Pikiran Mahika bercelaru parah, membuatnya hilang konsentrasi. Hingga teriakan panjang Santi menghentikan laju kendaraan. Sebab mobil warna silver itu sekarang menabrak tiang listrik di tengah sawah. Mahika diam telungkup di atas steering, sedangkan Santi masih bisa membuka pintu. Untungnya tiang listrik itu tidak tumbang karena kendaraan yang kehilangan arah itu tidak melaju dengan kencang.Bunyi benturan yang cukup keras itu membuat beberapa petani yang sedang berada di tengah sawah segera berlarian menghampiri. "Bu, Bu Mahika, Bu," teriak Santi memanggil sambil mengguncang tubuh bosnya. Namun Mahika masih tetap diam dengan pelipis mengalirkan darah.Lima orang petani segera memberikan pertolongan dengan membuka pintu mobil dan mengeluarkan Mahika yang tidak sadarkan diri. Ada yang menghentikan sebuah mobil L300 yang sedang lewat. Meminta tolong supaya membawa Mahika ke Rumah Sakit Kertosono. Untungnya pemilik kendaraan itu bisa membantu."Saya antarkan ke puskesmas saja dulu, Pak.
Roy memperhatikan dua lelaki yang memakai hem warna putih, celana jeans, dan berwajah garang itu mendekatinya. Mereka menanyakan tentang Nency, apa gadis itu pergi dari rumah?"Di mana Non Nency?" tanya salah seorang dari mereka sekali lagi sambil memandang ke dalam rumah."Dia nggak ada di sini," jawab Roy tenang."Jangan bohong," hardik salah seorang lagi."Aku nggak akan melakukan tindakan kotor dengan melarikan anak gadis orang."Salah seorang dari laki-laki itu bergerak menuju pintu rumah. Namun Roy bergeser untuk menghadangnya. "Kalian mau apa? Sudah kubilang kalau Nency nggak ada di sini. Bahkan dari kalian ini aku baru tau kalau dia pergi dari rumah.""Jangan menipu kami!" Garang. Dari nada bicaranya yang kasar dan postur tubuh mereka, Roy jadi ingat dengan ketiga laki-laki yang menyerangnya malam itu. Apakah itu orang yang sama? Suruhan papanya Nency juga?"Sudah kubilang Nency tidak ada di sini. Jika kalian memaksa masuk tanpa izin, sekali aku teriak warga akan berdatangan.
"Aku pun nggak bisa konsentrasi kerja sekarang ini. Mama juga bolak-balik nelepon.""Mbak Heni, tahu teman-teman Nency di luar kota? Teman dekatnya. Biar aku cari ke sana.""Aku kenal beberapa temannya, hanya saja aku nggak tahu alamat pastinya. Ada yang di Nganjuk, Malang, dan Kediri. Tapi mereka masih berhubungan sampai sekarang atau nggak. Mereka kan teman kuliahnya sepuluh tahun yang lalu."Roy menghela napas panjang. "Roy, aku ada urusan dengan klien. Aku sudahi dulu teleponnya. Nanti kalau ada kabar apapun, tolong kabari aku secepatnya. Assalamu'alaikum.""Ya, Mbak. Wa'alaikumsalam."Roy masih diam di atas motornya. Ke mana lagi harus mencari Nency? Mungkinkah keputusannya tadi malam itu adalah sebuah kesalahan. Ia asal bicara tanpa mempedulikan perasaan gadisnya. Padahal hatinya sendiri merasa sangat tersiksa. Bahkan semalaman Roy pun tidak bisa tidur. Apalagi kepikiran Nency yang salah paham. Selain dengan Nency dia tidak menyukai gadis lain. Meskipun ada yang berusaha menari
"Bagaimana keadaan, Mbak?" tanya Aisyah memulai percakapan setelah beberapa saat mereka terjebak rasa canggung.Miranda tersenyum, meski sangat kaku dalam situasi seperti ini. Kehadiran mereka hanya menambah daftar panjang rasa malu dan perasaan bersalahnya. Harusnya ia berhati-hati menyetir, harusnya ia jangan sampai kecelakaan. Jika sudah begini, hendak ditaruh mana mukanya. Apalagi Yuda tampak tidak peduli. Bahkan menatapnya saja hanya sekilas tadi. Sebenarnya Yuda juga iba, tapi ada hati yang harus ia jaga. Aisyah, perempuan yang selalu ada disaat dia melewati masa tersulit dalam hidupnya. Gadis yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi."Alhamdulillah, sudah mendingan. Terima kasih ya, sudah datang," jawab Mahika sambil menatap gadis anggun di sebelah Yuda."Syukurlah. Kemarin waktu pulang dari mengajar, saya melihat mobil Mbak Mahika di jalan tengah sawah. Saya tanya pada orang di sawah, katanya Mbak di bawa ke puskesmas. Tapi kami baru sempat ke sini pagi ini." Sungguh,
Embun, mungkin rasa itu telah luntur. Yang tersisa kini, bahwa wanita itu pernah menjadi bagian dari hidup Fariq, dulu. Dan sekarang mereka masih bisa berhubungan baik layaknya saudara. "Mbak Jingga belum bisa dihubungi, Pak Fariq?" Pertanyaan Pak Bagus membuyarkan lamunan sekaligus membuat pria itu menoleh."Belum, Pak.""Nggak usah cemas, biasa wanita hamil seperti itu. Perasaannya berkali-kali lipat sensitifnya. Istri saya waktu hamil anak pertama kami yang sekarang umur tujuh belas tahun juga begitu. Dikit-dikit sensi, terus diem, nanti baikan lagi. Tapi setelah kehamilan anak yang nomer dua dan tiga, dia seperti nggak butuh saya. Apa-apa dikerjakan sendiri. Mungkin karena tuntutan keadaan juga. Anak yang besar masih butuh perhatian sudah mau punya adik lagi. Harus ngantar sekolah, ngladeni dan ngajak anak bermain di rumah, sementara saya sibuk dengan pekerjaan. Semua akan melalui fase-fase tersendiri, Pak Fariq.""Ya, Pak.""Wajar juga kalau cemburu. Bukankah cemburu juga tandan
"Riq, kamu pulang, Nak?" tanya Bu Salim kaget saat melihat putranya masuk rumah setelah Sumi membukakan pintu. Padahal kemarin bilang kalau mau di sana beberapa hari lagi."Iya, Ma," jawab Fariq sambil mencium tangan sang mama, lantas melepaskan jaketnya."Katanya lusa baru pulang?""Besok aku balik lagi. Jingga apa sudah tidur, Ma?" tanya Fariq seraya menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat. Mereka memang sudah pindah ke kamar lantai bawah. Bersebelahan dengan kamarnya Bu Salim."Jam delapan tadi dia udah masuk kamar."Fariq memandang jam dinding yang menunjukkan pukul 21.15. Kemudian langsung menuju kamar mandi belakang untuk membersihkan diri. Setelah itu masuk ke kamarnya. Pintu tidak dikunci. Fariq mendorong dan menutupnya lagi secara perlahan, karena tidak ingin mengganggu istrinya yang sudah terlelap di pembaringan.Rambutnya dibiarkan terurai ke atas. Selimut hanya menutup sebatas perutnya saja. Tampak tenang sekali wajah itu. Tidak ada kemarahan tersisa di sana. Fariq mera
"Mas, pulang?""Kamu kan yang bikin Mas harus pulang. Kenapa seharian tidak menjawab pesan atau pun telepon dari Mas?"Jingga tidak menjawab, perempuan itu malah menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Fariq makin gemas. Ditariknya pelan selimut hingga wajah yang menyembunyikan senyum itu terlihat. Fariq mengernyit, sadar sedang dipermainkan istrinya. "Mas khawatir begini kamu anggap bercanda?"Senyuman dan tatapan bening mata Jingga menjawab pertanyaan itu. Fariq makin mendekat dan habislah sang istri dengan kecupan dan cumbuannya. Memaksanya bercinta adalah hukuman yang manis buat Jingga."Maafkan papa. Papa harus memberikan pelajaran pada mama kamu," ucapnya sambil mengecup sayang pada bayi yang ada di perut Jingga. Lantas menarik selimut hingga sebatas dada mereka. Membawa kepala sang istri agar rebah di lengannya seperti biasa."Jadi sebenarnya, Sayang, udah nggak marah sama Mas?"Jingga tersenyum sinis, senyuman yang sangat di sengajanya. "Siapa bilang aku nggak marah, Mas? Ak
Ruang tamu yang cukup luas di rumah Bu Salim sudah di sulap penuh warna menjelang sore itu. Balon dua warna, biru dan merah muda di rangkai indah menjadi dekorasi di salah satu sisi dinding. Semerbak bunga mawar putih melengkapi sore yang gerimis.Kue tart dua warna yang melambangkan dua gender ada di atas meja bulat, tepat di depan dekorasi balon. Tidak banyak tamu yang di undang. Hanya kerabat dekat Fariq, Andrean sekeluarga, Adam, Laras, dan dua putranya. Juga ada beberapa rekan kerja Fariq. Sigit dan keluarganya. Erwin stafnya dan dokter andrologi yang menjadi sahabatnya. Tidak ketinggalan Roy yang datang tanpa Nency. Di saat mereka bergembira, hanya Roy yang tersenyum menyimpan luka. Dia lebih menyibukkan diri dengan kedua keponakannya untuk menghindari pertanyaan beberapa kenalan yang akan menanyakan keberadaan gadis itu.Acara gender reveal party dibuat sangat singkat, karena habis Maghrib nanti ada pengajian khusus bapak-bapak komplek perumahan mereka. Sebenarnya Fariq tidak