Sungguh hari yang sangat panas. Matahari terasa ada dua di Sunny Shore hari ini. Ya, Sunny Shore adalah nama kota kecil tempat kelahiranku. Di sini terdapat banyak pantai-pantai yang indah berhiaskan pasir putih. Sama halnya dengan mall Cityscape, bangunan dengan arsitektur unik berbentuk persegi panjang dengan warna abu-abu yang membentang luas menjadi pemandangan indah karena posisinya hampir bersebelahan dengan pelabuhan kecil tempat banyak kapal yacht bersandar.
Aku berjalan beberapa blok menyusuri Scape Avenue menuju ke perhentian bus. Siang itu jalanan dipenuhi dengan lalu lintas yang padat serta banyak pejalan kaki yang berlalu-lalang karena hari senin termasuk hari yang sangat sibuk walaupun di kota yang tidak terlalu besar seperti Sunny Shore ini. Saat tiba di halte aku berdiri karena tempat duduknya sudah penuh. Sambil menunggu bus yang akan tiba selanjutnya, aku menyalakan sebatang rokok dan menikmatinya agar tidak merasa bosan.
Dari ujung jalan samar-samar terlihat ada satu sosok yang sangat familiar bagiku. Aku melepas kacamataku dan mengusap lensanya agar pemandangannya lebih jelas.
"Virgie! Hey!" teriakku dengan penuh antusias sambil melambaikan tangan ke arah seberang jalan.
Di sana ada seorang wanita dengan rambut sebahu, hitam sedikit kecoklatan, posturnya tak terlalu tinggi serta warna kulit eksotis yang memberi kesan seksi. Dari kejauhan dia sangat mencolok. Gayanya yang cool dan terkesan cuek dengan ciri khas kaos hitam bertuliskan nama band rock terkenal dan sepatu old school. Berbeda dengan gadis umur dua puluh delapan tahun pada umumnya yang memilih high heels dan dress. Tidak lupa resting bitch facenya yang terlihat mengintimidasi.
Virgie Peterson, gadis moody yang akan menganalisa setiap gerak-gerik dan akan menjudgemu habis-habisan. Bisa dibilang kami bersahabat dekat, tapi beberapa tahun terakhir dia pindah ke Crocsie dan menetap di sana. Sudah sekitar 4 tahun lebih kami tidak bertemu. Kami berteman di sosial media tapi tidak sering menyapa karena kesibukan masing-masing. Virgie sangat aktif di beberapa sosial media, sedangkan aku jarang sekali. Aku lebih senang menghabiskan waktuku dengan membaca buku atau menonton film.
“Aku harus bergegas menyeberang ke seberang jalan sebelum Virgie menghilang dari pandanganku,” gumamku sambil memperlaju langkahku.
Virgie belum melihatku, dia terlihat sibuk mengutak-atik ponselnya. Di situ juga terlalu banyak orang lalu-lalang. Hanya sekali dia menatap keheranan mencari tahu sumber suara yang meneriakkan namanya dengan lantang lalu berpaling kembali ke layar ponselnya.
"Hey!" Aku menepuk bahu Virgie sambil menyengir kegirangan.
"Syd? Sydney? Ini beneran kamu?" sambut Virgie dengan mata melotot.
Karena terlampau senang, aku hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba Virgie memelukku dengan erat seakan tak ada ruang untukku bernafas.
"Ya ampun, aku kangen banget! Lama tidak bertemu!" ujar Virgie melepaskan pelukannya sembari meraba-raba pipiku.
"Aku juga, Vi. Aku pikir kamu masih di Crocsie. Kapan kamu datang? Kenapa tidak mengabariku?" tanyaku.
"Panjang ceritanya, Syd. Aku tidak percaya bisa bertemu kamu hari ini. Tapi, sepertinya bukan ide yang bagus bernostalgia di pinggir jalan dengan cuaca yang panas seperti ini. Kita ke Frida's saja, yuk?" usul Virgie sambil menarik tanganku.
Kami berjalan memutar kembali ke arah Scape Avenue. Melewati dua blok ditengah teriknya matahari sebelum akhirnya tiba di tujuan.
Suasana di Frida's saat itu sudah agak sepi karena jam-jam paling hectic sudah berlalu. Jangan berharap bisa menikmati menu sarapan terlezat di kafe sarapan pagi Sunny Shore jika datang lewat dari jam 10 pagi. Sepiring telur orak-arik hingga rebus, daging atau sosis, roti panggang dengan selai, hash brown, panekuk, dan sereal. Jangan lupa secangkir kopi hangat untuk semakin menambah energi sepanjang hari.
Kami memilih duduk di barisan sofa ke dua di luar ruangan. Masih ada beberapa meja kosong di dalam, tapi di sini lebih nyaman karena bisa menikmati angin sepoi-sepoi.
"Kamu mau minum apa, Vi? Biar aku yang pesan di depan, sekalian aku mau ke toilet," kataku sembari beranjak dari tempat duduk.
Sambil memegang rokok yang hendak dia nyalakan, Virgie merebahkan badannya di sofa dengan wajah yang tidak bersemangat, dia menyeletuk, "aku yang biasa saja deh. Aku masih sangat mengantuk. Kau tahu? Aku tidur cuma tiga jam, i need caffeine!"
"Ya sudah kalau begitu, aku pesan dulu," tuturku kemudian berjalan menuju ke arah bar sambil tersenyum karena melihat tingkah Virgie.
Dulu sebelum Virgie pindah ke luar kota, Virgie tinggal di apartemen kecil dekat tempat tinggalku. Karena jaraknya yang dekat, Virgie sering menginap di tempatku bersama Athena dan Damon. Kami bersahabat sudah lama sekali, sudah sekitar tujuh tahun, bahkan sudah terasa seperti saudara. Jika sedang berkumpul, sesekali kami mengadakan 'pesta kecil' sampai pagi, sampai salah satu dari kami sudah mulai mengoceh yang tidak-tidak ataupun Damon yang menangis karena mabuk sambil membahas gebetannya yang tidak pernah memberikan kepastian.
Dari lorong toilet aku singgah di meja bar untuk mengambil pesanan kami. Aku melirik ke luar. Virgie masih seperti yang dulu, tidak pernah lepas dari ponselnya. Seorang Virgie Peterson adalah tipikal orang yang akan gelisah jika lima menit saja tidak memeriksa notifikasi ponselnya. Seperempat harinya dihabiskan dengan menatap layar ponsel yang katanya pintar itu. Sungguh suatu kegiatan yang sangat menyita waktu menurutku.
Aku berjalan sambil membawa nampan yang berisi pesanan kami berdua. "Cappuccino italiano buatmu, hot americano buatku, delicioso!" Sambil menirukan gaya seperti iklan kopi di TV.
"Terimakasih, Sydney Ellis yang baik hati dan tidak sombong,” rayu Virgie dengan genit seraya mengedipkan matanya.
"Eh, tumben si Manusia introvert ini keluar rumah? Biasanya kau hanya berdiam diri di apartemen dengan pacarmu. Jangan bilang kau jomblo, Syd. Aku tidak akan percaya!"
Virgie memang tau cara menyerangku dengan halus. Wajahku memerah. "Ah, kamu bisa saja. Tadi aku dari tempat kerja, tapi aku lupa kalau hari ini aku bertukar off dengan temanku. Pas tadi mau pulang aku lihat kamu di jalan."
"Dasar pelupa akut! Memang tidak pernah berubah ya kamu dari dulu. Makanya bergaul dengan manusia jangan dengan buku terus!" sindir Virgie.
Aku hanya menggaruk-garuk kepala seperti biasanya sambil tertawa kecil. Kebiasaan yang tidak pernah lepas dari dulu. Aku selalu menggaruk-garuk kepala jika sedang merasa canggung atau gugup.
"Pacar kamu mana? Jawab dulu!" desak Virgie dengan ekspresi meneliti.
"Aku jomblo. Puas kau? Sudah dua tahun lebih aku putus dari pacarku yang terakhir. Tolong jangan bahas ini, tidak penting. Tadi katamu kau mau cerita yang panjang itu?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan agar Virgie berhenti menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan yang konyol.
"Kamu memang paling bisa mengalihkan pembicaraan," cetusnya.
Seperti biasa, Virgie tau maksudku.
"Aku pulang sudah sekitar enam bulan yang lalu. Aku sering sekali lewat gang apartemenmu, rasanya ingin sekali mampir, tapi aku pikir pasti ada pacarmu, tidak enak rasanya kalau tiba-tiba aku muncul, jadi aku mengurungkan niatku."
"Ah alasan saja kamu. Kalau hanya mampir kan tidak apa-apa. Lagipula tidak ada yang bisa melarang sahabatku datang, aku single and ready to mingle!” jawabku sambil cekikikan.
"Ya mana aku tau, bodoh! Yang penting sekarang kamu bebas, ya kan?"
Sekarang dia sudah mulai main tangan seperti biasa. Virgie meninju bahuku dengan sangat kuat. Kami tertawa terbahak-bahak.
Sambil menyalakan rokoknya yang padam, Virgie melanjutkan cerita. "Jadi sebenarnya aku tidak ingin pulang, tapi berhubung papaku masuk rumah sakit jadi mau tidak mau bulan Mei yang lalu aku resign dari pekerjaanku yang membosankan itu dan tada ..., i'm here!" jelas Virgie dengan tersenyum paksa.
"Aku tahu ekspresi itu!" candaku.
"Entahlah. Ini di luar dugaanku! Padahal rencananya bulan Juni aku akan langsung kembali ke Crocsie, tapi aku malah keenakan bergaul di sini,” ujar Virgie, sudut mulutnya terangkat dengan wajah yang terlihat masam.
"Jadi sekarang kamu tinggal di mana? Atau pulang ke rumah?" tanyaku, "eh, tapi tidak mungkin kan kamu tinggal di rumahmu?"
Virgie memalingkan wajahnya. Matanya menyipit sembari menjawab, "tentu saja tidak mungkin. Aku tidak mungkin tinggal serumah dengan orang tua dan adikku. Kamu tau sendiri kan aku paling tidak cocok dengan mereka. Aku tinggal di Wins apartemen di Stone Hills. Kapan-kapan kamu harus mampir ke sana. Ajak Athena dan Damon juga. Sudah lama aku tidak bertemu mereka. Kemarin aku sempat kontekan dengan Damon tapi kamu tau kan si workaholic itu?” imbuhnya.
"Ya sudah kalau begitu. Tapi, kalau ada waktu ya? Sepertinya aku akan sibuk sampai akhir tahun." Aku tertawa sambil meraih cangkir americano dan menyeruputnya secara perlahan.
Kami menghabiskan waktu bersama di Frida's sampai kira-kira jam 2 siang. Virgie banyak bercerita tentang bagaimana kehidupannya saat masih di Crocsie, tentang hubungan yang sudah dijalaninya dengan Julian, kekasihnya selama 5 tahun yang kandas di tengah jalan karena orang ketiga. Mungkin saat itu Virgie terlalu berekspektasi lebih dari hal-hal yang di luar kendalinya.
"Ya ampun! Jam berapa ini?" Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku karena merasa kepanasan, aku lupa menyalakan AC. Aku melompat dari tempat tidurku dan bergegas menuju kamar mandi. Sudah jam 6.20 dan aku ketiduran. Aku ada janji dengan teman-temanku. Aku mandi secepat kilat agar bisa secepatnya bergegas ke tempat Virgie sebelum setengah delapan. Ku cek ponselku ada dua belas panggilan tak terjawab. Sembilan dari Virgie, tiga dari Athena dan satu dari Damon. "Cepat sedikit, Sydey ... " Aku menggerutu sambil menyisir rambutku dengan jari tangan. Ku lihat layar ponselku menyala, ada panggilan telepon dari Damon. Langsung ku angkat. "Bro, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa datang malam ini," kata Damon dengan suara memelas. "Wah, sepertinya akan ada yang kecewa malam ini." "Ini benar-benar di luar dugaanku, aku harus m
Sambil menumpahkan minuman ke dalam gelasku, Virgie berceloteh, "kamu tahu, hal yang paling menyebalkan dalam long distance relationship?" "Apa?" tanyaku. "Menunggu kabar setiap hari, overthinking setiap hari, ternyata dia sedang bersenang-senang dengan orang lain," ungkap Virgie setengah geram dengan membuat ekspresi wajah yang kesal. "Oh, pacar kamu? Memangnya kamu tahu dari mana dia sedang bersama orang lain? Kalau kalian saling percaya dan saling setia satu sama lain, kamu tak perlu repot-repot overthinking setiap hari." "Ah, bodoh amat! Lagipula aku sudah tak mau ambil pusing. Biarkan saja dia lakukan apa yang dia mau. Toh hidupku juga tak bergantung ke dia, aku bisa sendiri."
Tok … tok … tok …. Terdengar bunyi ketukan pintu. "Sydney, Virgie, Athena! Bangun, ini aku!" Pekikan suara Damon terdengar dari balik pintu. Dengan mata yang masih terasa sangat berat untuk dibuka aku berusaha meraih kacamataku dari atas meja samping tempat tidur. Ku tatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10:25. Aku masih setengah sadar, masih terasa setengah pusing karena masih ada sisa pengaruh minuman semalam. Athena masih tergeletak pulas di sofa seperti tak ada yang dia khawatirkan. Tiba-tiba aku tersadar ternyata masih setengah telanjang dan bergegas keluar dari selimut mencari bajuku yang sudah berserakan di lantai. "Bisa gawat kalau Damon melihat ini." Aku panik setengah mati, seakan seluruh aliran darahku memompa lebih cepat sampai di pembuluh darahku. Sementara itu sambil berpakaian, aku mencoba memb
Siang ini jam dinding berwarna perak yang dipajang di atas pintu dapur terasa begitu lambat berdetak. Ku rasa ini adalah hari terpanjang dalam hidupku. Aku mencoba memikirkan kalimat lain selain 'cepatlah jam empat'. Entah kenapa aku merasa sangat tidak bersemangat untuk beraktivitas. Aku menghabiskan tiga jam berikutnya dengan membuat pesanan seperti biasa. Sebenarnya tidak ada yang berbeda, hanya saja aku mungkin merasa agak jenuh dengan keseharianku, atau mungkin aku hanya sedang merasa kesepian saja. "Sydney, tolong kau gantikan aku sebentar. Aku ada urusan mendadak jadi aku harus pergi. Tolong kau awasi mereka, ya!" Dengan terburu-buru Pak Daniel mengambil jaketnya dan berlalu ke arah pintu depan kafe. Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaannya itu. "Wah, ada apa ya pak Daniel tiba-tiba pergi begitu saja? Tidak biasanya dia seperti itu," kata Andrew yang sedang m
"Jadi sebenarnya sedang apa kau di sini? Atau kau bekerja di sini juga?" tanyaku. "Hmm, sayang sekali tidak. Aku hanya mampir untuk makan siang bersama beberapa staf kantor untuk merayakan promosi kenaikan jabatan temanku," jelas Abby. "Oh, kupikir kau bekerja di sini juga." "Sekarang aku bekerja sebagai intern di Suns Medical Center." "Wow, jadi sekarang kamu ... " "Iya, Syd. Aku sementara membangun karirku sebagai seorang dokter. Impianku selama ini," ucapnya dengan penuh harap, matanya berbinar. "Selamat ya. Tidak sia-sia orang tuamu menerbangkanmu jauh samping ke New York. Aku bangga padamu, Abigail."
Sungguh hari yang sangat melelahkan. Itu seperti menguras delapan puluh lima persen energi yang ada dalam tubuhku. Akhirnya tiba juga waktu pergantian shift. Tak ada yang namanya jam loyalitas untuk hari ini, pokoknya aku ingin segera pulang dan merebahkan badanku di sofa. Aku ingin bersantai melepas kepenatan yang menempel di kepalaku sedari pagi. Mungkin menonton tv ditemani secangkir coklat panas adalah ide yang baik. Waktu menunjukkan sudah jam empat kurang lima menit. Saatnya melepaskan apron dan mengemasi barang-barang di loker. "Hey kalian berdua! Ayo pulang! Atau kalian ingin menambah jam kerja?" kataku sembari membasuh wajah dengan air yang mengalir
Sial! Kenapa tidak ada satupun ide yang muncul di kepalaku? Sudah jam dua belas lebih dua puluh menit dan aku hanya duduk membaca artikel-artikel orang lain tanpa mendapat ide untuk artikel halamanku sendiri. Selain menjadi barista di Genuine, aku juga berprofesi sebagai part-time writer di salah satu majalah elektronik ternama Thoughtstetic. Majalah ini adalah majalah milenial yang berisi artikel-artikel tentang permasalahan-permasalahan anak muda masa kini yang membahas soal cinta, tips-tips hubungan, hidup ataupun pembahasan mengenai astrologi. Sebenarnya pekerjaan ini menghasilkan gaji yang lebih besar daripada bekerja sebagai barista. Selain itu jam kerj
"Vi, kamu duduk dulu nanti aku ambilkan kain basah untuk mengompres pipimu, ya," ucapku sembari merebahkan tubuh Virgie di sofa. Virgie mengangguk kemudian memejamkan matanya. Dalam benak aku berpikir, kenapa ada lelaki yang tega memperlakukan wanitanya seperti tadi? Aku selalu mengingat perkataan ibuku saat aku membela gadis kecil bernama 'Anne' teman masa kecilku, ketika dia didorong hingga jatuh hanya karena tidak sengaja menginjak kaki salah seorang anak lelaki berandal yang sedang berdiri di lorong depan kelasku. "Sydney, mommy sangat bangga padamu. Perlakukanlah wanita seperti kau memperlakukan mommy." Sambil meraih handuk kecil dari laci kamar mandi aku tersenyum mengingat kejadian itu. Aku melangkah ke arah dapur untuk membasahi handuk itu dengan air dingin, kemudian diperas airnya hingga agak mengering, kemudian kembali ke arah sofa
Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma
Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon
Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.Bukkkk!Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu."Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau
Ini sudah hampir seminggu sejak Athena menghubungiku, namun tak jua ada kabar darinya lagi. Aku sempat menghubungi ibunya lagi dua hari yang lalu, tapi katanya keadaan Athena masih seperti itu, hanya mengurung diri di kamar dan enggan keluar. Hari ini aku berencana untuk datang ke rumahnya, karena jujur saja, aku khawatir dengan keadaan wanita cerewet yang satu itu.Ini masih jam tujuh malam, namun aku sudah mabuk. Rencana awal yang telah disusun dengan sedemikian rupa untuk bertandang ke kediaman Athena pun gagal karena sudah dikuasai minuman yang bisa membuatku berjalan empat kaki sambil berteriak itu. Aku sempat tertidur selama kurang lebih satu jam sebelum terbangun karena jatuh dari sofa. Karena sadar wiski di botolku tinggal sedikit, aku memutuskan untuk ke Finley's saja.Sekitar setengah jam kemudian kudapati diriku tengah dud
Hari demi hari kujalani hanya dengan mabuk-mabukan dan tidur. Pekerjaan sampingan sebagai penulis di Thoughtstetic pun ku abaikan. Hidupku terasa tak lagi pada tempatnya. Beberapa hari yang lalu, Mommy sempat menelpon untuk mengajakku pulang, namun tak ku hiraukan. Walaupun terasa seperti orang yang sedang kehilangan arah, aku masih ingin di sini, di kota ini.Aku menutup diri dari dunia luar dan sahabat-sahabatku, tak jua Abby. Ia selalu mencoba untuk menghubungiku, namun aku memang sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Setiap malam ku habiskan uangku hanya untuk memenuhi hasrat untuk kesenangan sesaat. Tiada hari kulewati tanpa kesadaran. Aku benar-benar kacau dan tak tahu lagi kemana arah dan tujuan hidupku.Siang itu cuaca terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Tapi setidaknya aku punya penangkal yang ampuh. Aku tersadar ke
Gubrak!Tubuh Bastian terhempas ke lantai ketika bertemu dengan kepalan tinjuku. Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi sudah menguasaiku. Bagaimana bisa kau menjadi seorang manajer, tapi cara bicaramu terkesan sangat merendahkan?"Bangsat kau!" erang Bastian yang sedang berusaha berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang terlihat mengeluarkan bercak darah.Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara Alice yang terburu-buru masuk dan langsung menahan Bastian. Ia berkata, "kenapa masih pagi-pagi begini kalian berkelahi?"Andrew pun tak mau ketinggalan, kini ia dan Alice sedang berusaha menahan tubuh Bastian yang memang jauh lebih besar dari tubuhku.
Dari atas sini terlihat Virgie yang sedang menuruni tangga menghampiri Omar yang sedang menunggu sambil bersandar di mobilnya. Omar pun menyambut Virgie dengan ciuman mesra di keningnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku hanya bisa menahan rasa cemburu yang begitu besar ketika melihat adegan yang sudah seperti di film drama romantis itu.Aku mencoba menepis rasa yang mulai menyeruak dari dalam diriku. Ingin rasanya aku turun ke bawah dan memukul lelaki yang kini sedang membukakan pintu untuk wanita yang kusayangi, Virgie Petterson. Dan untuk pertama kalinya, aku marah dengan apa yang dilakukannya padaku. Tanpa kusadari, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ingin sekali ku berteriak sekuat mungkin dan menumpahkan rasa kecewa yang kini terpatri dalam lubuk hatiku.*****
"Maksudku? Sempat-sempatnya kau masih bertanya apa maksudku? Apa kau tidak sadar? Alasan selama ini aku sering menghilang karena semata-mata aku tidak pernah yakin denganmu!" pekik Virgie dengan sangat lantang. "Selama kita dekat, apa kau pernah memberikanku sesuatu? Apa kau pernah mengajakku ke sesuatu tempat? Pernah?""Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Vi!""Aahh! Alasan saja kau! Kau saja yang memang tidak pernah peka denganku! Apa kau tahu selama ini aku capek? Aku capek bekerja, aku capek harus mencari nafkah untuk diriku sendiri! Aku ingin ada seseorang yang bisa melengkapiku, Syd!""Melengkapimu dengan uang? Begitu kan maksudmu? Hahaha!" jawabku sambil terkekeh."Bu-bukan begitu maksudku, sayang…,"
Siang ini cuaca terasa begitu panas. Aku baru kembali dari supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak. Ditengah perjalanan Abby menghubungiku namun tak ku hiraukan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, karena memang letak dari supermarket hanya dua blok dari apartemenku. Aku memacu langkahku lebih cepat agar bisa lebih cepat pula sampai di apartemen. Kunaiki anak tangga dengan cepat, satu langkah untuk dua anak tangga. Ketika tiba di dekat pintu kamarku, terdengar suara Virgie yang sedang berseru tidak jelas.Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku belum langsung masuk ke dalam. Pelan-pelan ku hampiri pintu kamarku bermaksud untuk menguping pembicaraan Virgie. Sayup-sayup terdengar suara Virgie, sepertinya ia sedang berbicara ditelpon dengan seseorang. Ku coba menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang berdebat. K