Aditya yang sedang membersihkan dalaman mobilnya tampak tertegun memerhatikan Jingga dan Fariq turun dari mobil yang berhenti di halaman rumah Pak Saman. Sebelum pulang Fariq memang mengajak istri dan Roy mampir sebentar di rumah kontrakan untuk tempat tinggal para pekerja proyek.Kebetulan ada juga Bu Lurah yang berbincang dengan seorang wanita di kursi kayu jati yang berada di rumah Joglonya, mereka juga memandang ke arah Jingga.Fariq menggandeng sang istri menghampiri wanita itu. Bagaimanapun juga, Fariq harus menyapa. Dulu dia datang sebagai tamu yang akan bekerja di wilayah Pak Lurah. "Assalamu'alaikum, Bu." Fariq menyalami Bu Samsul diikuti oleh Jingga "Wa'alaikumsalam. Apa kabar Mas Fariq?""Alhamdulillah, kabar baik, Bu."Aditya juga meninggalkan pekerjaannya, lantas turut menyambut Fariq dan Jingga. Tangan lelaki itu terasa dingin di telapak tangan Jingga. Pandangannya singgah sekilas pada perut mantan kekasihnya yang membesar. Ada denyut nyeri terasa hingga ke dasar hati.
Dandan cantik? Dandan yang bagaimana? Nency memilih baju yang ada di lemari kamarnya. Dia tidak membawa banyak baju dari rumah. Meski pemilik butik, dirinya juga jarang mengambil pakaian dagangannya sendiri.Harus pakai apa sekarang? Kaftan, abaya, gamis, atau tunik? Sementara di lemarinya hanya ada gamis dan tunik saja. Kaftan, abaya-nya tidak di bawa. Apa dia pulang saja dan berganti baju di rumah?Sambil memilih pakaian, Nency memikirkan ada acara apa sebenarnya di rumah. Hari ini bukan ulang tahun siapapun. Juga bukan hari anniversary kedua orang tuanya. Dia ingat tanggal-tanggal spesial yang biasa dirayakan bersama.Akhirnya ia mengambil gamis warna soft pink polos dipadukan dengan outer crop top warna putih dengan corak bunga sakura warnah soft pink juga. Jilbab warna putih. Rasanya cocok untuk menghadiri dinner keluarga. Toh mamanya tidak bilang dinner dalam rangka apa. Beliau hanya meminta untuk dandan secantik mungkin.Mungkinkah ia akan kembali dijodohkan? Tapi dengan siapa?
Malam itu rembulan menampakkan diri di langit malam, setelah sore tadi sempat gerimis sebentar. Nency mengajak Roy duduk di gazebo di samping rumahnya. Gadis itu membawakan dua gelas teh hangat dan setoples cemilan."Aku ingin tahu ceritanya, bagaimana papa bisa mengundangmu makan malam. Bahkan merencanakan lamaran tanpa memberitahuku lebih dulu?" Nency tidak sabar untuk mendengar cerita dari Roy. Dia tidak ingin kebahagiaan yang sempat dirasakan tadi akan kandas lagi. Tiga tahun di tolak, tentu tidak begitu mudah mempercayai sang papa. "Tiga mingguan ini Om Aziz beberapa kali menemuiku di bengkel. Yang pertama ngajak ngopi, kedua ngajak makan siang, dan tiga hari yang lalu ngajak makan malam. Beliau minta maaf atas perlakuannya selama ini. Beliau sangat kehilangan ketika kamu pergi dari rumah. Satu lagi yang membuat beliau sadar, ternyata Mbak Heni nggak sebahagia yang beliau kira selama ini. Soal Mbak Heni, kamu bisa tanyakan langsung pada papamu atau pada Mbak Heni sendiri. Maaf,
Karina menyalami Fariq. Jingga yang bersitatap dengan Karina mengangguk sambil tersenyum ramah. Dia yang belum pernah bertemu Karina, mengira kalau wanita itu kenalan suaminya.Sejenak Jingga takjub dengan kecantikan wanita itu. Putih, semampai, rambutnya tergerai sebahu dengan ujungnya yang curly. "Kenalkan, ini Jingga istriku." Fariq mengenalkan Jingga pada mantan istrinya. Lagi-lagi Jingga tersenyum ramah sambil menyalami wanita itu. Sedangkan Karina memandang lekat Jingga. Otaknya secepat kilat memberikan banyak penilaian terhadap sosok yang memakai jilbab warna biru. Sederhana. Satu kesimpulan yang diambilnya. Bahkan terlalu sederhana untuk bersanding dengan pria eksekutif seperti Fariq."Aku Karina mantan istrinya Mas Fariq." Karina tersenyum penuh percaya diri. Tentu dia percaya diri, dilihat dari segi penampilan fisik yang glamor, jelas saja Jingga kalah. Rok plisket yang panjangnya selutut mengekspos sempurna betis mulusnya. Lampu rumah makan yang terang benderang telah mena
Karina menatap sebal lantas berbalik dan menuju mobilnya. Di sana teman-temannya sudah menunggu. Ternyata perempuan yang hendak dihasutnya sangat cerdas. Dia benci, ternyata Jingga menjalin hubungan baik dengan Embun."Awas kamu!" ancamnya dalam hati. Jengkel dia dibuat perempuan muda yang sedang hamil itu. Kehamilan yang membuat Karina cemburu. Seandainya dulu tidak keguguran, pasti Fariq akan lebih memperhatikannya dan bisa melupakan Embun. Tidak adanya anak dalam hubungan mereka membuat Fariq tidak bisa melupakan Embun dan membuat Karina tak tahan lalu menuntut cerai. Keputusan yang membuatnya menyesal sekarang.Setelah Karina pergi, Jingga beristighfar berulang kali sambil mengusap perutnya. Selama ini dia tidak pernah takut berdebat. Membela diri sudah hal biasa sejak kecil lagi. Jingga tidak akan gentar dengan siapapun yang memulai gara-gara dengannya. Dia harus jadi ibu yang hebat dan kuat untuk kedua jagoannya nanti. Seorang ibu yang bisa menjadi teladan yang baik, karena anak
Roy berhati-hati menaiki tangga dengan pegangan besi yang mengkilat kuning keemasan. Rumah yang kelewat mewah baginya. Dia akan segan tinggal di sana meski sekarang dirinya sebagai menantu di rumah itu.Penampakan lantai dua yang tak kalah mewah seperti lantai bawah. Ada tiga kamar di tingkat dua. Ada ruang keluarga dan ruang tamu dengan sofa bergaya country warna pastel. Tampak elegan menyatu dengan cat tembok warna putih dan standing lamp yang diletakkan di antara sofa.Nency membuka pintu kamarnya. Mereka langsung di suguhkan oleh suasana kamar yang di dekorasi sedemikian rupa. Ranjang besar berseprai putih dengan kombinas batik yang menjadi rampelnya. Kelopak mawar berbentuk hati di hias tepat di tengah-tengah tempat tidur. Ada buket bunga yang diletakkan di setiap pojok ruangan. Juga gorden jendela berwarna kuning keemasan. Sangat kontras dengan kamar Roy yang sederhana di rumah bapaknya.Wangi vanila memenuhi segenap penjuru ruangan. Menghipnotis pengantin baru dalam sensasi yan
Nency membongkar hadiah dari Jingga. Senyum manis terukir di bibirnya saat memegang kain berbahan silk yang halus dan lembut. Sebuah lingerie backless model terusan, atasan berbentuk singlet dengan tali kecil di pundak. Meski tanpa hiasan pita atau pun renda justru menampakkan kesan sederhana, tapi elegan. Selera Jingga bagus juga, gumamnya.Sebenarnya dia telah menyiapkan lingerie untuk malam pertamanya. Nency memilih warna lingerie merah menyala dari koleksi butiknya. Tapi sekarang ia tergoda untuk memakai hadiah dari Jingga. Mungkin besok dia akan memakai hadiah dari Embun yang dibeli wanita itu dari butiknya Miranda. Oh ya, Miranda belum tahu kalau dia dan Roy telah menikah. Waktu empat hari sejak papanya mengajak makan malam, membuatnya tidak sempat mengabari beberapa kenalan. Nanti saja, mereka akan di undang jika dirinya mengadakan resepsi.Pintu kamar terkuak perlahan, membuat Nency yang mematut diri di depan cermin terkesiap dan menoleh. Roy pun sama, kaget dengan penampilan
Buru-buru Roy meraih jaketnya yang tergeletak tidak jauh dari hijabnya Nency. Rupanya sang kakak ipar yang menelepon. Roy menggeser tombol hijau di layar ponselnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaikumsalam. Maaf Mas ganggu kamu. Cuman mau ngabari kalau Embun sudah melahirkan bayi perempuan sejam yang lalu.""Alhamdulillah. Kok Mas Andre baru ngabarin sekarang?""Sebenarnya waktu acara nikahanmu kemarin, Embun sudah merasakan mulas-mulas. Makanya Mas bawa dia langsung ke dokter Sonia. Setelah diperiksa dokter bilang memang sudah waktunya lahiran. Tapi kami disuruh pulang saja dulu. Ternyata habis sarapan tadi pagi mulai ada flek. Akhirnya Mas bawa ke klinik. Mas tidak langsung ngabari kamu karena kalian masih suasana pengantin baru. Nanti mengganggu pula.""Mas, bisa aja. Ya udah nanti aku dan Nency datang ke klinik.""Tidak harus sekarang. Mas hanya ngabari saja. Bapak, ibu, dan Rini juga ada di sini sekarang.""Oke, aku akan ke sana. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Roy m
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su