Author's POVEmbun mungkin akan menjadi satu-satunya wanita yang tidak pernah bisa ia lupakan. Kekasihnya sepanjang hayat. Sekuat apa ia mencoba, tapi cintanya tidak bisa pudar begitu saja. Meski ia sudah tahu kalau Embun sekarang sedang berbahagia dengan pria yang jauh lebih sempurna dari dirinya. Fariq sangat berharap bahwa program bayi tabung ini akan berhasil. Semoga bayi itu bisa membuatnya lupa akan sosok Embun. Dia pun tidak ingin selamanya memendam cinta pada perempuan yang sudah menjadi istri pria lain.Hujan menggiringnya pada kenangan demi kenangan saat itu. Ketika menghabiskan waktu bersama di tengah suasana hujan dengan wanita yang telah merebut semua cintanya. "Mas!" teriak Karina dari dalam kamar. Fariq berdiri dan menghampiri istrinya yang sudah duduk menunduk di tepi pembaringan."Kepalaku sakit sekali." Karina memegangi kepalanya sebelah kanan."Apa kita perlu ke dokter?""Nggak usah. Dokter sudah bilang kalau ini efek sampingnya, kan?""Aku buatkan teh hangat dulu
Author's POVSenyum Bu Salwa terlihat sinis, karena pengaruh dari bibirnya yang miring sebelah. Rasa hati ingin memanggil nama putranya, tapi tidak ada suara yang keluar. Kata Pak Darmawan bicaranya sang istri sudah pelo. Kondisi tubuhnya lemah pada salah satu sisi badan. Dan sekarang sedang di tangani oleh dokter spesialis terbaik di rumah sakit itu.Air mata mengalir dari sudut netra Bu Salwa. Bu Atun yang menemani sejak kemarin segera mengambil tisu dan mengelapnya. Miranda juga lebih mendekat dan mengusap lengan mama mertuanya."Sejak kemarin, Nyonya nyariin Mas Hendriko terus," ucap Bu Atun sambil mengelap air mata majikannya. Dan Hendriko hanya memandang wanita yang mengajaknya bicara.Dia enggan bersuara. Perasaannya tak menentu. Antara iba dan kecewa. Anak mana yang tega melihat wanita yang melahirkannya sakit seperti itu. Wanita yang telah menghujaninya dengan kasih sayang. Namun dibalik semua itu, ada anak yang kehilangan kasih seorang ibu.Tangan Bu Salwa hendak meraih put
Fariq berdebar-debar menunggu Karina keluar dari kamar mandi. Pagi itu mereka melakukan tes kehamilan secara instan. Di atas meja rias ada tiga bungkus testpack dengan merk berbeda.Entah sudah berapa kali ia menanti moment seperti ini ketika bersama Embun dulu. Tiap terlambat haid, Embun melakukan tes. Dan Fariq akan menunggunya di luar kamar. Mendebarkan, meresahkan, dan penuh harapan. Kemudian berakhir kecewa. Fariq akan memeluk dan membesarkan hati Embun. Mengatakan, tanpa kehadiran anak pun, ia akan tetap mencintainya.Ingatan itu membuat Fariq menghela nafas panjang, kemudian berdiri. Mondar-mandir di depan pintu kamar mandi sambil menyugar kasar rambutnya.Hingga pintu kamar mandi terbuka, muncul Karina dengan wajah kecewa. "Bagaimana?" tanya Fariq tidak sabar.Karina menggeleng kemudian duduk di tepi pembaringan. "Negatif," ucapnya lirih.Seperti yang sudah-sudah. Fariq memberikan pelukan sambil mengusap punggung istrinya. Program kali ini gagal. Tiga testpack berharga mahal
Author's POVBu Evi duduk berhadapan dengan madunya di ruang tamu. Di sofa lain, bocah kecil itu duduk di pangkuan papanya. Mereka sangat akrab. Seperti masa kecil Miranda dan Miranti yang sangat dekat dengan sang papa. Sekarang posisi itu sudah di gantikan gadis kecil yang dilahirkan oleh perempuan lain. Hati Bu Evi terguris dan tercabik-cabik. Pak Bagas juga gelisah, tapi harus tetap melayani anaknya.Nia menunduk dalam-dalam. Berulang kali ia minta maaf. Mengakui kesalahannya. Dia hanya ingin berdamai dengan Bu Evi.Namun semua yang diucapkan wanita muda itu hanya membuat Bu Evi tersenyum sinis. Tidak membalas dengan cacian, meski ingin rasanya menumpahkan sumpah serapah. Semua teredam saat teringat dengan masa lalu kakak iparnya. Teringat ketika Bu Salwa bertemu bertiga dengan Bu Lili dan Pak Darmawan. Seperti ini, ingin berdamai. Biar istri pertama rela berbagi suami.Ingatan itu begitu nyata di benak Bu Evi. Karena dirinya berada di pihak Bu Salwa yang di belanya dengan dalih se
Author's POVMiranda meletakkan ponsel dan menutupi wajah dengan kedua tangannya. Menangis hingga tubuhnya terguncang.Rangkulan hangat membuat Miranda menoleh. Hendriko menenangkan dengan mengusap lembut bahunya."Aku nggak ingin mereka bercerai," ucap Miranda parau. Kemarin-kemarin memang ia menyerahkan keputusan pada mamanya dan rela jika memang perpisahan yang akan mereka pilih. Namun setelah keputusan diambil, ia merasakan ketidakrelaan.Hendriko sendiri tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak bisa ikut campur dalam urusan mertuanya. Terlebih sang mama mertua yang telah curiga dengan pernikahannya sempat menegur kemarin. "Jika kamu memang nggak bisa hidup dengan Miranda seperti pasangan pada umumnya, biarkan dia kembali pada mama. Jangan sakiti dia, Hen."Sekarang ada cinta yang harus ia perjuangkan di tengah krisis kepercayaan tentang perasaan itu. Rumah tangga bukan untuk ujicoba, jika tidak cocok akan ditinggalkan dan digantikan. Tidak seperti itu. "Bagaimana jika papa dan mam
Author's POVMalam kian pekat bercampur dengan hujan deras yang mengguyur bumi. Hujan yang tenang tanpa angin dan gempuran guruh yang biasanya menggelegar seolah hendak mencambuk isi bumi.Hawa dingin menguar dan menenangkan. Menambah syahdu suasana malam."Aku susui Kalandra dulu, Mas," kata Embun terus beranjak mendekati box. Bayi yang tertidur pulas dibangunkan karena sudah waktunya minum susu. Suasana hujan membuat tidurnya cukup anteng. "Mas, mau ngecek pintu sama jendela dulu, ya." Andrean keluar kamar setelah mencium kening baby Kalandra.Setelah Andrean pulang kerja, Mbok Darmi sama Pak Karyo juga pulang ke rumahnya. Jadi tiap malam mereka hanya tinggal bertiga. Mbok Darmi sempat menemani hingga baby Kalandra hingga berusia satu bulan. Wanita itu menolak tinggal di rumah Andrean karena harus menjaga cucunya juga jika Cici mendapatkan kerja shift malam. Wanita itu bekerja di pabrik sepatu yang ada di kota kecil mereka.Andrean menyentuh kursi goyang di ruang tengah. Di mana ka
Author's POVAndrean menatap lurus langit-langit kamar yang terang. Mereka belum mematikan kembali lampu yang tadi dinyalakan Andrean ketika Kalandra terbangun."Suatu hari papa datang dan membawa Mas pada seorang perempuan yang akhirnya harus kupanggil 'Mama Salwa'. Awalnya Mas bahagia karena akan bertemu mama yang kurindukan selama ini. Waktu itu Mas masih sangat kecil, umur empat atau lima tahun. Namun momen itu masih bisa kuingat hingga kini. Mungkin karena rasa rindu itu, makanya peristiwa itu membekas jelas dalam kalbu. Nyatanya Mas salah. Dia bukan wanita yang bisa mengobati rinduku pada sosok ibu. Semakin lama kami bukan semakin dekat, tapi kami merasa asing dari waktu ke waktu. Sosok ibu hanya Mas temukan pada diri nenek dan Tante Verra.""Mas merasa bersalah pada Tante Verra. Mas pernah berprasangka buruk ketika dia sibuk mengatur hidupku. Nyatanya sekarang semua sudah terbuka. Mas paham maksudnya. Dia terlalu terluka oleh kenyataan pahit dalam hidup mama."Embun menggeser t
Author's POVPak Darmawan melihat Miranda melangkah di depan sambil membawa beberapa buket bunga dan Hendriko menyusul di belakangnya sambil mendorong sang mama yang duduk di kursi roda. Ada Pak Wahab juga yang mengikuti di belakang.Lelaki setengah baya itu berdiri diam sambil menunggu kedatangan mereka. Tidak menyangka juga kalau istri dan anaknya akan mengunjungi makam sepagi itu. Waktu ia pamit keluar tadi, Hendriko dan Miranda belum bangun, sedangkan Bu Salwa tengah sarapan di suapi Bu Atun.Semenjak mamanya sakit, tiap akhir pekan Hendriko dan Miranda menginap di rumah papanya. Minggu sorenya baru ke rumah Bu Evi. Dua keluarga yang sama-sama butuh support mereka sebagai anak.Bu Salwa menatap suaminya yang berdiri di hadapannya. Jujur ia kaget, ketika melihat Pak Darmawan sudah ada di makam dengan pakaian olahraga. Setahunya, sang suami pergi joging tiap Minggu pagi di taman kota. Rupanya ada di makam istri pertamanya. Selama ini ia tidak tahu. Yang ia tahu, suaminya banyak meng
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su