"Aku pun nggak bisa konsentrasi kerja sekarang ini. Mama juga bolak-balik nelepon.""Mbak Heni, tahu teman-teman Nency di luar kota? Teman dekatnya. Biar aku cari ke sana.""Aku kenal beberapa temannya, hanya saja aku nggak tahu alamat pastinya. Ada yang di Nganjuk, Malang, dan Kediri. Tapi mereka masih berhubungan sampai sekarang atau nggak. Mereka kan teman kuliahnya sepuluh tahun yang lalu."Roy menghela napas panjang. "Roy, aku ada urusan dengan klien. Aku sudahi dulu teleponnya. Nanti kalau ada kabar apapun, tolong kabari aku secepatnya. Assalamu'alaikum.""Ya, Mbak. Wa'alaikumsalam."Roy masih diam di atas motornya. Ke mana lagi harus mencari Nency? Mungkinkah keputusannya tadi malam itu adalah sebuah kesalahan. Ia asal bicara tanpa mempedulikan perasaan gadisnya. Padahal hatinya sendiri merasa sangat tersiksa. Bahkan semalaman Roy pun tidak bisa tidur. Apalagi kepikiran Nency yang salah paham. Selain dengan Nency dia tidak menyukai gadis lain. Meskipun ada yang berusaha menari
"Bagaimana keadaan, Mbak?" tanya Aisyah memulai percakapan setelah beberapa saat mereka terjebak rasa canggung.Miranda tersenyum, meski sangat kaku dalam situasi seperti ini. Kehadiran mereka hanya menambah daftar panjang rasa malu dan perasaan bersalahnya. Harusnya ia berhati-hati menyetir, harusnya ia jangan sampai kecelakaan. Jika sudah begini, hendak ditaruh mana mukanya. Apalagi Yuda tampak tidak peduli. Bahkan menatapnya saja hanya sekilas tadi. Sebenarnya Yuda juga iba, tapi ada hati yang harus ia jaga. Aisyah, perempuan yang selalu ada disaat dia melewati masa tersulit dalam hidupnya. Gadis yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi."Alhamdulillah, sudah mendingan. Terima kasih ya, sudah datang," jawab Mahika sambil menatap gadis anggun di sebelah Yuda."Syukurlah. Kemarin waktu pulang dari mengajar, saya melihat mobil Mbak Mahika di jalan tengah sawah. Saya tanya pada orang di sawah, katanya Mbak di bawa ke puskesmas. Tapi kami baru sempat ke sini pagi ini." Sungguh,
Embun, mungkin rasa itu telah luntur. Yang tersisa kini, bahwa wanita itu pernah menjadi bagian dari hidup Fariq, dulu. Dan sekarang mereka masih bisa berhubungan baik layaknya saudara. "Mbak Jingga belum bisa dihubungi, Pak Fariq?" Pertanyaan Pak Bagus membuyarkan lamunan sekaligus membuat pria itu menoleh."Belum, Pak.""Nggak usah cemas, biasa wanita hamil seperti itu. Perasaannya berkali-kali lipat sensitifnya. Istri saya waktu hamil anak pertama kami yang sekarang umur tujuh belas tahun juga begitu. Dikit-dikit sensi, terus diem, nanti baikan lagi. Tapi setelah kehamilan anak yang nomer dua dan tiga, dia seperti nggak butuh saya. Apa-apa dikerjakan sendiri. Mungkin karena tuntutan keadaan juga. Anak yang besar masih butuh perhatian sudah mau punya adik lagi. Harus ngantar sekolah, ngladeni dan ngajak anak bermain di rumah, sementara saya sibuk dengan pekerjaan. Semua akan melalui fase-fase tersendiri, Pak Fariq.""Ya, Pak.""Wajar juga kalau cemburu. Bukankah cemburu juga tandan
"Riq, kamu pulang, Nak?" tanya Bu Salim kaget saat melihat putranya masuk rumah setelah Sumi membukakan pintu. Padahal kemarin bilang kalau mau di sana beberapa hari lagi."Iya, Ma," jawab Fariq sambil mencium tangan sang mama, lantas melepaskan jaketnya."Katanya lusa baru pulang?""Besok aku balik lagi. Jingga apa sudah tidur, Ma?" tanya Fariq seraya menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat. Mereka memang sudah pindah ke kamar lantai bawah. Bersebelahan dengan kamarnya Bu Salim."Jam delapan tadi dia udah masuk kamar."Fariq memandang jam dinding yang menunjukkan pukul 21.15. Kemudian langsung menuju kamar mandi belakang untuk membersihkan diri. Setelah itu masuk ke kamarnya. Pintu tidak dikunci. Fariq mendorong dan menutupnya lagi secara perlahan, karena tidak ingin mengganggu istrinya yang sudah terlelap di pembaringan.Rambutnya dibiarkan terurai ke atas. Selimut hanya menutup sebatas perutnya saja. Tampak tenang sekali wajah itu. Tidak ada kemarahan tersisa di sana. Fariq mera
"Mas, pulang?""Kamu kan yang bikin Mas harus pulang. Kenapa seharian tidak menjawab pesan atau pun telepon dari Mas?"Jingga tidak menjawab, perempuan itu malah menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Fariq makin gemas. Ditariknya pelan selimut hingga wajah yang menyembunyikan senyum itu terlihat. Fariq mengernyit, sadar sedang dipermainkan istrinya. "Mas khawatir begini kamu anggap bercanda?"Senyuman dan tatapan bening mata Jingga menjawab pertanyaan itu. Fariq makin mendekat dan habislah sang istri dengan kecupan dan cumbuannya. Memaksanya bercinta adalah hukuman yang manis buat Jingga."Maafkan papa. Papa harus memberikan pelajaran pada mama kamu," ucapnya sambil mengecup sayang pada bayi yang ada di perut Jingga. Lantas menarik selimut hingga sebatas dada mereka. Membawa kepala sang istri agar rebah di lengannya seperti biasa."Jadi sebenarnya, Sayang, udah nggak marah sama Mas?"Jingga tersenyum sinis, senyuman yang sangat di sengajanya. "Siapa bilang aku nggak marah, Mas? Ak
Ruang tamu yang cukup luas di rumah Bu Salim sudah di sulap penuh warna menjelang sore itu. Balon dua warna, biru dan merah muda di rangkai indah menjadi dekorasi di salah satu sisi dinding. Semerbak bunga mawar putih melengkapi sore yang gerimis.Kue tart dua warna yang melambangkan dua gender ada di atas meja bulat, tepat di depan dekorasi balon. Tidak banyak tamu yang di undang. Hanya kerabat dekat Fariq, Andrean sekeluarga, Adam, Laras, dan dua putranya. Juga ada beberapa rekan kerja Fariq. Sigit dan keluarganya. Erwin stafnya dan dokter andrologi yang menjadi sahabatnya. Tidak ketinggalan Roy yang datang tanpa Nency. Di saat mereka bergembira, hanya Roy yang tersenyum menyimpan luka. Dia lebih menyibukkan diri dengan kedua keponakannya untuk menghindari pertanyaan beberapa kenalan yang akan menanyakan keberadaan gadis itu.Acara gender reveal party dibuat sangat singkat, karena habis Maghrib nanti ada pengajian khusus bapak-bapak komplek perumahan mereka. Sebenarnya Fariq tidak
"Mbak Nency, akan pergi berapa hari?" tanya Ida. Karyawan butik yang sangat dipercaya oleh Nency. Saat itu Nency sedang membenahi hijabnya di depan cermin di ruangannya."Mungkin tiga hari, Da. Selasa aku sudah pulang. Jaga butik baik-baik, jaga teman-temanmu juga," pesan Nency sambil meraih tali tas ransel dan menaruhnya di punggung. Tidak ketinggalan tas selempang warna hitam juga di bawanya. "Aku pergi dulu, ya!" pamitnya setelah membalas pesan dari taksi online yang sudah menunggunya di luar mall."Hati-hati ya, Mbak!"Nency tersenyum. Kemudian melangkah keluar butik. Menuruni ekslator lantai tiga, lantai dua, hingga turun di lantai dasar. Masuk sebuah taksi yang sudah menunggu dan akan mengantarkannya ke terminal bis.Hari Sabtu sebenarnya butik cukup ramai, harusnya ia tidak meninggalkannya. Mestinya ia menunda kepergiannya hari lain saja. Akhir pekan begini pasti banyak pengunjung. Tadi sekilas ia juga melihat butik Miranda juga ramai pelanggan. Akan tetapi Miranda tidak perna
Dingin, kabut, dan suara tonggeret menyatu dengan derasnya air terjun Sedudo. Airnya jernih terjun bebas dari tebing setinggi 105 meter yang tegak menjulang. Di persekitaran ditumbuhi lumut dan beberapa tanaman merambat lainnya.Roy berdiri sambil memandang air terjun yang suaranya menggema. Pengunjung sangat ramai minggu pagi itu. Ada beberapa orang yang mandi di bawah air terjun. Termasuk Adam dan kedua putranya sudah turun bergabung mandi dengan pengunjung lainnya."Kamu tidak ingin mandi?" tanya Fariq yang berdiri di sebelah Roy. Kebetulan mereka hanya pergi berempat. Laras dan Jingga berada di rumah."Iya, sebentar lagi, Mas.""Makin siang pengunjung semakin ramai, Roy. Ke sini kalau tak mandi rugi. Konon katanya mandi di air terjun bisa membuat awet muda. Kamu nggak ingin awet muda?" "Awet muda juga awet jomblo, Mas." Kedua laki-laki itu tertawa ringan. "Bisa aja kamu," sergah Fariq. "Ayo, sarapan dulu!" ajak Fariq menuju seorang penjual makanan yang ada di area air terjun.