Home / Pernikahan / Evanescent / God Destiny

Share

God Destiny

Garrand sangat menyadari semua murni kesalahan mereka berdua, atau mungkin itu karena mimuman yang sudah ia tenggak di sebuah pesta pelepasan masa lajang seorang teman.

Siapa Sarra Bellou? Ia tidak terlalu mengenal wanita itu. Garrand hanya tahu dia adalah calon istri Luca, ia juga mengenal pria pirang itu sebagai sahabat dari calon istrinya--Lorena.

Dia memang pernah bertemu dengan Sarra hanya dua kali saja dalam hidupnya termasuk saat pesta sialan yang sudah mengubah jalan hidupnya menjadi kacau.

Ia hanya tahu wanita itu adalah keturunan keluarga bangsawan yang kental dengan tatakrama--Bellou. Bagaimana ia bisa terdampar di kamar Sarra? Sungguh ia tidak tahu, tapi yang pasti mereka bergumul malam itu.

Tidak ada yang bisa menggambarkan bagaimana malam itu bisa dikatakan seperti malam paling liar bagi dirinya dengan seorang wanita.

Gila ....!!

Garrand merasa gila karena untuk meminta maaf saja ia tidak bisa, kata maaf tidak akan mengembalikan segalanya--termasuk apa yang sudah ia ambil dari Sarra, pantas jika wanita itu membencinya.

Dia diusir dari rumah tanpa membawa sepeser pun harta yang ia miliki dalam hidupnya, begitupun dengan Sarra yang bahkan tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan kejadian yang mereka alami.

Sekarang ia tidak punya kesempatan untuk mengembalikan kepercayaan keluarganya terlebih setelah ia membuat pernikahan Luca dan Lorena gagal.

...

Garrand membuka mata, aroma roti panggang yang sudah matang tercium, membuat ia sadar bahwa hari sudah berganti. Berapa lama ia tidur? Pastinya tidak lebih dari tiga jam.

Dia melihat Sarra keluar dari dapur, rambut panjang nya yang biasa digerai sekarang tersanggul rapi, mungkin itu supaya tidak mengganggu saat ia melakukan pekerjaan.

Garrand mengingat kembali dirinya seperti benalu, padahal sebelumnya ia adalah seorang pria yang bertanggung jawab pada hal apapun. Ia tidak pernah kekurangan apalagi menjadi beban orang lain terlebih pada seorang wanita.

Lalu sekarang, ia merasa menjadi pria bodoh dengan membiarkan Sarra terlantar dan bekerja sendirian. Ia tahu sebelumnya wanita itu adalah kebanggan keluarganya.

Lalu sekarang? Sarra tidak lebih dari wanita kelas bawah yang dimata keluarga nya ia dianggap rendah. Apakah ia harus bertanggung jawab atau menikahi wanita itu?

Namun, Garrand meragukan itu, Sarra sangat membencinya, tidak mungkin dia mau menikah dengan pria yang sudah membuat hidupnya kacau, terlebih mereka tidak saling mencintai.

"Sarapan tidak akan datang kepadamu jika bukan kau sendiri yang menghampirinya," ucap Sarra, entahlah apakah ia tidak bisa mengatakan hal yang lebih sederhana untuk menyuruh Garrand segera sarapan.

Ucapan Sarra menyadarkan Garrand dari segala lamunannya, ia beranjak kemudian bergabung bersama Sarra di meja makan yang di atasnya sudah tersedia dua piring roti dan dua gelas susu hangat.

"Kupikir kau tidak suka susu, tapi itu lebih baik dari pada kau minum kopi," ucap Sarra ketika melihat Garrand hanya menatap pada segelas susu yang ia siapkan.

Garrand hanya bisa tersenyum, sebagai seorang yang tidak saling mengenal, Sarra cukup peka pada keadaan.

Garrand memang tidak suka susu, sebagai mantan direktur ia terbiasa minum kopi yang selalu disiapkan sekretarisnya di kantor.

"Aku akan memakan apapun yang kau siapkan," jawabnya dengan tulus.

Benar segelas susu saat ini jauh lebih berharga dari segelas kopi yang biasa Garrand nikmati dan seolah tak berarti.

Namun, sekarang sudah berbeda, apapun yang diberikan Sarra akan menjadi sumber kehidupan bagi Garrand, setidaknya sebelum semuanya kembali membaik.

...

Seorang wanita cantik duduk di sebuah mini bar apartemen pribadinya, ia sedang menikmati kesendirian yang benar-benar menyiksa.

Dia rindu kekasihnya yang sudah melakukan kesalahan, pria itu lupa diri dan malah bercinta dengan calon istri dari sahabatnya sendiri.

Lorena Reyes, tidak bisa menghilangkan bayangan Garrand dan Sarra yang sudah bergumul di tempat tidur yang sama.

Dia sakit hati, benar-benar sakit. Bukan karena ia tidak percaya pada kekasihnya itu, semua murni hanya perasaan cemburu.

Dia yakin bahwa Garrand sangat mencintai dirinya, tapi sekarang dia harus menelan pil pahit kekecewaan karena Garrand harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.

"Hentikan! Kau sudah terlalu banyak minum, Lorena!" Seorang pria mengambil paksa sebuah gelas yang berada di tangan Lorena, padahal wanita itu sudah mengisinya kembali dengan cairan bening yang mengandung alkohol.

"Biarkan aku, Luca! Aku ingin melupakan segalanya," tolak Lorena pada sang sahabat. Ia menepis tangan Luca dan menenggak sekaligus isi gelas tersebut.

"Seharusnya bukan kau yang berada di sisiku," ucap Lorena dengan nada suara khas orang mabuk. Ia melirik pada sang lawan bicara yang sejak tadi setia berada di sampingnya, menemani minum walaupun keduanya tidak terus berbicara.

Sejak datang ke apartemen Lorena atas permintaan wanita itu, mereka berdua hanya bisa terdiam sambil minum, walaupun hanya Lorena yang lebih banyak minum.

Luca tidak bisa berbuat apapun karena dia juga merasakan hal yang sama, dia merindukan wanita bertubuh mungil--Sarra Bellou kekasihnya, atau mungkin mantan kekasihnya.

"Jangan menyiksa dirimu! Bukankah kau tahu mereka juga menderita?" Luca kembali berkata dan sekarang ia mendengar isakan dari arah sampingnya.

Lorena menyandarkan kepala di bahu Luca, wanita itu menangis dan melepaskan semua yang mengganjal dalam perasaannya. Sudah lebih dari satu bulan ia menahan perasaan yang awalnya benci dan kecewa, berubah menjadi iba dan sekarang ia tersiksa.

"Jangan sampai orang tua kita juga bersedih! Apapun yang mereka lakukan itu karena rasa sayang pada kita," tambah Luca. Memang benar mereka adalah anak tunggal, jadi wajar saja jika menjadi anak kesayangan orang tua masing-masing.

"Orang tua kita tidak ingin melihat anak-anaknya tersakiti." Luca mengusap puncak kepala Lorena sebagai bentuk bahwa ia peduli sebagai seorang sahabat sejak kecil.

Lorena mengangguk dengan cepat, tentu ia juga memahami hal itu. Ayah dan ibunya merasa sakit hati untuk dirinya terhadap Garrand, mereka berpikir tidak ada toleransi untuk pengkhianatan yang menimpa putri kesayangan.

"Apakah kita berdua harus pamit?" tanya Lorena masih dengan suara tangisannya. Hidungnya memerah dan mata yang sembab terlihat di wajah wanita cantik itu.

"Aku tidak kuasa untuk mengatakan ini pada Sarra, aku takut tidak bisa pergi meninggalkannya," jawab Luca.

Apa yang bisa dilakukan untuk menghilangkan semua rasa sakit? Luca dan Lorena memutuskan untuk pergi sejauh mungkin dan menghindar, berharap bisa melupakan masalah yang mereka hadapi.

Mereka berharap waktu dan tempat lain akan mengobati dan memulihkan segalanya, walaupun hal itu adalah keinginan dari orang tua mereka berdua.

"Jadi hanya sampai di sini saja, ya?" Lorena berkata dengan begitu lirih. Masih terasa sulit untuk menerima kenyataan bahwa rencana manis hidupnya akan berubah menjadi pahit.

Apakah itu rencana Tuhan?

TBC

See you next chap ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status