“Oke, tapi sebelum aku beritahu, Mommy harus berjanji tidak akan marah, bagaimana?” tuturku kepada mommy yang sedang sibuk membereskan meja makan.
“Baiklah, mommy janji tidak akan marah,” jawab mommy dengan membuat tanda silang di dadanya.
“Mungkin aku tidak akan pernah menikah, Mom," candaku dengan wajah serius mencoba meyakinkan ibuku.
Dia terkejut membelalakan matanya kemudian tersenyum simpul. “Pria sepertimu akan merasa menderita jika tidak merasakan sentuhan tangan seorang wanita, Sydney. Lihat saja dirimu sekarang, masih sering merengek minta dipeluk. Mommy tidak akan percaya!”
“Aku akan percaya perkataanmu jika langit sudah berubah menjadi hijau, Syd!” Damon menimpali sambil melemparkan tisu ke arahku.
Mommy hanya tertawa melihat tingkah kami berdua.
“Kalau begitu kami pamit dulu ya, tante.” Tampak Damon mendekati ibuku kemudian memberikan pelukan. Damon memang sudah seperti anak ke dua bagi ibuku.
“Iya, Mom. Nanti aku kabari kalau sudah sampai,” pamitku kepada ibuku dan mencium pipinya, “i love you, Mom. I love you, Pumpkin,” kataku sambil berjongkok di hadapan Pumpkin, anjingku. Ku belai lembut bulunya yang halus berwarna cokelat muda itu. Ekornya tak berhenti bergoyang karena kegirangan.
“Hati-hati di jalan ya kalian. Damon jangan ngebut!”
“Siap grak!” seru Damon bersemangat.
Waktu menunjukkan sudah jam sembilan kurang lima belas menit. Satu jam perjalanan membuat mataku terasa berat. Aku ingin memejamkan mata sebentar, tapi jangan, aku akan susah untuk terlelap nanti jika sudah dikamar. Ku tahan saja.
“Eh, bagaimana kalau kita mampir ke Finley’s? Ada yang ingin ku tunjukkan padamu."
"Terserah kau saja. Asal jangan kau bawa aku ke klub penari telanjang seperti tempo hari!" cetusku dengan nada kesal.
"Kau memang tidak bisa menghargai keindahan dari seni yang sensual. Dasar kuno!" Sindiran Damon terdengar sangat pedas, tapi dia benar. Mungkin aku yang belum terlalu paham dengan 'seni' orang dewasa. Atau bisa jadi, aku tidak terlalu suka.
Ketika tiba di Finley's suasananya sedang sangat ramai. Pengunjungnya rata-rata adalah anak muda seperti kami. Ada yang sedang berkencan di sudut ruangan bar, ada yang bermain billiard, ada juga yang hanya duduk sendiri ditemani gelas dan botol bir. Alunan musik dengan irama yang khas dengan klub malam memotivasi beberapa pengunjung untuk meluncur ke lantai dansa dengan versi vibrasi yang berbeda-beda. Kami memilih duduk di depan meja bar. Damon memberi isyarat kepada si bartender untuk membawakan minuman seperti biasa.
"Apa yang ingin kau tunjukkan padaku? Jangan bilang kalau ini hanya akal-akalanmu saja agar aku mau kau ajak ke sini."
Damon mendekat. "Kau lihat wanita yang di seberang sana, yang berdiri di samping pilar?" ujar Damon dengan sedikit berteriak karena suaranya teredam oleh dentuman musik dubstep. Dia meraih kepalaku dan mengarahkannya ke arah yang di maksud. "Semalam aku tidur dengannya, bro! Dia sangat liar!" imbuhnya dengan penuh penjiwaan. Tampak kekaguman di wajahnya.
"Ya, Tuhan. Jadi ini yang ingin kau tunjukkan padaku? Yang benar saja, dude!" keluhku kesal karena merasa ditipu.
Damon terkekeh dengan sangat bangga, terlalu kegirangan seraya menepuk-nepuk bahuku. Dia mengangkat gelas dan menyodorkannya padaku. "Ini minumlah, jangan terlalu tegang, kawan!"
Aku hanya tersenyum sembari menyambut gelas itu. Tiba-tiba seorang wanita lewat di belakangku tanpa sengaja menyenggol lenganku yang tengah memegang gelas berisi penuh bir yang hendak ku teguk tadi.
"Eh, aduh sorry. Aku sedang buru-buru. Maafkan aku," kata wanita itu sambil berlalu.
"Iya, tidak apa-a …" jawabku, "eh, ke mana perginya wanita tadi? Cepat sekali dia menghilang."
"Kau yang buta! Dia ke arah sana bersama teman-temannya," celetuk Damon sambil menjitak kepalaku, "mungkin sudah saatnya kau mengganti lensa kacamatamu itu!"
Kami menghabiskan malam itu di Finley’s sampai sekitar jam tiga subuh. Kami berdua hanya mengobrol sambil mengamati beberapa wanita yang datang bersama pasangannya. Obrolan-obrolan biasa yang sering kami lakukan jika sedang nongkrong berdua. Untung saja kali ini Damon tidak curhat sambil menangis seperti anak kecil. Bisa-bisa aku dibuat malu karena harus bertingkah seperti seorang ibu yang menenangkan bayinya.
*****
"Aku benci bangun pagi!" gumamku sambil merapikan rambutku yang masih setengah basah.
Aku masih setengah pusing karena semalam Damon terus-menerus menyodoriku bir dengan gelas jumbo. Karena terlalu terburu-buru, aku lupa memakai ikat pinggang. Hari senin, adalah hari yang sangat menyebalkan bagi beberapa orang di mana semua aktivitas mulai berjalan kembali setelah nyaman bersantai di akhir pekan yang singkat.
Suasana parkiran belakang Cityscape pagi itu seperti arena lari marathon. Banyak karyawan yang berlari meraih garis finish pintu masuk belakang mall. Entah kenapa setiap hari senin banyak karyawan yang terlambat.
Aku berlari sembari mengoceh dalam hati. "Logikanya di mana karyawan harus berjalan sekitar tiga ratus meter karena pintu masuk khusus karyawan ada di belakang? Kenapa tidak di samping atau di depan saja? Meresahkan!"
"Hey, ayo sprint sampai ke lift!" seru Kai yang tiba-tiba muncul dari arah belakangku.
Aku menyambut tawaran itu dan berlari secepat mungkin. Kami memacu langkah lebih cepat menyusuri jalanan aspal yang masih basah karena hujan semalam. Bergegas aku berlari mencoba mendahului Kai. Masih ada sekitar dua ratus meter lagi sebelum sampai di lift karyawan.
"Kai! Aku menyerah! Nafasku terlalu pendek dan aku masih pusing karena terlalu banyak minum semalam," ujarku sambil memperlambat langkah dan mengatur nafasku.
Kai hanya tertawa melihatku yang sudah gelagapan. Saat kami tiba di lorong menuju ke arah lift karyawan ku lihat dari jauh ada tanda kuning bertuliskan:
MAAF SEDANG DALAM PERBAIKAN!
"Sialan! Lihatlah perlakuan mereka pada karyawan, sudah dua hari lift ini tidak beroperasi,” gerutu Kai sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kita lewat pintu masuk belakang saja, biasanya dibuka kalau lift-nya rusak, tinggal delapan menit lagi sebelum terlambat," seruku.
Aku dan Kai memacu langkah dengan cepat memutar ke arah pintu samping pengunjung di belakang mall. Kami mengeluarkan kartu tanda pengenal karyawan agar bisa masuk ke dalam. Security mengiyakan dengan menganggukkan kepalanya. Kami berlari dengan nafas tersengal-sengal menyusuri lorong-lorong sepi remang-remang yang hanya mendapat sedikit cahaya dari lampu-lampu kecil dari dalam setiap etalase toko.
"Cepat sedikit, Syd! Kau seperti siput," seru Kai yang sudah berada di depan mendahuluiku.
Setiap anak tangga eskalator membuat nafasku semakin berat. Enam puluh enam anak tangga harus ku pijak sebelum sampai ke lantai tiga. Kami berlari layaknya sedang berlomba.
"Ah, sampai juga. Aku duluan ya, Syd," ujar Kai dengan leganya karena sudah sampai di depan restoran tempatnya bekerja.
“See you, bro!" teriakku sambil memutar badanku ke arah kiri lorong dan berlari lebih cepat.
Kai bekerja di restoran cepat saji yang berada di bilik terakhir lantai tiga. Kami sering bertemu saat jam istirahat makan siang.
"Pagi semua!" sapaku sambil membungkukkan badan masuk ke dalam kafe yang masih setengah tertutup rolling door sambil terengah-engah.
Di dalam sudah terang benderang karena para karyawan sedang menyiapkan bahan untuk dipakai hari ini. Aroma kopi yang wangi yang sedang digiling terasa hangat masuk menusuk ke indera penciuman.
"Pagi Syd. Ada apa kamu pagi-pagi ke sini?" kata Pak Daniel mengeryitkan dahi. Ia terheran-heran melihat penampakanku pagi itu.
Aku terdiam sejenak, menggaruk kepala dan berpikir. Sebagai seorang manusia dengan kapasitas otak satu petabyte aku rasa memori ingatanku masih sangat bagus.
"Yah ampun! Kenapa aku jadi pikun begini?" gerutuku kesal menahan malu.
Sontak semua yang ada di dalam kafe langsung tertawa melihatku yang sudah berpakaian rapih berniat ingin memulai shift.
"Kau mimpi sambil berjalan ya, chief? Wake up! Pasti kamu lupa kalau kemarin Andrew memintamu untuk bertukar shift?" Janice terkekeh mengejekku.
"Ya sudah daripada sia-sia kamu sudah capek-capek ke sini, kita minum kopi saja dulu baru kamu pulang," ajak Pak Daniel, menejerku.
Aku jadi salah tingkah karena kebodohanku sendiri. “Iya makasih Pak Dan. Kebetulan tadi aku tidak sempat minum kopi dari rumah."
Aku memutuskan untuk duduk sebentar sambil menikmati secangkir kopi panas dan berbincang dengan Pak Daniel. Setidaknya aku tidak pulang dengan tangan hampa, meskipun aku merasa sudah membuang-buang dua jam waktu tidurku.
Janice muncul tiba-tiba sambil menyodorkan roti isi kepadaku. “Makanlah ini, tadi aku membawa lebih. Jangan sampai penyakitmu kumat lagi. Dan jangan lupa jatahku,” bisik Janice sembari menyikut bahuku.
“Astaga, kenapa kau gemar sekali mengagetkanku?” protesku dengan ekspresi memegang dada. Janice tertawa melihat tingkahku yang menurutnya aneh itu.
“Hey, Wonder Woman, aku hampir lupa memberitahumu. Tadi aku bertemu Kai di bawah," tuturku kepada Janice.
“Oh, Superman …, tolong kau bawa saja dia terbang sejauh mungkin. Aku sudah capek selalu mengingatkan si bodoh itu agar tidak bermain game sampai subuh, makanya dia hampir setiap hari terlambat." Janice menjawab sambil mencongkel kulit bawang bombay dengan emosi dari dalam dapur.
"Baby Janice, biarkan aku menjadi Iron Man-mu. Aku bisa membawamu pergi jauh dari si Kai-mu itu," ejek Miles sambil meperagakan gerakan-gerakan seperti dalam film superhero.
Semua orang di dalam dapur tertawa melihat tingkah Miles yang konyol yang selalu menggoda Janice. Sudah lama Miles mengincar Janice, tapi Miles memang bukan ahlinya memikat hati wanita.
Waktu menunjukkan sudah pukul 9:46 pagi, sudah saatnya opening kafe. Panas matahari pagi mulai masuk ke dalam ruangan cafe yang bernuansa cokelat dan krem itu. Sangat terasa suasana cozy dan vintage. Banyak ornamen-ornamen unik, gambar-gambar ajakan minum kopi dan beberapa tulisan semi sarkas tapi lucu soal sebelum dan sesudah kopi. Di depan terlihat sudah ada beberapa tamu yang tidak sabar menunggu untuk menikmati kopinya dipagi hari.
Aku menatap jam tangan sembari berbicara kepada menejerku. "Pak, sudah mau buka nih. Kalau begitu aku pamit pulang dulu, biar tidak terlalu panas nanti berjalan ke depan," jelasku sambil menggaruk-garuk kepala.
“Ya sudah, kalau begitu kamu hati-hati di jalan ya, Syd. Besok jangan terlambat. Aku potong gajimu nanti!" seru Pak Daniel sambil tertawa.
"Siap pak!" Aku menjawab sambil meraih ransel kecil dari atas meja sembari melakukan gerakan hormat seperti seperti sedang upacara bendera.
Sungguh hari yang sangat panas. Matahari terasa ada dua di Sunny Shore hari ini. Ya, Sunny Shore adalah nama kota kecil tempat kelahiranku. Di sini terdapat banyak pantai-pantai yang indah berhiaskan pasir putih. Sama halnya dengan mall Cityscape, bangunan dengan arsitektur unik berbentuk persegi panjang dengan warna abu-abu yang membentang luas menjadi pemandangan indah karena posisinya hampir bersebelahan dengan pelabuhan kecil tempat banyak kapal yacht bersandar. Aku berjalan beberapa blok menyusuri Scape Avenue menuju ke perhentian bus. Siang itu jalanan dipenuhi dengan lalu lintas yang padat serta banyak pejalan kaki yang berlalu-lalang karena hari senin termasuk hari yang sangat sibuk walaupun di kota yang tidak terlalu besar seperti Sunny Shore ini. Saat tiba di halte aku berdiri karena tempat duduknya sudah penuh. Sambil menunggu bus yang akan tiba selanjutnya, aku menyalakan sebatang rokok dan menikmatinya agar tidak merasa bosan.
"Ya ampun! Jam berapa ini?" Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku karena merasa kepanasan, aku lupa menyalakan AC. Aku melompat dari tempat tidurku dan bergegas menuju kamar mandi. Sudah jam 6.20 dan aku ketiduran. Aku ada janji dengan teman-temanku. Aku mandi secepat kilat agar bisa secepatnya bergegas ke tempat Virgie sebelum setengah delapan. Ku cek ponselku ada dua belas panggilan tak terjawab. Sembilan dari Virgie, tiga dari Athena dan satu dari Damon. "Cepat sedikit, Sydey ... " Aku menggerutu sambil menyisir rambutku dengan jari tangan. Ku lihat layar ponselku menyala, ada panggilan telepon dari Damon. Langsung ku angkat. "Bro, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa datang malam ini," kata Damon dengan suara memelas. "Wah, sepertinya akan ada yang kecewa malam ini." "Ini benar-benar di luar dugaanku, aku harus m
Sambil menumpahkan minuman ke dalam gelasku, Virgie berceloteh, "kamu tahu, hal yang paling menyebalkan dalam long distance relationship?" "Apa?" tanyaku. "Menunggu kabar setiap hari, overthinking setiap hari, ternyata dia sedang bersenang-senang dengan orang lain," ungkap Virgie setengah geram dengan membuat ekspresi wajah yang kesal. "Oh, pacar kamu? Memangnya kamu tahu dari mana dia sedang bersama orang lain? Kalau kalian saling percaya dan saling setia satu sama lain, kamu tak perlu repot-repot overthinking setiap hari." "Ah, bodoh amat! Lagipula aku sudah tak mau ambil pusing. Biarkan saja dia lakukan apa yang dia mau. Toh hidupku juga tak bergantung ke dia, aku bisa sendiri."
Tok … tok … tok …. Terdengar bunyi ketukan pintu. "Sydney, Virgie, Athena! Bangun, ini aku!" Pekikan suara Damon terdengar dari balik pintu. Dengan mata yang masih terasa sangat berat untuk dibuka aku berusaha meraih kacamataku dari atas meja samping tempat tidur. Ku tatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10:25. Aku masih setengah sadar, masih terasa setengah pusing karena masih ada sisa pengaruh minuman semalam. Athena masih tergeletak pulas di sofa seperti tak ada yang dia khawatirkan. Tiba-tiba aku tersadar ternyata masih setengah telanjang dan bergegas keluar dari selimut mencari bajuku yang sudah berserakan di lantai. "Bisa gawat kalau Damon melihat ini." Aku panik setengah mati, seakan seluruh aliran darahku memompa lebih cepat sampai di pembuluh darahku. Sementara itu sambil berpakaian, aku mencoba memb
Siang ini jam dinding berwarna perak yang dipajang di atas pintu dapur terasa begitu lambat berdetak. Ku rasa ini adalah hari terpanjang dalam hidupku. Aku mencoba memikirkan kalimat lain selain 'cepatlah jam empat'. Entah kenapa aku merasa sangat tidak bersemangat untuk beraktivitas. Aku menghabiskan tiga jam berikutnya dengan membuat pesanan seperti biasa. Sebenarnya tidak ada yang berbeda, hanya saja aku mungkin merasa agak jenuh dengan keseharianku, atau mungkin aku hanya sedang merasa kesepian saja. "Sydney, tolong kau gantikan aku sebentar. Aku ada urusan mendadak jadi aku harus pergi. Tolong kau awasi mereka, ya!" Dengan terburu-buru Pak Daniel mengambil jaketnya dan berlalu ke arah pintu depan kafe. Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaannya itu. "Wah, ada apa ya pak Daniel tiba-tiba pergi begitu saja? Tidak biasanya dia seperti itu," kata Andrew yang sedang m
"Jadi sebenarnya sedang apa kau di sini? Atau kau bekerja di sini juga?" tanyaku. "Hmm, sayang sekali tidak. Aku hanya mampir untuk makan siang bersama beberapa staf kantor untuk merayakan promosi kenaikan jabatan temanku," jelas Abby. "Oh, kupikir kau bekerja di sini juga." "Sekarang aku bekerja sebagai intern di Suns Medical Center." "Wow, jadi sekarang kamu ... " "Iya, Syd. Aku sementara membangun karirku sebagai seorang dokter. Impianku selama ini," ucapnya dengan penuh harap, matanya berbinar. "Selamat ya. Tidak sia-sia orang tuamu menerbangkanmu jauh samping ke New York. Aku bangga padamu, Abigail."
Sungguh hari yang sangat melelahkan. Itu seperti menguras delapan puluh lima persen energi yang ada dalam tubuhku. Akhirnya tiba juga waktu pergantian shift. Tak ada yang namanya jam loyalitas untuk hari ini, pokoknya aku ingin segera pulang dan merebahkan badanku di sofa. Aku ingin bersantai melepas kepenatan yang menempel di kepalaku sedari pagi. Mungkin menonton tv ditemani secangkir coklat panas adalah ide yang baik. Waktu menunjukkan sudah jam empat kurang lima menit. Saatnya melepaskan apron dan mengemasi barang-barang di loker. "Hey kalian berdua! Ayo pulang! Atau kalian ingin menambah jam kerja?" kataku sembari membasuh wajah dengan air yang mengalir
Sial! Kenapa tidak ada satupun ide yang muncul di kepalaku? Sudah jam dua belas lebih dua puluh menit dan aku hanya duduk membaca artikel-artikel orang lain tanpa mendapat ide untuk artikel halamanku sendiri. Selain menjadi barista di Genuine, aku juga berprofesi sebagai part-time writer di salah satu majalah elektronik ternama Thoughtstetic. Majalah ini adalah majalah milenial yang berisi artikel-artikel tentang permasalahan-permasalahan anak muda masa kini yang membahas soal cinta, tips-tips hubungan, hidup ataupun pembahasan mengenai astrologi. Sebenarnya pekerjaan ini menghasilkan gaji yang lebih besar daripada bekerja sebagai barista. Selain itu jam kerj
Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma
Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon
Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.Bukkkk!Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu."Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau
Ini sudah hampir seminggu sejak Athena menghubungiku, namun tak jua ada kabar darinya lagi. Aku sempat menghubungi ibunya lagi dua hari yang lalu, tapi katanya keadaan Athena masih seperti itu, hanya mengurung diri di kamar dan enggan keluar. Hari ini aku berencana untuk datang ke rumahnya, karena jujur saja, aku khawatir dengan keadaan wanita cerewet yang satu itu.Ini masih jam tujuh malam, namun aku sudah mabuk. Rencana awal yang telah disusun dengan sedemikian rupa untuk bertandang ke kediaman Athena pun gagal karena sudah dikuasai minuman yang bisa membuatku berjalan empat kaki sambil berteriak itu. Aku sempat tertidur selama kurang lebih satu jam sebelum terbangun karena jatuh dari sofa. Karena sadar wiski di botolku tinggal sedikit, aku memutuskan untuk ke Finley's saja.Sekitar setengah jam kemudian kudapati diriku tengah dud
Hari demi hari kujalani hanya dengan mabuk-mabukan dan tidur. Pekerjaan sampingan sebagai penulis di Thoughtstetic pun ku abaikan. Hidupku terasa tak lagi pada tempatnya. Beberapa hari yang lalu, Mommy sempat menelpon untuk mengajakku pulang, namun tak ku hiraukan. Walaupun terasa seperti orang yang sedang kehilangan arah, aku masih ingin di sini, di kota ini.Aku menutup diri dari dunia luar dan sahabat-sahabatku, tak jua Abby. Ia selalu mencoba untuk menghubungiku, namun aku memang sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Setiap malam ku habiskan uangku hanya untuk memenuhi hasrat untuk kesenangan sesaat. Tiada hari kulewati tanpa kesadaran. Aku benar-benar kacau dan tak tahu lagi kemana arah dan tujuan hidupku.Siang itu cuaca terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Tapi setidaknya aku punya penangkal yang ampuh. Aku tersadar ke
Gubrak!Tubuh Bastian terhempas ke lantai ketika bertemu dengan kepalan tinjuku. Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi sudah menguasaiku. Bagaimana bisa kau menjadi seorang manajer, tapi cara bicaramu terkesan sangat merendahkan?"Bangsat kau!" erang Bastian yang sedang berusaha berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang terlihat mengeluarkan bercak darah.Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara Alice yang terburu-buru masuk dan langsung menahan Bastian. Ia berkata, "kenapa masih pagi-pagi begini kalian berkelahi?"Andrew pun tak mau ketinggalan, kini ia dan Alice sedang berusaha menahan tubuh Bastian yang memang jauh lebih besar dari tubuhku.
Dari atas sini terlihat Virgie yang sedang menuruni tangga menghampiri Omar yang sedang menunggu sambil bersandar di mobilnya. Omar pun menyambut Virgie dengan ciuman mesra di keningnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku hanya bisa menahan rasa cemburu yang begitu besar ketika melihat adegan yang sudah seperti di film drama romantis itu.Aku mencoba menepis rasa yang mulai menyeruak dari dalam diriku. Ingin rasanya aku turun ke bawah dan memukul lelaki yang kini sedang membukakan pintu untuk wanita yang kusayangi, Virgie Petterson. Dan untuk pertama kalinya, aku marah dengan apa yang dilakukannya padaku. Tanpa kusadari, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ingin sekali ku berteriak sekuat mungkin dan menumpahkan rasa kecewa yang kini terpatri dalam lubuk hatiku.*****
"Maksudku? Sempat-sempatnya kau masih bertanya apa maksudku? Apa kau tidak sadar? Alasan selama ini aku sering menghilang karena semata-mata aku tidak pernah yakin denganmu!" pekik Virgie dengan sangat lantang. "Selama kita dekat, apa kau pernah memberikanku sesuatu? Apa kau pernah mengajakku ke sesuatu tempat? Pernah?""Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Vi!""Aahh! Alasan saja kau! Kau saja yang memang tidak pernah peka denganku! Apa kau tahu selama ini aku capek? Aku capek bekerja, aku capek harus mencari nafkah untuk diriku sendiri! Aku ingin ada seseorang yang bisa melengkapiku, Syd!""Melengkapimu dengan uang? Begitu kan maksudmu? Hahaha!" jawabku sambil terkekeh."Bu-bukan begitu maksudku, sayang…,"
Siang ini cuaca terasa begitu panas. Aku baru kembali dari supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak. Ditengah perjalanan Abby menghubungiku namun tak ku hiraukan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, karena memang letak dari supermarket hanya dua blok dari apartemenku. Aku memacu langkahku lebih cepat agar bisa lebih cepat pula sampai di apartemen. Kunaiki anak tangga dengan cepat, satu langkah untuk dua anak tangga. Ketika tiba di dekat pintu kamarku, terdengar suara Virgie yang sedang berseru tidak jelas.Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku belum langsung masuk ke dalam. Pelan-pelan ku hampiri pintu kamarku bermaksud untuk menguping pembicaraan Virgie. Sayup-sayup terdengar suara Virgie, sepertinya ia sedang berbicara ditelpon dengan seseorang. Ku coba menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang berdebat. K