Dari kejauhan terlihat seorang pelayan sedang menuju ke arahku sambil membawa buku daftar menu.
"Selamat sore, mau pesan apa, Pak?" ujar Si pelayan dengan sopannya.
Sambil tersenyum kaku, aku menjawab, "ehmm, aku masih menunggu teman-temanku. Jadi aku pesan air mineral saja dulu."
"Oke. Jadi air mineral satu, ya? Mau yang dingin atau yang biasa?"
"Yang biasa saja," jawabku sembari kembali tersenyum.
"Oke, terimakasih, Pak. Jika ada tambahan lain, jangan ragu untuk memanggil kami. Permisi," tuturnya yang kemudian membalikkan badan dan berlalu.
Sementara itu, terdengar suara gaduh dari lantai pertama. Sepertinya ada cekcok antara seorang tamu dengan security. Karena kaget dan merasa penasaran, aku pun menonton kejadian itu dari balik balkon lanta
Terimakasih sudah membaca cerita Sydney dan kawan-kawan. Terus dukung author agar selalu semangat untuk upload bab baru <3
Setelah kembali dari kamar mandi, Athena pun langsung duduk. Dengan nada bicara yang sedikit dibuat-buat dan terkesan sombong, sambil mengangkat setengah kakinya, ia berkata, "jadi sampai dimana kita tadi wahai fans-fans beratku?" "Gayamu itu, sok sekali!" ujar Damon sambil mengunci leher Athena dan menjitak kepalanya. "Aduh! Iya, ampun …, ampun!" pintanya lantas tertawa geli. Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka. Tak heran selama ini kami selalu merasa nyaman saat berada dekat satu sama lain, karena kami tak harus pura-pura menjadi seseorang yang bukan diri kami sendiri. Sambil merapikan rambutnya yang tadi diacak-acak oleh Damon, Athena meraih gelas berisi air jeruk yang ada di depannya kemudian meminumnya secara perlahan. "Jadi begini …, eh sampai di mana ceritaku waktu itu?
Keesokan harinya di Genuine Cafe. "Hoaaamm! Man, mataku seperti sedang digantungi benda seberat tiga kilogram. Kalau tidak rame begini, pasti aku sudah tidur di ruangan loker. Lagipula, sekarang shiftnya pak Daniel. Dia itu sudah seperti malaikat bagi karyawan di Cafe ini." ujar Andrew yang menguap dengan lebarnya sambil menunggu cairan espresso menetes hingga habis. "Yeah, kenapa tidak membuka mulutmu lebih lebar lagi? Agar semua pelanggan kita kabur melihat tingkahmu yang bodoh itu," sindirku pada Andrew yang tidak sadar kalau di depannya mas
Tinggal lima belas menit tersisa sebelum jam pergantian shift. Aku dan Andrew sudah selesai membersihkan meja dan menyediakan stok untuk shift kedua. Pak Daniel keluar dari ruangannya yang terletak di belakang lemari loker, sambil membawa secarik kertas kecil. "Oke, tiga menit lagi semua berkumpul di depan loker. Kita akan segera memulai briefing!" ujarnya kepada bergiliran dari area dapur hingga ke area depan. Kami pun langsung bergegas berkumpul di lorong loker yang bisa dibilang sedikit luas itu. Kebetulan suasana cafe sedang sepi, jadi waktu ini dimanfaatkan oleh pak Daniel untuk mengadakan briefing. Aku menatap Abby dari kejauhan, sepertinya aku harus memberitahunya dulu. Sambil mengendap-endap aku berjalan ke arah Abby yang sedang mencari sesuatu dari dalam tas, berniat untuk mengagetkannya. "Dorrr!" seruku tiba-
Kepala kami hampir berbenturan sesaat setelah secara bersamaan mencoba meraih ponsel yang jatuh tersebut. Karena sadar telah melakukan hal yang sama, kami pun menoleh, saling bertatapan. Wajah kami terlalu dekat sampai hidung kami bersentuhan. Terjadi keheningan selama beberapa saat. Keheningan yang terasa canggung sekaligus mendebarkan dada. Aku yang sudah menggenggam ponsel tersebut pun mencoba mencairkan suasana dengan langsung menyerahkannya kepada Abby. Sambil merapikan rambutnya yang basah, Abby meraih ponselnya dari tanganku. Kebisuan masih menyelimuti kami berdua. Hanya terdengar suara gemuruh hujan yang terus menghantam atap mobil serta alunan melodi dari channel radio yang saat ini baru saja berganti lagu. Lagu yang sudah sering ku dengarkan karena akhir-akhir ini memang sering dimainkan di radio. Samar-samar terdengar dari jok depan, sang sopir sedang bersenandung dengan penuh pengh
Kenapa bisa ada yang bilang 'Jatuh cinta dengan orang yang salah'? Menurutku bukan orangnya yang salah tapi keputusan untuk jatuh cinta dengan orang yang bersangkutanlah yang salah. Itu sebuah sindiran agar lebih selektif lagi untuk jatuh cinta dengan seseorang. Kurasa itu adalah pertanyaan bodoh yang terus menerus berputar di kepalaku sejak malam. Semacam sebuah masalah yang kuciptakan sendiri dan aku pulalah yang memecahkan masalah tersebut. Aku baru bisa tidur kira-kira tiga jam sebelum alarm berbunyi. Mataku masih terasa berat walaupun sudah mandi. Aku bisa saja bolos kerja hari ini, tapi itu sudah di luar 'jatah' bolos yang hanya kusediakan sebulan sekali. Secangkir kopi pun memang tak bisa mendongkrak mataku. Aku harus segera berangkat kerja! ***** Sepuluh menit sebelum jam istirahat makan siang, tiba-tiba saja Andrew menyerangku dengan pertanyaan yang kudapati sangat sul
Setelah selesai dengan jam istirahat yang ku rasa sangat singkat itu, aku dan Janice pun kembali ke café untuk bergantian dengan karyawan yang lain. Saat tiba di ruangan loker, terlihat sosok Andrew sedang duduk sambil mengamati layar ponselnya dengan sangat serius.Andrew tidak biasa seperti ini. Biasanya dia selalu menyambutku dengan lemparan handuk basah ataupun pembungkus plastik yang dipungutnya dari tempat sampah. Karena merasa ada yang aneh, aku pun mencoba menggodanya dengan melemparkan kertas brosur bekas yang ku pungut dari samping lemari loker.“Why so serious, bro!”Andrew yang merasa terganggu dengan keusilanku membalas dengan tatapan tajam yang menurutku sedikit aneh. Bukan seperti seorang Andrew yang ku kenal. Janice balik menatap kami dengan pandangan skeptis.“Kalian berdua aneh!” ujar Janice yang
Walaupun dia sedang membelakangiku dengan jarak sekitar sembilan meter, namun entah kenapa setiap gesturnya sangat mirip dengan seseorang.Virgie?Katanya dia sedang sakit? Kenapa dia bisa ada disini?Aku bergumam dalam hati.Aku tidak berani menyapa wanita yang sangat mirip dengan sahabatku itu. Suaranya pun samar-samar terdengar sangat mirip. Dia sedang bergandengan dengan seorang lelaki berperawakan tinggi dan atletis. Namun aku tidak bisa melihat lebih jelas wajah lelaki itu, karena ia terlihat sibuk mengobrol dengan salah satu sales yang mungkin sedang menjelaskan soal rincian dari kendaraan yang ingin mereka beli.Aku mencoba bergeser ke arah yang lain untuk memastikan benar tidaknya penglihatanku ini. Sekitar lima langkah aku berjalan ke arah kanan sambil mencoba mencari spot
Hari sabtu pagi.Rasanya aku masih malas beranjak dari tempat tidur. Gaya gravitasi di kasurku terasa cukup besar diatas rata-rata bila masih di bawah jam tujuh pagi. Padahal aku harus sudah mengemasi barang-barang untuk dibawa ke acara di Glamping Towns.Dengan mata yang masih terasa berat, aku beranjak dari tempat tidur dan turun perlahan melewati tangga kecil yang ada di bawahnya. Biasanya kalau aku bangun dengan bersemangat, aku bisa langsung melompat dari anak tangga ke dua.Ku raih tas ransel besar dari dalam lemari penyimpanan kemudian kuletakan di lantai. Aku mengambil beberapa pasang baju lantas meletakannya dengan rapi di dalam ransel tersebut. Aku juga butuh sweater dan jaket yang tebal, karena aku tidak mau mati kedinginan di sana. Cuaca di bulan ini sudah mulai terasa agak dingin dari biasanya.Saat sedan
Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma
Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon
Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.Bukkkk!Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu."Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau
Ini sudah hampir seminggu sejak Athena menghubungiku, namun tak jua ada kabar darinya lagi. Aku sempat menghubungi ibunya lagi dua hari yang lalu, tapi katanya keadaan Athena masih seperti itu, hanya mengurung diri di kamar dan enggan keluar. Hari ini aku berencana untuk datang ke rumahnya, karena jujur saja, aku khawatir dengan keadaan wanita cerewet yang satu itu.Ini masih jam tujuh malam, namun aku sudah mabuk. Rencana awal yang telah disusun dengan sedemikian rupa untuk bertandang ke kediaman Athena pun gagal karena sudah dikuasai minuman yang bisa membuatku berjalan empat kaki sambil berteriak itu. Aku sempat tertidur selama kurang lebih satu jam sebelum terbangun karena jatuh dari sofa. Karena sadar wiski di botolku tinggal sedikit, aku memutuskan untuk ke Finley's saja.Sekitar setengah jam kemudian kudapati diriku tengah dud
Hari demi hari kujalani hanya dengan mabuk-mabukan dan tidur. Pekerjaan sampingan sebagai penulis di Thoughtstetic pun ku abaikan. Hidupku terasa tak lagi pada tempatnya. Beberapa hari yang lalu, Mommy sempat menelpon untuk mengajakku pulang, namun tak ku hiraukan. Walaupun terasa seperti orang yang sedang kehilangan arah, aku masih ingin di sini, di kota ini.Aku menutup diri dari dunia luar dan sahabat-sahabatku, tak jua Abby. Ia selalu mencoba untuk menghubungiku, namun aku memang sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Setiap malam ku habiskan uangku hanya untuk memenuhi hasrat untuk kesenangan sesaat. Tiada hari kulewati tanpa kesadaran. Aku benar-benar kacau dan tak tahu lagi kemana arah dan tujuan hidupku.Siang itu cuaca terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Tapi setidaknya aku punya penangkal yang ampuh. Aku tersadar ke
Gubrak!Tubuh Bastian terhempas ke lantai ketika bertemu dengan kepalan tinjuku. Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi sudah menguasaiku. Bagaimana bisa kau menjadi seorang manajer, tapi cara bicaramu terkesan sangat merendahkan?"Bangsat kau!" erang Bastian yang sedang berusaha berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang terlihat mengeluarkan bercak darah.Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara Alice yang terburu-buru masuk dan langsung menahan Bastian. Ia berkata, "kenapa masih pagi-pagi begini kalian berkelahi?"Andrew pun tak mau ketinggalan, kini ia dan Alice sedang berusaha menahan tubuh Bastian yang memang jauh lebih besar dari tubuhku.
Dari atas sini terlihat Virgie yang sedang menuruni tangga menghampiri Omar yang sedang menunggu sambil bersandar di mobilnya. Omar pun menyambut Virgie dengan ciuman mesra di keningnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku hanya bisa menahan rasa cemburu yang begitu besar ketika melihat adegan yang sudah seperti di film drama romantis itu.Aku mencoba menepis rasa yang mulai menyeruak dari dalam diriku. Ingin rasanya aku turun ke bawah dan memukul lelaki yang kini sedang membukakan pintu untuk wanita yang kusayangi, Virgie Petterson. Dan untuk pertama kalinya, aku marah dengan apa yang dilakukannya padaku. Tanpa kusadari, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ingin sekali ku berteriak sekuat mungkin dan menumpahkan rasa kecewa yang kini terpatri dalam lubuk hatiku.*****
"Maksudku? Sempat-sempatnya kau masih bertanya apa maksudku? Apa kau tidak sadar? Alasan selama ini aku sering menghilang karena semata-mata aku tidak pernah yakin denganmu!" pekik Virgie dengan sangat lantang. "Selama kita dekat, apa kau pernah memberikanku sesuatu? Apa kau pernah mengajakku ke sesuatu tempat? Pernah?""Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Vi!""Aahh! Alasan saja kau! Kau saja yang memang tidak pernah peka denganku! Apa kau tahu selama ini aku capek? Aku capek bekerja, aku capek harus mencari nafkah untuk diriku sendiri! Aku ingin ada seseorang yang bisa melengkapiku, Syd!""Melengkapimu dengan uang? Begitu kan maksudmu? Hahaha!" jawabku sambil terkekeh."Bu-bukan begitu maksudku, sayang…,"
Siang ini cuaca terasa begitu panas. Aku baru kembali dari supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak. Ditengah perjalanan Abby menghubungiku namun tak ku hiraukan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, karena memang letak dari supermarket hanya dua blok dari apartemenku. Aku memacu langkahku lebih cepat agar bisa lebih cepat pula sampai di apartemen. Kunaiki anak tangga dengan cepat, satu langkah untuk dua anak tangga. Ketika tiba di dekat pintu kamarku, terdengar suara Virgie yang sedang berseru tidak jelas.Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku belum langsung masuk ke dalam. Pelan-pelan ku hampiri pintu kamarku bermaksud untuk menguping pembicaraan Virgie. Sayup-sayup terdengar suara Virgie, sepertinya ia sedang berbicara ditelpon dengan seseorang. Ku coba menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang berdebat. K