Author's POVBayangan peristiwa semalam membuat Hendriko susah konsentrasi pada pekerjaan. Akhirnya ia sampai juga pada titik itu. Yang tentunya akan menjadi titik balik hubungannya dengan Miranda.Ia termenung, membiarkan perlengkapan menggambarnya masih berserakan di atas meja, bahkan komputernya juga masih menyala. Padahal dia harus segera menyelesaikan desain gambar itu untuk membuktikan bahwa ia layak di perhitungkan. Di perhitungkan oleh perusahaan keluarganya sendiri. Secara tidak langsung ia tertantang untuk berkompetisi pada dirinya sendiri.Diraihnya ponsel yang berpendar dan tergeletak di sebelah keyboard. Ada pesan masuk dari mamanya.[Mama ingin bertemu kamu sepulang kerja nanti, Hen.]Hendriko meletakkan kembali ponsel tanpa berniat membalasnya.Jujur, nalurinya sebagai anak ia kasihan dengan mamanya. Dia menyayangi wanita yang melahirkannya itu. Tapi ego telah membuatnya bertindak sebaliknya. Iba dan kecewa kadarnya sama besarnya.Diambilnya sebuah undangan yang baru di
Author's POV Andrean melambatkan langkah ketika melihat seorang wanita memakai kerudung hitam berjongkok di samping makam mamanya.Ia akhirnya berhenti beberapa meter dari makam. Memperhatikan sosok itu dari belakang. Sama sekali ia tidak mengenali wanita berpakaian longgar warna hitam, senada dengan kerudung yang dipakainya. Di luar ada beberapa mobil dan motor yang terparkir. Namun ia tidak memperhatikan tadi. Jadi tidak bisa menduga siapakah wanita yang sedang ziarah ke makam sang mama.Di pandangnya ke angkasa, mendung kelabu menggantung dan siap menurunkan hujan. Jadi dia pun harus cepat-cepat dan pulang. Andrean melangkah mendekat. Pada saat yang bersamaan sosok itu pun menoleh dan mereka beradu pandang. "Tante," sebut Andrean lirih.Bu Evi langsung berdiri dan memeluk keponakannya. Menangis di dada Andrean yang terbalut kemeja warna hitam. Membuat beberapa peziarah memperhatikan.Wanita itu terus terisak dan membuat Andrean bingung. Diajaknya Bu Evi duduk di sebuah bangku seme
Author's POV Andrean membenahi kelambu box bayi yang tersingkap. Dia melihat putranya tidur dengan lelap setelah kenyang minum ASI. Tapi nanti sekitar jam satu pasti terbangun dan terkadang begadang sampai menjelang subuh. "Begitulah bayi baru lahir, Mas. Biasanya sampai umur sebulan lebih ngajakin begadang" kata Mbok Darmi memberitahunya. Dan Andrean menikmati momen itu. Dia tidak akan melepaskan sedikit pun prosesnya hingga anaknya besar nanti.Pandangannya beralih pada Embun yang terlelap. Perlahan ia mendekat hendak mengecup keningnya, tapi diurungkan. Takut istrinya kaget dan terbangun. Kasihan, dia kelihatan capek.Andrean berbaring di sebelah sang istri. Teringat pertemuannya dengan kedua tantenya tadi di makam. Pertemuan yang akhirnya mengungkap sisi lain masa lalu mamanya. Ternyata ada juga orang yang mendukung sebuah perselingkuhan, walaupun jelas itu adalah hal yang salah. Hanya demi persahabatan.Harusnya ia tidak perlu mengingatnya lagi. Itu sudah menjadi masa lalu. Nam
Author's POVMiranda duduk sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Bandannya terasa sakit semua. Jujur, sejak sah menjadi istri tiga bulan yang lalu, ia memang menunggu momen ini. Namun yang di dapatkan justru lebih dari yang ia harapkan selama ini. Dua malam dibuat tidak berkutik oleh sang suami. Hendriko bukan pacar pertamanya, tapi lelaki itu cinta pertamanya. Miranda tersenyum simpul sambil menyisir rambut. Mereka memulai babak baru dalam rumah tangganya, di tengah guncangan permasalahan kedua orang tuanya.Di raih ponsel miliknya yang berpendar. [Mir, Hendriko mana?] Pesan dari Mama Salwa. Ia termenung lama sambil membaca berulang pesan yang di kirim jam dua malam. Mungkin ketika mereka tengah asyik bercinta. Karena ia sempat melihat ponselnya berpendar saat sedang memadu cinta.[Mira, Papa ingin bertemu dan bicara sama kamu.] Pesan dari papanya dan ia malas membalasnya. Terlihat di pojok kiri atas masih ada tulisan 'online'. Tentu sang papa masih menunggu pesan balasannya.M
Author's POVAcara aqiqah baby Kalandra berjalan dengan lancar. Andrean tidak mengundang banyak orang. Hanya kerabat dekat dengan beberapa rekan bisnisnya saja. Juga anak-anak panti asuhan beserta pengurusnya.Pukul sembilan malam yang tertinggal di sana hanya Hendriko, Miranda, dan Bu Evi. Keluarga Tante Verra baru saja pamitan berbarengan dengan Pak Darmawan. Pria itu datang tanpa istrinya."Jadi kamu belum menjenguk Mama Salwa?" tanya Andrean pada sang adik ketika mereka duduk berdua minum kopi di teras depan. Tadi papanya sudah cerita kalau Bu Salwa jatuh di depan kamar mandi dan mengalami stroke dan sekarang menjalani perawatan di rumah sakit.Hendriko menggeleng."Kenapa?"Hendriko diam."Mamamu butuh support dari kamu."Hendriko mendesah panjang. Dia heran dengan sikap kakaknya yang masih peduli. Meski hanya sekedar dengan kata-kata."Papa sudah memberitahumu tadi, kalau Mama Salwa rindu dan ingin bertemu sama kamu. Datanglah sebagai putranya. Bukan sebagai orang yang menghakim
Author's POVEmbun mungkin akan menjadi satu-satunya wanita yang tidak pernah bisa ia lupakan. Kekasihnya sepanjang hayat. Sekuat apa ia mencoba, tapi cintanya tidak bisa pudar begitu saja. Meski ia sudah tahu kalau Embun sekarang sedang berbahagia dengan pria yang jauh lebih sempurna dari dirinya. Fariq sangat berharap bahwa program bayi tabung ini akan berhasil. Semoga bayi itu bisa membuatnya lupa akan sosok Embun. Dia pun tidak ingin selamanya memendam cinta pada perempuan yang sudah menjadi istri pria lain.Hujan menggiringnya pada kenangan demi kenangan saat itu. Ketika menghabiskan waktu bersama di tengah suasana hujan dengan wanita yang telah merebut semua cintanya. "Mas!" teriak Karina dari dalam kamar. Fariq berdiri dan menghampiri istrinya yang sudah duduk menunduk di tepi pembaringan."Kepalaku sakit sekali." Karina memegangi kepalanya sebelah kanan."Apa kita perlu ke dokter?""Nggak usah. Dokter sudah bilang kalau ini efek sampingnya, kan?""Aku buatkan teh hangat dulu
Author's POVSenyum Bu Salwa terlihat sinis, karena pengaruh dari bibirnya yang miring sebelah. Rasa hati ingin memanggil nama putranya, tapi tidak ada suara yang keluar. Kata Pak Darmawan bicaranya sang istri sudah pelo. Kondisi tubuhnya lemah pada salah satu sisi badan. Dan sekarang sedang di tangani oleh dokter spesialis terbaik di rumah sakit itu.Air mata mengalir dari sudut netra Bu Salwa. Bu Atun yang menemani sejak kemarin segera mengambil tisu dan mengelapnya. Miranda juga lebih mendekat dan mengusap lengan mama mertuanya."Sejak kemarin, Nyonya nyariin Mas Hendriko terus," ucap Bu Atun sambil mengelap air mata majikannya. Dan Hendriko hanya memandang wanita yang mengajaknya bicara.Dia enggan bersuara. Perasaannya tak menentu. Antara iba dan kecewa. Anak mana yang tega melihat wanita yang melahirkannya sakit seperti itu. Wanita yang telah menghujaninya dengan kasih sayang. Namun dibalik semua itu, ada anak yang kehilangan kasih seorang ibu.Tangan Bu Salwa hendak meraih put
Fariq berdebar-debar menunggu Karina keluar dari kamar mandi. Pagi itu mereka melakukan tes kehamilan secara instan. Di atas meja rias ada tiga bungkus testpack dengan merk berbeda.Entah sudah berapa kali ia menanti moment seperti ini ketika bersama Embun dulu. Tiap terlambat haid, Embun melakukan tes. Dan Fariq akan menunggunya di luar kamar. Mendebarkan, meresahkan, dan penuh harapan. Kemudian berakhir kecewa. Fariq akan memeluk dan membesarkan hati Embun. Mengatakan, tanpa kehadiran anak pun, ia akan tetap mencintainya.Ingatan itu membuat Fariq menghela nafas panjang, kemudian berdiri. Mondar-mandir di depan pintu kamar mandi sambil menyugar kasar rambutnya.Hingga pintu kamar mandi terbuka, muncul Karina dengan wajah kecewa. "Bagaimana?" tanya Fariq tidak sabar.Karina menggeleng kemudian duduk di tepi pembaringan. "Negatif," ucapnya lirih.Seperti yang sudah-sudah. Fariq memberikan pelukan sambil mengusap punggung istrinya. Program kali ini gagal. Tiga testpack berharga mahal