Fariq berdebar-debar menunggu Karina keluar dari kamar mandi. Pagi itu mereka melakukan tes kehamilan secara instan. Di atas meja rias ada tiga bungkus testpack dengan merk berbeda.Entah sudah berapa kali ia menanti moment seperti ini ketika bersama Embun dulu. Tiap terlambat haid, Embun melakukan tes. Dan Fariq akan menunggunya di luar kamar. Mendebarkan, meresahkan, dan penuh harapan. Kemudian berakhir kecewa. Fariq akan memeluk dan membesarkan hati Embun. Mengatakan, tanpa kehadiran anak pun, ia akan tetap mencintainya.Ingatan itu membuat Fariq menghela nafas panjang, kemudian berdiri. Mondar-mandir di depan pintu kamar mandi sambil menyugar kasar rambutnya.Hingga pintu kamar mandi terbuka, muncul Karina dengan wajah kecewa. "Bagaimana?" tanya Fariq tidak sabar.Karina menggeleng kemudian duduk di tepi pembaringan. "Negatif," ucapnya lirih.Seperti yang sudah-sudah. Fariq memberikan pelukan sambil mengusap punggung istrinya. Program kali ini gagal. Tiga testpack berharga mahal
Author's POVBu Evi duduk berhadapan dengan madunya di ruang tamu. Di sofa lain, bocah kecil itu duduk di pangkuan papanya. Mereka sangat akrab. Seperti masa kecil Miranda dan Miranti yang sangat dekat dengan sang papa. Sekarang posisi itu sudah di gantikan gadis kecil yang dilahirkan oleh perempuan lain. Hati Bu Evi terguris dan tercabik-cabik. Pak Bagas juga gelisah, tapi harus tetap melayani anaknya.Nia menunduk dalam-dalam. Berulang kali ia minta maaf. Mengakui kesalahannya. Dia hanya ingin berdamai dengan Bu Evi.Namun semua yang diucapkan wanita muda itu hanya membuat Bu Evi tersenyum sinis. Tidak membalas dengan cacian, meski ingin rasanya menumpahkan sumpah serapah. Semua teredam saat teringat dengan masa lalu kakak iparnya. Teringat ketika Bu Salwa bertemu bertiga dengan Bu Lili dan Pak Darmawan. Seperti ini, ingin berdamai. Biar istri pertama rela berbagi suami.Ingatan itu begitu nyata di benak Bu Evi. Karena dirinya berada di pihak Bu Salwa yang di belanya dengan dalih se
Author's POVMiranda meletakkan ponsel dan menutupi wajah dengan kedua tangannya. Menangis hingga tubuhnya terguncang.Rangkulan hangat membuat Miranda menoleh. Hendriko menenangkan dengan mengusap lembut bahunya."Aku nggak ingin mereka bercerai," ucap Miranda parau. Kemarin-kemarin memang ia menyerahkan keputusan pada mamanya dan rela jika memang perpisahan yang akan mereka pilih. Namun setelah keputusan diambil, ia merasakan ketidakrelaan.Hendriko sendiri tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak bisa ikut campur dalam urusan mertuanya. Terlebih sang mama mertua yang telah curiga dengan pernikahannya sempat menegur kemarin. "Jika kamu memang nggak bisa hidup dengan Miranda seperti pasangan pada umumnya, biarkan dia kembali pada mama. Jangan sakiti dia, Hen."Sekarang ada cinta yang harus ia perjuangkan di tengah krisis kepercayaan tentang perasaan itu. Rumah tangga bukan untuk ujicoba, jika tidak cocok akan ditinggalkan dan digantikan. Tidak seperti itu. "Bagaimana jika papa dan mam
Author's POVMalam kian pekat bercampur dengan hujan deras yang mengguyur bumi. Hujan yang tenang tanpa angin dan gempuran guruh yang biasanya menggelegar seolah hendak mencambuk isi bumi.Hawa dingin menguar dan menenangkan. Menambah syahdu suasana malam."Aku susui Kalandra dulu, Mas," kata Embun terus beranjak mendekati box. Bayi yang tertidur pulas dibangunkan karena sudah waktunya minum susu. Suasana hujan membuat tidurnya cukup anteng. "Mas, mau ngecek pintu sama jendela dulu, ya." Andrean keluar kamar setelah mencium kening baby Kalandra.Setelah Andrean pulang kerja, Mbok Darmi sama Pak Karyo juga pulang ke rumahnya. Jadi tiap malam mereka hanya tinggal bertiga. Mbok Darmi sempat menemani hingga baby Kalandra hingga berusia satu bulan. Wanita itu menolak tinggal di rumah Andrean karena harus menjaga cucunya juga jika Cici mendapatkan kerja shift malam. Wanita itu bekerja di pabrik sepatu yang ada di kota kecil mereka.Andrean menyentuh kursi goyang di ruang tengah. Di mana ka
Author's POVAndrean menatap lurus langit-langit kamar yang terang. Mereka belum mematikan kembali lampu yang tadi dinyalakan Andrean ketika Kalandra terbangun."Suatu hari papa datang dan membawa Mas pada seorang perempuan yang akhirnya harus kupanggil 'Mama Salwa'. Awalnya Mas bahagia karena akan bertemu mama yang kurindukan selama ini. Waktu itu Mas masih sangat kecil, umur empat atau lima tahun. Namun momen itu masih bisa kuingat hingga kini. Mungkin karena rasa rindu itu, makanya peristiwa itu membekas jelas dalam kalbu. Nyatanya Mas salah. Dia bukan wanita yang bisa mengobati rinduku pada sosok ibu. Semakin lama kami bukan semakin dekat, tapi kami merasa asing dari waktu ke waktu. Sosok ibu hanya Mas temukan pada diri nenek dan Tante Verra.""Mas merasa bersalah pada Tante Verra. Mas pernah berprasangka buruk ketika dia sibuk mengatur hidupku. Nyatanya sekarang semua sudah terbuka. Mas paham maksudnya. Dia terlalu terluka oleh kenyataan pahit dalam hidup mama."Embun menggeser t
Author's POVPak Darmawan melihat Miranda melangkah di depan sambil membawa beberapa buket bunga dan Hendriko menyusul di belakangnya sambil mendorong sang mama yang duduk di kursi roda. Ada Pak Wahab juga yang mengikuti di belakang.Lelaki setengah baya itu berdiri diam sambil menunggu kedatangan mereka. Tidak menyangka juga kalau istri dan anaknya akan mengunjungi makam sepagi itu. Waktu ia pamit keluar tadi, Hendriko dan Miranda belum bangun, sedangkan Bu Salwa tengah sarapan di suapi Bu Atun.Semenjak mamanya sakit, tiap akhir pekan Hendriko dan Miranda menginap di rumah papanya. Minggu sorenya baru ke rumah Bu Evi. Dua keluarga yang sama-sama butuh support mereka sebagai anak.Bu Salwa menatap suaminya yang berdiri di hadapannya. Jujur ia kaget, ketika melihat Pak Darmawan sudah ada di makam dengan pakaian olahraga. Setahunya, sang suami pergi joging tiap Minggu pagi di taman kota. Rupanya ada di makam istri pertamanya. Selama ini ia tidak tahu. Yang ia tahu, suaminya banyak meng
Author's POVDarah Verra yang mendidih membuat gadis itu kehilangan kendali. Di jambaknya rambut Salwa. Di cakar dan di tamparnya wajah itu, di tendang perutnya hingga terjengkang ke belakang menabrak tembok. Dua adiknya bukan menolong tapi malah lari ke belakang karena ketakutan."Aku akan melaporkan kamu ke polisi," kata Salwa sambil menahan sakit di perutnya."Laporkan saja, aku tidak takut. Ayo, laporkan! Jika kamu ingin reputasimu hancur, adik-adikmu jadi bahan lelucon di sekolah karena kakaknya perebut suami orang. Dan karir Mas Edi yang sedang berkembang akan hancur berantakan. Ayo, lakukan kalau kamu nggak terima. Aku akan memberikan kesaksian di pengadilan dan pada semua orang, kalau kamu perempuan nggak punya harga diri."Salwa menangis. "Kamu nggak akan menang di pengadilan. Lelaki boleh menikahi lebih dari satu wanita." Wanita itu masih berusaha membela diri.Verra tertawa ngakak. "Memangnya menikah lagi itu nggak ada aturannya, nggak ada adabnya. Bilang pada Mas Edi kalau
Author's POV Malu dan bingung. Itu yang di rasakan Bu Salwa ketika teman sosialitanya memandang ke arahnya. Ada senyum menghiasi wajah mamanya Nency -yang bernama asli Bu Gita- ketika menatap bestie-nya.Bagi Bu Salwa senyum itu seperti ejekan. Sementara keluarga yang lain sibuk memilih menu untuk sarapan dan dia terjebak oleh perasaan yang ingin membuatnya angkat kaki dari sana. Andai bisa.Ternyata Bu Gita yang berteman baik selama ini, tidak tulus padanya. Wanita itu masih menyimpan rapi kenangannya bersama perempuan yang disebutnya 'sahabat'. Bu Lili. Mereka adalah teman masa kecil, juga berteman baik dengan Bu Verra. Namun semua terungkap setelah sama-sama menua. Begitu rapinya ia menyimpan rahasia. Hingga waktu mengungkap semuanya. Satu per satu rekan-rekannya tahu kisah itu. Dan kasak-kusuk mulai terdengar di antara mereka saat berkumpul bersama. Meski tidak secara langsung, tapi sindiran mereka begitu mengena di hati. Pelakor. Tema yang selalu di bahas akhir-akhir ketika Bu