Author's POVAcara aqiqah baby Kalandra berjalan dengan lancar. Andrean tidak mengundang banyak orang. Hanya kerabat dekat dengan beberapa rekan bisnisnya saja. Juga anak-anak panti asuhan beserta pengurusnya.Pukul sembilan malam yang tertinggal di sana hanya Hendriko, Miranda, dan Bu Evi. Keluarga Tante Verra baru saja pamitan berbarengan dengan Pak Darmawan. Pria itu datang tanpa istrinya."Jadi kamu belum menjenguk Mama Salwa?" tanya Andrean pada sang adik ketika mereka duduk berdua minum kopi di teras depan. Tadi papanya sudah cerita kalau Bu Salwa jatuh di depan kamar mandi dan mengalami stroke dan sekarang menjalani perawatan di rumah sakit.Hendriko menggeleng."Kenapa?"Hendriko diam."Mamamu butuh support dari kamu."Hendriko mendesah panjang. Dia heran dengan sikap kakaknya yang masih peduli. Meski hanya sekedar dengan kata-kata."Papa sudah memberitahumu tadi, kalau Mama Salwa rindu dan ingin bertemu sama kamu. Datanglah sebagai putranya. Bukan sebagai orang yang menghakim
Author's POVEmbun mungkin akan menjadi satu-satunya wanita yang tidak pernah bisa ia lupakan. Kekasihnya sepanjang hayat. Sekuat apa ia mencoba, tapi cintanya tidak bisa pudar begitu saja. Meski ia sudah tahu kalau Embun sekarang sedang berbahagia dengan pria yang jauh lebih sempurna dari dirinya. Fariq sangat berharap bahwa program bayi tabung ini akan berhasil. Semoga bayi itu bisa membuatnya lupa akan sosok Embun. Dia pun tidak ingin selamanya memendam cinta pada perempuan yang sudah menjadi istri pria lain.Hujan menggiringnya pada kenangan demi kenangan saat itu. Ketika menghabiskan waktu bersama di tengah suasana hujan dengan wanita yang telah merebut semua cintanya. "Mas!" teriak Karina dari dalam kamar. Fariq berdiri dan menghampiri istrinya yang sudah duduk menunduk di tepi pembaringan."Kepalaku sakit sekali." Karina memegangi kepalanya sebelah kanan."Apa kita perlu ke dokter?""Nggak usah. Dokter sudah bilang kalau ini efek sampingnya, kan?""Aku buatkan teh hangat dulu
Author's POVSenyum Bu Salwa terlihat sinis, karena pengaruh dari bibirnya yang miring sebelah. Rasa hati ingin memanggil nama putranya, tapi tidak ada suara yang keluar. Kata Pak Darmawan bicaranya sang istri sudah pelo. Kondisi tubuhnya lemah pada salah satu sisi badan. Dan sekarang sedang di tangani oleh dokter spesialis terbaik di rumah sakit itu.Air mata mengalir dari sudut netra Bu Salwa. Bu Atun yang menemani sejak kemarin segera mengambil tisu dan mengelapnya. Miranda juga lebih mendekat dan mengusap lengan mama mertuanya."Sejak kemarin, Nyonya nyariin Mas Hendriko terus," ucap Bu Atun sambil mengelap air mata majikannya. Dan Hendriko hanya memandang wanita yang mengajaknya bicara.Dia enggan bersuara. Perasaannya tak menentu. Antara iba dan kecewa. Anak mana yang tega melihat wanita yang melahirkannya sakit seperti itu. Wanita yang telah menghujaninya dengan kasih sayang. Namun dibalik semua itu, ada anak yang kehilangan kasih seorang ibu.Tangan Bu Salwa hendak meraih put
Fariq berdebar-debar menunggu Karina keluar dari kamar mandi. Pagi itu mereka melakukan tes kehamilan secara instan. Di atas meja rias ada tiga bungkus testpack dengan merk berbeda.Entah sudah berapa kali ia menanti moment seperti ini ketika bersama Embun dulu. Tiap terlambat haid, Embun melakukan tes. Dan Fariq akan menunggunya di luar kamar. Mendebarkan, meresahkan, dan penuh harapan. Kemudian berakhir kecewa. Fariq akan memeluk dan membesarkan hati Embun. Mengatakan, tanpa kehadiran anak pun, ia akan tetap mencintainya.Ingatan itu membuat Fariq menghela nafas panjang, kemudian berdiri. Mondar-mandir di depan pintu kamar mandi sambil menyugar kasar rambutnya.Hingga pintu kamar mandi terbuka, muncul Karina dengan wajah kecewa. "Bagaimana?" tanya Fariq tidak sabar.Karina menggeleng kemudian duduk di tepi pembaringan. "Negatif," ucapnya lirih.Seperti yang sudah-sudah. Fariq memberikan pelukan sambil mengusap punggung istrinya. Program kali ini gagal. Tiga testpack berharga mahal
Author's POVBu Evi duduk berhadapan dengan madunya di ruang tamu. Di sofa lain, bocah kecil itu duduk di pangkuan papanya. Mereka sangat akrab. Seperti masa kecil Miranda dan Miranti yang sangat dekat dengan sang papa. Sekarang posisi itu sudah di gantikan gadis kecil yang dilahirkan oleh perempuan lain. Hati Bu Evi terguris dan tercabik-cabik. Pak Bagas juga gelisah, tapi harus tetap melayani anaknya.Nia menunduk dalam-dalam. Berulang kali ia minta maaf. Mengakui kesalahannya. Dia hanya ingin berdamai dengan Bu Evi.Namun semua yang diucapkan wanita muda itu hanya membuat Bu Evi tersenyum sinis. Tidak membalas dengan cacian, meski ingin rasanya menumpahkan sumpah serapah. Semua teredam saat teringat dengan masa lalu kakak iparnya. Teringat ketika Bu Salwa bertemu bertiga dengan Bu Lili dan Pak Darmawan. Seperti ini, ingin berdamai. Biar istri pertama rela berbagi suami.Ingatan itu begitu nyata di benak Bu Evi. Karena dirinya berada di pihak Bu Salwa yang di belanya dengan dalih se
Author's POVMiranda meletakkan ponsel dan menutupi wajah dengan kedua tangannya. Menangis hingga tubuhnya terguncang.Rangkulan hangat membuat Miranda menoleh. Hendriko menenangkan dengan mengusap lembut bahunya."Aku nggak ingin mereka bercerai," ucap Miranda parau. Kemarin-kemarin memang ia menyerahkan keputusan pada mamanya dan rela jika memang perpisahan yang akan mereka pilih. Namun setelah keputusan diambil, ia merasakan ketidakrelaan.Hendriko sendiri tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak bisa ikut campur dalam urusan mertuanya. Terlebih sang mama mertua yang telah curiga dengan pernikahannya sempat menegur kemarin. "Jika kamu memang nggak bisa hidup dengan Miranda seperti pasangan pada umumnya, biarkan dia kembali pada mama. Jangan sakiti dia, Hen."Sekarang ada cinta yang harus ia perjuangkan di tengah krisis kepercayaan tentang perasaan itu. Rumah tangga bukan untuk ujicoba, jika tidak cocok akan ditinggalkan dan digantikan. Tidak seperti itu. "Bagaimana jika papa dan mam
Author's POVMalam kian pekat bercampur dengan hujan deras yang mengguyur bumi. Hujan yang tenang tanpa angin dan gempuran guruh yang biasanya menggelegar seolah hendak mencambuk isi bumi.Hawa dingin menguar dan menenangkan. Menambah syahdu suasana malam."Aku susui Kalandra dulu, Mas," kata Embun terus beranjak mendekati box. Bayi yang tertidur pulas dibangunkan karena sudah waktunya minum susu. Suasana hujan membuat tidurnya cukup anteng. "Mas, mau ngecek pintu sama jendela dulu, ya." Andrean keluar kamar setelah mencium kening baby Kalandra.Setelah Andrean pulang kerja, Mbok Darmi sama Pak Karyo juga pulang ke rumahnya. Jadi tiap malam mereka hanya tinggal bertiga. Mbok Darmi sempat menemani hingga baby Kalandra hingga berusia satu bulan. Wanita itu menolak tinggal di rumah Andrean karena harus menjaga cucunya juga jika Cici mendapatkan kerja shift malam. Wanita itu bekerja di pabrik sepatu yang ada di kota kecil mereka.Andrean menyentuh kursi goyang di ruang tengah. Di mana ka
Author's POVAndrean menatap lurus langit-langit kamar yang terang. Mereka belum mematikan kembali lampu yang tadi dinyalakan Andrean ketika Kalandra terbangun."Suatu hari papa datang dan membawa Mas pada seorang perempuan yang akhirnya harus kupanggil 'Mama Salwa'. Awalnya Mas bahagia karena akan bertemu mama yang kurindukan selama ini. Waktu itu Mas masih sangat kecil, umur empat atau lima tahun. Namun momen itu masih bisa kuingat hingga kini. Mungkin karena rasa rindu itu, makanya peristiwa itu membekas jelas dalam kalbu. Nyatanya Mas salah. Dia bukan wanita yang bisa mengobati rinduku pada sosok ibu. Semakin lama kami bukan semakin dekat, tapi kami merasa asing dari waktu ke waktu. Sosok ibu hanya Mas temukan pada diri nenek dan Tante Verra.""Mas merasa bersalah pada Tante Verra. Mas pernah berprasangka buruk ketika dia sibuk mengatur hidupku. Nyatanya sekarang semua sudah terbuka. Mas paham maksudnya. Dia terlalu terluka oleh kenyataan pahit dalam hidup mama."Embun menggeser t