"Ya ampun! Jam berapa ini?" Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku karena merasa kepanasan, aku lupa menyalakan AC.
Aku melompat dari tempat tidurku dan bergegas menuju kamar mandi. Sudah jam 6.20 dan aku ketiduran. Aku ada janji dengan teman-temanku. Aku mandi secepat kilat agar bisa secepatnya bergegas ke tempat Virgie sebelum setengah delapan. Ku cek ponselku ada dua belas panggilan tak terjawab. Sembilan dari Virgie, tiga dari Athena dan satu dari Damon.
"Cepat sedikit, Sydey ... " Aku menggerutu sambil menyisir rambutku dengan jari tangan.
Ku lihat layar ponselku menyala, ada panggilan telepon dari Damon. Langsung ku angkat.
"Bro, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa datang malam ini," kata Damon dengan suara memelas.
"Wah, sepertinya akan ada yang kecewa malam ini."
"Ini benar-benar di luar dugaanku, aku harus menyelesaikan pekerjaanku malam ini, bro." Damon mencoba meyakinkanku.
"Kalau begitu biar nanti aku coba jelaskan kepada mereka. Kamu tidak usah khawatir."
"Kau memang yang terbaik, Syd. Muah!" rayu Damon.
"Eew, that's disgusting!" seruku kemudian menyudahi panggilan telepon.
Sambil menunggu pesanan taksi online tiba, aku merokok sambil duduk di tangga depan pintu masuk apartemenku. Sebenarnya aku bisa saja membeli motor agar memudahkanku bepergian ke mana saja, tapi karena kondisi mataku yang sudah minus, ditambah dengan konsentrasiku yang bisa buyar dan tiba-tiba panik, aku mengurungkan niat, daripada harus mengambil resiko menabrakan diriku ke kendaraan lain di jalanan. Untuk sekarang naik taksi adalah pilihan terbaik untukku.
Waktu menunjukkan pukul 7.15. Sambil menatap ke luar kaca jendela mobil, aku memberi kode kepada supir taksi agar berhenti. "Fiuhh, akhirnya sampai juga." ucapku lega sembari melangkahkan kaki keluar dari mobil.
"Hey! Dari mana saja kamu? Dari tadi aku menghubungimu, Syd." Athena mengomel.
"Ya ampun, princess, sedang apa kau di situ? Ku pikir kau security jaga malam di kompleks ini," cakapku menggoda Athena yang ternyata sudah sedari tadi menunggu di depan jalan.
"Enak saja kamu, aku sedang menunggu tukang delivery pizza. Dia lama sekali. Sudah sekitar sepuluh menit aku di sini tapi batang hidungnya tak kelihatan juga. Ternyata dia salah lorong," ujar Athena, "Kamu duluan saja ke atas, Virgie sudah menunggumu dari tadi," katanya sambil menengok ke kanan dan kiri mencari keberadaan si tukang delivery pizza.
"Damon tidak bisa datang malam ini. Katanya ada pekerjaan penting yang harus dia selesaikan."
"Klasik! Sudah bisa ku prediksi itu, dia memang terlalu workaholic."
"Kamu tidak apa-apa di sini sendirian? Siapa tahu ada yang lewat dan tiba-tiba dia ingin menculikmu karena terpesona dengan track pants dan hoodiemu itu." Aku menggoda Athena.
"Sialan kau, kutu buku! Jalanan ramai begini. Tapi aku rela diculik asalkan penculiknya mirip Michele Morrone," kata Athena dengan mata berbinar-binar.
"Jangan mimpi kamu! Wake up, sis!" Aku berlalu sambil terkekeh.
"Liftnya rusak! Pakai tangga saja, Syd!" teriak Athena dari depan jalan.
Sepertinya naik tangga bukan ide yang bagus, tapi memang harus dan ini akan membuat kakiku tremor sampai di atas karena kamar Virgie ada di lantai sembilan.
Apartemen dengan gaya modern ini memiliki sebelas lantai dan dua puluh dua kamar. Terlihat sangat elegan dan nyaman untuk ditinggali. Bangunan dengan tampilan yang modern ini sudah ada sejak lima tahun yang lalu. Cat putih gading dengan sentuhan lampu-lampu warm white di setiap sudut bangunan, terasa hangat dan nyaman karena di sekitarnya juga dikelilingi taman kecil dan ada beberapa pohon cemara menambah kesan kalem dan tenang.
"Tapi kenapa apartemen sebagus ini lift-nya bisa rusak?" gumamku kesal.
Aku pun mempercepat langkahku, menaiki dua anak tangga sekaligus agar bisa lebih cepat sampai ke atas dengan nafas yang sudah ngos-ngosan.
Tok, tok!
Dengan pelan aku mengetuk pintu kamar Virgie.
"Iya sebentar!" sahut Virgie dari dalam kamar.
Ceklek!
Terdengar suara Virgie membuka pintu dari dalam. Aku sudah sangat gugup karena datang terlambat dari janji yang seharusnya sudah ku tepati satu jam yang lalu. "Sydney, janjian jam berapa, datang jam berapa?" Virgie kesal, dia mengumpat.
"I'm sorry. Tadi aku ketiduran karena sangat capek sepulang bekerja," ujarku meminta maaf seraya menatap wajah Virgie yang sudah sedikit memerah. Sepertinya mereka berdua sudah memulai 'pesta' duluan.
"Kamu mabuk ya?" tanyaku penasaran.
"Siapa suruh datang terlambat, aku dan Athena sudah minum duluan," kata Virgie sambil mengangkat botol whiskey yang sudah tersisa setengah. "Eh, si Damon mana?" tanyanya karena dia tidak melihat sosok Damon datang bersamaku.
"Dia tidak bisa datang malam ini. Katanya masih ada pekerjaan penting yang harus dia selesaikan."
"Hmm, sudah kuduga," ujar Virgie sembari mengambil gelas dan menuangkan minuman untukku, "nih, minum!"
Ku sambut gelas yang disodorkan Virgie, "Sudah bisa ku prediksi akan jadi apa aku nanti."
Wajah Virgie yang tadinya masam karena jengkel langsung berubah dan tertawa melihat mukaku yang tiba-tiba menjadi aneh setelah meminum minuman yang bisa membuatmu pulang dengan empat kaki itu.
"Hey, our pizza is here!" seru Athena yang tiba-tiba membuka pintu.
Virgie menaikan volume speakernya. Dia dan Athena bergoyang layaknya seperti sedang berada di tempat clubbing sambil memakan pizza yang hampir tersasar ke rumah orang lain.
"Eh, memangnya tidak apa-apa kalau kita ribut begini?" tanyaku penasaran.
"Selagi belum ada yang datang menggedor pintumu, itu tandanya suara yang kita hasilkan masih dalam batas wajar."
Kami menggila seperti biasa. Virgie menyetel karaoke dan menyanyi layaknya seperti sedang di panggung konser.
"Pantang pulang sebelum hilang ingatan!" teriak Athena dengan lantangnya.
Aku mengeluarkan dompet dan uang kertas seribuan seakan- akan menyawer penyanyi dangdut. Virgie tidak mau ketinggalan, dia naik di atas sofa sambil bergoyang layaknya dancer Beyonce Knowles. Suasana malam itu sungguh benar-benar kacau sekaligus menyenangkan.
"Sebentar, aku capek, istirahat dulu jogetnya. Aku ke toilet dulu," cetus Vergie dengan nafasnya yang sudah tersengal-sengal karena terlalu bersemangat, wajahnya memerah seperti udang rebus.
Aku mengambil mikrofon yang diletakkan Virgie di atas meja, "giliranku! Coba kau cari 'Girls Like You' sudah lama aku tak menyanyikan lagu itu," pintaku ke Athena untuk segera mencari lagu kesukaanku itu.
"Kenapa kamu suka sekali menyanyikan lagu ini? Aku bosan mendengarnya setiap kita nongkrong di karaoke club. Lagipula kamu kan jomblo?" Athena mengejekku sembari terkekeh tak jelas.
"Sudah diam saja kau! Cepat cari lagunya," pintaku.
Aku bernyanyi dengan sangat sungguh-sungguh, seperti aku adalah penyanyi aslinya. Athena menari menggeliat di belakangku mengikuti gaya model yang muncul di dalam video klip.
Sambil menyanyi ekor mataku terarah di ujung dapur, kulihat Virgie berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menatap ponselnya. Wajahnya terlihat sedikit cemas saat memandangi layar cerah yang digenggamnya itu. Entah apa yang membuat ekspresi wajahnya seperti itu.
Virgie mendekat ke arah kami dan mulai merekam tingkah kami.
"Hello guys, kali ini kita kedatangan bintang tamu dari negeri antah berantah, Sydney dan Athena si seksi membahana," celoteh Virgie ke arah layar handphonenya. Dia sedang menanyangkan siaran langsung dari Facebooknya.
Walaupun sudah setengah mabuk, aku berusaha menyembunyikan wajahku agar tidak terlalu menonjol saat Virgie mengarahkan ponselnya padaku.
"Aduh capek, aku pusing," ujar Athena sambil merebahkan badannya di sofa. "Vi, tolong tuangkan minumannya untukku."
"Duh, anak ini kalau sudah minum ya begini kelakuannya," Keluh Virgie serta mengambil botol minuman dan menuangkan sedikit ke gelas Athena. "Nih, sedikit saja. Nanti kau muntah lagi kalau terlalu banyak minum."
Athena langsung meneguk minuman yang diberikan Virgie dengan cepat. "Tidak apa-apa. Aku hanya capek menggila seperti tadi. Tapi itu sangat menyenangkan!" ujar Athena.
"Iya, aku juga. Sepertinya aku dehidrasi," aku menyeletuk seraya mengusap keringat dari dahiku, "ada air es? Aku haus, Vi."
"Dasar kalian berdua. Kalian pikir aku ini ibu kalian?" Virgie berkelakar seraya menuju ke arah kulkas untuk mengambil air minum.
"Buka mulutmu, biar ku tuangkan," Katanya, "eh tunggu dulu ... " sambungnya.
Aku yang sudah bersiap dengan membuka mulutku lebar-leba tiba-tiba terdiam, "Aduh, apa lagi? Cepatlah aku haus sekali!"
"Ini dulu, baru itu," balas Virgie dengan mengangkat setengah alisnya dan tersenyum sembari memberikan gelas yang sudah dituanginya minuman. Virgie merengek sembari menegosiasikan permintaannya, "ayo, minum ini dulu!" Wajahnya begitu menggemaskan.
"Ya sudah sini. Daripada aku mati kehausan." Dengan cepat aku meneguk minuman yang memabukkan itu dengan ekspresi wajah terpaksa.
"Sekarang boleh kan aku minum air?"
"Nah begitu dong, ganteng!" Dengan ekspresi centil Virgie mencubit pipiku.
Karena lelah dengan 'konser' tadi, kami merebahkan diri di atas sofa sambil mengobrol.
"Vi, kamu masih ingat pas terakhir kita party sebelum kamu berangkat ke Crocsie? Aku dan Damon mencuri rokok yang kau simpan di bawah kasur," ceritaku dengan sangat bersemangat.
"Aku tidak akan lupa kejadian itu. Kalian sungguh menyebalkan! Padahal itu rokok terakhir yang sengaja aku simpan untuk ku hisap saat aku bangun. Paginya aku cari tapi hilang. Saat ku tanya, kalian berdua pura-pura tidak tahu dengah wajah kebodohan yang sangat menyakinkan itu," jawab Virgie dengan wajah kesal sambil memukulku yang tak berdaya menahan tawa.
"Hahaha, ampun, Vi!" Aku menangkis pukulan Virgie dan tertawa terpingkal-pingkal.
Athena yang sudah terlihat setengah sadar hanya terbaring di sofa sambil ikut tertawa dan melempari aku dengan dus bungkusan pizza.
"Seru juga ya kalo diingat-ingat. Dulu kita beda sekali dengan yang sekarang." Virgie memantik rokoknya.
"Iya, ya. Dulu semuanya masih pengacara. Pengangguran banyak acara!" Tawaku semakin menjadi.
Virgie menyodorkan gelas yang sudah terisi masing-masing setengah. "Cheers, untuk persahabatan kita! Walaupun ada satu orang yang kurang malam ini." Kami mengangkat gelas dan bersulang.
"Yah, ada yang sudah tepar," kata Virgie yang melihat Athena sudah K.O duluan. Dia tertidur pulas, mulutnya sedikit terbuka, bunyi dengkurannya sangat kuat. Aku dan Virgie hanya saling menatap sambil terkekeh melihat gaya tidur Athena yang sangat lucu.
"Kita duduk di depan yuk, Syd," ujar Virgie sambil meraih botol whiskey ke dua yang masih tersisa setengah itu.
Kami berdua pun mengarahkan langkah ke balkon depan. Aku merebahkan badanku di sofa kecil yang ada di situ. Virgie duduk di sofa yang satunya di sebelahku sambil mengutak-atik ponselnya.
Langit begitu cerah malam itu. Pemandangan yang sangat indah jika malam hari tiba. Terlihat blok-blok jalan yang bersih dan tertata rapih dihiasi lampu jalan kuning. Di samping kiri dari kejauhan terlihat kerlap-kerlip lampu kapal yacht di sepanjang pelabuhan di sudut kota. Sedangkan di arah kanan apartemen terpampang jelas pemandangan Stone Hills yang sangat aesthetic dipenuhi pohon hijau dan rindang berhiaskan bukit kecil.
Dari bawah bukit ada jalan melingkar yang dipenuhi pohon-pohon indah yang khusus dibuat untuk orang-orang yang ingin jogging atau lari sore. Sesekali aku sering ke sana membawa beberapa buku untuk dibaca jika pikiranku terasa sangat kacau dan penat. Di tengah-tengah puncak ada semacam tamah kecil dan bangku panjang dari kayu yang dibuat khusus untuk orang beristirahat. Di tengah kompleks Stone Hills ada pohon Ek besar yang sudah berdiri tegak jauh sebelum aku lahir.
Sungguh pemandangan yang sangat sempurna.
Sambil menumpahkan minuman ke dalam gelasku, Virgie berceloteh, "kamu tahu, hal yang paling menyebalkan dalam long distance relationship?" "Apa?" tanyaku. "Menunggu kabar setiap hari, overthinking setiap hari, ternyata dia sedang bersenang-senang dengan orang lain," ungkap Virgie setengah geram dengan membuat ekspresi wajah yang kesal. "Oh, pacar kamu? Memangnya kamu tahu dari mana dia sedang bersama orang lain? Kalau kalian saling percaya dan saling setia satu sama lain, kamu tak perlu repot-repot overthinking setiap hari." "Ah, bodoh amat! Lagipula aku sudah tak mau ambil pusing. Biarkan saja dia lakukan apa yang dia mau. Toh hidupku juga tak bergantung ke dia, aku bisa sendiri."
Tok … tok … tok …. Terdengar bunyi ketukan pintu. "Sydney, Virgie, Athena! Bangun, ini aku!" Pekikan suara Damon terdengar dari balik pintu. Dengan mata yang masih terasa sangat berat untuk dibuka aku berusaha meraih kacamataku dari atas meja samping tempat tidur. Ku tatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10:25. Aku masih setengah sadar, masih terasa setengah pusing karena masih ada sisa pengaruh minuman semalam. Athena masih tergeletak pulas di sofa seperti tak ada yang dia khawatirkan. Tiba-tiba aku tersadar ternyata masih setengah telanjang dan bergegas keluar dari selimut mencari bajuku yang sudah berserakan di lantai. "Bisa gawat kalau Damon melihat ini." Aku panik setengah mati, seakan seluruh aliran darahku memompa lebih cepat sampai di pembuluh darahku. Sementara itu sambil berpakaian, aku mencoba memb
Siang ini jam dinding berwarna perak yang dipajang di atas pintu dapur terasa begitu lambat berdetak. Ku rasa ini adalah hari terpanjang dalam hidupku. Aku mencoba memikirkan kalimat lain selain 'cepatlah jam empat'. Entah kenapa aku merasa sangat tidak bersemangat untuk beraktivitas. Aku menghabiskan tiga jam berikutnya dengan membuat pesanan seperti biasa. Sebenarnya tidak ada yang berbeda, hanya saja aku mungkin merasa agak jenuh dengan keseharianku, atau mungkin aku hanya sedang merasa kesepian saja. "Sydney, tolong kau gantikan aku sebentar. Aku ada urusan mendadak jadi aku harus pergi. Tolong kau awasi mereka, ya!" Dengan terburu-buru Pak Daniel mengambil jaketnya dan berlalu ke arah pintu depan kafe. Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaannya itu. "Wah, ada apa ya pak Daniel tiba-tiba pergi begitu saja? Tidak biasanya dia seperti itu," kata Andrew yang sedang m
"Jadi sebenarnya sedang apa kau di sini? Atau kau bekerja di sini juga?" tanyaku. "Hmm, sayang sekali tidak. Aku hanya mampir untuk makan siang bersama beberapa staf kantor untuk merayakan promosi kenaikan jabatan temanku," jelas Abby. "Oh, kupikir kau bekerja di sini juga." "Sekarang aku bekerja sebagai intern di Suns Medical Center." "Wow, jadi sekarang kamu ... " "Iya, Syd. Aku sementara membangun karirku sebagai seorang dokter. Impianku selama ini," ucapnya dengan penuh harap, matanya berbinar. "Selamat ya. Tidak sia-sia orang tuamu menerbangkanmu jauh samping ke New York. Aku bangga padamu, Abigail."
Sungguh hari yang sangat melelahkan. Itu seperti menguras delapan puluh lima persen energi yang ada dalam tubuhku. Akhirnya tiba juga waktu pergantian shift. Tak ada yang namanya jam loyalitas untuk hari ini, pokoknya aku ingin segera pulang dan merebahkan badanku di sofa. Aku ingin bersantai melepas kepenatan yang menempel di kepalaku sedari pagi. Mungkin menonton tv ditemani secangkir coklat panas adalah ide yang baik. Waktu menunjukkan sudah jam empat kurang lima menit. Saatnya melepaskan apron dan mengemasi barang-barang di loker. "Hey kalian berdua! Ayo pulang! Atau kalian ingin menambah jam kerja?" kataku sembari membasuh wajah dengan air yang mengalir
Sial! Kenapa tidak ada satupun ide yang muncul di kepalaku? Sudah jam dua belas lebih dua puluh menit dan aku hanya duduk membaca artikel-artikel orang lain tanpa mendapat ide untuk artikel halamanku sendiri. Selain menjadi barista di Genuine, aku juga berprofesi sebagai part-time writer di salah satu majalah elektronik ternama Thoughtstetic. Majalah ini adalah majalah milenial yang berisi artikel-artikel tentang permasalahan-permasalahan anak muda masa kini yang membahas soal cinta, tips-tips hubungan, hidup ataupun pembahasan mengenai astrologi. Sebenarnya pekerjaan ini menghasilkan gaji yang lebih besar daripada bekerja sebagai barista. Selain itu jam kerj
"Vi, kamu duduk dulu nanti aku ambilkan kain basah untuk mengompres pipimu, ya," ucapku sembari merebahkan tubuh Virgie di sofa. Virgie mengangguk kemudian memejamkan matanya. Dalam benak aku berpikir, kenapa ada lelaki yang tega memperlakukan wanitanya seperti tadi? Aku selalu mengingat perkataan ibuku saat aku membela gadis kecil bernama 'Anne' teman masa kecilku, ketika dia didorong hingga jatuh hanya karena tidak sengaja menginjak kaki salah seorang anak lelaki berandal yang sedang berdiri di lorong depan kelasku. "Sydney, mommy sangat bangga padamu. Perlakukanlah wanita seperti kau memperlakukan mommy." Sambil meraih handuk kecil dari laci kamar mandi aku tersenyum mengingat kejadian itu. Aku melangkah ke arah dapur untuk membasahi handuk itu dengan air dingin, kemudian diperas airnya hingga agak mengering, kemudian kembali ke arah sofa
Sungguh ini membuatku penat. Entah kenapa sudah beberapa hari ini aku sangat sulit untuk berkonsentrasi. Padahal ide-ide itu sudah dicatat dalam jurnalku. Entahlah, mungkin aku memang sedang perlu mengistirahatkan otakku dulu untuk sementara. Atau mungkin aku butuh liburan. Aku bergerak mendekati kaca jendela. Kuraih kacamata yang ada di samping tv kemudian pandanganku berkelana jauh ke luar jalanan yang sudah ramai dengan orang-orang yang sedang melaksanakan aktivitasnya masing-masing. Sambil menguap aku berpikir, sepertinya aku butuh minum kopi. Ku seret kedua kakiku menuju ke dapur yang letaknya hanya bersebelahan dari posisiku yang tadi. Kuraih bungkusan biji kopi dari dalam lemari penyimpanan kemudian memasukkannya ke alat penggiling kopi. Kuambil sedikit sesuai takaran yang pas kemudian menyalakan mesin kopi semi otomatis yang kubeli satu set dengan penggilingnya dari hasil gaji pertamaku yang ada di s
Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma
Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon
Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.Bukkkk!Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu."Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau
Ini sudah hampir seminggu sejak Athena menghubungiku, namun tak jua ada kabar darinya lagi. Aku sempat menghubungi ibunya lagi dua hari yang lalu, tapi katanya keadaan Athena masih seperti itu, hanya mengurung diri di kamar dan enggan keluar. Hari ini aku berencana untuk datang ke rumahnya, karena jujur saja, aku khawatir dengan keadaan wanita cerewet yang satu itu.Ini masih jam tujuh malam, namun aku sudah mabuk. Rencana awal yang telah disusun dengan sedemikian rupa untuk bertandang ke kediaman Athena pun gagal karena sudah dikuasai minuman yang bisa membuatku berjalan empat kaki sambil berteriak itu. Aku sempat tertidur selama kurang lebih satu jam sebelum terbangun karena jatuh dari sofa. Karena sadar wiski di botolku tinggal sedikit, aku memutuskan untuk ke Finley's saja.Sekitar setengah jam kemudian kudapati diriku tengah dud
Hari demi hari kujalani hanya dengan mabuk-mabukan dan tidur. Pekerjaan sampingan sebagai penulis di Thoughtstetic pun ku abaikan. Hidupku terasa tak lagi pada tempatnya. Beberapa hari yang lalu, Mommy sempat menelpon untuk mengajakku pulang, namun tak ku hiraukan. Walaupun terasa seperti orang yang sedang kehilangan arah, aku masih ingin di sini, di kota ini.Aku menutup diri dari dunia luar dan sahabat-sahabatku, tak jua Abby. Ia selalu mencoba untuk menghubungiku, namun aku memang sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Setiap malam ku habiskan uangku hanya untuk memenuhi hasrat untuk kesenangan sesaat. Tiada hari kulewati tanpa kesadaran. Aku benar-benar kacau dan tak tahu lagi kemana arah dan tujuan hidupku.Siang itu cuaca terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Tapi setidaknya aku punya penangkal yang ampuh. Aku tersadar ke
Gubrak!Tubuh Bastian terhempas ke lantai ketika bertemu dengan kepalan tinjuku. Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi sudah menguasaiku. Bagaimana bisa kau menjadi seorang manajer, tapi cara bicaramu terkesan sangat merendahkan?"Bangsat kau!" erang Bastian yang sedang berusaha berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang terlihat mengeluarkan bercak darah.Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara Alice yang terburu-buru masuk dan langsung menahan Bastian. Ia berkata, "kenapa masih pagi-pagi begini kalian berkelahi?"Andrew pun tak mau ketinggalan, kini ia dan Alice sedang berusaha menahan tubuh Bastian yang memang jauh lebih besar dari tubuhku.
Dari atas sini terlihat Virgie yang sedang menuruni tangga menghampiri Omar yang sedang menunggu sambil bersandar di mobilnya. Omar pun menyambut Virgie dengan ciuman mesra di keningnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku hanya bisa menahan rasa cemburu yang begitu besar ketika melihat adegan yang sudah seperti di film drama romantis itu.Aku mencoba menepis rasa yang mulai menyeruak dari dalam diriku. Ingin rasanya aku turun ke bawah dan memukul lelaki yang kini sedang membukakan pintu untuk wanita yang kusayangi, Virgie Petterson. Dan untuk pertama kalinya, aku marah dengan apa yang dilakukannya padaku. Tanpa kusadari, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ingin sekali ku berteriak sekuat mungkin dan menumpahkan rasa kecewa yang kini terpatri dalam lubuk hatiku.*****
"Maksudku? Sempat-sempatnya kau masih bertanya apa maksudku? Apa kau tidak sadar? Alasan selama ini aku sering menghilang karena semata-mata aku tidak pernah yakin denganmu!" pekik Virgie dengan sangat lantang. "Selama kita dekat, apa kau pernah memberikanku sesuatu? Apa kau pernah mengajakku ke sesuatu tempat? Pernah?""Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Vi!""Aahh! Alasan saja kau! Kau saja yang memang tidak pernah peka denganku! Apa kau tahu selama ini aku capek? Aku capek bekerja, aku capek harus mencari nafkah untuk diriku sendiri! Aku ingin ada seseorang yang bisa melengkapiku, Syd!""Melengkapimu dengan uang? Begitu kan maksudmu? Hahaha!" jawabku sambil terkekeh."Bu-bukan begitu maksudku, sayang…,"
Siang ini cuaca terasa begitu panas. Aku baru kembali dari supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak. Ditengah perjalanan Abby menghubungiku namun tak ku hiraukan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, karena memang letak dari supermarket hanya dua blok dari apartemenku. Aku memacu langkahku lebih cepat agar bisa lebih cepat pula sampai di apartemen. Kunaiki anak tangga dengan cepat, satu langkah untuk dua anak tangga. Ketika tiba di dekat pintu kamarku, terdengar suara Virgie yang sedang berseru tidak jelas.Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku belum langsung masuk ke dalam. Pelan-pelan ku hampiri pintu kamarku bermaksud untuk menguping pembicaraan Virgie. Sayup-sayup terdengar suara Virgie, sepertinya ia sedang berbicara ditelpon dengan seseorang. Ku coba menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang berdebat. K