Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.
Bukkkk!
Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu.
"Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.
Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau
Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon
Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma
“Oke, tapi sebelum aku beritahu, Mommy harus berjanji tidak akan marah, bagaimana?” tuturku kepada mommy yang sedang sibuk membereskan meja makan. “Baiklah, mommy janji tidak akan marah,” jawab mommy dengan membuat tanda silang di dadanya. “Mungkin aku tidak akan pernah menikah, Mom," candaku dengan wajah serius mencoba meyakinkan ibuku. Dia terkejut membelalakan matanya kemudian tersenyum simpul. “Pria sepertimu akan merasa menderita jika tidak merasakan sentuhan tangan seorang wanita, Sydney. Lihat saja dirimu sekarang, masih sering merengek minta dipeluk. Mommy tidak akan percaya!” “Aku akan percaya perkataanmu jika langit sudah berubah menjadi hijau, Syd!” Damon menimpali sambil melemparkan tisu ke arahku. Mommy hanya tertawa melihat tingkah kami berdua. “Kalau begitu kami pamit dulu ya, tante.” Tampak Damon mendekati ibuku kemudian memberikan pelukan. Damon memang sudah seperti anak ke dua bagi ibuku. “Iya, Mom. Nanti aku
Sungguh hari yang sangat panas. Matahari terasa ada dua di Sunny Shore hari ini. Ya, Sunny Shore adalah nama kota kecil tempat kelahiranku. Di sini terdapat banyak pantai-pantai yang indah berhiaskan pasir putih. Sama halnya dengan mall Cityscape, bangunan dengan arsitektur unik berbentuk persegi panjang dengan warna abu-abu yang membentang luas menjadi pemandangan indah karena posisinya hampir bersebelahan dengan pelabuhan kecil tempat banyak kapal yacht bersandar. Aku berjalan beberapa blok menyusuri Scape Avenue menuju ke perhentian bus. Siang itu jalanan dipenuhi dengan lalu lintas yang padat serta banyak pejalan kaki yang berlalu-lalang karena hari senin termasuk hari yang sangat sibuk walaupun di kota yang tidak terlalu besar seperti Sunny Shore ini. Saat tiba di halte aku berdiri karena tempat duduknya sudah penuh. Sambil menunggu bus yang akan tiba selanjutnya, aku menyalakan sebatang rokok dan menikmatinya agar tidak merasa bosan.
"Ya ampun! Jam berapa ini?" Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku karena merasa kepanasan, aku lupa menyalakan AC. Aku melompat dari tempat tidurku dan bergegas menuju kamar mandi. Sudah jam 6.20 dan aku ketiduran. Aku ada janji dengan teman-temanku. Aku mandi secepat kilat agar bisa secepatnya bergegas ke tempat Virgie sebelum setengah delapan. Ku cek ponselku ada dua belas panggilan tak terjawab. Sembilan dari Virgie, tiga dari Athena dan satu dari Damon. "Cepat sedikit, Sydey ... " Aku menggerutu sambil menyisir rambutku dengan jari tangan. Ku lihat layar ponselku menyala, ada panggilan telepon dari Damon. Langsung ku angkat. "Bro, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa datang malam ini," kata Damon dengan suara memelas. "Wah, sepertinya akan ada yang kecewa malam ini." "Ini benar-benar di luar dugaanku, aku harus m
Sambil menumpahkan minuman ke dalam gelasku, Virgie berceloteh, "kamu tahu, hal yang paling menyebalkan dalam long distance relationship?" "Apa?" tanyaku. "Menunggu kabar setiap hari, overthinking setiap hari, ternyata dia sedang bersenang-senang dengan orang lain," ungkap Virgie setengah geram dengan membuat ekspresi wajah yang kesal. "Oh, pacar kamu? Memangnya kamu tahu dari mana dia sedang bersama orang lain? Kalau kalian saling percaya dan saling setia satu sama lain, kamu tak perlu repot-repot overthinking setiap hari." "Ah, bodoh amat! Lagipula aku sudah tak mau ambil pusing. Biarkan saja dia lakukan apa yang dia mau. Toh hidupku juga tak bergantung ke dia, aku bisa sendiri."
Tok … tok … tok …. Terdengar bunyi ketukan pintu. "Sydney, Virgie, Athena! Bangun, ini aku!" Pekikan suara Damon terdengar dari balik pintu. Dengan mata yang masih terasa sangat berat untuk dibuka aku berusaha meraih kacamataku dari atas meja samping tempat tidur. Ku tatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10:25. Aku masih setengah sadar, masih terasa setengah pusing karena masih ada sisa pengaruh minuman semalam. Athena masih tergeletak pulas di sofa seperti tak ada yang dia khawatirkan. Tiba-tiba aku tersadar ternyata masih setengah telanjang dan bergegas keluar dari selimut mencari bajuku yang sudah berserakan di lantai. "Bisa gawat kalau Damon melihat ini." Aku panik setengah mati, seakan seluruh aliran darahku memompa lebih cepat sampai di pembuluh darahku. Sementara itu sambil berpakaian, aku mencoba memb
Siang ini jam dinding berwarna perak yang dipajang di atas pintu dapur terasa begitu lambat berdetak. Ku rasa ini adalah hari terpanjang dalam hidupku. Aku mencoba memikirkan kalimat lain selain 'cepatlah jam empat'. Entah kenapa aku merasa sangat tidak bersemangat untuk beraktivitas. Aku menghabiskan tiga jam berikutnya dengan membuat pesanan seperti biasa. Sebenarnya tidak ada yang berbeda, hanya saja aku mungkin merasa agak jenuh dengan keseharianku, atau mungkin aku hanya sedang merasa kesepian saja. "Sydney, tolong kau gantikan aku sebentar. Aku ada urusan mendadak jadi aku harus pergi. Tolong kau awasi mereka, ya!" Dengan terburu-buru Pak Daniel mengambil jaketnya dan berlalu ke arah pintu depan kafe. Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaannya itu. "Wah, ada apa ya pak Daniel tiba-tiba pergi begitu saja? Tidak biasanya dia seperti itu," kata Andrew yang sedang m
Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma
Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon
Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.Bukkkk!Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu."Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau
Ini sudah hampir seminggu sejak Athena menghubungiku, namun tak jua ada kabar darinya lagi. Aku sempat menghubungi ibunya lagi dua hari yang lalu, tapi katanya keadaan Athena masih seperti itu, hanya mengurung diri di kamar dan enggan keluar. Hari ini aku berencana untuk datang ke rumahnya, karena jujur saja, aku khawatir dengan keadaan wanita cerewet yang satu itu.Ini masih jam tujuh malam, namun aku sudah mabuk. Rencana awal yang telah disusun dengan sedemikian rupa untuk bertandang ke kediaman Athena pun gagal karena sudah dikuasai minuman yang bisa membuatku berjalan empat kaki sambil berteriak itu. Aku sempat tertidur selama kurang lebih satu jam sebelum terbangun karena jatuh dari sofa. Karena sadar wiski di botolku tinggal sedikit, aku memutuskan untuk ke Finley's saja.Sekitar setengah jam kemudian kudapati diriku tengah dud
Hari demi hari kujalani hanya dengan mabuk-mabukan dan tidur. Pekerjaan sampingan sebagai penulis di Thoughtstetic pun ku abaikan. Hidupku terasa tak lagi pada tempatnya. Beberapa hari yang lalu, Mommy sempat menelpon untuk mengajakku pulang, namun tak ku hiraukan. Walaupun terasa seperti orang yang sedang kehilangan arah, aku masih ingin di sini, di kota ini.Aku menutup diri dari dunia luar dan sahabat-sahabatku, tak jua Abby. Ia selalu mencoba untuk menghubungiku, namun aku memang sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Setiap malam ku habiskan uangku hanya untuk memenuhi hasrat untuk kesenangan sesaat. Tiada hari kulewati tanpa kesadaran. Aku benar-benar kacau dan tak tahu lagi kemana arah dan tujuan hidupku.Siang itu cuaca terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Tapi setidaknya aku punya penangkal yang ampuh. Aku tersadar ke
Gubrak!Tubuh Bastian terhempas ke lantai ketika bertemu dengan kepalan tinjuku. Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi sudah menguasaiku. Bagaimana bisa kau menjadi seorang manajer, tapi cara bicaramu terkesan sangat merendahkan?"Bangsat kau!" erang Bastian yang sedang berusaha berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang terlihat mengeluarkan bercak darah.Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara Alice yang terburu-buru masuk dan langsung menahan Bastian. Ia berkata, "kenapa masih pagi-pagi begini kalian berkelahi?"Andrew pun tak mau ketinggalan, kini ia dan Alice sedang berusaha menahan tubuh Bastian yang memang jauh lebih besar dari tubuhku.
Dari atas sini terlihat Virgie yang sedang menuruni tangga menghampiri Omar yang sedang menunggu sambil bersandar di mobilnya. Omar pun menyambut Virgie dengan ciuman mesra di keningnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku hanya bisa menahan rasa cemburu yang begitu besar ketika melihat adegan yang sudah seperti di film drama romantis itu.Aku mencoba menepis rasa yang mulai menyeruak dari dalam diriku. Ingin rasanya aku turun ke bawah dan memukul lelaki yang kini sedang membukakan pintu untuk wanita yang kusayangi, Virgie Petterson. Dan untuk pertama kalinya, aku marah dengan apa yang dilakukannya padaku. Tanpa kusadari, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ingin sekali ku berteriak sekuat mungkin dan menumpahkan rasa kecewa yang kini terpatri dalam lubuk hatiku.*****
"Maksudku? Sempat-sempatnya kau masih bertanya apa maksudku? Apa kau tidak sadar? Alasan selama ini aku sering menghilang karena semata-mata aku tidak pernah yakin denganmu!" pekik Virgie dengan sangat lantang. "Selama kita dekat, apa kau pernah memberikanku sesuatu? Apa kau pernah mengajakku ke sesuatu tempat? Pernah?""Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Vi!""Aahh! Alasan saja kau! Kau saja yang memang tidak pernah peka denganku! Apa kau tahu selama ini aku capek? Aku capek bekerja, aku capek harus mencari nafkah untuk diriku sendiri! Aku ingin ada seseorang yang bisa melengkapiku, Syd!""Melengkapimu dengan uang? Begitu kan maksudmu? Hahaha!" jawabku sambil terkekeh."Bu-bukan begitu maksudku, sayang…,"
Siang ini cuaca terasa begitu panas. Aku baru kembali dari supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak. Ditengah perjalanan Abby menghubungiku namun tak ku hiraukan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, karena memang letak dari supermarket hanya dua blok dari apartemenku. Aku memacu langkahku lebih cepat agar bisa lebih cepat pula sampai di apartemen. Kunaiki anak tangga dengan cepat, satu langkah untuk dua anak tangga. Ketika tiba di dekat pintu kamarku, terdengar suara Virgie yang sedang berseru tidak jelas.Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku belum langsung masuk ke dalam. Pelan-pelan ku hampiri pintu kamarku bermaksud untuk menguping pembicaraan Virgie. Sayup-sayup terdengar suara Virgie, sepertinya ia sedang berbicara ditelpon dengan seseorang. Ku coba menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang berdebat. K