"Mas, pulang?""Kamu kan yang bikin Mas harus pulang. Kenapa seharian tidak menjawab pesan atau pun telepon dari Mas?"Jingga tidak menjawab, perempuan itu malah menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Fariq makin gemas. Ditariknya pelan selimut hingga wajah yang menyembunyikan senyum itu terlihat. Fariq mengernyit, sadar sedang dipermainkan istrinya. "Mas khawatir begini kamu anggap bercanda?"Senyuman dan tatapan bening mata Jingga menjawab pertanyaan itu. Fariq makin mendekat dan habislah sang istri dengan kecupan dan cumbuannya. Memaksanya bercinta adalah hukuman yang manis buat Jingga."Maafkan papa. Papa harus memberikan pelajaran pada mama kamu," ucapnya sambil mengecup sayang pada bayi yang ada di perut Jingga. Lantas menarik selimut hingga sebatas dada mereka. Membawa kepala sang istri agar rebah di lengannya seperti biasa."Jadi sebenarnya, Sayang, udah nggak marah sama Mas?"Jingga tersenyum sinis, senyuman yang sangat di sengajanya. "Siapa bilang aku nggak marah, Mas? Ak
Ruang tamu yang cukup luas di rumah Bu Salim sudah di sulap penuh warna menjelang sore itu. Balon dua warna, biru dan merah muda di rangkai indah menjadi dekorasi di salah satu sisi dinding. Semerbak bunga mawar putih melengkapi sore yang gerimis.Kue tart dua warna yang melambangkan dua gender ada di atas meja bulat, tepat di depan dekorasi balon. Tidak banyak tamu yang di undang. Hanya kerabat dekat Fariq, Andrean sekeluarga, Adam, Laras, dan dua putranya. Juga ada beberapa rekan kerja Fariq. Sigit dan keluarganya. Erwin stafnya dan dokter andrologi yang menjadi sahabatnya. Tidak ketinggalan Roy yang datang tanpa Nency. Di saat mereka bergembira, hanya Roy yang tersenyum menyimpan luka. Dia lebih menyibukkan diri dengan kedua keponakannya untuk menghindari pertanyaan beberapa kenalan yang akan menanyakan keberadaan gadis itu.Acara gender reveal party dibuat sangat singkat, karena habis Maghrib nanti ada pengajian khusus bapak-bapak komplek perumahan mereka. Sebenarnya Fariq tidak
"Mbak Nency, akan pergi berapa hari?" tanya Ida. Karyawan butik yang sangat dipercaya oleh Nency. Saat itu Nency sedang membenahi hijabnya di depan cermin di ruangannya."Mungkin tiga hari, Da. Selasa aku sudah pulang. Jaga butik baik-baik, jaga teman-temanmu juga," pesan Nency sambil meraih tali tas ransel dan menaruhnya di punggung. Tidak ketinggalan tas selempang warna hitam juga di bawanya. "Aku pergi dulu, ya!" pamitnya setelah membalas pesan dari taksi online yang sudah menunggunya di luar mall."Hati-hati ya, Mbak!"Nency tersenyum. Kemudian melangkah keluar butik. Menuruni ekslator lantai tiga, lantai dua, hingga turun di lantai dasar. Masuk sebuah taksi yang sudah menunggu dan akan mengantarkannya ke terminal bis.Hari Sabtu sebenarnya butik cukup ramai, harusnya ia tidak meninggalkannya. Mestinya ia menunda kepergiannya hari lain saja. Akhir pekan begini pasti banyak pengunjung. Tadi sekilas ia juga melihat butik Miranda juga ramai pelanggan. Akan tetapi Miranda tidak perna
Dingin, kabut, dan suara tonggeret menyatu dengan derasnya air terjun Sedudo. Airnya jernih terjun bebas dari tebing setinggi 105 meter yang tegak menjulang. Di persekitaran ditumbuhi lumut dan beberapa tanaman merambat lainnya.Roy berdiri sambil memandang air terjun yang suaranya menggema. Pengunjung sangat ramai minggu pagi itu. Ada beberapa orang yang mandi di bawah air terjun. Termasuk Adam dan kedua putranya sudah turun bergabung mandi dengan pengunjung lainnya."Kamu tidak ingin mandi?" tanya Fariq yang berdiri di sebelah Roy. Kebetulan mereka hanya pergi berempat. Laras dan Jingga berada di rumah."Iya, sebentar lagi, Mas.""Makin siang pengunjung semakin ramai, Roy. Ke sini kalau tak mandi rugi. Konon katanya mandi di air terjun bisa membuat awet muda. Kamu nggak ingin awet muda?" "Awet muda juga awet jomblo, Mas." Kedua laki-laki itu tertawa ringan. "Bisa aja kamu," sergah Fariq. "Ayo, sarapan dulu!" ajak Fariq menuju seorang penjual makanan yang ada di area air terjun.
Nency menunduk sejenak, kemudian memperhatikan para pengunjung yang baru keluar dari kamar ganti. Saat itu dia melihat sosok yang juga dikenalnya. Fariq. Jadi ....Kembali Nency melihat ke arah Roy. Benar saja, itu Roy. Fariq menghampiri laki-laki itu dan mengajaknya bicara. Nency tidak hanya berdebar-debar tapi juga gemetar. Gadis itu menggeser duduknya menghadap ke arah lain. Jarak mereka hanya terpaut sekitar sepuluh meter saja. Mau pergi dari sana, takutnya Umi mencari-cari dirinya. Jaringan telepon pun tidak ada sama sekali.Ketika ingin melupakan, ketika ingin mencari ketenangan, justru ia bertemu dengan Roy di tempat yang tidak pernah diduga sebelumnya. Walaupun ingin, tapi ia tidak akan menemui laki-laki itu. Jika tidak menjauh, dia tak akan pernah bisa melupakan. Padahal itu yang ia inginkan. Toh, Roy pun sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan mereka setelah papanya menolak untuk kali kedua."Cy," panggil Umi sambil mengulurkan seporsi kerupuk pecel dan meletakkan
Nency tampak tertegun sejenak. Memikirkan penawaran Roy. Bukankah ini sebuah kesempatan bersama pria itu ketika jauh dari keluarga? Tapi tentunya akan membuatnya makin susah melupakan. Gadis itu sudah membulatkan tekad untuk tidak memiliki hubungan apa lagi dengan Roy, meski hanya sekedar berteman."Kami pulang sore ini juga. Gimana?" Roy tidak tega membiarkan Nency pulang sendirian naik bis. Walaupun mungkin hal itu sudah biasa bagi Nency."Nggak usah, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri," tolak Nency tanpa memandang Roy. Apa yang dilakukannya hanya demi menyelamatkan perasaannya sendiri agar tidak berlarut-larut mencintai lelaki di depannya ini. Jika tidak menjauh, akan mempersulit dirinya sendiri."Kamu nggak hanya berdua denganku saja. Tapi ada Mas Fariq dan Jingga." "Enggak, makasih. Aku sudah bilang sama orang tuaku kalau kita nggak akan berhubungan lagi meski hanya berteman. Jika mereka tahu aku ikut denganmu, papaku akan mengganggumu lagi." Nency menjelaskan tanpa menatap p
Aditya yang sedang membersihkan dalaman mobilnya tampak tertegun memerhatikan Jingga dan Fariq turun dari mobil yang berhenti di halaman rumah Pak Saman. Sebelum pulang Fariq memang mengajak istri dan Roy mampir sebentar di rumah kontrakan untuk tempat tinggal para pekerja proyek.Kebetulan ada juga Bu Lurah yang berbincang dengan seorang wanita di kursi kayu jati yang berada di rumah Joglonya, mereka juga memandang ke arah Jingga.Fariq menggandeng sang istri menghampiri wanita itu. Bagaimanapun juga, Fariq harus menyapa. Dulu dia datang sebagai tamu yang akan bekerja di wilayah Pak Lurah. "Assalamu'alaikum, Bu." Fariq menyalami Bu Samsul diikuti oleh Jingga "Wa'alaikumsalam. Apa kabar Mas Fariq?""Alhamdulillah, kabar baik, Bu."Aditya juga meninggalkan pekerjaannya, lantas turut menyambut Fariq dan Jingga. Tangan lelaki itu terasa dingin di telapak tangan Jingga. Pandangannya singgah sekilas pada perut mantan kekasihnya yang membesar. Ada denyut nyeri terasa hingga ke dasar hati.
Dandan cantik? Dandan yang bagaimana? Nency memilih baju yang ada di lemari kamarnya. Dia tidak membawa banyak baju dari rumah. Meski pemilik butik, dirinya juga jarang mengambil pakaian dagangannya sendiri.Harus pakai apa sekarang? Kaftan, abaya, gamis, atau tunik? Sementara di lemarinya hanya ada gamis dan tunik saja. Kaftan, abaya-nya tidak di bawa. Apa dia pulang saja dan berganti baju di rumah?Sambil memilih pakaian, Nency memikirkan ada acara apa sebenarnya di rumah. Hari ini bukan ulang tahun siapapun. Juga bukan hari anniversary kedua orang tuanya. Dia ingat tanggal-tanggal spesial yang biasa dirayakan bersama.Akhirnya ia mengambil gamis warna soft pink polos dipadukan dengan outer crop top warna putih dengan corak bunga sakura warnah soft pink juga. Jilbab warna putih. Rasanya cocok untuk menghadiri dinner keluarga. Toh mamanya tidak bilang dinner dalam rangka apa. Beliau hanya meminta untuk dandan secantik mungkin.Mungkinkah ia akan kembali dijodohkan? Tapi dengan siapa?
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su