Nency tampak tertegun sejenak. Memikirkan penawaran Roy. Bukankah ini sebuah kesempatan bersama pria itu ketika jauh dari keluarga? Tapi tentunya akan membuatnya makin susah melupakan. Gadis itu sudah membulatkan tekad untuk tidak memiliki hubungan apa lagi dengan Roy, meski hanya sekedar berteman."Kami pulang sore ini juga. Gimana?" Roy tidak tega membiarkan Nency pulang sendirian naik bis. Walaupun mungkin hal itu sudah biasa bagi Nency."Nggak usah, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri," tolak Nency tanpa memandang Roy. Apa yang dilakukannya hanya demi menyelamatkan perasaannya sendiri agar tidak berlarut-larut mencintai lelaki di depannya ini. Jika tidak menjauh, akan mempersulit dirinya sendiri."Kamu nggak hanya berdua denganku saja. Tapi ada Mas Fariq dan Jingga." "Enggak, makasih. Aku sudah bilang sama orang tuaku kalau kita nggak akan berhubungan lagi meski hanya berteman. Jika mereka tahu aku ikut denganmu, papaku akan mengganggumu lagi." Nency menjelaskan tanpa menatap p
Aditya yang sedang membersihkan dalaman mobilnya tampak tertegun memerhatikan Jingga dan Fariq turun dari mobil yang berhenti di halaman rumah Pak Saman. Sebelum pulang Fariq memang mengajak istri dan Roy mampir sebentar di rumah kontrakan untuk tempat tinggal para pekerja proyek.Kebetulan ada juga Bu Lurah yang berbincang dengan seorang wanita di kursi kayu jati yang berada di rumah Joglonya, mereka juga memandang ke arah Jingga.Fariq menggandeng sang istri menghampiri wanita itu. Bagaimanapun juga, Fariq harus menyapa. Dulu dia datang sebagai tamu yang akan bekerja di wilayah Pak Lurah. "Assalamu'alaikum, Bu." Fariq menyalami Bu Samsul diikuti oleh Jingga "Wa'alaikumsalam. Apa kabar Mas Fariq?""Alhamdulillah, kabar baik, Bu."Aditya juga meninggalkan pekerjaannya, lantas turut menyambut Fariq dan Jingga. Tangan lelaki itu terasa dingin di telapak tangan Jingga. Pandangannya singgah sekilas pada perut mantan kekasihnya yang membesar. Ada denyut nyeri terasa hingga ke dasar hati.
Dandan cantik? Dandan yang bagaimana? Nency memilih baju yang ada di lemari kamarnya. Dia tidak membawa banyak baju dari rumah. Meski pemilik butik, dirinya juga jarang mengambil pakaian dagangannya sendiri.Harus pakai apa sekarang? Kaftan, abaya, gamis, atau tunik? Sementara di lemarinya hanya ada gamis dan tunik saja. Kaftan, abaya-nya tidak di bawa. Apa dia pulang saja dan berganti baju di rumah?Sambil memilih pakaian, Nency memikirkan ada acara apa sebenarnya di rumah. Hari ini bukan ulang tahun siapapun. Juga bukan hari anniversary kedua orang tuanya. Dia ingat tanggal-tanggal spesial yang biasa dirayakan bersama.Akhirnya ia mengambil gamis warna soft pink polos dipadukan dengan outer crop top warna putih dengan corak bunga sakura warnah soft pink juga. Jilbab warna putih. Rasanya cocok untuk menghadiri dinner keluarga. Toh mamanya tidak bilang dinner dalam rangka apa. Beliau hanya meminta untuk dandan secantik mungkin.Mungkinkah ia akan kembali dijodohkan? Tapi dengan siapa?
Malam itu rembulan menampakkan diri di langit malam, setelah sore tadi sempat gerimis sebentar. Nency mengajak Roy duduk di gazebo di samping rumahnya. Gadis itu membawakan dua gelas teh hangat dan setoples cemilan."Aku ingin tahu ceritanya, bagaimana papa bisa mengundangmu makan malam. Bahkan merencanakan lamaran tanpa memberitahuku lebih dulu?" Nency tidak sabar untuk mendengar cerita dari Roy. Dia tidak ingin kebahagiaan yang sempat dirasakan tadi akan kandas lagi. Tiga tahun di tolak, tentu tidak begitu mudah mempercayai sang papa. "Tiga mingguan ini Om Aziz beberapa kali menemuiku di bengkel. Yang pertama ngajak ngopi, kedua ngajak makan siang, dan tiga hari yang lalu ngajak makan malam. Beliau minta maaf atas perlakuannya selama ini. Beliau sangat kehilangan ketika kamu pergi dari rumah. Satu lagi yang membuat beliau sadar, ternyata Mbak Heni nggak sebahagia yang beliau kira selama ini. Soal Mbak Heni, kamu bisa tanyakan langsung pada papamu atau pada Mbak Heni sendiri. Maaf,
Karina menyalami Fariq. Jingga yang bersitatap dengan Karina mengangguk sambil tersenyum ramah. Dia yang belum pernah bertemu Karina, mengira kalau wanita itu kenalan suaminya.Sejenak Jingga takjub dengan kecantikan wanita itu. Putih, semampai, rambutnya tergerai sebahu dengan ujungnya yang curly. "Kenalkan, ini Jingga istriku." Fariq mengenalkan Jingga pada mantan istrinya. Lagi-lagi Jingga tersenyum ramah sambil menyalami wanita itu. Sedangkan Karina memandang lekat Jingga. Otaknya secepat kilat memberikan banyak penilaian terhadap sosok yang memakai jilbab warna biru. Sederhana. Satu kesimpulan yang diambilnya. Bahkan terlalu sederhana untuk bersanding dengan pria eksekutif seperti Fariq."Aku Karina mantan istrinya Mas Fariq." Karina tersenyum penuh percaya diri. Tentu dia percaya diri, dilihat dari segi penampilan fisik yang glamor, jelas saja Jingga kalah. Rok plisket yang panjangnya selutut mengekspos sempurna betis mulusnya. Lampu rumah makan yang terang benderang telah mena
Karina menatap sebal lantas berbalik dan menuju mobilnya. Di sana teman-temannya sudah menunggu. Ternyata perempuan yang hendak dihasutnya sangat cerdas. Dia benci, ternyata Jingga menjalin hubungan baik dengan Embun."Awas kamu!" ancamnya dalam hati. Jengkel dia dibuat perempuan muda yang sedang hamil itu. Kehamilan yang membuat Karina cemburu. Seandainya dulu tidak keguguran, pasti Fariq akan lebih memperhatikannya dan bisa melupakan Embun. Tidak adanya anak dalam hubungan mereka membuat Fariq tidak bisa melupakan Embun dan membuat Karina tak tahan lalu menuntut cerai. Keputusan yang membuatnya menyesal sekarang.Setelah Karina pergi, Jingga beristighfar berulang kali sambil mengusap perutnya. Selama ini dia tidak pernah takut berdebat. Membela diri sudah hal biasa sejak kecil lagi. Jingga tidak akan gentar dengan siapapun yang memulai gara-gara dengannya. Dia harus jadi ibu yang hebat dan kuat untuk kedua jagoannya nanti. Seorang ibu yang bisa menjadi teladan yang baik, karena anak
Roy berhati-hati menaiki tangga dengan pegangan besi yang mengkilat kuning keemasan. Rumah yang kelewat mewah baginya. Dia akan segan tinggal di sana meski sekarang dirinya sebagai menantu di rumah itu.Penampakan lantai dua yang tak kalah mewah seperti lantai bawah. Ada tiga kamar di tingkat dua. Ada ruang keluarga dan ruang tamu dengan sofa bergaya country warna pastel. Tampak elegan menyatu dengan cat tembok warna putih dan standing lamp yang diletakkan di antara sofa.Nency membuka pintu kamarnya. Mereka langsung di suguhkan oleh suasana kamar yang di dekorasi sedemikian rupa. Ranjang besar berseprai putih dengan kombinas batik yang menjadi rampelnya. Kelopak mawar berbentuk hati di hias tepat di tengah-tengah tempat tidur. Ada buket bunga yang diletakkan di setiap pojok ruangan. Juga gorden jendela berwarna kuning keemasan. Sangat kontras dengan kamar Roy yang sederhana di rumah bapaknya.Wangi vanila memenuhi segenap penjuru ruangan. Menghipnotis pengantin baru dalam sensasi yan
Nency membongkar hadiah dari Jingga. Senyum manis terukir di bibirnya saat memegang kain berbahan silk yang halus dan lembut. Sebuah lingerie backless model terusan, atasan berbentuk singlet dengan tali kecil di pundak. Meski tanpa hiasan pita atau pun renda justru menampakkan kesan sederhana, tapi elegan. Selera Jingga bagus juga, gumamnya.Sebenarnya dia telah menyiapkan lingerie untuk malam pertamanya. Nency memilih warna lingerie merah menyala dari koleksi butiknya. Tapi sekarang ia tergoda untuk memakai hadiah dari Jingga. Mungkin besok dia akan memakai hadiah dari Embun yang dibeli wanita itu dari butiknya Miranda. Oh ya, Miranda belum tahu kalau dia dan Roy telah menikah. Waktu empat hari sejak papanya mengajak makan malam, membuatnya tidak sempat mengabari beberapa kenalan. Nanti saja, mereka akan di undang jika dirinya mengadakan resepsi.Pintu kamar terkuak perlahan, membuat Nency yang mematut diri di depan cermin terkesiap dan menoleh. Roy pun sama, kaget dengan penampilan