Sambil menumpahkan minuman ke dalam gelasku, Virgie berceloteh, "kamu tahu, hal yang paling menyebalkan dalam long distance relationship?"
"Apa?" tanyaku."Menunggu kabar setiap hari, overthinking setiap hari, ternyata dia sedang bersenang-senang dengan orang lain," ungkap Virgie setengah geram dengan membuat ekspresi wajah yang kesal."Oh, pacar kamu? Memangnya kamu tahu dari mana dia sedang bersama orang lain? Kalau kalian saling percaya dan saling setia satu sama lain, kamu tak perlu repot-repot overthinking setiap hari.""Ah, bodoh amat! Lagipula aku sudah tak mau ambil pusing. Biarkan saja dia lakukan apa yang dia mau. Toh hidupku juga tak bergantung ke dia, aku bisa sendiri.""Ya setidaknya kan kalau memang sudah tak sejalan, kalian bisa selesaikan baik-baik. Memangnya sudah berapa lama kalian LDR-an?""Umm, sepertinya sudah hampir setahun sejak aku pulang ke sini." Virgie menjawab sambil menggaruk-garuk kepala mencoba mengumpulkan kepingan ingatan-ingatannya."Lama juga ya? Kenapa dia tak ke sini saja, supaya kalian bisa bersama-sama lagi. Biar kamu tak lebay seperti ini," jawabku setengah bercanda."Susah, Syd. Orang tuanya tidak akan mengijinkan. Sudahlah biar begini saja dulu, bikin pusing saja. Lagipula di sini aku bisa bebas bergaul dengan siapa saja. Eh tau tidak, aku sebenarnya sedang dekat dengan seseorang.""Hah? Apa aku tidak salah dengar, siapa? Apa aku mengenalnya?"Aku terkejut dengan pernyataan Virgie. Bagaimana bisa seseorang yang sedang menjalani hubungan jarak jauh, justru malah sedang dekat dengan orang lain di tempat lain.
Matanya berkedip-kedip, kebahagiaan memancar dari mata Virgie. "Kau tak kenal. Namanya Liam. Aku bertemu dia di pesta ulang tahun Angie sekitar dua minggu yang lalu. Orangnya keren, cool, ramah pokoknya tipeku banget!""Loh, kok? Memangnya dengan yang LDR sudah selesai? Siapa sih namanya itu?" tanyaku."Oh, iya lupa. Namanya Otis," lontarnya, "belum sih, kita belum putus. Tapi aku tidak mau ambil pusing lagi. Biarkan saja begini dulu, aku pusing memikirkan itu, bisa-bisa aku gila," keluh Virgie."Ya sudah kalau begitu, kan kamu yang menjalani ini. Aku sih tidak mau berkomentar lebih. Yang penting kamu senang, kita semua senang juga kok," jawabku sembari menepuk-nepuk bahunya."Cheers! Untuk masa muda yang dihabiskan dengan orang yang salah, semoga cepat bertemu dengan orang yang tepat!"
Kami berdua mengangkat gelas dan melakukan tos atas ucapan Virgie yang tadi yang sebenarnya terdengar seperti orang yang hopeless.
Dengan cepat aku meneguk minuman yang sudah membuatku setengah melayang itu. Sudah lama sekali aku tidak minum minuman keras yang kadar alkoholnya sekitar empat puluh persen. Virgie terlihat biasa-biasa saja, hanya wajahnya yang memerah. Dia merogoh kantong celana hendak mengambil ponselnya. Aku berdiri dari tempat dudukku dan menyender di tepi balkon. Beberapa kali kulihat Virgie memotretku. Lampu flash dari kameranya sangat menyilaukan.
"Sudah, Vi. Silau! Mataku sakit!"
"Eh, yang ini bagus loh. Gayamu keren sekali. Aku upload ke Instagramku ya? Nanti kuberi caption seakan-akan kamu pacarku," kata Virgie. Matanya berbinar dengan senyum melebar. Dia sedang senang.Dia mengunggah beberapa foto kami bersama dan satu fotoku yang berdiri di samping balkon tadi dengan caption "There is no such a thing as a coincidence. Like, when I met you. My whole life is complete."
"Apa-apaan dia mengupload dengan caption seperti itu? Bisa-bisa orang-orang menganggap kami benar-benar pacaran," gumamku dalam hati.
Sepanjang malam kami mengobrol tentang banyak hal. Tapi kebanyakan lebih ke kehidupan Virgie yang terdengar sangat rumit. Tentang beberapa crushnya yang terlalu bodoh karena menganggap terlalu serius dengan cinta satu malam. Seperti biasa, mabuk atau tidak mabuk aku lebih banyak diam dan mendengarkan celoteh orang-orang. Aku hanya bicara seperlunya saja dan tertawa jika cerita itu lucu atau berekspresi kaget jika ceritanya sangat mencengangkan.
"Jadi, hubungan terakhir kamu kenapa bisa putus? Bukannya kalian sudah pacaran tiga tahun lebih, ya?" tanyanya.
"Iya, sudah tiga tahun lebih jalan empat tahun. Aku tak tahu pasti karena apa, tapi yang jelas aku sudah bukan tipenya lagi," ujarku, "padahal sebenarnya aku sudah merencanakan ingin menikahinya, ibuku juga sudah kenal dekat dengannya. Tapi, begitulah manusia. Kadang mereka hanya sedang penasaran saja."
"Umm, aku sih ingin no comment tapi, menurutku kadang selera orang itu berubah saat bertemu orang baru yang kelihatannya sangat 'wow' yang membuat kita terkesima dengan semua talent atau look yang beyond dari seseorang yang sudah biasa bersama kita bertahun-tahun," lontar Virgie panjang lebar.
"Maybe, tergantung orangnya sih mau atau tidak," sambungku."Tapi benar, kan? Kadang orang itu merasa tidak puas dengan apa yang sudah dia punya. Apalagi pas di masa-masa jenuh, banyak orang-orang yang jadi gampang tergoda dengan yang lain yang lebih dari pasangannya," celotehnya. Matanya membara dengan kepercayaan tinggi."Ya sudah iya, Miss know it all!" candaku karena sebenarnya aku sedang tidak mood membahas soal hal yang sudah ku tinggalkan jauh di masa lalu.Waktu menunjukkan pukul 4:17."Syd, ayo masuk. Sepertinya minuman ini sudah mempengaruhi mataku." Matanya terlihat sayu, entah karena mabuk atau memang sudah mengantuk.Aku mengiyakan ajakan Virgie dan kembali ke dalam untuk segera mengistirahatkan badan yang sudah terasa lelah dan kepala yang mulai pusing. Kami berjalan menuju ke tempat tidur yang jaraknya hanya sekitar empat meter dari balkon. Kuhempaskan tubuhku berbaring di tempat tidur tidak lupa meletakkan kacamataku di meja lampu.
Sama-samar aku melihat Virgie mengganti bajunya. Dia membuka kaos oblong putih yang dikenakannya tadi dengan sweater abu-abu oversized. Aku mengalihkan mataku ke sudut ruangan lain karena aku malu.
"Aku tahu kamu rabun jadi aku tidak khawatir ganti baju di depanmu." Dia berkata seolah-olah tahu kalau aku sedang berusaha untuk mengabaikan pemandangan yang seharusnya tidak kulihat itu.
"Tidurlah, aku sudah sangat mengantuk. Energiku untuk hari sudah terkuras oleh minuman itu," kataku kemudian menghela nafas panjang.
Virgie melepas ikatan rambutnya dan beranjak ke atas tempat tidur. Aku meraih bantal guling dari bawah kakinya karena dia tidak memakainya. Ku putar badanku ke arah kanan karena entah kenapa aku merasa pusing dan mual jika menghadap ke kiri. Mungkin ini efek sudah terlalu banyak minum. Sambil memejamkan mata aku sembari membenarkan posisi tidurku agar tidak terlalu ke tepi.
Aku yang sudah setengah tertidur tiba-tiba terkejut karena wajah Virgie sudah sangat dekat dengan wajahku. Nafasnya yang hangat bercampur bau alkohol yang tajam terasa menusuk di indera penciumanku.
"Syd, kamu sudah tidur?"
Aku membuka mataku dengan niat hendak menjawab pertanyaan Virgie. Tiba-tiba saja Virgie menciumku. Tangannya yang halus membelai pipiku dengan sangat lembut.
"Ya Tuhan, apa ini?" gumamku dalam hati, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
"Vi, ja-jangan …. "
Aku bisa merasakan dentuman jantungku terasa sangat kencang. Tanganku gemetar. Aku tidak bisa menolak. Aku yang sudah terbawa suasana pun menyambut ciumannya. Ia mencondongkan badannya lebih dekat sembari menciumku dengan penuh gairah. Aku pun merangkul tubuh mungilnya itu dengan sangat erat sambil mengecup lembut lehernya sampai aku bisa merasakan aroma hangat tubuhnya yang menyerupai aroma citrus bercampur vanilla dan patchouli.
"Dulu aku pernah menyukaimu, Vi," ucapku dengan tiba-tiba melepaskan ciuman Virgie yang begitu lekat dengan bibirku.
"Hah? Serius? Sejak kapan, Sydney?" Virgie penasaran, matanya membesar. Dia terheran-heran dengan pengakuanku tadi.
"Sekitar enam tahun yang lalu waktu kamu masih dengan Julian."
"Wa-waktu itu kan kamu masih dengan Niki, bagaimana bisa kamu menyukaiku?" Virgie keheranan. Dia memutar matanya melirik ke langit-langit kamar dan berpikir.
"Iya, entah kenapa aku sangat senang jika berada di dekatmu. Tapi tidak ada sedikitpun rasa ingin memilikimu. Waktu itu aku tetap setia dengan Nikita."
"Wow, Syd …," kata Virgie sambil kembali melayangkan ciuman mesra ke bibirku. Kurasakan bibirnya yang mungil dan basah mengecap setiap sudut bibirku.
"Vi, aku rasa ini bukan sesuatu yang benar ...."
"Kenapa, Syd? Kamu tidak nyaman dengan ini?" Virgie kembali mengecup bibirku, seakan tidak perduli dengan ucapanku.
Entah apa yang tersirat di benak Virgie subuh itu. Aku ingat dulu pernah sekali dia menggenggam erat tanganku sambil menatapku tajam seolah berkata 'Aku menginginkanmu' empat tahun yang lalu saat sedang minum di bar bersama Damon. Tapi aku menganggap itu hanya hal biasa karena kami sudah sangat lama bersahabat dekat. Tapi, itu bukan pandangan mata yang biasa.Aku sungguh tidak berdaya menolak apapun yang sedang terjadi sekarang. Bibirku beradu dengan lincah dengan bibirnya. Sesekali tanganku nakal menggerayangi tubuh indahnya itu. Aku melirik ke arah Athena yang tertidur pulas seperti bayi baru lahir."Jangan khawatir, dia tidak akan bangun walaupun ada gempa." Virgie memalingkan wajahku ke arahnya dan menatapku begitu dalam.
Kami tenggelam dalam rasa yang seharusnya ku hindari. Rasa yang membuatku bertanya-tanya, rasa yang merasuk yang membuat libidoku semakin memuncak. Gairahku kian meningkat sampai membuat otakku mengirimkan sinyal melalui saraf tulang belakang hingga ke organ-organ yang lain.
Kami lepas kendali.
Tok … tok … tok …. Terdengar bunyi ketukan pintu. "Sydney, Virgie, Athena! Bangun, ini aku!" Pekikan suara Damon terdengar dari balik pintu. Dengan mata yang masih terasa sangat berat untuk dibuka aku berusaha meraih kacamataku dari atas meja samping tempat tidur. Ku tatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10:25. Aku masih setengah sadar, masih terasa setengah pusing karena masih ada sisa pengaruh minuman semalam. Athena masih tergeletak pulas di sofa seperti tak ada yang dia khawatirkan. Tiba-tiba aku tersadar ternyata masih setengah telanjang dan bergegas keluar dari selimut mencari bajuku yang sudah berserakan di lantai. "Bisa gawat kalau Damon melihat ini." Aku panik setengah mati, seakan seluruh aliran darahku memompa lebih cepat sampai di pembuluh darahku. Sementara itu sambil berpakaian, aku mencoba memb
Siang ini jam dinding berwarna perak yang dipajang di atas pintu dapur terasa begitu lambat berdetak. Ku rasa ini adalah hari terpanjang dalam hidupku. Aku mencoba memikirkan kalimat lain selain 'cepatlah jam empat'. Entah kenapa aku merasa sangat tidak bersemangat untuk beraktivitas. Aku menghabiskan tiga jam berikutnya dengan membuat pesanan seperti biasa. Sebenarnya tidak ada yang berbeda, hanya saja aku mungkin merasa agak jenuh dengan keseharianku, atau mungkin aku hanya sedang merasa kesepian saja. "Sydney, tolong kau gantikan aku sebentar. Aku ada urusan mendadak jadi aku harus pergi. Tolong kau awasi mereka, ya!" Dengan terburu-buru Pak Daniel mengambil jaketnya dan berlalu ke arah pintu depan kafe. Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaannya itu. "Wah, ada apa ya pak Daniel tiba-tiba pergi begitu saja? Tidak biasanya dia seperti itu," kata Andrew yang sedang m
"Jadi sebenarnya sedang apa kau di sini? Atau kau bekerja di sini juga?" tanyaku. "Hmm, sayang sekali tidak. Aku hanya mampir untuk makan siang bersama beberapa staf kantor untuk merayakan promosi kenaikan jabatan temanku," jelas Abby. "Oh, kupikir kau bekerja di sini juga." "Sekarang aku bekerja sebagai intern di Suns Medical Center." "Wow, jadi sekarang kamu ... " "Iya, Syd. Aku sementara membangun karirku sebagai seorang dokter. Impianku selama ini," ucapnya dengan penuh harap, matanya berbinar. "Selamat ya. Tidak sia-sia orang tuamu menerbangkanmu jauh samping ke New York. Aku bangga padamu, Abigail."
Sungguh hari yang sangat melelahkan. Itu seperti menguras delapan puluh lima persen energi yang ada dalam tubuhku. Akhirnya tiba juga waktu pergantian shift. Tak ada yang namanya jam loyalitas untuk hari ini, pokoknya aku ingin segera pulang dan merebahkan badanku di sofa. Aku ingin bersantai melepas kepenatan yang menempel di kepalaku sedari pagi. Mungkin menonton tv ditemani secangkir coklat panas adalah ide yang baik. Waktu menunjukkan sudah jam empat kurang lima menit. Saatnya melepaskan apron dan mengemasi barang-barang di loker. "Hey kalian berdua! Ayo pulang! Atau kalian ingin menambah jam kerja?" kataku sembari membasuh wajah dengan air yang mengalir
Sial! Kenapa tidak ada satupun ide yang muncul di kepalaku? Sudah jam dua belas lebih dua puluh menit dan aku hanya duduk membaca artikel-artikel orang lain tanpa mendapat ide untuk artikel halamanku sendiri. Selain menjadi barista di Genuine, aku juga berprofesi sebagai part-time writer di salah satu majalah elektronik ternama Thoughtstetic. Majalah ini adalah majalah milenial yang berisi artikel-artikel tentang permasalahan-permasalahan anak muda masa kini yang membahas soal cinta, tips-tips hubungan, hidup ataupun pembahasan mengenai astrologi. Sebenarnya pekerjaan ini menghasilkan gaji yang lebih besar daripada bekerja sebagai barista. Selain itu jam kerj
"Vi, kamu duduk dulu nanti aku ambilkan kain basah untuk mengompres pipimu, ya," ucapku sembari merebahkan tubuh Virgie di sofa. Virgie mengangguk kemudian memejamkan matanya. Dalam benak aku berpikir, kenapa ada lelaki yang tega memperlakukan wanitanya seperti tadi? Aku selalu mengingat perkataan ibuku saat aku membela gadis kecil bernama 'Anne' teman masa kecilku, ketika dia didorong hingga jatuh hanya karena tidak sengaja menginjak kaki salah seorang anak lelaki berandal yang sedang berdiri di lorong depan kelasku. "Sydney, mommy sangat bangga padamu. Perlakukanlah wanita seperti kau memperlakukan mommy." Sambil meraih handuk kecil dari laci kamar mandi aku tersenyum mengingat kejadian itu. Aku melangkah ke arah dapur untuk membasahi handuk itu dengan air dingin, kemudian diperas airnya hingga agak mengering, kemudian kembali ke arah sofa
Sungguh ini membuatku penat. Entah kenapa sudah beberapa hari ini aku sangat sulit untuk berkonsentrasi. Padahal ide-ide itu sudah dicatat dalam jurnalku. Entahlah, mungkin aku memang sedang perlu mengistirahatkan otakku dulu untuk sementara. Atau mungkin aku butuh liburan. Aku bergerak mendekati kaca jendela. Kuraih kacamata yang ada di samping tv kemudian pandanganku berkelana jauh ke luar jalanan yang sudah ramai dengan orang-orang yang sedang melaksanakan aktivitasnya masing-masing. Sambil menguap aku berpikir, sepertinya aku butuh minum kopi. Ku seret kedua kakiku menuju ke dapur yang letaknya hanya bersebelahan dari posisiku yang tadi. Kuraih bungkusan biji kopi dari dalam lemari penyimpanan kemudian memasukkannya ke alat penggiling kopi. Kuambil sedikit sesuai takaran yang pas kemudian menyalakan mesin kopi semi otomatis yang kubeli satu set dengan penggilingnya dari hasil gaji pertamaku yang ada di s
"Jangan, baby … please!" ujar Virgie sambil membuka seluruh pakaian yang masih melekat di badannya itu. Ia kemudian membuka lebar kedua kakinya lalu langsung menarik paksa kepalaku ke arah bagian yang diinginkannya untuk ku nikmati. "Mmmppf … terus, jangan berhenti. Aahhhhh!" Erangan Virgie semakin terdengar nyaring saat aku membenamkan wajahku di tengah selangkangannya. Cairan hangat yang sedikit lengket menyelimuti seluruh bagian mulutku bahkan sampai ke hidung. Terasa begitu erat Virgie mencengkram kepalaku sambil sesekali menjambak rambutku. Tubuhnya menggelinjang hebat saat lidahku menyesap bagian kecil yang menonjol di sana. Sesekali terdengar ia memanggil namaku yang disertai dengan erangan-erangan yang makin membuatku lupa bahwa ia adalah sahabatku. Setelah bermain sekitar beberapa menit, Virgie yang tak henti-hentinya mengel
Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma
Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon
Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.Bukkkk!Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu."Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau
Ini sudah hampir seminggu sejak Athena menghubungiku, namun tak jua ada kabar darinya lagi. Aku sempat menghubungi ibunya lagi dua hari yang lalu, tapi katanya keadaan Athena masih seperti itu, hanya mengurung diri di kamar dan enggan keluar. Hari ini aku berencana untuk datang ke rumahnya, karena jujur saja, aku khawatir dengan keadaan wanita cerewet yang satu itu.Ini masih jam tujuh malam, namun aku sudah mabuk. Rencana awal yang telah disusun dengan sedemikian rupa untuk bertandang ke kediaman Athena pun gagal karena sudah dikuasai minuman yang bisa membuatku berjalan empat kaki sambil berteriak itu. Aku sempat tertidur selama kurang lebih satu jam sebelum terbangun karena jatuh dari sofa. Karena sadar wiski di botolku tinggal sedikit, aku memutuskan untuk ke Finley's saja.Sekitar setengah jam kemudian kudapati diriku tengah dud
Hari demi hari kujalani hanya dengan mabuk-mabukan dan tidur. Pekerjaan sampingan sebagai penulis di Thoughtstetic pun ku abaikan. Hidupku terasa tak lagi pada tempatnya. Beberapa hari yang lalu, Mommy sempat menelpon untuk mengajakku pulang, namun tak ku hiraukan. Walaupun terasa seperti orang yang sedang kehilangan arah, aku masih ingin di sini, di kota ini.Aku menutup diri dari dunia luar dan sahabat-sahabatku, tak jua Abby. Ia selalu mencoba untuk menghubungiku, namun aku memang sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Setiap malam ku habiskan uangku hanya untuk memenuhi hasrat untuk kesenangan sesaat. Tiada hari kulewati tanpa kesadaran. Aku benar-benar kacau dan tak tahu lagi kemana arah dan tujuan hidupku.Siang itu cuaca terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Tapi setidaknya aku punya penangkal yang ampuh. Aku tersadar ke
Gubrak!Tubuh Bastian terhempas ke lantai ketika bertemu dengan kepalan tinjuku. Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi sudah menguasaiku. Bagaimana bisa kau menjadi seorang manajer, tapi cara bicaramu terkesan sangat merendahkan?"Bangsat kau!" erang Bastian yang sedang berusaha berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang terlihat mengeluarkan bercak darah.Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara Alice yang terburu-buru masuk dan langsung menahan Bastian. Ia berkata, "kenapa masih pagi-pagi begini kalian berkelahi?"Andrew pun tak mau ketinggalan, kini ia dan Alice sedang berusaha menahan tubuh Bastian yang memang jauh lebih besar dari tubuhku.
Dari atas sini terlihat Virgie yang sedang menuruni tangga menghampiri Omar yang sedang menunggu sambil bersandar di mobilnya. Omar pun menyambut Virgie dengan ciuman mesra di keningnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku hanya bisa menahan rasa cemburu yang begitu besar ketika melihat adegan yang sudah seperti di film drama romantis itu.Aku mencoba menepis rasa yang mulai menyeruak dari dalam diriku. Ingin rasanya aku turun ke bawah dan memukul lelaki yang kini sedang membukakan pintu untuk wanita yang kusayangi, Virgie Petterson. Dan untuk pertama kalinya, aku marah dengan apa yang dilakukannya padaku. Tanpa kusadari, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ingin sekali ku berteriak sekuat mungkin dan menumpahkan rasa kecewa yang kini terpatri dalam lubuk hatiku.*****
"Maksudku? Sempat-sempatnya kau masih bertanya apa maksudku? Apa kau tidak sadar? Alasan selama ini aku sering menghilang karena semata-mata aku tidak pernah yakin denganmu!" pekik Virgie dengan sangat lantang. "Selama kita dekat, apa kau pernah memberikanku sesuatu? Apa kau pernah mengajakku ke sesuatu tempat? Pernah?""Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Vi!""Aahh! Alasan saja kau! Kau saja yang memang tidak pernah peka denganku! Apa kau tahu selama ini aku capek? Aku capek bekerja, aku capek harus mencari nafkah untuk diriku sendiri! Aku ingin ada seseorang yang bisa melengkapiku, Syd!""Melengkapimu dengan uang? Begitu kan maksudmu? Hahaha!" jawabku sambil terkekeh."Bu-bukan begitu maksudku, sayang…,"
Siang ini cuaca terasa begitu panas. Aku baru kembali dari supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak. Ditengah perjalanan Abby menghubungiku namun tak ku hiraukan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, karena memang letak dari supermarket hanya dua blok dari apartemenku. Aku memacu langkahku lebih cepat agar bisa lebih cepat pula sampai di apartemen. Kunaiki anak tangga dengan cepat, satu langkah untuk dua anak tangga. Ketika tiba di dekat pintu kamarku, terdengar suara Virgie yang sedang berseru tidak jelas.Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku belum langsung masuk ke dalam. Pelan-pelan ku hampiri pintu kamarku bermaksud untuk menguping pembicaraan Virgie. Sayup-sayup terdengar suara Virgie, sepertinya ia sedang berbicara ditelpon dengan seseorang. Ku coba menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang berdebat. K