Home / Romansa / Everything Happens For A Reason / 6. First Love From New York

Share

6. First Love From New York

Author: Yourbaescorpio
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Siang ini jam dinding berwarna perak yang dipajang di atas pintu dapur terasa begitu lambat berdetak. Ku rasa ini adalah hari terpanjang dalam hidupku. Aku mencoba memikirkan kalimat lain selain 'cepatlah jam empat'. Entah kenapa aku merasa sangat tidak bersemangat untuk beraktivitas. Aku menghabiskan tiga jam berikutnya dengan membuat pesanan seperti biasa. Sebenarnya tidak ada yang berbeda, hanya saja aku mungkin merasa agak jenuh dengan keseharianku, atau mungkin aku hanya sedang merasa kesepian saja.

"Sydney, tolong kau gantikan aku sebentar. Aku ada urusan mendadak jadi aku harus pergi. Tolong kau awasi mereka, ya!"

Dengan terburu-buru Pak Daniel mengambil jaketnya dan berlalu ke arah pintu depan kafe. Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaannya itu.

"Wah, ada apa ya pak Daniel tiba-tiba pergi begitu saja? Tidak biasanya dia seperti itu," kata Andrew yang sedang menginput pesanan di komputer kasir.

"Entahlah, mungkin ada urusan penting. Sudahlah, kau jangan kepo dengan urusan orang lain. Ayo lanjutkan kerjamu, anak buah! Masih banyak orderan yang menumpuk!" seruku dengan gaya sok cool.

"Siap, bapak buah!" ujar Andrew.

Di sela-sela kesibukan kami di siang hari yang ramai, kami tidak pernah lupa membubuhkan gurauan agar kerja kami tidak terlalu terasa datar dan membosankan. Setidaknya cara itu selalu berhasil membuat kami lupa mengecek jam. Tapi kali ini cara itu tidak berhasil padaku.

"Psst! Hey, Syd. Mana bagianku?" bisik Janice dari dalam ruang penyimpanan sambil merapihkan beberapa bungkusan bumbu makanan.

"Oh iya, hampir saja aku lupa. Coba kau buka box putih besar yang ada di sudut bawah rak itu. Aku menyisipkannya disitu. Cepat simpan di loker sebelum yang lain melihatmu!"

Dengan cekatan Janice meraih box putih besar tempat kami menyimpan stok kopi. Tangannya merogoh jauh ke dalam box sambil mengamati bungkusan kopi yang lain. Biasanya aku selalu menyisihkan beberapa gram biji kopi yang digiling untuk ku kumpulkan sampai penuh di kantong plastik sedang untuk ku bawa pulang atau ku tukar dengan roti isi buatan ibu Janice. Aku sangat tergila-gila dengan rasa roti isi itu. Isian daging ham, sosis, steak dan keju yang meleleh, lalu dibalut dengan roti panggang segar. Yang membuatnya istimewa adalah, di dalamnya juga ada irisan kentang goreng mirip seperti yang selalu dibuat nenekku dulu.

"Terimakasih, Syd. Eh, ini rotimu. Kali ini ku berikan kau tiga potong, berterimakasihlah pada ibuku, dia memberikan lebih karena kemarin aku cerita kalau kau sangat menyukainya."

"Wah, benarkah? Bisa kurasakan air liurku mulai mengalir di lidahku, aku tidak sabar untuk mencicipinya. Thank's ya, kamu pengertian sekali. Bilang pada ibumu kalau dia dapat salam sayang dariku," celotehku dengan mata berbinar.

"Jika kau bisa memberikanku kopi Italia yang bungkusannya warna merah itu, aku akan memberikanmu empat potong, bagaimana?" Janice mengangkat alisnya mencoba memberi penawaran padaku.

"Woah! It's not that easy. Aku rasa bisa, tapi mungkin minggu depan baru bisa ku kumpulkan. Kamu tahu sendiri kan kopi itu hanya dinikmati beberapa pelanggan yang seleranya americano import."

"Tak masalah, yang penting aku dan ibuku bisa menikmatinya minggu depan," ujar Janice dengan penuh ekspresi kegembiraan.

"Oke kalau begitu, deal!"

Kami bersalaman layaknya dua orang yang baru selesai menandatangani kontrak besar.

Saat jam makan siang, suasana kafe Genuine berubah menjadi sangat ramai. Banyak rombongan pelanggan yang menghabiskan waktu istirahatnya di sini. Satu persatu pesanan masuk silih berganti. Aku kelimpungan melayani orderan sembari harus mengontrol pergerakan para karyawan.

"Hey, mana kopiku? Sudah hampir lima belas menit aku menunggu!" ujar seorang lelaki yang duduk di meja nomor enam. Raut wajahnya terlihat kesal.

"Maaf pak, tadi pesanannya apa ya kalau boleh tahu?" tanyaku.

"Tadi aku memesan iced americano tanpa gula. Tapi kenapa lama sekali? Padahal pelanggan yang datang setelah aku sudah dari tadi menikmati kopinya."

"Sebentar ya saya cek terlebih dahulu."

Kuhampiri meja bar dengan tergesa-gesa. Aku mengecek semua kertas orderan yang sebelumnya masuk. Kubaca satu persatu agar tidak ada yang ku lewati.

"Wah, ternyata ada yang salah mengantarkan orderan. Harusnya meja enam yang menerima pesanannya duluan baru meja delapan. Siapa yang mengantarkan pesanan meja lima ke meja delapan?" seruku bertanya kepada beberapa pelayan yang standby di depan meja bar.

"Maaf, Syd. Tadi aku yang mengantarkannya. Aku bingung karena ibu-ibu yang ada di meja delapan itu langsung memintaku untuk memberikan iced americano yang tadinya hendak ku bawa ke meja lima. Dia memaksa, katanya dia sudah sangat kehausan, aku takut nanti dia mengataiku tidak sopan, jadi kuberikan saja," jawab Tony dengan terbata dari balik meja karena merasa bersalah.

"Oh, Tony. Kenapa tidak langsung memberitahu kami?"

"Maaf, aku lupa karena aku harus mengantarkan beberapa pesanan ke meja lainnya. Maafkan aku, Syd."

"Ya sudah. Tidak apa-apa. Lain kali kalau terjadi lagi hal seperti ini, kamu harus langsung memberitahukannya pada barista lain agar pesanannya bisa langsung diganti, okay?" kataku, "kembalilah bekerja, wajahmu jelek sekali seperti itu. Ayolah, smile! Para tamu bisa lari satu-persatu jika kau terus memasang wajah seperti itu," tuturku kepada Tony mencoba menghilangkan rasa bersalahnya dengan meniru raut wajahnya.

"Ini bawalah, tamunya sudah menunggu," tutur Andrew.

Tony tersenyum sambil memegang nampan dan meraih gelas iced americano untuk dibawa ke meja lima.

Waktu menunjukkan sudah pukul 1.15 siang. Pak Daniel belum juga kembali, sementara perutku sudah keroncongan menahan lapar.

"Bro, apakah kamu bisa menggantikanku sebentar? Aku sudah sangat kelaparan dan ini menyiksaku," ujarku kepada Andrew yang sedang berceloteh di dapur dengan staf lainnya.

"Tenang saja, kau bisa mengandalkanku. Lagipula sebagian orderan sudah selesai. Biar aku yang tangani ini. Pergilah! Jangan sampai kau mati kelaparan di sini. Aku tidak mau menjadi saksi mata!"

"Oh, thank God! Kau memang paling mengerti, dude," ujarku kemudian bergaya selebrasi seperti pemain bola yang melemparkan ciuman kepada penggemarnya.

Kupijakkan kakiku menuju ruang loker di samping dapur dan mengambil ransel kecilku kemudian berlalu ke pintu belakang kafe. Aku berjalan menuju ke arah balkon kecil tempat biasa aku beristirahat siang. Jaraknya kurang lebih sekitar dua puluh meter dari pintu belakang kafe. Tempat ini memang sangat cocok untuk bersantai dari penatnya aktivitas kerja yang kadang sangat memusingkan kepala.

Kurebahkan tubuhku bersandar di bangku panjang kayu yang sengaja ditempatkan di situ. Dari atas sini aku bisa melihat pemandangan kota yang sangat indah ditemani angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah kusam yang sedari pagi berhadapan dengan uap mesin steamer susu. Kuraih botol air mineral dan roti isi yang diberikan Janice.

"Sungguh ini enak sekali!" celotehku sambil melahap roti isi tadi dengan cepat seperti orang yang tidak makan selama berhari-hari.

Kunikmati setiap gigitan sampai tidak ada yang tersisa. Setelah menghabiskan makan siangku, kunyalakan sebatang rokok sebagai hidangan penutup. Di sana aku hanya duduk sendiri sambil menikmati pemandangan langit Sunny Shore yang sangat cerah. Tiba-tiba saja aku teringat kejadian beberapa hari yang lalu yang masih di luar nalarku itu, aku masih berpikir keras bagaimana bisa aku tidur dengan sahabatku sendiri.

"Sydney?"

Seketika aku tersadar dari lamunanku karena ada suara seseorang memanggil namaku. Entah mengapa aku seperti mengenali suara itu. Itu terdengar sudah sangat familiar di telinga. Dia berdiri menghalangi cahaya matahari sehingga wajahnya tampak samar-samar. Aku masih mencari tahu siapa orang ini karena pandangan mataku memang sedikit tidak bagus jika tidak memakai kacamata. Kuraih kacamata dari dalam tas dan langsung mengenakannya.

"A-Abby? Abigail?" ucapku terbata. "Ini benar kau?" Seperti melihat hantu di siang bolong, aku tercengang setengah mati melihat sosok gadis menawan dengan rambut hitam panjang terurai di sudut bahunya.

"Ya, Tuhan! Apa aku bermimpi?" seruku sembari melepaskan kacamataku dan menggosok-gosok mataku berulang-ulang memastikan apa yang baru saja ku lihat sekarang.

"Kau tidak bermimpi, Syd," ujar Abby sembari duduk di sampingku. "Ini aku, Abigail."

Dengan cepat kuraih tubuh mungil gadis itu dan kupeluk dengan erat. Dia pun menyambut pelukanku sambil mengusap-ngusap lembut kepalaku seperti yang biasa dia lakukan. Sudah sangat lama aku tidak merasakan sentuhan dengan rasa seperti ini. Rasa yang dulu sangat menenangkan yang membuatku candu.

"Sedang apa kau di sini? Ku pikir kau di New York?" tanyaku sambil melepaskan pelukanku.

"Buat apa aku berlama-lama di sana? Aku lebih nyaman di sini, di tempat kelahiranku sendiri," jawab Abby dengan senyuman manis di bibirnya. Matanya selalu menyipit saat dia tersenyum lebar seperti ini, membuat orang yang melihatnya merasa tenang dan damai seakan bisa merasakan kebahagian yang dia rasakan.

Senyuman itulah yang pernah membuatku jatuh cinta tiga belas tahun silam. Dia adalah Abigail Godfrey, mantan pacarku semasa di SMA, cinta pertamaku, ciuman pertamaku. Dia masih seperti dulu, tidak ada yang berubah, senyumnya yang khas selalu menghiasi paras cantik campuran asia-amerika yang bisa dibilang hampir sempurna untuk ukuran seorang wanita.

"Aku sudah mengamatimu dari jauh, tapi aku masih ragu kalau itu benar kau. Jadi aku memberanikan diri untuk menyapamu lebih dekat," cakapnya sembari duduk dekat di sampingku. Sangat dekat sampai aku bisa mencium wangi parfum kesukaannya yang beraroma khas sandalwood dan bergamot bercampur dengan aroma tubuhnya. Wangi ini terasa menusuk sampai ke jaringan otakku dan membuatku terbawa ke ingatan-ingatan masa lalu. 

"Tidak pernah sekalipun terlintas di benakku akan bertemu lagi denganmu di sini. Kupikir kau sudah menikah dan bahagia di New York," kataku.

Abby memikirkan pernyataanku sejenak, terdiam dan kembali tersenyum. Dirinya berkata, "kebetulan aku sedang bersama suami dan anakku. Mereka sedang menungguku di bawah.

"Wah, selamat ya! Tidak ku sangka sekarang kau sudah menjadi seorang ibu. Aku penasaran dengan wajah anakmu, pasti dia memiliki senyum yang akan memikat hati setiap orang."

Abby menyusurkan tangan kirinya di rambutnya yang tergerai. Jari-jemarinya yang lentik terlihat begitu menawan saat bersentuhan dengan rambut hitamnya yang panjang. Seketika tawanya pecah. Aku yang merasa heran hanya bisa megeryitkan dahi karena menyaksikan tingkah anehnya.

"Jadi menurutmu aku sudah cocok menjadi seorang ibu?" katanya sambil menatap tajam kedua bola mataku yang ditutupi kacamata.

"Ya, tentu saja. Bahkan untuk ukuran seorang ibu, kau masih terlihat lajang." ucapku.

Tawanya berlanjut. Kali ini makin menjadi.

"Kau ini kenapa? Apa ada yang salah?" tanyaku.

Abby berusaha menghentikan tawanya. Dia berusaha untuk tenang seraya membasahi bibirnya.

"Dasar kau ini! Begitu mudahnya kau percaya dengan semua omonganku. Aku sama sekali belum berpikir untuk menikah, apalagi punya anak." Dia meralat ucapannya.

"Jadi maksudmu?"

Dengan wajah yang memerah karena tertawa, Abby meraih pipiku dengan kedua tangannya. Ia berkata, "aku hanya bercanda, Sydney," ujarnya, "sudah bertahun-tahun tapi keluguanmu tidak pernah berubah," kata Abby.

"Dasar kau. Bisa-bisanya juga aku langsung percaya."

Abby memalingkan wajahnya dan tersenyum. Dia menghisap dalam-dalam rokok yang ada di tengah dua jarinya yang lentik itu.

Related chapters

  • Everything Happens For A Reason   7. Password

    "Jadi sebenarnya sedang apa kau di sini? Atau kau bekerja di sini juga?" tanyaku. "Hmm, sayang sekali tidak. Aku hanya mampir untuk makan siang bersama beberapa staf kantor untuk merayakan promosi kenaikan jabatan temanku," jelas Abby. "Oh, kupikir kau bekerja di sini juga." "Sekarang aku bekerja sebagai intern di Suns Medical Center." "Wow, jadi sekarang kamu ... " "Iya, Syd. Aku sementara membangun karirku sebagai seorang dokter. Impianku selama ini," ucapnya dengan penuh harap, matanya berbinar. "Selamat ya. Tidak sia-sia orang tuamu menerbangkanmu jauh samping ke New York. Aku bangga padamu, Abigail."

  • Everything Happens For A Reason   8. Season Kesekian

    Sungguh hari yang sangat melelahkan. Itu seperti menguras delapan puluh lima persen energi yang ada dalam tubuhku. Akhirnya tiba juga waktu pergantian shift. Tak ada yang namanya jam loyalitas untuk hari ini, pokoknya aku ingin segera pulang dan merebahkan badanku di sofa. Aku ingin bersantai melepas kepenatan yang menempel di kepalaku sedari pagi. Mungkin menonton tv ditemani secangkir coklat panas adalah ide yang baik. Waktu menunjukkan sudah jam empat kurang lima menit. Saatnya melepaskan apron dan mengemasi barang-barang di loker. "Hey kalian berdua! Ayo pulang! Atau kalian ingin menambah jam kerja?" kataku sembari membasuh wajah dengan air yang mengalir

  • Everything Happens For A Reason   9. Superhero

    Sial! Kenapa tidak ada satupun ide yang muncul di kepalaku? Sudah jam dua belas lebih dua puluh menit dan aku hanya duduk membaca artikel-artikel orang lain tanpa mendapat ide untuk artikel halamanku sendiri. Selain menjadi barista di Genuine, aku juga berprofesi sebagai part-time writer di salah satu majalah elektronik ternama Thoughtstetic. Majalah ini adalah majalah milenial yang berisi artikel-artikel tentang permasalahan-permasalahan anak muda masa kini yang membahas soal cinta, tips-tips hubungan, hidup ataupun pembahasan mengenai astrologi. Sebenarnya pekerjaan ini menghasilkan gaji yang lebih besar daripada bekerja sebagai barista. Selain itu jam kerj

  • Everything Happens For A Reason   10. That's What Friends Are For

    "Vi, kamu duduk dulu nanti aku ambilkan kain basah untuk mengompres pipimu, ya," ucapku sembari merebahkan tubuh Virgie di sofa. Virgie mengangguk kemudian memejamkan matanya. Dalam benak aku berpikir, kenapa ada lelaki yang tega memperlakukan wanitanya seperti tadi? Aku selalu mengingat perkataan ibuku saat aku membela gadis kecil bernama 'Anne' teman masa kecilku, ketika dia didorong hingga jatuh hanya karena tidak sengaja menginjak kaki salah seorang anak lelaki berandal yang sedang berdiri di lorong depan kelasku. "Sydney, mommy sangat bangga padamu. Perlakukanlah wanita seperti kau memperlakukan mommy." Sambil meraih handuk kecil dari laci kamar mandi aku tersenyum mengingat kejadian itu. Aku melangkah ke arah dapur untuk membasahi handuk itu dengan air dingin, kemudian diperas airnya hingga agak mengering, kemudian kembali ke arah sofa

  • Everything Happens For A Reason   11. Lebih Dari Teman?

    Sungguh ini membuatku penat. Entah kenapa sudah beberapa hari ini aku sangat sulit untuk berkonsentrasi. Padahal ide-ide itu sudah dicatat dalam jurnalku. Entahlah, mungkin aku memang sedang perlu mengistirahatkan otakku dulu untuk sementara. Atau mungkin aku butuh liburan. Aku bergerak mendekati kaca jendela. Kuraih kacamata yang ada di samping tv kemudian pandanganku berkelana jauh ke luar jalanan yang sudah ramai dengan orang-orang yang sedang melaksanakan aktivitasnya masing-masing. Sambil menguap aku berpikir, sepertinya aku butuh minum kopi. Ku seret kedua kakiku menuju ke dapur yang letaknya hanya bersebelahan dari posisiku yang tadi. Kuraih bungkusan biji kopi dari dalam lemari penyimpanan kemudian memasukkannya ke alat penggiling kopi. Kuambil sedikit sesuai takaran yang pas kemudian menyalakan mesin kopi semi otomatis yang kubeli satu set dengan penggilingnya dari hasil gaji pertamaku yang ada di s

  • Everything Happens For A Reason   12. Cheesecake

    "Jangan, baby … please!" ujar Virgie sambil membuka seluruh pakaian yang masih melekat di badannya itu. Ia kemudian membuka lebar kedua kakinya lalu langsung menarik paksa kepalaku ke arah bagian yang diinginkannya untuk ku nikmati. "Mmmppf … terus, jangan berhenti. Aahhhhh!" Erangan Virgie semakin terdengar nyaring saat aku membenamkan wajahku di tengah selangkangannya. Cairan hangat yang sedikit lengket menyelimuti seluruh bagian mulutku bahkan sampai ke hidung. Terasa begitu erat Virgie mencengkram kepalaku sambil sesekali menjambak rambutku. Tubuhnya menggelinjang hebat saat lidahku menyesap bagian kecil yang menonjol di sana. Sesekali terdengar ia memanggil namaku yang disertai dengan erangan-erangan yang makin membuatku lupa bahwa ia adalah sahabatku. Setelah bermain sekitar beberapa menit, Virgie yang tak henti-hentinya mengel

  • Everything Happens For A Reason   13. Art Gallery

    Keesokan harinya di Genuine Cafe. "Di rapat kali ini kita akan membahas soal menu dan ada hal lain yang penting yang saya pikir, harus segera saya sampaikan kepada kalian semua," ujar Pak Daniel dengan penuh wibawa. "Benar kan kataku? Pak Daniel akan segera mengundurkan diri," bisik Andrew. "Kita lihat saja nanti. Jangan sok tahu kamu," jawabku ke Andrew sembari menyiku tangannya yang tepat berada di sampingku. "Aduh! Sakit tahu!" bisiknya kesal. Ketika sedang mendengarkan perbincangan yang bisa dibilang sangat membosankan itu, ku dapati diriku merenungi tentang Virgie. Entah kenapa aku tiba-tiba merindukannya. Masih segar di ingatanku tentang semua hal yang kami lakukan, terutama dengan sikap manisnya yang sekarang membuatku sedang tersenyum sendiri seperti orang tidak waras.

  • Everything Happens For A Reason   14. Ladies First

    Sambil berjalan ke arah lorong berwarna putih bersih yang dihiasi berbagai macam mahakarya dari para pelukis profesional itu, aku mencoba mengamatinya seluruh struktur gedung dan dekorasi yang bertemakan labirin itu. Sembari berjalan pelan dan mengamati, pikiranku terbang jauh memikirkan sosok Virgie yang terus menerus berputar-putar di dalam otakku. Saat ingin duduk di kursi kayu yang ditempatkan di ujung lorong, seketika pandangan mataku terpaku pada satu sosok manusia berambut hitam panjang, memakai sweater berwarna putih yang sedang berdiri menyamping sambil menatap lukisan yang terpampang di depannya. Itu Abby. Aku yang sebelumnya merasa tidak bergairah karena sepanjang hari hanya menunggu kabar yang tak kunjung ada, tiba-tiba merasa bersemangat. Dengan langkah kecil, ku coba menghampiri Abby sambil membawa senyuman lebar. "Abigail?"

Latest chapter

  • Everything Happens For A Reason   60. Bukan Saudara Sedarah

    Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma

  • Everything Happens For A Reason   59. SUV Hitam

    Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon

  • Everything Happens For A Reason   58. Kekacauan Di Finley's

    Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.Bukkkk!Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu."Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau

  • Everything Happens For A Reason   57. Vodka

    Ini sudah hampir seminggu sejak Athena menghubungiku, namun tak jua ada kabar darinya lagi. Aku sempat menghubungi ibunya lagi dua hari yang lalu, tapi katanya keadaan Athena masih seperti itu, hanya mengurung diri di kamar dan enggan keluar. Hari ini aku berencana untuk datang ke rumahnya, karena jujur saja, aku khawatir dengan keadaan wanita cerewet yang satu itu.Ini masih jam tujuh malam, namun aku sudah mabuk. Rencana awal yang telah disusun dengan sedemikian rupa untuk bertandang ke kediaman Athena pun gagal karena sudah dikuasai minuman yang bisa membuatku berjalan empat kaki sambil berteriak itu. Aku sempat tertidur selama kurang lebih satu jam sebelum terbangun karena jatuh dari sofa. Karena sadar wiski di botolku tinggal sedikit, aku memutuskan untuk ke Finley's saja.Sekitar setengah jam kemudian kudapati diriku tengah dud

  • Everything Happens For A Reason   56. Hidupku Hancur, Syd!

    Hari demi hari kujalani hanya dengan mabuk-mabukan dan tidur. Pekerjaan sampingan sebagai penulis di Thoughtstetic pun ku abaikan. Hidupku terasa tak lagi pada tempatnya. Beberapa hari yang lalu, Mommy sempat menelpon untuk mengajakku pulang, namun tak ku hiraukan. Walaupun terasa seperti orang yang sedang kehilangan arah, aku masih ingin di sini, di kota ini.Aku menutup diri dari dunia luar dan sahabat-sahabatku, tak jua Abby. Ia selalu mencoba untuk menghubungiku, namun aku memang sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Setiap malam ku habiskan uangku hanya untuk memenuhi hasrat untuk kesenangan sesaat. Tiada hari kulewati tanpa kesadaran. Aku benar-benar kacau dan tak tahu lagi kemana arah dan tujuan hidupku.Siang itu cuaca terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Tapi setidaknya aku punya penangkal yang ampuh. Aku tersadar ke

  • Everything Happens For A Reason   55. Farewell

    Gubrak!Tubuh Bastian terhempas ke lantai ketika bertemu dengan kepalan tinjuku. Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi sudah menguasaiku. Bagaimana bisa kau menjadi seorang manajer, tapi cara bicaramu terkesan sangat merendahkan?"Bangsat kau!" erang Bastian yang sedang berusaha berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang terlihat mengeluarkan bercak darah.Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara Alice yang terburu-buru masuk dan langsung menahan Bastian. Ia berkata, "kenapa masih pagi-pagi begini kalian berkelahi?"Andrew pun tak mau ketinggalan, kini ia dan Alice sedang berusaha menahan tubuh Bastian yang memang jauh lebih besar dari tubuhku.

  • Everything Happens For A Reason   54. Kau Pikir Kau Siapa?

    Dari atas sini terlihat Virgie yang sedang menuruni tangga menghampiri Omar yang sedang menunggu sambil bersandar di mobilnya. Omar pun menyambut Virgie dengan ciuman mesra di keningnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku hanya bisa menahan rasa cemburu yang begitu besar ketika melihat adegan yang sudah seperti di film drama romantis itu.Aku mencoba menepis rasa yang mulai menyeruak dari dalam diriku. Ingin rasanya aku turun ke bawah dan memukul lelaki yang kini sedang membukakan pintu untuk wanita yang kusayangi, Virgie Petterson. Dan untuk pertama kalinya, aku marah dengan apa yang dilakukannya padaku. Tanpa kusadari, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ingin sekali ku berteriak sekuat mungkin dan menumpahkan rasa kecewa yang kini terpatri dalam lubuk hatiku.*****

  • Everything Happens For A Reason   53. Materialistis

    "Maksudku? Sempat-sempatnya kau masih bertanya apa maksudku? Apa kau tidak sadar? Alasan selama ini aku sering menghilang karena semata-mata aku tidak pernah yakin denganmu!" pekik Virgie dengan sangat lantang. "Selama kita dekat, apa kau pernah memberikanku sesuatu? Apa kau pernah mengajakku ke sesuatu tempat? Pernah?""Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Vi!""Aahh! Alasan saja kau! Kau saja yang memang tidak pernah peka denganku! Apa kau tahu selama ini aku capek? Aku capek bekerja, aku capek harus mencari nafkah untuk diriku sendiri! Aku ingin ada seseorang yang bisa melengkapiku, Syd!""Melengkapimu dengan uang? Begitu kan maksudmu? Hahaha!" jawabku sambil terkekeh."Bu-bukan begitu maksudku, sayang…,"

  • Everything Happens For A Reason   52. New Fact

    Siang ini cuaca terasa begitu panas. Aku baru kembali dari supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak. Ditengah perjalanan Abby menghubungiku namun tak ku hiraukan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, karena memang letak dari supermarket hanya dua blok dari apartemenku. Aku memacu langkahku lebih cepat agar bisa lebih cepat pula sampai di apartemen. Kunaiki anak tangga dengan cepat, satu langkah untuk dua anak tangga. Ketika tiba di dekat pintu kamarku, terdengar suara Virgie yang sedang berseru tidak jelas.Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku belum langsung masuk ke dalam. Pelan-pelan ku hampiri pintu kamarku bermaksud untuk menguping pembicaraan Virgie. Sayup-sayup terdengar suara Virgie, sepertinya ia sedang berbicara ditelpon dengan seseorang. Ku coba menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang berdebat. K

DMCA.com Protection Status