ia masih menunggu ibunya muncul dari kamar. Kamar tempat mereka beristirahat di toko. Sunyi, tidak ada suara dari sana. Beberapa kali, Rasti mengetuk pintu, ibunya hanya mengeluarkan sedikit suara. Itu sudah cukup untuk ia diam menunggu hingga suasana hati ibunya kembali baik. Meski, mungkin akan sangat sulit."Ayo, pulang!" Bu Mayang tiba-tiba saja sudah berdiri di dekat Rasti. Gadis itu sampai berdiri karena kaget. Ia segera mengambil kunci untuk menutup toko. Ibunya berjalan lebih dulu tanpa kembali berbalik. Cepat-cepat Rasti menguncinya dari luar dan menyusul ibunya yang sudah terlihat cukup jauh."Ibu, tunggu!" Rasti berlari, Bu Mayang tidak mengubris. Ia tetap berjalan sendiri dan meninggalkan Rasti. Gadis itu sampai berlari mengejar.Sebuah lampu sorot terlihat dari kejauhan. Jaraknya semakin cepat mendekat dan menyilaukan. Rast
Raihan baru saja berganti pakaian setelah selesai mandi. Apartemennya cukup nyaman dan luas, jika hanya ditempati oleh pasangan suami istri dan satu anak. Ia memang membelinya saat masih single. Rasti bahkan belum sempat tahu. Sebenarnya satu sama lain diantara keduanya belum saling mengenal lebih jauh. Sebelum menikah, mereka hanya sempat pergi beberapa kali, sebelum memutuskan untuk mengakhiri hubungan tali kasih dengan ikatan pernikahan. Raihan pikir tidak punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan hanya bermain-main saja. Siapa sangka ia seperti terjebak dalam dilema, cinta semakin kuat saat gadis itu menjadi istrinya, rasanya ia masih belum bisa menerima jika harus kehilangan sekarang, di mana pucuk cintanya baru saja mekar dan tidak ada cacat pada wanita yang dicintainya itu.[Ada apa? Sudah aku bilang, aku tidak mau pergi denganmu!] tukas Raihan saat mengangkat panggilan dari asistennya. Setelah pulang kerja, mode mereka biasanya lebih seperti teman.[Saya tidak b
Pria berpakain hitam itu keluar dari tempatnya bersembunyi. Motornya melaju menapaki rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela bebatuan. Ia sangat jarang keluar saat terang, biasanya hanya ditemani pemilik malam. Siang ini, satu keberanian muncul, temannya bukan lagi rembulan yang sembunyi di balik awan, tapi matahari yang terang menantang.Sampai di depan rumah besar, ia berbelok dan menaikkan motornya, menyusuri samping pagar yang menjulang tinggi untuk menemui seseorang. Ia menaikkan satu kerikil kecil memberi kode. Biasanya ia harus menunggu beberapa waktu agar penghuni rumah itu merespons. Sayangnya, setelah berkali-kali menghubungi lewat ponsel pun tidak ada diangkat juga. Itu alasan kedua, kenapa pria itu berani muncul pada siang hari dengan identitas yang selama ini disembunyikan.*"Tidak ada satu orang pun yang menghargaiku di rumah ini." Pak Bagus menarik napas sesak. Bertahun-tahun, puluhan tahun tepatnya ia hanya hidup sendiri. Dijadikan alat untuk mencari uang demi memenu
"Ada kekacauan apa ini?" Bu Nawang mendengar keributan di kamar cucunya. Padahal ia baru saja tiba, suara itu sampai hingga pintu depan."Zaki marah, Bu," jawab Dara mengiba."Marah kenapa?""Mas Bagus menempatkannya sebagai OB di perusahaan.""Apa?""Itu dia, Bu. Zaki menunggu Ibu datang. Ia sangat malu karena banyak yang mengolok-oloknya. Kami malah jadi tontonan karyawan kantor. Orang-orang mengumpat kami di belakang."Mendengar suara neneknya di balik pintu Zaki berpikir sejenak. Ia mengambil serpihan benda dan melukai tangannya hingga mengalirkan darah merah. "Nenek!" Anak lelaki itu menghambur, menangis sejadinya. "Nenek akan berbicara dengan papamu," ujar Bu Nawang."Nenek. Zaki malu, Nek. Kenapa papa seperti itu, bukankah aku adalah pewarisnya?" Zaki menangis tersedu. Memeluk neneknya erat."Benar. Kamu adalah pewaris keluargaku. Semua kekayaanku akan turun padamu.""Aku akan menjalankan perusahaan dengan baik, Nek. Menyenangkan nenek dan menurut apapun pada keinginan, Nenek.
Rasti menjadi gundah gulana. Ia tak berhenti bolak balik di dalam tokonya, bak orang yang tengah sembelit dan sulit untuk keluar. Matanya tidak berhenti menatap jam dinding yang terasa bergerak cepat. Jam makan siang akan segera tiba, berkali-kali gadis itu merasa greget dan sangat ingin menghentikkan detik jarum jam agar berhenti saja, agar waktu makan siang itu tidak pernah ada. "Apa dia sengaja?" Rasti bergelut dengan pikirannya sendiri. Selain itu, hal yang membuatnya resah adalah Raihan tidak lagi menghubungi padahal jelas ia menutup panggilannya secara sepihak dan mengakhirinya dengan marah. "Mana ada lelaki peka. Dia malah senang 'kan? Siapa yang tidak suka makan siang ditemani gadis cantik dan berpenampilan menarik?" Rasti menjadi sangat geram saat ia mengingat pakaian pegawai kantoran yang memang biasa terlihat rapi."Bu! Bu!" Rasti mengetuk pintu. "Aku tutup dulu tokonya sebentar ya, Bu. Aku akan kembali setelah jam makan siang.""Ya." Hanya ada jawaban itu dari dalam sana.
Pak Bagus pergi dari rumahnya seperti biasa. Ia pamit untuk berangkat kerja namun berbelok di persimpangan untuk menemui teman yang sudah ia beritahu sebelumnya. Tidak terlalu jauh jaraknya hingga ia tidak perlu menghabiskan banyak waktu. Akhir-akhir ini, ibunya tahu kalau ia jarang pergi ke kantor karena mencari keberadaan Rasti dan Mayang. Setelah malam di mana Mayang datang dan mengatakan Rasti terluka, Bagus tahu kalau ibunya telah mengingkari janji mereka."Apa yang bisa saya lakukan, Pak?" Seorang lelaki berumur sedikit di bawahnya datang menghampiri. Bagus sudah sampai lebih dulu, ia menunggu di bawah jembatan besar, di mana jarang orang yang melihat keberadaan mereka dari atas sana. "Bagaimana dengan aset yang aku titipkan padamu?" tanya Pak Bagus tanpa menoleh. Pandangannya tetap tertuju pada aliran air sungai yang terlihat lebih surut."Aman, Pak. Perkebunan sawit sebentar lagi sudah bisa dipanen. Villa pun ramai pengunjung. Sapi-sapi yang di pelihara oleh para petani pun s
[Iya, Bu.][Aku sudah di depan rumah mertuamu. Kenapa tidak ada yang membuka pintu?][Apa? Ibu sudah berada di depan rumah?] Mata Raihan melotot menoleh pada Rasti yang bingung. "Ibu Widia ada di depan rumahmu?" bisiknya."Apa?"[Ibu tunggu, sebentar. Aku dan Rasti segera datang. Ibu Mayang mungkin sedang tidur, beliau kurang sehat.][Benarkah? Kalau begitu cepatlah!][Iya, Bu. Sebentar lagi Raihan sampai.]"Bagaimana ini, Mas?" Rasti mulai khawatir begitu pula Raihan. Pria itu menambah kecepatan laju mobilannya agar lebih cepat sampai."Ibu tidak memberitahuku kalau beliau akan datang.""Apa ibu tahu kalau kita---?"Raihan melihat kegugupan Rasti sebentar, lalu menggeleng. "Aku belum menceritakan apapun tentang pernikahan kita, karenanya ibu datang ke rumah."Rasti mengangguk paham. Namun, ia mengkhawatirkan keadaan ibunya. Tadi pagi, penyakitnya kembali kambuh, gadis itu khawatir ibunya semakin meracau."Aku takut ibu Mayang berlaku macam-macam pada Ibu Widia, Mas. Kalau ibu berpik
"Dia pikir dia akan menang!" Bu Nawang menghembuskan napasnya berkali-kali ia terlihat gelisah dan kepanasan. Menahan emosi yang meletup-letup tak karuan. "Perempuan itu memang duri, bahkan sudah puluhan tahun dia tetap jadi duri!" umpatnya lagi.[Hallo! Aku ingin kamu datang, besok pagi.] Nenek tua itu menghubungi seseorang. "Dia hanya wanita miskin. Mana bisa dia menyewa pengacara sehebat aku!" gumannya lagi dengan gelak tawa. Mengobati kekesalan dirinya sendiri. "Tidak sudi sepeserpun hartaku digunakan dan tertelan oleh mereka."Pak Bagus yang hendak menanyakan itu sudah mendengar secara langsung. Ia berdiri dan melihat semuanya. Apa yang dikatakan Rasti ternyata benar. Pria itu mengurungkan niatnya untuk masuk dan bertanya pada ibunya. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja. Ruangan paling nyaman di rumah besar itu, karena jarang ada orang yang datang untuk masuk. Ia lebih suka menghabiskan waktunya sendirian.Bagus duduk di kursi kerjanya. Bertahun-tahun lelaki itu menuruti
"Ibu minum dulu." Rasti membawakan ibunya segelas air. Wanita itu bangun dan duduk untuk menghabiskan segelas air minum yang dipegangnya saat ini. Energinya terkuras habis, suaranya pun serak karena terus menangis. Rasti pun menyiapkan potongan kue yang dibeli ibunya bersama Pak Salim, menyiapkannya ke dalam piring. Gadis itu menaburkan obat yang telah digerusnya menjadi bubuk kecil hingga tersamarkan. "Rasti tinggal dulu, sebentar." Gadis itu tengah beranjak saat tangan ibunya menggenggam. "Bagaimana kalau rumah ini benar-benar diambil Bu Nawang?" lirihnya lemah.Rasti membalas tatapan ibunya yang lemah, mengusap punggung telapak tanganya. "Kita tidak akan kehilangan apapun lagi, Bu. Rasti tidak akan membiarkan itu. Rasti akan mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hak ibu." Bola mata Bu Mayang melihat keberanian yang terpancar. Jarang sekali, putrinya menatap seperti itu, seperti ada ruh berbeda yang mengisinya kini."Istirahatlah! Jangan pikirkan apapun lagi. Ibu sudah cukup
Rasti mencoba mengenakan beberapa pakaian, entah apa yang ada dalam pikirannya, pagi ini. "Ini terlalu formal." Rasti menghempaskannya di atas ranjang. Ia kembali memilih, sebenarnya tidak banyak pilihan. Tapi, karena hatinya bingung antara harus berpenampilan bagus atau biasa saja."Bukankah ini akan terlihat aku sangat menantikan pertemuan ini?" Gadis itu kembali menggeleng di depan cermin. Melemparkannya kembali ke atas tumpukan baju yang lain."Begini lebih nyaman." Rasti memilih celana kulot dengan atasan berwarna putih. "Enggak Rasti! Raihan akan berpikir kalau kamu mendapat kesulitan setelah berpisah dengannya." Gadis itu putus asa. Ia merentangkan tubuhnya di atas pakaian yang berserakan di atas kasur."Sebaiknya aku batalkan saja pertemuan ini." Pikirannya buntu. Tatapan lemas menatap langit-langit kamar. Lalu, sebuah mobil terdengar masuk ke halaman. Rasti menengoknya. Taksi yang dipesan Raihan sudah sampai."Tunggu sebentar, Pak." Ia melambai dari jendela kamar saat pengem