"Mbak Nency, akan pergi berapa hari?" tanya Ida. Karyawan butik yang sangat dipercaya oleh Nency. Saat itu Nency sedang membenahi hijabnya di depan cermin di ruangannya."Mungkin tiga hari, Da. Selasa aku sudah pulang. Jaga butik baik-baik, jaga teman-temanmu juga," pesan Nency sambil meraih tali tas ransel dan menaruhnya di punggung. Tidak ketinggalan tas selempang warna hitam juga di bawanya. "Aku pergi dulu, ya!" pamitnya setelah membalas pesan dari taksi online yang sudah menunggunya di luar mall."Hati-hati ya, Mbak!"Nency tersenyum. Kemudian melangkah keluar butik. Menuruni ekslator lantai tiga, lantai dua, hingga turun di lantai dasar. Masuk sebuah taksi yang sudah menunggu dan akan mengantarkannya ke terminal bis.Hari Sabtu sebenarnya butik cukup ramai, harusnya ia tidak meninggalkannya. Mestinya ia menunda kepergiannya hari lain saja. Akhir pekan begini pasti banyak pengunjung. Tadi sekilas ia juga melihat butik Miranda juga ramai pelanggan. Akan tetapi Miranda tidak perna
Dingin, kabut, dan suara tonggeret menyatu dengan derasnya air terjun Sedudo. Airnya jernih terjun bebas dari tebing setinggi 105 meter yang tegak menjulang. Di persekitaran ditumbuhi lumut dan beberapa tanaman merambat lainnya.Roy berdiri sambil memandang air terjun yang suaranya menggema. Pengunjung sangat ramai minggu pagi itu. Ada beberapa orang yang mandi di bawah air terjun. Termasuk Adam dan kedua putranya sudah turun bergabung mandi dengan pengunjung lainnya."Kamu tidak ingin mandi?" tanya Fariq yang berdiri di sebelah Roy. Kebetulan mereka hanya pergi berempat. Laras dan Jingga berada di rumah."Iya, sebentar lagi, Mas.""Makin siang pengunjung semakin ramai, Roy. Ke sini kalau tak mandi rugi. Konon katanya mandi di air terjun bisa membuat awet muda. Kamu nggak ingin awet muda?" "Awet muda juga awet jomblo, Mas." Kedua laki-laki itu tertawa ringan. "Bisa aja kamu," sergah Fariq. "Ayo, sarapan dulu!" ajak Fariq menuju seorang penjual makanan yang ada di area air terjun.
Nency menunduk sejenak, kemudian memperhatikan para pengunjung yang baru keluar dari kamar ganti. Saat itu dia melihat sosok yang juga dikenalnya. Fariq. Jadi ....Kembali Nency melihat ke arah Roy. Benar saja, itu Roy. Fariq menghampiri laki-laki itu dan mengajaknya bicara. Nency tidak hanya berdebar-debar tapi juga gemetar. Gadis itu menggeser duduknya menghadap ke arah lain. Jarak mereka hanya terpaut sekitar sepuluh meter saja. Mau pergi dari sana, takutnya Umi mencari-cari dirinya. Jaringan telepon pun tidak ada sama sekali.Ketika ingin melupakan, ketika ingin mencari ketenangan, justru ia bertemu dengan Roy di tempat yang tidak pernah diduga sebelumnya. Walaupun ingin, tapi ia tidak akan menemui laki-laki itu. Jika tidak menjauh, dia tak akan pernah bisa melupakan. Padahal itu yang ia inginkan. Toh, Roy pun sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan mereka setelah papanya menolak untuk kali kedua."Cy," panggil Umi sambil mengulurkan seporsi kerupuk pecel dan meletakkan
Nency tampak tertegun sejenak. Memikirkan penawaran Roy. Bukankah ini sebuah kesempatan bersama pria itu ketika jauh dari keluarga? Tapi tentunya akan membuatnya makin susah melupakan. Gadis itu sudah membulatkan tekad untuk tidak memiliki hubungan apa lagi dengan Roy, meski hanya sekedar berteman."Kami pulang sore ini juga. Gimana?" Roy tidak tega membiarkan Nency pulang sendirian naik bis. Walaupun mungkin hal itu sudah biasa bagi Nency."Nggak usah, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri," tolak Nency tanpa memandang Roy. Apa yang dilakukannya hanya demi menyelamatkan perasaannya sendiri agar tidak berlarut-larut mencintai lelaki di depannya ini. Jika tidak menjauh, akan mempersulit dirinya sendiri."Kamu nggak hanya berdua denganku saja. Tapi ada Mas Fariq dan Jingga." "Enggak, makasih. Aku sudah bilang sama orang tuaku kalau kita nggak akan berhubungan lagi meski hanya berteman. Jika mereka tahu aku ikut denganmu, papaku akan mengganggumu lagi." Nency menjelaskan tanpa menatap p
Aditya yang sedang membersihkan dalaman mobilnya tampak tertegun memerhatikan Jingga dan Fariq turun dari mobil yang berhenti di halaman rumah Pak Saman. Sebelum pulang Fariq memang mengajak istri dan Roy mampir sebentar di rumah kontrakan untuk tempat tinggal para pekerja proyek.Kebetulan ada juga Bu Lurah yang berbincang dengan seorang wanita di kursi kayu jati yang berada di rumah Joglonya, mereka juga memandang ke arah Jingga.Fariq menggandeng sang istri menghampiri wanita itu. Bagaimanapun juga, Fariq harus menyapa. Dulu dia datang sebagai tamu yang akan bekerja di wilayah Pak Lurah. "Assalamu'alaikum, Bu." Fariq menyalami Bu Samsul diikuti oleh Jingga "Wa'alaikumsalam. Apa kabar Mas Fariq?""Alhamdulillah, kabar baik, Bu."Aditya juga meninggalkan pekerjaannya, lantas turut menyambut Fariq dan Jingga. Tangan lelaki itu terasa dingin di telapak tangan Jingga. Pandangannya singgah sekilas pada perut mantan kekasihnya yang membesar. Ada denyut nyeri terasa hingga ke dasar hati.
Dandan cantik? Dandan yang bagaimana? Nency memilih baju yang ada di lemari kamarnya. Dia tidak membawa banyak baju dari rumah. Meski pemilik butik, dirinya juga jarang mengambil pakaian dagangannya sendiri.Harus pakai apa sekarang? Kaftan, abaya, gamis, atau tunik? Sementara di lemarinya hanya ada gamis dan tunik saja. Kaftan, abaya-nya tidak di bawa. Apa dia pulang saja dan berganti baju di rumah?Sambil memilih pakaian, Nency memikirkan ada acara apa sebenarnya di rumah. Hari ini bukan ulang tahun siapapun. Juga bukan hari anniversary kedua orang tuanya. Dia ingat tanggal-tanggal spesial yang biasa dirayakan bersama.Akhirnya ia mengambil gamis warna soft pink polos dipadukan dengan outer crop top warna putih dengan corak bunga sakura warnah soft pink juga. Jilbab warna putih. Rasanya cocok untuk menghadiri dinner keluarga. Toh mamanya tidak bilang dinner dalam rangka apa. Beliau hanya meminta untuk dandan secantik mungkin.Mungkinkah ia akan kembali dijodohkan? Tapi dengan siapa?
Malam itu rembulan menampakkan diri di langit malam, setelah sore tadi sempat gerimis sebentar. Nency mengajak Roy duduk di gazebo di samping rumahnya. Gadis itu membawakan dua gelas teh hangat dan setoples cemilan."Aku ingin tahu ceritanya, bagaimana papa bisa mengundangmu makan malam. Bahkan merencanakan lamaran tanpa memberitahuku lebih dulu?" Nency tidak sabar untuk mendengar cerita dari Roy. Dia tidak ingin kebahagiaan yang sempat dirasakan tadi akan kandas lagi. Tiga tahun di tolak, tentu tidak begitu mudah mempercayai sang papa. "Tiga mingguan ini Om Aziz beberapa kali menemuiku di bengkel. Yang pertama ngajak ngopi, kedua ngajak makan siang, dan tiga hari yang lalu ngajak makan malam. Beliau minta maaf atas perlakuannya selama ini. Beliau sangat kehilangan ketika kamu pergi dari rumah. Satu lagi yang membuat beliau sadar, ternyata Mbak Heni nggak sebahagia yang beliau kira selama ini. Soal Mbak Heni, kamu bisa tanyakan langsung pada papamu atau pada Mbak Heni sendiri. Maaf,
Karina menyalami Fariq. Jingga yang bersitatap dengan Karina mengangguk sambil tersenyum ramah. Dia yang belum pernah bertemu Karina, mengira kalau wanita itu kenalan suaminya.Sejenak Jingga takjub dengan kecantikan wanita itu. Putih, semampai, rambutnya tergerai sebahu dengan ujungnya yang curly. "Kenalkan, ini Jingga istriku." Fariq mengenalkan Jingga pada mantan istrinya. Lagi-lagi Jingga tersenyum ramah sambil menyalami wanita itu. Sedangkan Karina memandang lekat Jingga. Otaknya secepat kilat memberikan banyak penilaian terhadap sosok yang memakai jilbab warna biru. Sederhana. Satu kesimpulan yang diambilnya. Bahkan terlalu sederhana untuk bersanding dengan pria eksekutif seperti Fariq."Aku Karina mantan istrinya Mas Fariq." Karina tersenyum penuh percaya diri. Tentu dia percaya diri, dilihat dari segi penampilan fisik yang glamor, jelas saja Jingga kalah. Rok plisket yang panjangnya selutut mengekspos sempurna betis mulusnya. Lampu rumah makan yang terang benderang telah mena