Karina menyalami Fariq. Jingga yang bersitatap dengan Karina mengangguk sambil tersenyum ramah. Dia yang belum pernah bertemu Karina, mengira kalau wanita itu kenalan suaminya.Sejenak Jingga takjub dengan kecantikan wanita itu. Putih, semampai, rambutnya tergerai sebahu dengan ujungnya yang curly. "Kenalkan, ini Jingga istriku." Fariq mengenalkan Jingga pada mantan istrinya. Lagi-lagi Jingga tersenyum ramah sambil menyalami wanita itu. Sedangkan Karina memandang lekat Jingga. Otaknya secepat kilat memberikan banyak penilaian terhadap sosok yang memakai jilbab warna biru. Sederhana. Satu kesimpulan yang diambilnya. Bahkan terlalu sederhana untuk bersanding dengan pria eksekutif seperti Fariq."Aku Karina mantan istrinya Mas Fariq." Karina tersenyum penuh percaya diri. Tentu dia percaya diri, dilihat dari segi penampilan fisik yang glamor, jelas saja Jingga kalah. Rok plisket yang panjangnya selutut mengekspos sempurna betis mulusnya. Lampu rumah makan yang terang benderang telah mena
Karina menatap sebal lantas berbalik dan menuju mobilnya. Di sana teman-temannya sudah menunggu. Ternyata perempuan yang hendak dihasutnya sangat cerdas. Dia benci, ternyata Jingga menjalin hubungan baik dengan Embun."Awas kamu!" ancamnya dalam hati. Jengkel dia dibuat perempuan muda yang sedang hamil itu. Kehamilan yang membuat Karina cemburu. Seandainya dulu tidak keguguran, pasti Fariq akan lebih memperhatikannya dan bisa melupakan Embun. Tidak adanya anak dalam hubungan mereka membuat Fariq tidak bisa melupakan Embun dan membuat Karina tak tahan lalu menuntut cerai. Keputusan yang membuatnya menyesal sekarang.Setelah Karina pergi, Jingga beristighfar berulang kali sambil mengusap perutnya. Selama ini dia tidak pernah takut berdebat. Membela diri sudah hal biasa sejak kecil lagi. Jingga tidak akan gentar dengan siapapun yang memulai gara-gara dengannya. Dia harus jadi ibu yang hebat dan kuat untuk kedua jagoannya nanti. Seorang ibu yang bisa menjadi teladan yang baik, karena anak
Roy berhati-hati menaiki tangga dengan pegangan besi yang mengkilat kuning keemasan. Rumah yang kelewat mewah baginya. Dia akan segan tinggal di sana meski sekarang dirinya sebagai menantu di rumah itu.Penampakan lantai dua yang tak kalah mewah seperti lantai bawah. Ada tiga kamar di tingkat dua. Ada ruang keluarga dan ruang tamu dengan sofa bergaya country warna pastel. Tampak elegan menyatu dengan cat tembok warna putih dan standing lamp yang diletakkan di antara sofa.Nency membuka pintu kamarnya. Mereka langsung di suguhkan oleh suasana kamar yang di dekorasi sedemikian rupa. Ranjang besar berseprai putih dengan kombinas batik yang menjadi rampelnya. Kelopak mawar berbentuk hati di hias tepat di tengah-tengah tempat tidur. Ada buket bunga yang diletakkan di setiap pojok ruangan. Juga gorden jendela berwarna kuning keemasan. Sangat kontras dengan kamar Roy yang sederhana di rumah bapaknya.Wangi vanila memenuhi segenap penjuru ruangan. Menghipnotis pengantin baru dalam sensasi yan
Nency membongkar hadiah dari Jingga. Senyum manis terukir di bibirnya saat memegang kain berbahan silk yang halus dan lembut. Sebuah lingerie backless model terusan, atasan berbentuk singlet dengan tali kecil di pundak. Meski tanpa hiasan pita atau pun renda justru menampakkan kesan sederhana, tapi elegan. Selera Jingga bagus juga, gumamnya.Sebenarnya dia telah menyiapkan lingerie untuk malam pertamanya. Nency memilih warna lingerie merah menyala dari koleksi butiknya. Tapi sekarang ia tergoda untuk memakai hadiah dari Jingga. Mungkin besok dia akan memakai hadiah dari Embun yang dibeli wanita itu dari butiknya Miranda. Oh ya, Miranda belum tahu kalau dia dan Roy telah menikah. Waktu empat hari sejak papanya mengajak makan malam, membuatnya tidak sempat mengabari beberapa kenalan. Nanti saja, mereka akan di undang jika dirinya mengadakan resepsi.Pintu kamar terkuak perlahan, membuat Nency yang mematut diri di depan cermin terkesiap dan menoleh. Roy pun sama, kaget dengan penampilan
Buru-buru Roy meraih jaketnya yang tergeletak tidak jauh dari hijabnya Nency. Rupanya sang kakak ipar yang menelepon. Roy menggeser tombol hijau di layar ponselnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaikumsalam. Maaf Mas ganggu kamu. Cuman mau ngabari kalau Embun sudah melahirkan bayi perempuan sejam yang lalu.""Alhamdulillah. Kok Mas Andre baru ngabarin sekarang?""Sebenarnya waktu acara nikahanmu kemarin, Embun sudah merasakan mulas-mulas. Makanya Mas bawa dia langsung ke dokter Sonia. Setelah diperiksa dokter bilang memang sudah waktunya lahiran. Tapi kami disuruh pulang saja dulu. Ternyata habis sarapan tadi pagi mulai ada flek. Akhirnya Mas bawa ke klinik. Mas tidak langsung ngabari kamu karena kalian masih suasana pengantin baru. Nanti mengganggu pula.""Mas, bisa aja. Ya udah nanti aku dan Nency datang ke klinik.""Tidak harus sekarang. Mas hanya ngabari saja. Bapak, ibu, dan Rini juga ada di sini sekarang.""Oke, aku akan ke sana. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Roy m
Fariq terkejut dengan pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Nomer asing yang mengirimkan foto-foto masa lalunya dengan Karina. Bahkan foto saat mereka sedang berada di atas ranjang. Foto saat perempuan itu tengah memeluknya di kamar. Ternyata Karina masih menyimpan foto-foto mereka. Foto yang tentunya diambil oleh Karina tanpa sepengetahuannya. Entah di mana dia meletakkan ponsel untuk mengambil gambar secara diam-diam. Fariq tidak heran. Dulu Karina memang sering mengirimkan foto mereka pada Embun saat masih hidup berpoligami. Tapi kenapa wanita itu kembali mengusiknya? Disaat tidak ada hubungan apa-apa lagi dengannya. Kekonyolan Karina yang bisa mengancam ketenangannya bersama Jingga.Fariq segera memblokir nomer perempuan itu ketika pintu kamar terbuka dan Jingga masuk. Istrinya tersenyum semringah. Dia seperti tidak sabar agar malam segera berganti pagi. Sebab besoknya mereka akan berangkat ke Nganjuk. Sore tadi waktu Fariq, Jingga, dan Bu Salim menjenguk Embun dan bayinya, merek
Langit kota bayu cerah pagi itu. Sebuah motor sport warna hitam 250 CC melintas cepat melewati Jalan Mastrip, terus melaju ke selatan dan berhenti di perempatan lampu merah Ganung Kidul. Sang pengemudi membuka kaca helm teropongnya lantas berbicara dengan wanita yang sedang di bocengnya. "Mau berhenti minum dulu?"Anggukan kepala sang wanita yang tak lain adalah Nency sudah menjadi jawaban. Roy kembali menutup kaca helm-nya. Lantas kembali melaju dan mengambil jalur kiri karena hendak menepi.Motor berbalik arah kembali ke utara, sampai di perempatan Ganung tadi mengambil arah belok kiri. Melaju terus dan di pertigaan Jalan Diponegoro belok kanan lalu berhenti di sebuah warung tenda pinggir jalan yang penuh antrian pengunjung.Seorang tukang parkir mengarahkan Roy untuk memarkir motornya di depan parkiran mobil yang berderet memanjang di tepian jalan.Nency turun lebih dulu. Melepaskan helm dan menaruh ransel yang dibawanya di tikar yang dibentangkan di trotoar. Roy menyusul dan dudu
Nency menarik napas dalam-dalam. "Oke. Mungkin bagi kalian baik saja nggak cukup. Tapi bagiku sudah cukup. Sebab aku lebih memilih hidup damai daripada puluhan tahun ke depan hidupku dipenuhi drama perselingkuhan pasangan. Soal kebutuhan ekonomi, kita bisa cari sama-sama. Toh aku juga punya usaha. Setiap orang punya cara pandang yang berbeda, bestie. Mungkin kalian memiliki keputusan nggak apa-apa diselingkuhi yang penting segala kebutuhan terpenuhi. Kalau aku nggak. Aku nggak mau pasanganku meniduri perempuan lain selain aku. Titik. Kita juga tahu kan lelaki zaman sekarang. Nggak hanya cukup memiliki satu perempuan. Dan aku yakin, my man nggak seperti itu.""Well, aku jadi penasaran dengan Roy.""Nggak usah tahu deh, aku takutnya kalian bakalan jatuh cinta sama dia," sergah Nency."Hilih," sahut seorang gadis berambut pirang sambil mencebik. "Seganteng apa sih dia? Apa setampan Omar Borkan Al Gala? Sampai segitunya kamu memujanya.""Kalau dia seperti Omar Borkan, ya bukan aku lagi se