Setelah selesai dengan jam istirahat yang ku rasa sangat singkat itu, aku dan Janice pun kembali ke café untuk bergantian dengan karyawan yang lain. Saat tiba di ruangan loker, terlihat sosok Andrew sedang duduk sambil mengamati layar ponselnya dengan sangat serius.
Andrew tidak biasa seperti ini. Biasanya dia selalu menyambutku dengan lemparan handuk basah ataupun pembungkus plastik yang dipungutnya dari tempat sampah. Karena merasa ada yang aneh, aku pun mencoba menggodanya dengan melemparkan kertas brosur bekas yang ku pungut dari samping lemari loker.
“Why so serious, bro!”
Andrew yang merasa terganggu dengan keusilanku membalas dengan tatapan tajam yang menurutku sedikit aneh. Bukan seperti seorang Andrew yang ku kenal. Janice balik menatap kami dengan pandangan skeptis.
“Kalian berdua aneh!” ujar Janice yang
Walaupun dia sedang membelakangiku dengan jarak sekitar sembilan meter, namun entah kenapa setiap gesturnya sangat mirip dengan seseorang.Virgie?Katanya dia sedang sakit? Kenapa dia bisa ada disini?Aku bergumam dalam hati.Aku tidak berani menyapa wanita yang sangat mirip dengan sahabatku itu. Suaranya pun samar-samar terdengar sangat mirip. Dia sedang bergandengan dengan seorang lelaki berperawakan tinggi dan atletis. Namun aku tidak bisa melihat lebih jelas wajah lelaki itu, karena ia terlihat sibuk mengobrol dengan salah satu sales yang mungkin sedang menjelaskan soal rincian dari kendaraan yang ingin mereka beli.Aku mencoba bergeser ke arah yang lain untuk memastikan benar tidaknya penglihatanku ini. Sekitar lima langkah aku berjalan ke arah kanan sambil mencoba mencari spot
Hari sabtu pagi.Rasanya aku masih malas beranjak dari tempat tidur. Gaya gravitasi di kasurku terasa cukup besar diatas rata-rata bila masih di bawah jam tujuh pagi. Padahal aku harus sudah mengemasi barang-barang untuk dibawa ke acara di Glamping Towns.Dengan mata yang masih terasa berat, aku beranjak dari tempat tidur dan turun perlahan melewati tangga kecil yang ada di bawahnya. Biasanya kalau aku bangun dengan bersemangat, aku bisa langsung melompat dari anak tangga ke dua.Ku raih tas ransel besar dari dalam lemari penyimpanan kemudian kuletakan di lantai. Aku mengambil beberapa pasang baju lantas meletakannya dengan rapi di dalam ransel tersebut. Aku juga butuh sweater dan jaket yang tebal, karena aku tidak mau mati kedinginan di sana. Cuaca di bulan ini sudah mulai terasa agak dingin dari biasanya.Saat sedan
Setelah satu jam lebih perjalanan, akhirnya kami telah melewati Verdant Road. Itu tandanya sedikit lagi kami akan segera tiba di Hazel Creek. Aku sengaja menyetel ponselku dengan modus silent, agar aku bisa tenang mendengarkan musik.Saat ingin mengganti playlist lagu. Aku melihat ada tanda satu pesan masuk. Aku hanya mengintip dari notifikasi panel agar pesannya tidak langsung terlihat telah dibaca. Ternyata itu pesan dari Virgie. Saking penasarannya, aku pun langsung saja membuka pesan tersebut.Virgie: "Syd, aku sudah sembuh. Tapi, aku masih di rumah orang tuaku. Mereka belum mengijinkan aku kembali ke apartemen. Yang kemarin kau lihat di mall itu sepupuku. Aku kangen, aku ingin bertemu."Ini diluar perkiraanku. Aku sempat berpikir bahwa Virgie tidak akan mengakui bahwa yang kulihat kemarin itu adalah dirinya. Tapi, yang menjadi pertan
Setelah selesai bersiap-siap, aku dan Andrew pun langsung menuju ke tanah lapang di samping sungai yang jaraknya sekitar tiga puluh meter dari tenda kami. Di sana sudah ada beberapa orang yang sedang duduk mengitari api unggun. Cuaca saat itu sangat dingin, Andrew terlihat menggigil walaupun sudah memakai dua lapis jaket tebal."Janice mana, ya? Apa dia belum selesai?" ujar Andrew yang terlihat sedikit cemas karena Janice belum juga tiba."Jangan terlalu mengkhawatirkan calon istrimu itu, dia sudah dewasa! Paling-paling dia sedang berdandan.""Tanpa berdandan pun dia sudah sangat sempurna di mataku, Syd. Entah sampai kapan harus ku pendam perasaan ini.""Dasar payah! Sekarang dia single, apalagi yang kau tunggu?" desakku."Nyaliku masih segini, Syd …," ujarnya dengan menunjukkan ujung kukun
"Andrew, apa kau sudah gila? Kita sudah berteman sejak kecil! Bagaimana bisa kau menyukai sahabatmu sendiri? Kau tahu? Semua yang kau omongkan ini tidak lebih dari sekedar omong kosong! Kau punya Olivia dan sekarang kau menyatakan rasa cinta kepadaku!" pekik Janice yang terlihat begitu emosional.Ditengah perdebatan, Andrew lantas tertawa terbahak-bahak seusai mendengar perkataan Janice. Katanya, " Olivia? Hahaha! Sydney, Olivia katanya! Hahaha!""Dasar keterlaluan kau! Jangan pernah dekati aku lagi!" geram Janice yang kemudian langsung masuk ke dalam tenda dan menutup tirai.Aku dan Andrew hanya saling menatap heran tanpa berkata, lantas kemudian kami tertawa."Dasar keterlaluan kau. Kenapa tidak langsung kau jelaskan saja sih? Kau mau dia jadinya membencimu? Dasar bodoh!" ujarku sambil menepuk kepala Andrew.
Senin: Chrysanthemum (bunga Krisan), kejujuran.Selasa: Carnation (Bunga Anyelir), aku tidak akan pernah melupakanmu.Rabu: White Lily (Lily Putih), simpatik, mulia, suci, murni, pengabdian, ketulusan.Kamis: Red Rose (Mawar Merah), kasih sayang.Jumat: Red Tulip (Tulip Merah), sebagai alat untuk mengungkapkan isi hati. Kecintaan yang mendalam serta kasih sayang yang sempurna.Sabtu: White Jasmine (Melati Putih), sweet love.Minggu: Baby Breath, cinta sejati yang tak pernah berakhir.Ku baca berulang-ulang makna dari bunga-bunga tersebut. Sepertinya si mister X mencoba memberikan tanda disini, tapi apa? Sambil berpikir keras, kunyalakan sebatang rokok untuk kuhisap. Selain itu, aku mencoba membaca beberapa artikel di internet, siapa tahu ada sesuatu yang bisa melengkapi puzzle 'bunga-bungaan' si mister X itu.
Untuk kedua kalinya setelah yang semalam, Andrew tertawa mengakak mendengar kata 'Olivia'. "Janice, really? Jadi hanya karena itu kau menghindariku sejak semalam?""Kau keterlaluan Andrew! Aku benci padamu!" pekik Janice yang merasa kecewa. Lantas memalingkan badan, berniat untuk lari dari situ."Janice, tunggu! Dengarkan aku dulu! Ini …, aaahhh! Hahaha!" Andrew terlihat tak bisa mengendalikan diri. Tawanya makin pecah saat itu.Janice yang merasa tidak dihargai karena terus-terusan ditertawai Andrew merontak agak Andrew segera melepaskan tangannya dari cengkeraman tanga Andrew yang terlalu kuat."Lepaskan aku!""Dengarkan aku dulu!" Andrew menekankan kata-katanya. "Olivia itu anjing poodle pemberian pamanku! Kenapa kau cemburu dengan seeker anjing?"Sontak Janice terce
Sekarang sudah pukul delapan lebih lima belas menit. Aku masih tengkurap di atas sofa yang nyamannya minta ampun jika sedang merasa lelah. Sebelum pulang, aku dan Andrew mengantar 'princess' Janice dulu. Mereka belum saling menegur, tapi ada sedikit titik terang yang mencuat. Entahlah, mungkin mereka masih merasa kaku atau malu.Aku merayap ke lantai berniat mengambil ponsel yang tadi sudah ku isi dayanya. Kemarin aku lupa membalas chat Damon. Sepertinya aku telpon secara conference saja. Aku berniat ingin menyampaikan apa yang ku dapat kemarin. Bunga-bungaan yang memusingkan kepala."Hey, Dude! Sombong sekali kau tidak membalas pesanku kemarin? Plis, jangan sok sibuk!" ujar Damon.Aku tertawa mengakak seperti biasa. Kataku, "well, actually aku hanya membalas pesan orang-orang yang penting saja, jadi, sorry not sorry, bro!""Sialan kau! Hahaha!
Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma
Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon
Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.Bukkkk!Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu."Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau
Ini sudah hampir seminggu sejak Athena menghubungiku, namun tak jua ada kabar darinya lagi. Aku sempat menghubungi ibunya lagi dua hari yang lalu, tapi katanya keadaan Athena masih seperti itu, hanya mengurung diri di kamar dan enggan keluar. Hari ini aku berencana untuk datang ke rumahnya, karena jujur saja, aku khawatir dengan keadaan wanita cerewet yang satu itu.Ini masih jam tujuh malam, namun aku sudah mabuk. Rencana awal yang telah disusun dengan sedemikian rupa untuk bertandang ke kediaman Athena pun gagal karena sudah dikuasai minuman yang bisa membuatku berjalan empat kaki sambil berteriak itu. Aku sempat tertidur selama kurang lebih satu jam sebelum terbangun karena jatuh dari sofa. Karena sadar wiski di botolku tinggal sedikit, aku memutuskan untuk ke Finley's saja.Sekitar setengah jam kemudian kudapati diriku tengah dud
Hari demi hari kujalani hanya dengan mabuk-mabukan dan tidur. Pekerjaan sampingan sebagai penulis di Thoughtstetic pun ku abaikan. Hidupku terasa tak lagi pada tempatnya. Beberapa hari yang lalu, Mommy sempat menelpon untuk mengajakku pulang, namun tak ku hiraukan. Walaupun terasa seperti orang yang sedang kehilangan arah, aku masih ingin di sini, di kota ini.Aku menutup diri dari dunia luar dan sahabat-sahabatku, tak jua Abby. Ia selalu mencoba untuk menghubungiku, namun aku memang sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Setiap malam ku habiskan uangku hanya untuk memenuhi hasrat untuk kesenangan sesaat. Tiada hari kulewati tanpa kesadaran. Aku benar-benar kacau dan tak tahu lagi kemana arah dan tujuan hidupku.Siang itu cuaca terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Tapi setidaknya aku punya penangkal yang ampuh. Aku tersadar ke
Gubrak!Tubuh Bastian terhempas ke lantai ketika bertemu dengan kepalan tinjuku. Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi sudah menguasaiku. Bagaimana bisa kau menjadi seorang manajer, tapi cara bicaramu terkesan sangat merendahkan?"Bangsat kau!" erang Bastian yang sedang berusaha berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang terlihat mengeluarkan bercak darah.Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara Alice yang terburu-buru masuk dan langsung menahan Bastian. Ia berkata, "kenapa masih pagi-pagi begini kalian berkelahi?"Andrew pun tak mau ketinggalan, kini ia dan Alice sedang berusaha menahan tubuh Bastian yang memang jauh lebih besar dari tubuhku.
Dari atas sini terlihat Virgie yang sedang menuruni tangga menghampiri Omar yang sedang menunggu sambil bersandar di mobilnya. Omar pun menyambut Virgie dengan ciuman mesra di keningnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku hanya bisa menahan rasa cemburu yang begitu besar ketika melihat adegan yang sudah seperti di film drama romantis itu.Aku mencoba menepis rasa yang mulai menyeruak dari dalam diriku. Ingin rasanya aku turun ke bawah dan memukul lelaki yang kini sedang membukakan pintu untuk wanita yang kusayangi, Virgie Petterson. Dan untuk pertama kalinya, aku marah dengan apa yang dilakukannya padaku. Tanpa kusadari, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ingin sekali ku berteriak sekuat mungkin dan menumpahkan rasa kecewa yang kini terpatri dalam lubuk hatiku.*****
"Maksudku? Sempat-sempatnya kau masih bertanya apa maksudku? Apa kau tidak sadar? Alasan selama ini aku sering menghilang karena semata-mata aku tidak pernah yakin denganmu!" pekik Virgie dengan sangat lantang. "Selama kita dekat, apa kau pernah memberikanku sesuatu? Apa kau pernah mengajakku ke sesuatu tempat? Pernah?""Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Vi!""Aahh! Alasan saja kau! Kau saja yang memang tidak pernah peka denganku! Apa kau tahu selama ini aku capek? Aku capek bekerja, aku capek harus mencari nafkah untuk diriku sendiri! Aku ingin ada seseorang yang bisa melengkapiku, Syd!""Melengkapimu dengan uang? Begitu kan maksudmu? Hahaha!" jawabku sambil terkekeh."Bu-bukan begitu maksudku, sayang…,"
Siang ini cuaca terasa begitu panas. Aku baru kembali dari supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak. Ditengah perjalanan Abby menghubungiku namun tak ku hiraukan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, karena memang letak dari supermarket hanya dua blok dari apartemenku. Aku memacu langkahku lebih cepat agar bisa lebih cepat pula sampai di apartemen. Kunaiki anak tangga dengan cepat, satu langkah untuk dua anak tangga. Ketika tiba di dekat pintu kamarku, terdengar suara Virgie yang sedang berseru tidak jelas.Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku belum langsung masuk ke dalam. Pelan-pelan ku hampiri pintu kamarku bermaksud untuk menguping pembicaraan Virgie. Sayup-sayup terdengar suara Virgie, sepertinya ia sedang berbicara ditelpon dengan seseorang. Ku coba menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang berdebat. K