Fariq tergesa memasuki kantornya untuk mengambil beberapa berkas yang kemarin ketinggalan. "Apa Bu Mahika sudah berangkat, Ra?" tanya Fariq pada Nira setelah ia keluar dari ruangannya."Saya belum melihat Bu Mahika sejak tadi, Pak. Mungkin beliau langsung berangkat dari rumah.""Oke, makasih ya!""Sama-sama, Pak. Hati-hati di jalan!" teriak Nira pada atasannya yang melangkah pergi.Fariq mengangkat tangan tanpa menoleh untuk merespon ucapan dari stafnya. Di parkiran depan telah menunggu Pak Bagus, seorang arsitek yang mendesain hotel yang tengah di bangun. Lelaki umur empat puluh lima itu akan berangkat bersama Fariq. Mungkin ketika Fariq pulang nanti, dia akan tinggal di Ngliman untuk sementara waktu. Lega karena ia tidak berangkat satu mobil dengan Mahika. Daripada nanti ikut terlibat juga dengan urusannya. Urusan yang lebih rumit lagi dari permasalahan Roy. Kenapa para orang tua itu terlalu mengagungkan ego dan reputasi daripada memikirkan kebahagiaan anak-anaknya? Bukankah mere
Pikiran Mahika bercelaru parah, membuatnya hilang konsentrasi. Hingga teriakan panjang Santi menghentikan laju kendaraan. Sebab mobil warna silver itu sekarang menabrak tiang listrik di tengah sawah. Mahika diam telungkup di atas steering, sedangkan Santi masih bisa membuka pintu. Untungnya tiang listrik itu tidak tumbang karena kendaraan yang kehilangan arah itu tidak melaju dengan kencang.Bunyi benturan yang cukup keras itu membuat beberapa petani yang sedang berada di tengah sawah segera berlarian menghampiri. "Bu, Bu Mahika, Bu," teriak Santi memanggil sambil mengguncang tubuh bosnya. Namun Mahika masih tetap diam dengan pelipis mengalirkan darah.Lima orang petani segera memberikan pertolongan dengan membuka pintu mobil dan mengeluarkan Mahika yang tidak sadarkan diri. Ada yang menghentikan sebuah mobil L300 yang sedang lewat. Meminta tolong supaya membawa Mahika ke Rumah Sakit Kertosono. Untungnya pemilik kendaraan itu bisa membantu."Saya antarkan ke puskesmas saja dulu, Pak.
Roy memperhatikan dua lelaki yang memakai hem warna putih, celana jeans, dan berwajah garang itu mendekatinya. Mereka menanyakan tentang Nency, apa gadis itu pergi dari rumah?"Di mana Non Nency?" tanya salah seorang dari mereka sekali lagi sambil memandang ke dalam rumah."Dia nggak ada di sini," jawab Roy tenang."Jangan bohong," hardik salah seorang lagi."Aku nggak akan melakukan tindakan kotor dengan melarikan anak gadis orang."Salah seorang dari laki-laki itu bergerak menuju pintu rumah. Namun Roy bergeser untuk menghadangnya. "Kalian mau apa? Sudah kubilang kalau Nency nggak ada di sini. Bahkan dari kalian ini aku baru tau kalau dia pergi dari rumah.""Jangan menipu kami!" Garang. Dari nada bicaranya yang kasar dan postur tubuh mereka, Roy jadi ingat dengan ketiga laki-laki yang menyerangnya malam itu. Apakah itu orang yang sama? Suruhan papanya Nency juga?"Sudah kubilang Nency tidak ada di sini. Jika kalian memaksa masuk tanpa izin, sekali aku teriak warga akan berdatangan.
"Aku pun nggak bisa konsentrasi kerja sekarang ini. Mama juga bolak-balik nelepon.""Mbak Heni, tahu teman-teman Nency di luar kota? Teman dekatnya. Biar aku cari ke sana.""Aku kenal beberapa temannya, hanya saja aku nggak tahu alamat pastinya. Ada yang di Nganjuk, Malang, dan Kediri. Tapi mereka masih berhubungan sampai sekarang atau nggak. Mereka kan teman kuliahnya sepuluh tahun yang lalu."Roy menghela napas panjang. "Roy, aku ada urusan dengan klien. Aku sudahi dulu teleponnya. Nanti kalau ada kabar apapun, tolong kabari aku secepatnya. Assalamu'alaikum.""Ya, Mbak. Wa'alaikumsalam."Roy masih diam di atas motornya. Ke mana lagi harus mencari Nency? Mungkinkah keputusannya tadi malam itu adalah sebuah kesalahan. Ia asal bicara tanpa mempedulikan perasaan gadisnya. Padahal hatinya sendiri merasa sangat tersiksa. Bahkan semalaman Roy pun tidak bisa tidur. Apalagi kepikiran Nency yang salah paham. Selain dengan Nency dia tidak menyukai gadis lain. Meskipun ada yang berusaha menari
"Bagaimana keadaan, Mbak?" tanya Aisyah memulai percakapan setelah beberapa saat mereka terjebak rasa canggung.Miranda tersenyum, meski sangat kaku dalam situasi seperti ini. Kehadiran mereka hanya menambah daftar panjang rasa malu dan perasaan bersalahnya. Harusnya ia berhati-hati menyetir, harusnya ia jangan sampai kecelakaan. Jika sudah begini, hendak ditaruh mana mukanya. Apalagi Yuda tampak tidak peduli. Bahkan menatapnya saja hanya sekilas tadi. Sebenarnya Yuda juga iba, tapi ada hati yang harus ia jaga. Aisyah, perempuan yang selalu ada disaat dia melewati masa tersulit dalam hidupnya. Gadis yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi."Alhamdulillah, sudah mendingan. Terima kasih ya, sudah datang," jawab Mahika sambil menatap gadis anggun di sebelah Yuda."Syukurlah. Kemarin waktu pulang dari mengajar, saya melihat mobil Mbak Mahika di jalan tengah sawah. Saya tanya pada orang di sawah, katanya Mbak di bawa ke puskesmas. Tapi kami baru sempat ke sini pagi ini." Sungguh,
Embun, mungkin rasa itu telah luntur. Yang tersisa kini, bahwa wanita itu pernah menjadi bagian dari hidup Fariq, dulu. Dan sekarang mereka masih bisa berhubungan baik layaknya saudara. "Mbak Jingga belum bisa dihubungi, Pak Fariq?" Pertanyaan Pak Bagus membuyarkan lamunan sekaligus membuat pria itu menoleh."Belum, Pak.""Nggak usah cemas, biasa wanita hamil seperti itu. Perasaannya berkali-kali lipat sensitifnya. Istri saya waktu hamil anak pertama kami yang sekarang umur tujuh belas tahun juga begitu. Dikit-dikit sensi, terus diem, nanti baikan lagi. Tapi setelah kehamilan anak yang nomer dua dan tiga, dia seperti nggak butuh saya. Apa-apa dikerjakan sendiri. Mungkin karena tuntutan keadaan juga. Anak yang besar masih butuh perhatian sudah mau punya adik lagi. Harus ngantar sekolah, ngladeni dan ngajak anak bermain di rumah, sementara saya sibuk dengan pekerjaan. Semua akan melalui fase-fase tersendiri, Pak Fariq.""Ya, Pak.""Wajar juga kalau cemburu. Bukankah cemburu juga tandan
"Riq, kamu pulang, Nak?" tanya Bu Salim kaget saat melihat putranya masuk rumah setelah Sumi membukakan pintu. Padahal kemarin bilang kalau mau di sana beberapa hari lagi."Iya, Ma," jawab Fariq sambil mencium tangan sang mama, lantas melepaskan jaketnya."Katanya lusa baru pulang?""Besok aku balik lagi. Jingga apa sudah tidur, Ma?" tanya Fariq seraya menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat. Mereka memang sudah pindah ke kamar lantai bawah. Bersebelahan dengan kamarnya Bu Salim."Jam delapan tadi dia udah masuk kamar."Fariq memandang jam dinding yang menunjukkan pukul 21.15. Kemudian langsung menuju kamar mandi belakang untuk membersihkan diri. Setelah itu masuk ke kamarnya. Pintu tidak dikunci. Fariq mendorong dan menutupnya lagi secara perlahan, karena tidak ingin mengganggu istrinya yang sudah terlelap di pembaringan.Rambutnya dibiarkan terurai ke atas. Selimut hanya menutup sebatas perutnya saja. Tampak tenang sekali wajah itu. Tidak ada kemarahan tersisa di sana. Fariq mera
"Mas, pulang?""Kamu kan yang bikin Mas harus pulang. Kenapa seharian tidak menjawab pesan atau pun telepon dari Mas?"Jingga tidak menjawab, perempuan itu malah menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Fariq makin gemas. Ditariknya pelan selimut hingga wajah yang menyembunyikan senyum itu terlihat. Fariq mengernyit, sadar sedang dipermainkan istrinya. "Mas khawatir begini kamu anggap bercanda?"Senyuman dan tatapan bening mata Jingga menjawab pertanyaan itu. Fariq makin mendekat dan habislah sang istri dengan kecupan dan cumbuannya. Memaksanya bercinta adalah hukuman yang manis buat Jingga."Maafkan papa. Papa harus memberikan pelajaran pada mama kamu," ucapnya sambil mengecup sayang pada bayi yang ada di perut Jingga. Lantas menarik selimut hingga sebatas dada mereka. Membawa kepala sang istri agar rebah di lengannya seperti biasa."Jadi sebenarnya, Sayang, udah nggak marah sama Mas?"Jingga tersenyum sinis, senyuman yang sangat di sengajanya. "Siapa bilang aku nggak marah, Mas? Ak
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su