Tok … tok … tok ….
Terdengar bunyi ketukan pintu.
"Sydney, Virgie, Athena! Bangun, ini aku!"
Pekikan suara Damon terdengar dari balik pintu. Dengan mata yang masih terasa sangat berat untuk dibuka aku berusaha meraih kacamataku dari atas meja samping tempat tidur. Ku tatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10:25. Aku masih setengah sadar, masih terasa setengah pusing karena masih ada sisa pengaruh minuman semalam. Athena masih tergeletak pulas di sofa seperti tak ada yang dia khawatirkan.
Tiba-tiba aku tersadar ternyata masih setengah telanjang dan bergegas keluar dari selimut mencari bajuku yang sudah berserakan di lantai.
"Bisa gawat kalau Damon melihat ini."
Aku panik setengah mati, seakan seluruh aliran darahku memompa lebih cepat sampai di pembuluh darahku. Sementara itu sambil berpakaian, aku mencoba membangunkan Virgie agar dia juga segera memakai bajunya.
"Vi, bangun! Hey, ayo cepat pakai bajumu. Ada Damon di depan! Virgie!"
"Aduuuh, jam berapa sih ini? Aaaaaahhh!" ujar Virgie berdengus kesal sambil meregangkan badannya.
"Hey, tak penting sekarang jam berapa. Yang penting kau pakai dulu bajumu, nih!" kataku sambil menyodorkan bajunya agar dia segera bangun dan berpakaian.
Virgie yang masih setengah mengantuk tiba-tiba sontak terkejut mendengar teriakan Damon yang semakin keras sambil menggedor pintu. Dia bergegas memakai bajunya. Aku menatap Virgie yang membelakangi cahaya matahari hangat yang menerobos masuk ke dalam ruangan. Dengan cekatan dia mengikat rambutnya yang tergerai indah di bahunya. Mataku tak bisa lepas dari pandangan ini. Sungguh dia terlihat sangat mempesona saat ini.
Gubrak!
Virgie terjatuh saat mencoba melangkah turun dari tempat tidur karena kakinya tersangkut di selimut. Aku bersicepat mengangkatnya. "Kamu tidak apa-apa, Vi?"
Sambil menatapku Virgie tertawa kecil karena merasa lucu dengan kecerobohannya sendiri. Dia meraih pipiku dan
Cup!
Ciuman lembut melekat di bibirku.
"Aku tidak apa-apa, Sydney sayang."
Wajahku memerah seketika. Virgie langsung berdiri dan dengan setengah berlari dia menghampiri pintu depan.
"Iya sebentar! Kenapa kau tidak sabaran sekali jadi orang!" teriak Virgie.
Athena terlihat baik-baik saja dengan tidurnya walaupun sudah mulai ada kegaduhan di dalam sini.
"Good morning menjelang siang, orang-orang pemalas!" Damon bercakap sambil melangkah masuk ke dalam ruangan. Aku pura-pura baru terbangun agar Damon tidak curiga.
"Hey, idiot! Dari mana saja kamu? Kamu melewatkan pestanya, kawan!"
"I'm sorry, bro. Semalam ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan. Padahal aku sangat ingin berkumpul dengan kalian." Damon menjawab dengan wajah sedih yang setengah dibuat-buat.
"Terlalu banyak alasan kau!" kataku sambil meraih tangan Damon dan menariknya jatuh ke tempat tidur dan berlagak seperti sedang bergulat. Ku tindih tubuh Damon agar dia tak bisa bergerak. Damon membalas dengan membalikkan badanku. Dengan cekatan aku berputar dan mengunci lehernya.
"I-iya ampun, aku kalah!"
Athena yang baru terbangun dari tidur panjangnya pun tidak mau ketinggalan. Dia melompat dari atas sofa ke arah kami berdua.
"Hey, bodoh, aku tidak bisa bernafas! Aahh!" keluh Damon sambil mencari cara untuk melepaskan diri.
Athena yang berada di paling atas hanya terkekeh karena merasa menang. Virgie yang melihat kami bertiga pun ikut tertawa melihat tingkah kami.
"Kalian memang tidak pernah berubah. Masih saja seperti anak kecil," kata Virgie sambil berlalu ke toilet.
"Athena!" Damon mengeram,"minggir kau dari situ sebelum kau ku smackdown!" teriak Damon.
"And the winner is, one and only Athena!" celetuknya, " "Yeeeeyyy!" seru Athena dengan girang sambil melompat-lompat di atas tempat tidur.
Kami hanya tertawa melihat tingkah si ratu sosmed itu. Memang beginilah tingkah kami kalau sedang bersama. Kami tidak bisa hidup tanpa saling menjahili satu sama lain.
Damon menjulurkan tangannya untuk membantu aku berdiri. "Thank's, boy."
"Kalian pasti lapar? Tadi aku singgah ke Frida's. Sayangnya menu yang lain sudah habis, jadi aku hanya bawakan sandwich dan kopi."
"Waahh … kamu memang yang terbaik. Tahu saja kalau kami lapar." Virgie bergegas menghampiri makanan yang ada di atas meja depan tv. Dia terlihat sangat lapar.
"Hey, ayo makan!" teriak Virgie dengan bersemangat.
Damon berjalan menghampiri Athena yang sedang asyik mengutak-atik ponselnya di atas sofa sekaligus memberi kode diam kepadaku.
Gedebuk!
Ditindihnya tubuh mungil Athena yang tidak berdaya.
"Selamat pagi, manis!"
"Manis … manis, ku pikir aku kucing? Damooooon … iiihh, kamu berat banget, nafasku sesak, I need oksigen!"
"Sekarang kau rasakan pembalasanku!" Damon terkekeh.
Aku hanya duduk di seberang kasur sambil tersenyum menatap tingkah mereka. Sekelebat samar-samar aku teringat kejadian tadi subuh sambil tersenyum kecil. Entah apa yang sudah merasuki kami berdua saat itu. Otakku mungkin masih bingung harus merespon itu dengan rasa senang, takut atau datar.
"Kenapa kamu bisa bodoh seperti itu, Sydney," gumamku dalam hati.
Akal sehatku masih belum bisa menerima apa yang sudah terjadi semalam. Dari ujung mataku terlihat Virgie yang sedang makan sambil menonton tv. Dia terlihat biasa-biasa saja, tidak sepertiku yang sekarang sangat merasa sangat canggung sekaligus shock. Tapi, aku berusaha untuk tidak membuatnya terlalu kelihatan di depan Virgie.
Plakk!
Damon mengeplak kepalaku tiba-tiba.
"Hey, bodoh! Apakah minuman semalam terlalu strong sehingga membuat jiwamu sedikit terguncang, sampai kau tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila?"
"Enak saja, kau yang gila! Ayo makan, aku lapar," kataku dan berlalu ke arah meja kecil di depan tv.
"Wah, sepertinya enak!"
"Sekali lagi aku minta maaf, semalam aku tidak bisa datang. Aku sibuk mengurusi barang-barang yang hendak dikirim hari ini."
"It's okay. Aku akan memaafkanmu dengan satu syarat … minggu depan kamu yang traktir!" kata Virgie bersemangat.
"Iya, boleh-boleh. Tapi, tolong pijit aku dulu, badanku pegal semua," ucap Damon dengan nada manja.
"Badanmu saja yang kekar, baru begitu saja sudah minta dipijit, dasar payah!" Virgie mengejek Damon sambil menunjukkan ibu jari menghadap ke bawah. Athena dan aku hanya menyengir.
"Loh, kan ada karyawan yang lain? Masa kamu sendiri yang harus turun tangan?"
"Iya, Syd. Karyawan sih ada, bahkan ada yang lembur karena banyak sekali pesanan yang harus dikirimkan. Tapi kan kamu tahu sendiri papaku tidak mau kalau aku cuma asal main perintah atau santai-santai angkat kaki sambil menggeser Tinder."
"Oh iya juga ya. Tapi sebenarnya tidak apa-apa sih, sekalian biar kamu tahu capeknya jadi karyawan itu seperti apa. Aku setuju sama papamu," ujarku.
Untuk ukuran seorang pria berumur tiga puluh tahun, Damon termasuk dalam VIP list. Badannya yang fit terbentuk dengan indah, ditambah parasnya yang bisa dibilang hampir sempurna dengan tatapan sejuk yang bisa membuat lawan jenis bahkan sesama jenis tergila-gila padanya. Apalagi dengan kemapanan yang diwarisi dari keluarganya, membuat kesan perfect future husband sangat cocok untuknya. Tapi sayangnya Damon Westbrook tidak terlalu beruntung dalam percintaan. Dia memang sudah sempat dijodohkan dengan kenalan ayahnya tapi sepertinya wanita itu tidak masuk kategorinya.
"Betul itu, anak manja!" Virgie menyambung kata-kataku sambil mengunyah dengan cepat.
"Iya memang sih tidak apa-apa … tapi punggungku yang apa-apa! Kalian pikir, mengangkat onderdil mobil yang beratnya hampir 10 kilo naik turun tangga itu sesuatu yang ringan?" ujar Damon sambil menirukan gaya mengangkat barang.
"Kasihan, sini ku pijit, bang!" ejek Athena sambil ngedipkan setengah matanya.
Aku menendang kaki Damon. "Jangan terlalu dramatis seperti anak perempuan."
Damon membalas dengan meninju lenganku, pukulannya sangat kuat sampai tanganku terasa kram.
"Aku hanya membutuhkan kasih sayang dan perhatian," ujar Damon dengan wajah menjijikkan.
"Sini ku beri kau kasih sayang!" balasku, "siapa suruh kau terlalu pemilih. Kalau saja saat itu kau menyetujui perjodohan yang diatur ayahmu, mungkin sekarang kau sedang dipijit oleh isterimu di atas ranjang yang empuk," sindirku.
"Iya, benar sekali! Mungkin sekarang aku sudah menjadi ibu baptis dari anakmu. Oh, tak bisa kubayangkan betapa cantiknya anakmu, Damon Westbrook." Athena pun tidak mau kalah.
"Sialan kau! Tapi, benar juga ya apa yang kamu katakan. Mungkin aku akan merasa lebih bahagia kalau sudah memiliki anak. Akan kuperlakukan dia seperti puteri," tukas Damon. Wajahnya berubah kagum, seakan membayangkan sedang menggendong seorang anak.
Kami hanya tertawa melihat wajah Damon yang terlihat begitu serius dengan imajinasinya. Sungguh sesuatu yang melegakan saat kamu merasa ada orang-orang yang sefrekuensi denganmu. Aku tidak pernah merasa seberuntung ini bisa memiliki sahabat-sahabat seperti mereka.
Pukul 1:49
Aku duduk di balkon bersama Damon sambil merokok dan berbincang-bincang. Sesekali aku mencuri pandang ke arah Virgie, mengamati apa yang sedang dia lakukan. Damon yang sedang berceloteh tentang gadis yang berkenalan dengannya dari aplikasi kencan online tiba-tiba terhenti karena melihatku sudah tidak fokus lagi dengan ceritanya.
Fuhh!
Damon meniup telingaku.
"Sepertinya ada yang mengusik perhatianmu padaku wahai kau pangeran Sydney dari negeri antah berantah," celoteh Damon sambil mencoba melihat ke arah yang sama denganku, berharap akan mendapat penglihatan yang sama.
Tidak mungkin aku memperlihatkan apa yang sebenarnya ada di pandanganku, bisa gawat jika Damon tahu. Ku mencoba mengalihkan cerita ke topik yang berbeda.
"Coba kau lihat dua gadis itu. Aku tidak bisa membayangkan jika aku menjadi pacar dari salah satunya. Yang satu masih seperti anak-anak, yang satunya lagi dewasa tapi terlalu over analyzing," kataku sambil menunjuk ke arah dua wanita yang sesekali histeris karena menonton acara tv yang sedang memperbincangkan tentang pria-pria kaya yang tampan di seluruh dunia.
"Menurutku tidak ada yang salah sih, tinggal bagaimana cara kamu menghadapinya saja. Biasanya sifat yang diperlihatkan ke teman-teman dan ke pasangan itu berbeda." Damon menjelaskan dengan sangat serius.
"Umm, maybe," jawabku.
"Eh, tapi kamu tidak menyukai salah satu dari mereka kan?" Damon menatapku dengan ekspresi meneliti. Matanya naik turun menganalisaku.
"Astaga, kau pikir aku sudah gila mau pacaran dengan salah satu dari wanita aneh itu?"
"Jujur sajalah, nanti ku comblangi kalian! Tenang, aku ahlinya." Damon tertawa cekikikan sambil menahan perutnya.
"Enak saja kau!" jawabku kesal, "tidak ada satupun dari mereka berdua yang masuk kriteria pacarku."
Jujur saja, tidak ada teman lelaki yang tidak membicarakan sahabat perempuannya. Dan ku rasa begitu juga sebaliknya. Menurutku tidak ada yang salah dari itu, apalagi jika kalian semua sudah sangat dekat. Terkadang membicarakan kekurangan-kekurangan sahabatmu bukan sebuah hinaan, tapi seperti sebuah lelucon yang tingkat kelucuannya di atas rata-rata yang bisa membuatmu menahan rasa sakit di perut karena tertawa berlebihan.
"Sesekali kamu harus coba dating apps, biar kau tidak kesepian hanya ditemani buku-buku dan laptop kesayanganmu itu."
Damon mengarahkan handphonenya di depan mataku.
"Terlalu dekat, bodoh! Aku tidak bisa melihat."
Kutarik nafas panjang sambil mengamati aplikasi yang ditunjukkan Damon kepadaku.
"Hmm, maaf bro, aku sungguh tidak tertarik dengan sesuatu yang virtual seperti ini. Bisa saja mereka memajang foto orang lain yang terlihat lebih jauh cantik agar kita tertarik. Dan saat bertemu kamu kecewa karena wajahnya ternyata mirip youtuber tutorial make up yang viral itu."
"Kenapa patokanmu di situ? Berarti kau pernah mengalaminya?" Damon tertawa kegelian.
"Sialan kau! Tidak pernah. Aku sama sekali tidak tertarik dengan kencan online. Aku lebih memilih berkenalan langsung di dunia nyata atau paling secara langsung orang itu berada dalam circle kehidupanku."
"Dasar bodoh! Makanya kamu harus mulai membuka hati agar tidak hanya jadi secret admirer selebgram atau gadis-gadis yang kau lihat di tiktok. Sudah hampir dua tahun kamu sendiri, dude! Buku-bukumu tidak akan memberimu kasih sayang!"
Dalam jangka waktu dua tahun, si raja dating apps ini sudah puluhan kali menjodohkanku dengan teman-teman wanitanya, tapi entah kenapa tidak ada satupun yang benar-benar bisa membuatku jatuh cinta. Mungkin karena aku lebih memilih mencari sendiri ketimbang dijodohkan. Aku tidak suka yang instan. Aku lebih menghargai proses.
Waktu menunjukkan sudah hampir jam empat sore. Aku harus segera pulang, masih banyak yang harus aku kerjakan. Cucian yang menumpuk, kamar yang masih berantakan, buku yang belum sempat aku baca sejak dua hari yang lalu dan terutama ada deadline artikel permintaan pembaca.
"Eh, sudah sore nih. Ayo pulang!"
Ku hampiri Athena berniat untuk mengajaknya pulang. Karena kebetulan tempat tinggal kami berada di satu blok yang sama.
"Oh iya, sudah hampir jam empat. Besok aku juga harus mengupload video yang baru, jadi aku harus mencari konten malam ini," jawab Athena.
"Kalian tega sekali mau meninggalkan aku sendiri." Virgie menyela dengan memasang wajah pengasihanan.
"Nanti ya, tuan puteri. Malam minggu nanti kita kan bareng lagi. Damon mau bayar hutang traktirannya, ya kan, saudara Damon?" seruku sambil menyiku Damon.
"Ahh! Sakit, bodoh! Iya tenang saja. Aku akan memberikan servis terbaik agar kau tidak merasa kesepian." Damon menjawab dengan wajah genit dengan alis terangkat setengah yang menurutku sangat menjijikan.
"Ya sudah kalau begitu aku antar kalian berdua pulang."
"Eh, sebentar! Ayo kita foto dulu!" Athena meraih ponsel pintarnya dari atas meja.
Cekrek!
Kami semua berpose layaknya seorang foto model lalu mengganti gaya dengan wajah-wajah aneh.
"Eh, yang ini bagus, lucu!" kata Virgie, "ayo, sekali lagi!"
Entah kenapa aku sangat menyayangi orang-orang bodoh ini. Tanpa mereka aku mungkin hanya seorang kutu buku yang selalu menyendiri. Setidaknya bukan kutu loncat.
Kami bergegas menuju lantai dasar apartemen, menuruni tangga lantai demi lantai.
"Aku sarankan kau cari apartemen yang menyediakan fasilitas jetpack," kata Damon.
"Jetpack? Kenapa tidak sekalian fasilitas skydiving?" Virgie menjawab dengan nada skeptis.
"Supaya saat liftnya rusak, kami bisa langsung terbang ke kamarmu." Kami tertawa terpingkal-pingkal sembari beradu cepat menuruni tangga.
Virgie mengantar kami sampai di depan parkiran.
Beep … beep!
Damon membuka kunci mobilnya. Athena naik dan duduk di depan, aku memilih duduk di belakang.
"Kita pulang dulu ya, Vi. Sampai ketemu sabtu depan. Dah!" Kata Athena yang membuka kaca mobil dan mengeluarkan setengah badannya untuk memeluk Virgie.
Chevy Equinox hitam Damon melaju perlahan menyusuri lorong. Kulihat Virgie masih berdiri di depan gerbang pagar apartemen sambil melambaikan tangan ke arah kami sampai mobil yang kami kendarai itu berbelok di tikungan.
Siang ini jam dinding berwarna perak yang dipajang di atas pintu dapur terasa begitu lambat berdetak. Ku rasa ini adalah hari terpanjang dalam hidupku. Aku mencoba memikirkan kalimat lain selain 'cepatlah jam empat'. Entah kenapa aku merasa sangat tidak bersemangat untuk beraktivitas. Aku menghabiskan tiga jam berikutnya dengan membuat pesanan seperti biasa. Sebenarnya tidak ada yang berbeda, hanya saja aku mungkin merasa agak jenuh dengan keseharianku, atau mungkin aku hanya sedang merasa kesepian saja. "Sydney, tolong kau gantikan aku sebentar. Aku ada urusan mendadak jadi aku harus pergi. Tolong kau awasi mereka, ya!" Dengan terburu-buru Pak Daniel mengambil jaketnya dan berlalu ke arah pintu depan kafe. Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaannya itu. "Wah, ada apa ya pak Daniel tiba-tiba pergi begitu saja? Tidak biasanya dia seperti itu," kata Andrew yang sedang m
"Jadi sebenarnya sedang apa kau di sini? Atau kau bekerja di sini juga?" tanyaku. "Hmm, sayang sekali tidak. Aku hanya mampir untuk makan siang bersama beberapa staf kantor untuk merayakan promosi kenaikan jabatan temanku," jelas Abby. "Oh, kupikir kau bekerja di sini juga." "Sekarang aku bekerja sebagai intern di Suns Medical Center." "Wow, jadi sekarang kamu ... " "Iya, Syd. Aku sementara membangun karirku sebagai seorang dokter. Impianku selama ini," ucapnya dengan penuh harap, matanya berbinar. "Selamat ya. Tidak sia-sia orang tuamu menerbangkanmu jauh samping ke New York. Aku bangga padamu, Abigail."
Sungguh hari yang sangat melelahkan. Itu seperti menguras delapan puluh lima persen energi yang ada dalam tubuhku. Akhirnya tiba juga waktu pergantian shift. Tak ada yang namanya jam loyalitas untuk hari ini, pokoknya aku ingin segera pulang dan merebahkan badanku di sofa. Aku ingin bersantai melepas kepenatan yang menempel di kepalaku sedari pagi. Mungkin menonton tv ditemani secangkir coklat panas adalah ide yang baik. Waktu menunjukkan sudah jam empat kurang lima menit. Saatnya melepaskan apron dan mengemasi barang-barang di loker. "Hey kalian berdua! Ayo pulang! Atau kalian ingin menambah jam kerja?" kataku sembari membasuh wajah dengan air yang mengalir
Sial! Kenapa tidak ada satupun ide yang muncul di kepalaku? Sudah jam dua belas lebih dua puluh menit dan aku hanya duduk membaca artikel-artikel orang lain tanpa mendapat ide untuk artikel halamanku sendiri. Selain menjadi barista di Genuine, aku juga berprofesi sebagai part-time writer di salah satu majalah elektronik ternama Thoughtstetic. Majalah ini adalah majalah milenial yang berisi artikel-artikel tentang permasalahan-permasalahan anak muda masa kini yang membahas soal cinta, tips-tips hubungan, hidup ataupun pembahasan mengenai astrologi. Sebenarnya pekerjaan ini menghasilkan gaji yang lebih besar daripada bekerja sebagai barista. Selain itu jam kerj
"Vi, kamu duduk dulu nanti aku ambilkan kain basah untuk mengompres pipimu, ya," ucapku sembari merebahkan tubuh Virgie di sofa. Virgie mengangguk kemudian memejamkan matanya. Dalam benak aku berpikir, kenapa ada lelaki yang tega memperlakukan wanitanya seperti tadi? Aku selalu mengingat perkataan ibuku saat aku membela gadis kecil bernama 'Anne' teman masa kecilku, ketika dia didorong hingga jatuh hanya karena tidak sengaja menginjak kaki salah seorang anak lelaki berandal yang sedang berdiri di lorong depan kelasku. "Sydney, mommy sangat bangga padamu. Perlakukanlah wanita seperti kau memperlakukan mommy." Sambil meraih handuk kecil dari laci kamar mandi aku tersenyum mengingat kejadian itu. Aku melangkah ke arah dapur untuk membasahi handuk itu dengan air dingin, kemudian diperas airnya hingga agak mengering, kemudian kembali ke arah sofa
Sungguh ini membuatku penat. Entah kenapa sudah beberapa hari ini aku sangat sulit untuk berkonsentrasi. Padahal ide-ide itu sudah dicatat dalam jurnalku. Entahlah, mungkin aku memang sedang perlu mengistirahatkan otakku dulu untuk sementara. Atau mungkin aku butuh liburan. Aku bergerak mendekati kaca jendela. Kuraih kacamata yang ada di samping tv kemudian pandanganku berkelana jauh ke luar jalanan yang sudah ramai dengan orang-orang yang sedang melaksanakan aktivitasnya masing-masing. Sambil menguap aku berpikir, sepertinya aku butuh minum kopi. Ku seret kedua kakiku menuju ke dapur yang letaknya hanya bersebelahan dari posisiku yang tadi. Kuraih bungkusan biji kopi dari dalam lemari penyimpanan kemudian memasukkannya ke alat penggiling kopi. Kuambil sedikit sesuai takaran yang pas kemudian menyalakan mesin kopi semi otomatis yang kubeli satu set dengan penggilingnya dari hasil gaji pertamaku yang ada di s
"Jangan, baby … please!" ujar Virgie sambil membuka seluruh pakaian yang masih melekat di badannya itu. Ia kemudian membuka lebar kedua kakinya lalu langsung menarik paksa kepalaku ke arah bagian yang diinginkannya untuk ku nikmati. "Mmmppf … terus, jangan berhenti. Aahhhhh!" Erangan Virgie semakin terdengar nyaring saat aku membenamkan wajahku di tengah selangkangannya. Cairan hangat yang sedikit lengket menyelimuti seluruh bagian mulutku bahkan sampai ke hidung. Terasa begitu erat Virgie mencengkram kepalaku sambil sesekali menjambak rambutku. Tubuhnya menggelinjang hebat saat lidahku menyesap bagian kecil yang menonjol di sana. Sesekali terdengar ia memanggil namaku yang disertai dengan erangan-erangan yang makin membuatku lupa bahwa ia adalah sahabatku. Setelah bermain sekitar beberapa menit, Virgie yang tak henti-hentinya mengel
Keesokan harinya di Genuine Cafe. "Di rapat kali ini kita akan membahas soal menu dan ada hal lain yang penting yang saya pikir, harus segera saya sampaikan kepada kalian semua," ujar Pak Daniel dengan penuh wibawa. "Benar kan kataku? Pak Daniel akan segera mengundurkan diri," bisik Andrew. "Kita lihat saja nanti. Jangan sok tahu kamu," jawabku ke Andrew sembari menyiku tangannya yang tepat berada di sampingku. "Aduh! Sakit tahu!" bisiknya kesal. Ketika sedang mendengarkan perbincangan yang bisa dibilang sangat membosankan itu, ku dapati diriku merenungi tentang Virgie. Entah kenapa aku tiba-tiba merindukannya. Masih segar di ingatanku tentang semua hal yang kami lakukan, terutama dengan sikap manisnya yang sekarang membuatku sedang tersenyum sendiri seperti orang tidak waras.
Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma
Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon
Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.Bukkkk!Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu."Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau
Ini sudah hampir seminggu sejak Athena menghubungiku, namun tak jua ada kabar darinya lagi. Aku sempat menghubungi ibunya lagi dua hari yang lalu, tapi katanya keadaan Athena masih seperti itu, hanya mengurung diri di kamar dan enggan keluar. Hari ini aku berencana untuk datang ke rumahnya, karena jujur saja, aku khawatir dengan keadaan wanita cerewet yang satu itu.Ini masih jam tujuh malam, namun aku sudah mabuk. Rencana awal yang telah disusun dengan sedemikian rupa untuk bertandang ke kediaman Athena pun gagal karena sudah dikuasai minuman yang bisa membuatku berjalan empat kaki sambil berteriak itu. Aku sempat tertidur selama kurang lebih satu jam sebelum terbangun karena jatuh dari sofa. Karena sadar wiski di botolku tinggal sedikit, aku memutuskan untuk ke Finley's saja.Sekitar setengah jam kemudian kudapati diriku tengah dud
Hari demi hari kujalani hanya dengan mabuk-mabukan dan tidur. Pekerjaan sampingan sebagai penulis di Thoughtstetic pun ku abaikan. Hidupku terasa tak lagi pada tempatnya. Beberapa hari yang lalu, Mommy sempat menelpon untuk mengajakku pulang, namun tak ku hiraukan. Walaupun terasa seperti orang yang sedang kehilangan arah, aku masih ingin di sini, di kota ini.Aku menutup diri dari dunia luar dan sahabat-sahabatku, tak jua Abby. Ia selalu mencoba untuk menghubungiku, namun aku memang sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Setiap malam ku habiskan uangku hanya untuk memenuhi hasrat untuk kesenangan sesaat. Tiada hari kulewati tanpa kesadaran. Aku benar-benar kacau dan tak tahu lagi kemana arah dan tujuan hidupku.Siang itu cuaca terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Tapi setidaknya aku punya penangkal yang ampuh. Aku tersadar ke
Gubrak!Tubuh Bastian terhempas ke lantai ketika bertemu dengan kepalan tinjuku. Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi sudah menguasaiku. Bagaimana bisa kau menjadi seorang manajer, tapi cara bicaramu terkesan sangat merendahkan?"Bangsat kau!" erang Bastian yang sedang berusaha berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang terlihat mengeluarkan bercak darah.Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara Alice yang terburu-buru masuk dan langsung menahan Bastian. Ia berkata, "kenapa masih pagi-pagi begini kalian berkelahi?"Andrew pun tak mau ketinggalan, kini ia dan Alice sedang berusaha menahan tubuh Bastian yang memang jauh lebih besar dari tubuhku.
Dari atas sini terlihat Virgie yang sedang menuruni tangga menghampiri Omar yang sedang menunggu sambil bersandar di mobilnya. Omar pun menyambut Virgie dengan ciuman mesra di keningnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku hanya bisa menahan rasa cemburu yang begitu besar ketika melihat adegan yang sudah seperti di film drama romantis itu.Aku mencoba menepis rasa yang mulai menyeruak dari dalam diriku. Ingin rasanya aku turun ke bawah dan memukul lelaki yang kini sedang membukakan pintu untuk wanita yang kusayangi, Virgie Petterson. Dan untuk pertama kalinya, aku marah dengan apa yang dilakukannya padaku. Tanpa kusadari, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ingin sekali ku berteriak sekuat mungkin dan menumpahkan rasa kecewa yang kini terpatri dalam lubuk hatiku.*****
"Maksudku? Sempat-sempatnya kau masih bertanya apa maksudku? Apa kau tidak sadar? Alasan selama ini aku sering menghilang karena semata-mata aku tidak pernah yakin denganmu!" pekik Virgie dengan sangat lantang. "Selama kita dekat, apa kau pernah memberikanku sesuatu? Apa kau pernah mengajakku ke sesuatu tempat? Pernah?""Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Vi!""Aahh! Alasan saja kau! Kau saja yang memang tidak pernah peka denganku! Apa kau tahu selama ini aku capek? Aku capek bekerja, aku capek harus mencari nafkah untuk diriku sendiri! Aku ingin ada seseorang yang bisa melengkapiku, Syd!""Melengkapimu dengan uang? Begitu kan maksudmu? Hahaha!" jawabku sambil terkekeh."Bu-bukan begitu maksudku, sayang…,"
Siang ini cuaca terasa begitu panas. Aku baru kembali dari supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak. Ditengah perjalanan Abby menghubungiku namun tak ku hiraukan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, karena memang letak dari supermarket hanya dua blok dari apartemenku. Aku memacu langkahku lebih cepat agar bisa lebih cepat pula sampai di apartemen. Kunaiki anak tangga dengan cepat, satu langkah untuk dua anak tangga. Ketika tiba di dekat pintu kamarku, terdengar suara Virgie yang sedang berseru tidak jelas.Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku belum langsung masuk ke dalam. Pelan-pelan ku hampiri pintu kamarku bermaksud untuk menguping pembicaraan Virgie. Sayup-sayup terdengar suara Virgie, sepertinya ia sedang berbicara ditelpon dengan seseorang. Ku coba menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang berdebat. K