"Rasti!" Rasti mendengar suara ibunya mengetuk pintu. Setelah kejadian tadi, Rasti dan Raihan tidak keluar lagi dari kamar. Keduanya berbaring di ranjang dengan pikirannya masing-masing hingga membuat Raihan bahkan mendengkur halus, kelelahan dan terlelap.
"Suamimu tidak mandi?" Bu Mayang menengok dari celah pintu yang sengaja Rasti halangi. "Tidur, Bu." "Ibu sudah siapkan air panas. Mana enak tidur sebelum mandi, nanti malam bisa lengket. Ibu tidak suka aroma keringat." "Ayo bangunkan!" Ujar Bu Mayang membuat mata Rasti menyelidik. Rasti memang tidak suka aroma keringat. Mungkin itu maksud ibunya. Hal yang tidak mereka suka bahkan bisa sama. Bu Mayang pergi setelah mengatakan itu. Rasti kembali ke kamar dan duduk di samping ranjang, menatap lekat suaminya yang tampan. Siapa yang tidak akan jatuh cinta pada pria itu, senyum dan sikapnya yang lembut bahkan sangat memikat wanita yang mendekat. "Mas." Rasti membangunkan suaminya pelan. "Mandi dulu. Ibu sudah menyiapkan air hangat," tambah Rasti ketika pria itu menggeliat. "Kok, Ibu yang menyiapkannya dan bukan kamu?" "Nggak tahu." Rasti memang tidak terpikirkan untuk membuatkan air hangat untuk suaminya. Tapi, ibunya terpikirkan, mungkin karena pengalaman saat masih ada ayahnya saat itu. Raihan bangun dan berjalan keluar diikuti Rasti. Kamar mandi mereka terletak paling ujung, tepatnya setelah dapur. "Handuknya sudah ibu siapkan di dalam," ujar Bu Mayang dari arah dapur saat Rasti mencarinya di jemuran khusus handuk yang biasanya disimpan di dekat pintu samping. Rasti hanya diam saat mendengar itu. Semua kebutuhan suaminya benar-benar sudah disiapkan ibunya dengan cekatan. Bu Mayang sekarang tengah menyiapkan hidangan makan malam. Terlihat ada makanan asing yang jarang ia makan saat hidup berdua sama ibunya. "Ini makanan apaan, Bu?" "Jangan sentuh! Itu kesukaan Raihan." Tangan Bu Mayang sedikit memukul demi menjauhkan tangan Rasti dari mangkuk. "Dari mana ibu tahu itu kesukaan Raihan?" "Ibu tahu semua tentang dia. Kamu saja yang pelupa," jawab ibunya sembari menata piring. Rapi sekali, tidak pernah seperti itu sebelumnya. Raihan memang pernah berkata kalau dia sangat menyukai Tekwan, sup ikan dengan bola mata yang kenyal. 'Oh ternyata ini yang membuat ibu sejak tadi siang sibuk di dapur. Ia menyiapkan sup ini sendiri. Aku bahkan lupa kalau Raihan pernah mengatakannya,' batin Rasti. Raihan keluar dari kamar mandi. Rasti melihat ibunya bergegas masuk ke dalam kamar. Ia sedikit heran, tapi membiarkan dan memilih mengikuti suaminya untuk membantu menyiapkan pakaian malam. "Ibu menyiapkan Tekwan, Mas," lirih Rasti membantu mengancingkan piyama suaminya. "Oh, ya." Raihan terlihat senang. Matanya bahkan berbinar, seolah tidak sabar untuk menyantapnya. Pria itu bahkan langsung keluar kamar setelah selesai. Langkah kakinya terhenti, hampir terinjak Rasti yang mengekori. Ibunya sama-sama baru saja keluar dari kamar. Gaun tidur berwarna silver yang terlihat pendek. Rasti menelan ludah. Bibirnya gagu untuk menegur, apalagi mata Raihan melotot tak percaya. Rambut wanita itu terurai sebahu dan sedikit ikal di ujung. Terlihat lebih hitam mengkilat. "Ayo, kita makan sebelum dingin." Ajaknya mencairkan suasana. Melangkah dengan jenjang kakinya yang kecil. Rasti bahkan baru melihat kalau tubuh ibunya masih sangat mulus dan putih, selama ini wanita itu selalu menggunakan dress panjang atau celana bahan. "Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaan, Nak Raihan." Bu Mayang sigap mengambil piring dan menatap nasi serta lauk kesukaan Raihan bahkan sebelum Rasti duduk di kursinya. "Terimakasih, Bu." "Sama-sama." Bu Mayang menunggu menantunya menyuap. "Enak?" tanyanya menatap. "Enak, Bu," jawab Raihan gugup, melirik pada Rasti yang kaku. Bingung. Makan malam itu terasa hambar bagi Rasti, Raihan pun tidak lepas menikmati makanan favoritnya. Hanya Bu Mayang yang terlihat bahagia, seringnya ia melihat Raihan menyuap makanan yang pertama kalinya ia buatkan. Waktu bergulir malam. Rasti masih terus memikirkan sikap ibunya yang aneh dan sangat mencurigakan. 'Apakah sikap seperti itu wajar untuk seorang ibu yang baru memiliki menantu? Apa ibu sangat senang hingga begitu perhatian? Tapi, pakaian itu?' batin Rasti bergidik. Ia kalah seksi dengan ibunya tadi, terutama di mata Raihan. Sesekali ia melihat pintu kamar ibunya yang tertutup rapat setelah makan malam. Sedangkan, kamarnya masih sedikit terbuka karena Raihan izin untuk menyelesaikan pekerjaan. "Rasti, belum masuk?" Tiba-tiba ibunya menyembul dari pintu kamar dan melihat Rasti yang masih termenung di kursi tamu. "Belum, Bu. Ibu belum tidur?" tanya Rasti balik. Bu Mayang malah menatap jam dinding di ruang tengah. "Sudah malam." "Iya. Mas Raihan masih harus menyelesaikan pekerjaan." "Urusan kantor. Kenapa dibawa-bawa ke rumah?" Bu Mayang keluar, mendekat. "Apa ini karena kamu kurang menggoda?" Matanya melihat pakaian Rasti dari ujung kaki hingga leher. Setelan baju tidur standar yang biasa Rasti gunakan sebelum menikah. "Pakaianmu malam ini, salah," ujarnya. "pakai lagi baju seperti tadi malam." Wajah Rasti semakin berkerut, 'Pakaian tadi malam? Dari mana ibu mengetahuinya? Aku bahkan hanya memakainya di depan Mas Raihan dan mengganti pakaian dinas itu saat keluar kamar.' Tentu saja karena malu. Tapi, apa yang ibunya pakai sekarang, mirip sekali dengan pakaiannya, tadi malam. "Ayo, masuk!" Bu Mayang sedikit memaksa mendorong Rasti untuk masuk. Ia tampak tidak sabar untuk sesuatu. Raihan tersenyum saat Rasti menutup pintu. Ia menutup laptopnya dan menyimpan di atas meja. "Baju dinasnya tidak dipakai lagi?" bisik Raihan di balik telinga istrinya hingga membuat bulu leher wanita itu meremang. Rasti tersenyum malu, pelan-pelan ia berjalan ke lemari mengambil pakaian yang sudah disiapkan Raihan sebagai hadiah pernikahan mereka. "Tidak! Aku lebih suka melihat ini!" Raihan menangkapnya. Rasti menjerit geli. Namun, sesaat kemudian dia terdiam. Rasanya ia mendengar sesuatu. Jeritan suara ibunya yang sama-sama melengking. Rasti meraih pakaiannya lagi dan segera berjalan menuju kamar ibunya. Ia takut sesuatu terjadi pada ibunya hingga menjerit seperti itu. "Bu, Ibu tidak apa-apa?" Rasti mendorong pintu dan seketika matanya terbelalak. "Ada apa dengan, ibu?" Raihan menyusul. Rasti segera menarik gagang pintu dan menutupnya rapat. Dadanya bergemuruh kencang, tangannya bahkan bergetar. Raihan menatap penuh tanya. "Ibu tidak apa-apa," jawab Rasti gugup, berjalan gamang meninggalkan kamar itu. Bagaimana ia bisa membiarkan Raihan melihat ibunya yang menanggalkan pakaian di lantai. 'Kenapa ibu seperti ingin mencoba meniru semua yang kulakukan, sekarang? Semenjak aku menjadi seorang wanita bersuami?' Rasti terpekur bingung. Sikap ibunya semakin aneh. Hal yang tidak pernah ia lihat sejak bersamanya. Meski, tanpa suami ibunya bahkan tidak seperti janda penggoda, tapi sejak dirinya menikah dan di rumah mereka ada Raihan, sikap ibunya langsung berubah. Mirip wanita yang baru saja menikah. Bersambung ...."Boleh kita istirahat, malam ini?" Rasti berkelit lemah saat tangan Raihan menyibak rambutnya. "Hatiku sedang tidak enak."Raihan mengangguk. Ia adalah pria yang baik, mengerti keadaan istrinya. Dari sejak pulang kerja dan beberapa kejadian random setelahnya memang membuat situasi keduanya tidak nyaman."Tidurlah kalau begitu." Raihan mengecup pipi Rasti yang berbantal puhu tangannya.Pria itu mendengkur terlebih dulu, Rasti hanya meliriknya dengan ekor mata, dan suaminya benar-benar sudah terlelap, berbeda hal dengan dirinya yang masih terjaga. Pikirannya kacau, dipenuhi dengan dugaan-dugaan jelek tentang ibunya.Rasti beringsut, ia turun dari ranjang dan membiarkan Raihan tidur tanpa terganggu dengan pikirannya yang kacau. Wanita itu berjalan mengendap-endap untuk keluar. Ia berdiri di depan kamar ibunya untuk beberapa saat. Lalu, memberanikan diri mendorong pintunya lagi. Kamar mereka memang tidak pernah dikunci, hidup berdua di rumah itu, seolah tidak ada privasi. Hanya sekarang s
Menjelang siang Rasti harus menyusul ibunya pergi ke toko. Toko kue itu memang dijaga oleh keduanya. Sebenarnya Rasti ragu untuk menghampiri ibunya apalagi setelah kejadian ini dan pikirannya dipenuhi hal negatif tentang wanita yang sangat baik di matanya, selama ini."Kamu sudah datang?" Bu Mayang mengangkat sedikit kepalanya dan kembali menggulung kue. Rasti menyimpan barang-barang di meja dan ia menemukan ponsel ibunya yang tergeletak di sana.Mata Rasti cukup lama menatap pada layar ponsel itu, rasa penasaran membuat ia termenung ke arahnya. Gadis itu ingin memastikan video apa sebenarnya yang terunduh tadi."Bu Mayang," panggil pelanggan dari etalase depan."Ya." Wanita itu segera bangkit dan melepaskan sarung tangannya, menghampiri pembeli dan melayaninya dengan ramah. Memang Bu Mayang terkenal ramah di mata orang-orang apalagi pelanggan.Rasti menunggu hingga ibunya pergi dari sana. Tangannya bergetar meraih ponsel milik ibunya dan memeriksa. Beberapa aplikasi Rasti lihat, say
"Pak Salim." Pagi sekali lelaki itu datang ke rumah Rasti. Tumben sekali memang, sampai gadis itu mengerutkan dahinya."Bu Mayang meminta saya untuk mengantarnya belanja hari ini," ujar Pak Salim dengan senyum merekah. Bahagia dan tidak percaya, dugaannya pada lampu hijau kemari benar-benar nyata."Silahkan masuk, Pak." Rasti mempersilahkan. Tapi, ibunya keburu datang. Pakaiannya jauh lebih modis dan ia terlihat cantik."Bisa kita berangkat, sekarang?""Oh, ya, tentu saja." Pria berusia 47 tahunan itu hampir tidak bisa mengepakkan kelopak matanya. "Cantik," lirihnya terdengar Rasti dan hanya bisa dibalas dengan tegukan air ludah dari gadis itu."Ibu berangkat dulu. Toko biar buka siang saja." Pesannya sebelum pergi dan hanya mendapat anggukan Rasti. Masih ada sekat diantara keduanya setelah beberapa kejadian akhir-akhir ini terutama karena kemarin malam.Mereka terlihat seperti pasangan, Rasti menelaah dan memperhatikan. Baru kali ini ibunya bersikap seperti itu pada pria, tentunya se
"Mas, tidak berbohong?" Suara Rasti gamang. Sebenarnya ia begitu takut dengan pikirannya sendiri."Mana mungkin Mas berani berbohong, Sayang." Raihan segera menghampiri dan mengambil alih hadiah itu. "Memang ada-ada saja si Robbi, Mas sampai malu sendiri melihatnya hingga disembunyikan di sana biar kamu tidak usah lihat.""Ya." Rasti menjawab dingin. Ia keluar kamar dan membiarkan suaminya berganti pakaian.Rasti bolak balik di teras rumah, padahal matahari sudah terbenam dan langit menjadi gelap.Rasanya ia tidak bisa memendam perasaan yang kini menghantuinya.Rasti menghubungi Pak Salim, kebetulan ia memiliki kontak ponselnya karena memang pria itu adalah konsumen setia mereka dari dulu.[Rasti. Tumben sekali. Ada apa?] Pak Salim menjawab dengan nada ceria. Barangkali ia berharap ada kabar gembira tentang wanita pujaannya setelah beberapa kali mendapat sinyal bagus.[Eum ...] Ragu sekali Rasti menanyakannya. [Hadiah itu?][Hadiah?] tanya Pak Salim.[Hadiah dari ibu.][Oh, ya. Apa Bu
Rasti setuju akan rencana suaminya untuk membawanya pergi berlibur. Sejak menikah memang tidak ada waktu berdua, hari-hari bahagianya bahkan nyaris kandas karena masalah yang timbul dari sang ibu."Apa sudah izin ibu?" Raihan bertanya sesaat sebelum berangkat. Keduanya sudah berada di dalam mobil. Rasti menggeleng, ibunya masih belum keluar dari kamar. Toko sudah disterilkan oleh gadis itu. Menggunakan strategi diskon untuk menghabiskan stok kue dan itu berhasil. Ia bahkan pulang lebih awal untuk menyiapkan pakaian. Raihan meminta sore ini langsung berangkat, hanya menginap di hotel terdekat sebelum pergi jalan-jalan ke luar kota. Mengurai ketegangan saja."Ibu tidak keluar dari kamarnya. Dan---" Rasti menggigit bibir. Sejak kemarin malam ia belum lagi berbicara dengan sang ibu. Wanita itu terlihat lebih tertekan dan mengunci diri setelah mendapatkan bentakan beberapa kali dari Rasti."Apa sebaiknya kita izin dulu?" Raihan masih memberi kesempatan kepada istrinya untuk berbicara deng
Hari-hari berlalu, rumah yang biasanya rame meski hanya berdua mendadak sepi seperti kuburan.Rasti dan ibunya masih satu rumah, tapi mereka tidak lagi bertegur sapa, lebih tepatnya Rasti memilih menghindari dari sang ibu. Ia pun tidak lagi pergi ke toko, keluar rumah setiap pagi, berjalan tanpa tujuan sekedar menghindari ibunya dan kembali saat wanita itu sudah pergi ke toko."Neng Rasti, Nak Raihannya mana kok jarang terlihat?" Banyak orang yang bertanya-tanya, gadis itu hanya tersenyum kecil menanggapi.Rasti memblokir nomor suaminya. Ia tidak ingin lagi ada komunikasi diantara keduanya. Keputusan Rasti untuk melepaskan pujaan hatinya demi sang ibu sudah bulat.Malam-malam, isak tangis terdengar menyayat. Rasti sering bangun dan menangis sendirian, cinta yang besar pada Raihan membuat hatinya terluka sangat dalam."Nak." Malam itu, Rasti mendengar ibunya mengetuk pintu, hampir satu minggu tidak ada komunikasi, sekarang akhirnya Bu Mayang memberanikan diri.Ia sudah bolak-balik di d
Rasti menutup toko kuenya lebih cepat dan membawa ibunya segera pulang. Akan menjadi bahan gunjingan orang-orang saat melihat keadaan ibunya, sekarang. Padahal, gosip tentang pernikahannya dengan Raihan pun masih belum reda."Ibu istirahat saja." Rasti membawakan minuman dan membersihkan luka pada jemari tangan ibunya. Terluka karena benda-benda yang dijatuhkan dan dilempar dengan sengaja. Kali ini Rasti benar-benar baru melihat kemarahan ibunya hingga seperti itu, hingga rasa penasaran pada wanita tua yang datang kemarin semakin menjadi.Bu Mayang semakin murung. Kelopak matanya terlihat sembab dengan tatapan mata yang semakin lemah. Sehari-hari ia hanya melamun. Rasti sangat khawatir akan keadaan ibunya, namun terpaksa ia harus meninggalkannya agar bisa tetap membuka toko. "Di mana ibumu?" Wanita tua itu kembali datang seperti janjinya. Tidak hanya sendiri ia datang bersama dua orang pria sekarang. Satu bertubuh besar dan kekar, satu lagi kira-kira seusia dirinya atau hanya lebih m
Bu Mayang tertawa-tawa senang, Rasti mendengarnya dengan risih. Terlalu berlebihan ibunya mengekspresikan kebahagiaan. Sesekali suaranya bahkan terdengar mengumpat."Kamu pikir aku masih sama?""Tidak! Dia mencintaiku dan akan melakukan apapun untukku! Kamu harus terpaksa kalah wanita tua!"Rasti menguping ibunya berbicara, diselingi tawa yang membuat gadis itu malah khawatir dibanding ikut bahagia karena toko mereka tidak jadi diambil alih.Belum lagi kata-kata sumbang itu membuat hati Rasti perih, ia tidak tahu siapa yang sebenarnya ibunya maksud, tapi entah kenapa perasaannya mengarah pada Raihan. Sungguh tidak pernah terpikirkan olehnya untuk berbagi segalanya dengan ibunya bahkan masalah pria.Sudah lebih 2 minggu perpisahan Rasti dengan Raihan. Mereka sudah tidak lagi menjalin komunikasi, tapi hubungan ibunya dan Raihan terlihat baik-baik saja. Pria itu bahkan datang hanya untuk menemui sang ibu alih-alih berupaya berbaikan dengannya.Rasti mengambil ponsel. Berkali-kali ia berp
"Bagaimana?" Bu Nawang menyambut antusias kedatangan putranya yang baru pulang dari Bali. Ia sudah tahu kalau Bagus akan melamar Mayang lagi di sana untuk menjadikannya istri."Di tolak, Bu.""Apa? Ditolak? Si Mayang menolak anak ibu yang kaya raya ini?" Wanita tua itu tidak terima. "Apa dia sudah gila, beraninya menolak anakku? Si Mayang harus tahu banyak mengantri untuk menjadi istrimu, Bagus."Pak Bagus berjalan gontai menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Setelah mendengar penolakan kejam itu, Pak Bagus tidak lagi berani dekat-dekat dengan Mayang, ia insicure pada dirinya sendiri."Apa alasan dia menolakmu? Apa dia meminta agar semua hartamu di alihkan atas namanya?" Bu Nawang masih tidak percaya ada yang menolak keinginannya."Mayang bilang, Bagus bukan lagi tipe pria idamannya, Bu.""Dia tidak suka sama pria gendut, perut buncit dan berleher pendek ini." Pak Bagus melanjutkan dengan nelangsa."Apa? Dia berani mengatakan itu pada anak semata wayangku?" Bu Nawang mulai mem
"Hanya 2 tas saja, Bu. Nggak bisa lebih!" Rasti sudah mewanti-wanti ibunya untuk tidak membawa banyak barang, seperti saat mereka pergi ke kampung Raihan, sebelumnya."Iya. Kamu udah bilang 4 kali sama ibu, Rasti," jawab Bu Mayang tidak menoleh. Ia terlalu sibuk dengan packingan bajunya. Menyiasati bagaimana cara semua barang bawaannya masuk ke dalam 2 tas seperti yang dikatakan putrinya itu."Ini, dia pasti butuh dan lupa membawanya. Ini juga harus aku bawa, Bu Widia akan marah besar, jika aku tidak membawanya." Wanita itu berpikir untuk memasukkannya pada kemasan yang lebih kecil. Hingga pukul 23.00 wanita itu masih sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa pergi.Di rumahnya sudah sepi, suara Raihan dan Rasti pun tidak lagi terdengar. "Apa mereka udah tidur?" Bu Mayang menyelinap ke bawah kursi ruang tamunya. Perlahan ia berjongkok dan memicingkan sebelah mata. Mengintip dari lubang kancing yang menembus ke kamar anak menantunya."Arg!" Bu Mayang terkaget sampat terbentur kursi
Rasti masuk ke dalam ruangan persidangan sesaat sebelum sidang di mulai. Raihan sudah duduk di sana bersama pengacaranya. Ia menoleh pada gadis itu yang hanya menunduk sambil berjalan hingga sampai ke tempat duduknya.Hakim memasuki ruangan sidang. Berkas perkara mulai dibacakan. Berkas tuntutan dari Rasti kosong. Ia tidak menuliskan apapun. Di matanya tidak ada kekurangan untuk suaminya itu.Rasti diminta untuk berdiri dan menjelaskan perasaannya secara langsung. Ia diberi kesempatan oleh hakim untuk mengungkapkan sendiri alasan dari penuntutannya. "Raihan adalah pria yang sangat baik. Itu alasan kenapa saya tidak menuliskan satu pun kekurangannya. Tapi, ada sesuatu yang tidak bisa saya ungkapkan pada halayak ramai mengenai gugatan perceraian ini. Saya dan Raihan sama-sama tahu alasannya. Saya sungguh minta, maaf," ucap Rasti menunduk. Tubuhnya terasa bergetar, ia bahkan meneteskan air mata di sana. Raihan yang tahu beratnya perasaan istrinya saat ini, sontak berdiri. Berkali-kali,
Pak Bagus duduk di samping ranjang ibunya. Ia tidak ingin kecolongan lagi, mungkin saja orang itu kembali. Sejak kejadian tadi malam, ia bahkan tidak bisa memejamkan mata. Menatap wajah ibunya yang sudah menua. Wanita di hadapannya bukanlah ibu yang sempurna, tapi apa yang dilakukannya adalah sebuah cara siaga untuk melindungi diri dan anaknya. Setelah melihat fakta sesungguhnya, mungkin puluhan tahun ini, apa yang ibunya lakukan tidak semua atas kehendaknya sendiri."Bu." Bagus menggenggam tangan ibunya. Ia mengelusnya sembari mengenang masa-masa yang telah lalu. Ibunya memang berwatak keras, tapi di mata Pak Bagus tidak ada orang sebaik ibunya, seburuk apapun wanita itu memperlakukannya. Ia bisa hidup hingga saat ini semua karena jasa-jasanya yang tidak akan mungkin terbalas. Apalagi mereka hidup berdua sejak dulu. Melihat ibunya kerja keras untuk menghidupinya, Pak Bagus tidak pernah melihat wajah ayahnya sendiri, hingga kini."Bangunlah, Bu. Kita masih bisa memperbaiki keadaan ini
"Argh! Sial!" Dara menumpahkan emosinya. Ia tahu pengacara itu mengkhianatinya."Pecat Haikal, sekarang! Jadikan, dia gelandangan!" pekiknya lagi saat Zaki mengunjunginya. Kemudian, menceritakan kalau pengacara yang datang kemarin adalah pengacara ayahnya. "Anak bodoh! Kamu memang tol*l!"Zaki hanya diam saat dimaki ibunya, ia menyadari kebodohannya."Lalu, bagaimana dengan nenek tua itu. Apakah dia sudah mati?"Zaki masih diam. Mata Dara bergerak mengintai."Bukankah kamu telah menghabiskan waktu dengan sia-sia, Zaki?" tanyanya emosi.Anak lelaki itu sudah kecanduan. Minumannya adalah alkohol, dan ia tidak bisa melepaskan game online di tangannya. Zaki lupa akan tugas-tugasnya dari sang ibu."Benar-benar, kamu!" Dara menendang meja di depannya, pemisah antara mereka. Zaki sampai berdiri kaget. "Cari pengacara lain, sekarang! Aku harus keluar dari sini!"Zaki segera pergi. Ia yang tidak punya relasi dan hanya menghabiskan hidupnya untuk dunia game, bingung. Uangnya yang banyak itu, ti
Raihan dan Rasti pulang ke rumah, malam hari. Bu Mayang tidak banyak bertanya tentang kedatangan mereka yang terlambat. Ia seperti lelah setelah perjalanan jauh. Rasti mendapati ibunya dengan mata mengantuk dan langsung kembali ke kamar setelah membuka pintu."Ibu, sudah tidur lagi," ucap pelan Rasti sembari menutup kembali pintu kamar ibunya yang ia baru saja dibuka. Memastikan.Raihan mengangguk. Mereka duduk sebentar di meja tamu. Rasti mengambil air minum untuk suaminya itu. Pria itu seperti ingin menyampaikan sesuatu."Sidang perceraian kita akan digelar, 6 hari lagi." Raihan mulai membuka pembicaraan. Suaranya kecil dan nyaris hilang. Ia sama sekali tidak ingin duduk di depan meja hijau itu.Rasti terdiam. Sebenarnya, ia selalu mengingat hari itu, di setiap detiknya. Apalagi setelah masa-masa kebahagiaan bersama Raihan dan keluarganya. Wanita mana yang ingin melepaskan keberuntungan itu?"Aku ingin kamu mempertimbangkannya kembali, Rasti. Kita bisa hadapi masalah ibu sama-sama."
Raihan dan Rasti sampai tidak lama setelah dihubungi ayahnya. Jaraknya saat itu memang tidak terlalu jauh."Rasti!" panggil Pak Bagus. Rupanya pria itu pun baru saja sampai ke Rumah Sakit."Ada apa, yah?" tanya Raihan saat Rasti hanya menengok saat namanya dipanggil, namun tidak mengucapkan satu kata pun.Pak Bagus menceritakan semua yang dikatakan oleh suster melalui telepon, sebelumnya. Rasti mendengarkan dengan seksama."Aku tidak tahu apa golongan darahku sendiri," jawab Rasti. Ia bahkan tidak pernah memikirkan itu. Ibunya pun belum pernah membawanya ke fasilitas kesehatan untuk memeriksa."Kalau begitu kita bisa cek dulu," ucap Raihan, menatap, meyakinkan persetujuan dari Rasti. Ia tidak ingin istrinya itu merasa terpaksa. Kalaupun Rasti tidak mau, ia akan tetap mendukung dan membelanya dari ayah mertua. "Kamu bersedia?" tanya Raihan memastikan.Pak Bagus pun tidak memaksa, ia paham betul perasaan Rasti saat ini. Siapa yang tidak akan berpikir, jika berada di posisi Rasti?"Ya."
Haris tidak punya waktu untuk kembali dan mencari penutup wajahnya. Ia tahu betul dua orang tadi mencarinya. Ia harus pergi sejauh mungkin, sekarang. Bersembunyi untuk sementara.Motornya kembali dipacu, ia menarik maksimal stang gas. meninggalkan kekecewaannya terhadap wanita yang dicintai. Mata petugas polisi lalu lintas langsung tertuju, menghubungi teman-temannya dan mengejar, mengepung.Mata Haris menoleh, "Sial!" Ia menyadari kalau dirinya dikejar. Matanya tak lagi sempat melirik kanan kiri, ia hanya fokus memacu kendaraannya ke depan. Kondisi tubuhnya belum benar-benar sehat, tapi ia tidak hiraukan itu. Lolos dan bebas, hanya itu yang ada di pikirannya.Mata Haris melotot, pasukan polisi sudah bersiap menjegal di depan sana. Berkeliling, mengepung. Bersiap melepaskan tembakan saat dia menyerobot garda terdepan. "Berhenti! Serahkan dirimu secara baik-baik!" Suara petugas terdengar menggema dari pengeras suara. Tapi, Haris tidak bisa berhenti. Ia tidak akan mungkin bisa lepas se
"Pak, Mas Haris sudah siuman. Mela memanggil bapaknya yang tengah duduk di luar ruangan. "Apa?""Mas Haris siuman." "Benarkah?" Keduanya langsung masuk, Haris yang tertidur selama dua hari setelah mengalami panas tinggi akhirnya membuka mata."Syukurlah, Nak. Kamu sudah siuman." Pria tua itu mendekati Haris dan melihatnya dengan senang.Haris melihat satu persatu dari dua orang asing yang pertama ia lihat setelah siuman. Dan, ini yang kedua kalinya ia hampir kehilangan nyawa, dua orang itu masih setia menemani.Mata Haris menyapu sekeliling, ruangan putih bersih dan harum. Berbeda dengan ruangan pertama saat ia terbangun, sebuah langit-langit yang rendah dengan dinding kayu yang cukup dekat dengan tubuhnya. "Di mana ini?" tanyanya lemah."Di Rumah Sakit, Nak.""Rumah Sakit?" Haris sontak bangun."Tenanglah! Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, perawatanmu sudah dibayar oleh seseorang. Kamu mendapatkan pengobatan yang sangat bagus hingga lukamu begitu cepat pulih." Jelas bapak tu