"Vi, kamu duduk dulu nanti aku ambilkan kain basah untuk mengompres pipimu, ya," ucapku sembari merebahkan tubuh Virgie di sofa.
Virgie mengangguk kemudian memejamkan matanya. Dalam benak aku berpikir, kenapa ada lelaki yang tega memperlakukan wanitanya seperti tadi? Aku selalu mengingat perkataan ibuku saat aku membela gadis kecil bernama 'Anne' teman masa kecilku, ketika dia didorong hingga jatuh hanya karena tidak sengaja menginjak kaki salah seorang anak lelaki berandal yang sedang berdiri di lorong depan kelasku.
"Sydney, mommy sangat bangga padamu. Perlakukanlah wanita seperti kau memperlakukan mommy."
Sambil meraih handuk kecil dari laci kamar mandi aku tersenyum mengingat kejadian itu. Aku melangkah ke arah dapur untuk membasahi handuk itu dengan air dingin, kemudian diperas airnya hingga agak mengering, kemudian kembali ke arah sofa
Semoga terhibur dengan cerita Sydney dan orang-orang yang muncul dari masa lalunya. Terus dukung author supaya selalu rajin upload bab baru :) Sending love for all my readers ❤
Sungguh ini membuatku penat. Entah kenapa sudah beberapa hari ini aku sangat sulit untuk berkonsentrasi. Padahal ide-ide itu sudah dicatat dalam jurnalku. Entahlah, mungkin aku memang sedang perlu mengistirahatkan otakku dulu untuk sementara. Atau mungkin aku butuh liburan. Aku bergerak mendekati kaca jendela. Kuraih kacamata yang ada di samping tv kemudian pandanganku berkelana jauh ke luar jalanan yang sudah ramai dengan orang-orang yang sedang melaksanakan aktivitasnya masing-masing. Sambil menguap aku berpikir, sepertinya aku butuh minum kopi. Ku seret kedua kakiku menuju ke dapur yang letaknya hanya bersebelahan dari posisiku yang tadi. Kuraih bungkusan biji kopi dari dalam lemari penyimpanan kemudian memasukkannya ke alat penggiling kopi. Kuambil sedikit sesuai takaran yang pas kemudian menyalakan mesin kopi semi otomatis yang kubeli satu set dengan penggilingnya dari hasil gaji pertamaku yang ada di s
"Jangan, baby … please!" ujar Virgie sambil membuka seluruh pakaian yang masih melekat di badannya itu. Ia kemudian membuka lebar kedua kakinya lalu langsung menarik paksa kepalaku ke arah bagian yang diinginkannya untuk ku nikmati. "Mmmppf … terus, jangan berhenti. Aahhhhh!" Erangan Virgie semakin terdengar nyaring saat aku membenamkan wajahku di tengah selangkangannya. Cairan hangat yang sedikit lengket menyelimuti seluruh bagian mulutku bahkan sampai ke hidung. Terasa begitu erat Virgie mencengkram kepalaku sambil sesekali menjambak rambutku. Tubuhnya menggelinjang hebat saat lidahku menyesap bagian kecil yang menonjol di sana. Sesekali terdengar ia memanggil namaku yang disertai dengan erangan-erangan yang makin membuatku lupa bahwa ia adalah sahabatku. Setelah bermain sekitar beberapa menit, Virgie yang tak henti-hentinya mengel
Keesokan harinya di Genuine Cafe. "Di rapat kali ini kita akan membahas soal menu dan ada hal lain yang penting yang saya pikir, harus segera saya sampaikan kepada kalian semua," ujar Pak Daniel dengan penuh wibawa. "Benar kan kataku? Pak Daniel akan segera mengundurkan diri," bisik Andrew. "Kita lihat saja nanti. Jangan sok tahu kamu," jawabku ke Andrew sembari menyiku tangannya yang tepat berada di sampingku. "Aduh! Sakit tahu!" bisiknya kesal. Ketika sedang mendengarkan perbincangan yang bisa dibilang sangat membosankan itu, ku dapati diriku merenungi tentang Virgie. Entah kenapa aku tiba-tiba merindukannya. Masih segar di ingatanku tentang semua hal yang kami lakukan, terutama dengan sikap manisnya yang sekarang membuatku sedang tersenyum sendiri seperti orang tidak waras.
Sambil berjalan ke arah lorong berwarna putih bersih yang dihiasi berbagai macam mahakarya dari para pelukis profesional itu, aku mencoba mengamatinya seluruh struktur gedung dan dekorasi yang bertemakan labirin itu. Sembari berjalan pelan dan mengamati, pikiranku terbang jauh memikirkan sosok Virgie yang terus menerus berputar-putar di dalam otakku. Saat ingin duduk di kursi kayu yang ditempatkan di ujung lorong, seketika pandangan mataku terpaku pada satu sosok manusia berambut hitam panjang, memakai sweater berwarna putih yang sedang berdiri menyamping sambil menatap lukisan yang terpampang di depannya. Itu Abby. Aku yang sebelumnya merasa tidak bergairah karena sepanjang hari hanya menunggu kabar yang tak kunjung ada, tiba-tiba merasa bersemangat. Dengan langkah kecil, ku coba menghampiri Abby sambil membawa senyuman lebar. "Abigail?"
"Permisi, kak. Ini pesanannya." kata pelayan wanita yang tersenyum menghampiri meja, sambil membawa nampan besar berisi pesanan kami. Satu-persatu diletakkannya di atas meja makanan yang dibawanya tadi. Dengan wajah sumringah, Janice menyambut makanannya dengan penuh sukacita. "Wah, sudah bisa ku prediksi, ini pasti enak sekali." "Memangnya kau pesan apa?" tanya Andrew penasaran. "Ini namanya Dubu Jorim." "Hah? Subuh harim! Makanan macam apa itu?" celetuk Andrew. Seketika, Janice yang geram dengan perkataan Andrew pun langsung mengambil su
Hari sudah petang ketika aku sampai di apartemenku. Aku menggantung ransel kecil di gantungan jaket di dekat pintu. Sambil melepas seragam yang masih menempel di tubuhku, aku berjalan menuju kamar mandi. Untuk suatu alasan, aku ingin segera menyelesaikan urusan di kamar mandi dengan cepat, karena hanya ada sejenak untuk beristirahat dan kemudian aku harus kembali mengerjakan artikelku yang tak kunjung selesai. Aku berpikir banyak hal saat sedang menggosok punggungku. Seperti, kenapa Virgie sakit namun tak mau untuk ku besuk dan rasa yang muncul saat aku bertemu Abby. Itu semacam sesuatu yang patut dicurigai, atau mungkin tidak. Ku putuskan untuk segera mengguyur badanku dan secepatnya membalut tubuhku dengan handuk, karena sekarang sudah mulai terasa dingin. Saat keluar kamar mandi, aku sudah memakai
Keesokan harinya aku terbangun dengan keadaan malas dan tepat pada jam dua belas siang. Sudah bisa ku pastikan waktu tidurku bisa dihitung dengan jari, karena aku baru bisa memejamkan mata saat burung-burung sudah mulai berkicau saling menyapa. Aku masih malas beranjak dari tempat tidurku. Rasanya gravitas terasa lebih besar disini. Ya, gravitas yang membuat kemalasanku bertambah lima puluh persen. Aku tidak pernah mengaktifkan alarm pada hari liburku, itu akan sangat mengganggu. Aku masih berguling ke sana kemari sambil menggosok-gosok mataku yang terasa buram. Aku kembali terpejam selama beberapa menit sebelum tersadar saat getaran dari ponsel yang berada tepat di samping telinga. Sambil berdengus kesal, kucoba meraih mengumpulkan semua kesadaran untuk menjawab panggilan telepon itu. "Ya, halo …." "Astaga! Lihat betapa malasnya dir
Dari kejauhan terlihat seorang pelayan sedang menuju ke arahku sambil membawa buku daftar menu. "Selamat sore, mau pesan apa, Pak?" ujar Si pelayan dengan sopannya. Sambil tersenyum kaku, aku menjawab, "ehmm, aku masih menunggu teman-temanku. Jadi aku pesan air mineral saja dulu." "Oke. Jadi air mineral satu, ya? Mau yang dingin atau yang biasa?" "Yang biasa saja," jawabku sembari kembali tersenyum. "Oke, terimakasih, Pak. Jika ada tambahan lain, jangan ragu untuk memanggil kami. Permisi," tuturnya yang kemudian membalikkan badan dan berlalu. Sementara itu, terdengar suara gaduh dari lantai pertama. Sepertinya ada cekcok antara seorang tamu dengan security. Karena kaget dan merasa penasaran, aku pun menonton kejadian itu dari balik balkon lanta
Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma
Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon
Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.Bukkkk!Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu."Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau
Ini sudah hampir seminggu sejak Athena menghubungiku, namun tak jua ada kabar darinya lagi. Aku sempat menghubungi ibunya lagi dua hari yang lalu, tapi katanya keadaan Athena masih seperti itu, hanya mengurung diri di kamar dan enggan keluar. Hari ini aku berencana untuk datang ke rumahnya, karena jujur saja, aku khawatir dengan keadaan wanita cerewet yang satu itu.Ini masih jam tujuh malam, namun aku sudah mabuk. Rencana awal yang telah disusun dengan sedemikian rupa untuk bertandang ke kediaman Athena pun gagal karena sudah dikuasai minuman yang bisa membuatku berjalan empat kaki sambil berteriak itu. Aku sempat tertidur selama kurang lebih satu jam sebelum terbangun karena jatuh dari sofa. Karena sadar wiski di botolku tinggal sedikit, aku memutuskan untuk ke Finley's saja.Sekitar setengah jam kemudian kudapati diriku tengah dud
Hari demi hari kujalani hanya dengan mabuk-mabukan dan tidur. Pekerjaan sampingan sebagai penulis di Thoughtstetic pun ku abaikan. Hidupku terasa tak lagi pada tempatnya. Beberapa hari yang lalu, Mommy sempat menelpon untuk mengajakku pulang, namun tak ku hiraukan. Walaupun terasa seperti orang yang sedang kehilangan arah, aku masih ingin di sini, di kota ini.Aku menutup diri dari dunia luar dan sahabat-sahabatku, tak jua Abby. Ia selalu mencoba untuk menghubungiku, namun aku memang sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Setiap malam ku habiskan uangku hanya untuk memenuhi hasrat untuk kesenangan sesaat. Tiada hari kulewati tanpa kesadaran. Aku benar-benar kacau dan tak tahu lagi kemana arah dan tujuan hidupku.Siang itu cuaca terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Tapi setidaknya aku punya penangkal yang ampuh. Aku tersadar ke
Gubrak!Tubuh Bastian terhempas ke lantai ketika bertemu dengan kepalan tinjuku. Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi sudah menguasaiku. Bagaimana bisa kau menjadi seorang manajer, tapi cara bicaramu terkesan sangat merendahkan?"Bangsat kau!" erang Bastian yang sedang berusaha berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang terlihat mengeluarkan bercak darah.Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara Alice yang terburu-buru masuk dan langsung menahan Bastian. Ia berkata, "kenapa masih pagi-pagi begini kalian berkelahi?"Andrew pun tak mau ketinggalan, kini ia dan Alice sedang berusaha menahan tubuh Bastian yang memang jauh lebih besar dari tubuhku.
Dari atas sini terlihat Virgie yang sedang menuruni tangga menghampiri Omar yang sedang menunggu sambil bersandar di mobilnya. Omar pun menyambut Virgie dengan ciuman mesra di keningnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku hanya bisa menahan rasa cemburu yang begitu besar ketika melihat adegan yang sudah seperti di film drama romantis itu.Aku mencoba menepis rasa yang mulai menyeruak dari dalam diriku. Ingin rasanya aku turun ke bawah dan memukul lelaki yang kini sedang membukakan pintu untuk wanita yang kusayangi, Virgie Petterson. Dan untuk pertama kalinya, aku marah dengan apa yang dilakukannya padaku. Tanpa kusadari, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ingin sekali ku berteriak sekuat mungkin dan menumpahkan rasa kecewa yang kini terpatri dalam lubuk hatiku.*****
"Maksudku? Sempat-sempatnya kau masih bertanya apa maksudku? Apa kau tidak sadar? Alasan selama ini aku sering menghilang karena semata-mata aku tidak pernah yakin denganmu!" pekik Virgie dengan sangat lantang. "Selama kita dekat, apa kau pernah memberikanku sesuatu? Apa kau pernah mengajakku ke sesuatu tempat? Pernah?""Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Vi!""Aahh! Alasan saja kau! Kau saja yang memang tidak pernah peka denganku! Apa kau tahu selama ini aku capek? Aku capek bekerja, aku capek harus mencari nafkah untuk diriku sendiri! Aku ingin ada seseorang yang bisa melengkapiku, Syd!""Melengkapimu dengan uang? Begitu kan maksudmu? Hahaha!" jawabku sambil terkekeh."Bu-bukan begitu maksudku, sayang…,"
Siang ini cuaca terasa begitu panas. Aku baru kembali dari supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak. Ditengah perjalanan Abby menghubungiku namun tak ku hiraukan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, karena memang letak dari supermarket hanya dua blok dari apartemenku. Aku memacu langkahku lebih cepat agar bisa lebih cepat pula sampai di apartemen. Kunaiki anak tangga dengan cepat, satu langkah untuk dua anak tangga. Ketika tiba di dekat pintu kamarku, terdengar suara Virgie yang sedang berseru tidak jelas.Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku belum langsung masuk ke dalam. Pelan-pelan ku hampiri pintu kamarku bermaksud untuk menguping pembicaraan Virgie. Sayup-sayup terdengar suara Virgie, sepertinya ia sedang berbicara ditelpon dengan seseorang. Ku coba menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang berdebat. K