Author's POVSuasana yang seharusnya ceria mendadak kaku. Pak Karim menyalami besannya, begitu juga dengan Roy. Dua orang itu saja yang tidak tahu ada apa di balik masa lalu mereka. Pak Karim hanya tahu kalau Bu Salwa memang ibu tirinya sang menantu. Itu saja.Satu per satu yang berada di dalam ruangan di salami Bu Salwa. Tapi Tante Verra tidak mau menyambut uluran tangan itu. Wanita itu pura-pura tidak tahu karena tengah asyik memandang layar televisi. Dia ingat bagaimana dulu Bu Salwa dengan bangganya bisa memiliki Pak Darmawan. Tersenyum di atas penderitaan kakaknya. Entah kenapa dia tidak bisa lupa. Mungkin sampai kapanpun tak akan pernah lupa.Bu Salwa yang biasa penuh percaya diri berhadapan dengan Tante Verra kini mendadak ciut nyalinya, bahkan memandang Tante Verra pun tidak berani. Untuk mengalihkan perhatian wanita itu meminta izin memangku baby Kalandra pada Embun. Bayi yang terlelap itu di taruh Embun ke pangkuan ibu mertuanya."Pa, minggu depan ada undangan di sekolahan l
Author's POVBu Salwa merasa makin kerdil saja. Dia terpojok pada situasi yang sangat kebetulan. Apalagi sang suami juga tidak mendampingi di sana. Biasanya dulu dia bisa tersenyum dengan bangganya, melangkah dengan jumawa, tapi sekarang telah kehilangan taringnya. Tidak ada anak dan suami yang membelanya. Wanita itu benar-benar bungkam seribu bahasa.Tante Verra juga diam setelah sadar ada putra bungsunya di antara mereka. Dia tadi benar lepas emosi. Sementara Andrean yang sudah selesai salat duduk menunggu papanya di bangku besi depan mushalla. Selang lima menit sang papa duduk di sebelahnya."Kamu nggak menyematkan nama Darmawan di belakang nama baby Kalandra?" tanya Pak Darmawan karena tadi beliau membaca nama sang cucu di berkas atas meja, perlengkapan untuk mengurus aktenya Kalandra.Andrean menggeleng."Begitu bencinya kamu sama papa. Sampai menghilangkan nama besar keluarga kita."Pria berkaus warna abu-abu itu tersenyum. "Saya rasa itu tidak masalah, Pa," jawab Andrean ringa
Author's POV"Mumpung ada saudaraku, bilanglah Pa!" Pak Bagas memandang Bu Evi. Bagaimanapun juga ada rasa bersalah dalam hatinya, karena telah mengkhianati pernikahan mereka yang sudah berjalan tiga puluh empat tahun. Harusnya usia pernikahan segitu sudah mematangkan mereka berdua. Namun justru sebaliknya, mereka mengalami masa krisis di saat anak-anak sudah pada dewasa dan menikah. Anak perempuan Pak Bagas dengan istri keduanya pantas seumuran dengan cucunya.Sebelum bicara pria itu menarik napas panjang. "Papa nggak bisa milih, Ma.""Terus, aku harus menerima perempuan itu sebagai madu? Aku nggak mau," jawab Bu Evi ketus. Wanita yang membiasakan menyebut dirinya 'mama', kini berubah jadi 'aku'."Maaf, papa nggak bisa milih," ulang Pak Bagas. Dirinya tidak bisa meninggalkan perempuan simpanannya karena wanita itu juga bergantung hidup padanya. Mereka juga dikaruniai anak perempuan yang baru masuk sekolah TK. Istrinya itu sudah tidak punya sanak saudara.Pak Darmawan sendiri bungka
Author's POV"Kamu salah. Andrean bukan anak serakah. Sedikit pun dia nggak pernah menyinggung harta peninggalan keluarganya. Sejak kecil dia hidup jauh dari kata mewah. Lihat bagaimana cara hidup dia selama ini?""Dan papa mau membandingkan dengan kehidupan Hendriko?" "Nggak usah dibandingkan karena semua sudah terlihat dan orang lain pun tahu itu.""Sekarang mama tahu hati papa condong ke mana. Pantesan Hendriko keluar dari perusahaan papa nggak benar-benar membujuknya untuk diajak kembali. Perusahaan itu asalnya memang bukan milikmu, Pa. Tapi papa yang membesarkannya seperti sekarang ini." Bu Salwa mulai emosi saat merasa putranya di banding-bandingkan."Kalau nggak ada perusahaan Pak Nardi yang hampir gulung tikar, Papa juga nggak akan bisa memiliki usaha sebesar ini. Keluarga papa hanya punya modal tapi nggak punya wadah usaha. Sebenarnya kami saling melengkapi, Ma. Sudahlah, kita sudah sama-sama tua. Nggak usah lagi punya ambisi yang memalukan diri sendiri." Setelah berkata dem
Author's POV"Kenapa? Aku nggak menarik bagimu?" tanya Miranda menatap suaminya. Sebagai wanita dewasa dengan usia tiga puluh tahun, tentunya ia paham kalau sang suami tadi terpancing gairahnya. Hanya egonya saja yang masih berkuasa.Hendriko diam mengatur napas. Menahan gejolak dalam dada yang malam itu kian menggila. Beberapa hari tidur sekamar di rumah sang mertua membuat dirinya baru bisa terlelap menjelang pagi. Diam-diam memperhatikan Miranda tidur di sampingnya tiap malam merupakan godaan tersendiri."Aku nggak menarik ya? Dilihat dari pandangan seorang laki-laki dewasa saja, bukan dari pria yang nggak mencintai wanitanya.""Kamu menarik," jawab Hendriko setelah diam beberapa saat.Miranda tersenyum. "Alhamdulillah, kalau aku menarik." Usai bicara, Miranda berbalik. Memunggungi suaminya. "Setidaknya bakalan ada yang tertarik denganku suatu ketika nanti jika pernikahan kita berakhir sia-sia," lanjutnya lirih.Ada rasa nyeri menusuk-nusuk ulu hati Hendriko ketika mendengar kalim
Author's POVBunyi kicau burung di dahan-dahan pepohonan halaman rumah seolah menyambut kedatangan anggota baru di rumah bergaya kolonial itu. Mbok Darmi tergesa menghampiri Andrean yang membuka mobil untuk istrinya. Wanita sepuh itu mengambil baby Kalandra dari pangkuan Embun. "Masya Allah, selamat datang ke istana kita, bayi ganteng," ucap Mbok Darmi sambil tersenyum menatap bayi di gendongannya.Pak Karyo dan Cici yang menyusul segera mengambil barang-barang bawaan yang ada di mobil. Sedangkan Andrean mengandeng istrinya berjalan pelan-pelan memasuki rumah.Di atas meja yang ada di ruang keluarga telah banyak kado tertumpuk di sana."Dari orang-orang kantor, Mas. Kemarin siang Mas Rozak yang mengantarnya. Ada kado dan kartu ucapan dari anak-anak panti. Terus ada beberapa kado dari relasi bisnis, Mas Andrean." Cici menjelaskan. Sebab sejak kemarin dia sudah membantu ibunya di sana untuk persiapan acara aqiqah baby Kalandra."Ya, terima kasih, Mbak."Embun berjalan menuju ayunan bay
Author's POVBayangan peristiwa semalam membuat Hendriko susah konsentrasi pada pekerjaan. Akhirnya ia sampai juga pada titik itu. Yang tentunya akan menjadi titik balik hubungannya dengan Miranda.Ia termenung, membiarkan perlengkapan menggambarnya masih berserakan di atas meja, bahkan komputernya juga masih menyala. Padahal dia harus segera menyelesaikan desain gambar itu untuk membuktikan bahwa ia layak di perhitungkan. Di perhitungkan oleh perusahaan keluarganya sendiri. Secara tidak langsung ia tertantang untuk berkompetisi pada dirinya sendiri.Diraihnya ponsel yang berpendar dan tergeletak di sebelah keyboard. Ada pesan masuk dari mamanya.[Mama ingin bertemu kamu sepulang kerja nanti, Hen.]Hendriko meletakkan kembali ponsel tanpa berniat membalasnya.Jujur, nalurinya sebagai anak ia kasihan dengan mamanya. Dia menyayangi wanita yang melahirkannya itu. Tapi ego telah membuatnya bertindak sebaliknya. Iba dan kecewa kadarnya sama besarnya.Diambilnya sebuah undangan yang baru di
Author's POV Andrean melambatkan langkah ketika melihat seorang wanita memakai kerudung hitam berjongkok di samping makam mamanya.Ia akhirnya berhenti beberapa meter dari makam. Memperhatikan sosok itu dari belakang. Sama sekali ia tidak mengenali wanita berpakaian longgar warna hitam, senada dengan kerudung yang dipakainya. Di luar ada beberapa mobil dan motor yang terparkir. Namun ia tidak memperhatikan tadi. Jadi tidak bisa menduga siapakah wanita yang sedang ziarah ke makam sang mama.Di pandangnya ke angkasa, mendung kelabu menggantung dan siap menurunkan hujan. Jadi dia pun harus cepat-cepat dan pulang. Andrean melangkah mendekat. Pada saat yang bersamaan sosok itu pun menoleh dan mereka beradu pandang. "Tante," sebut Andrean lirih.Bu Evi langsung berdiri dan memeluk keponakannya. Menangis di dada Andrean yang terbalut kemeja warna hitam. Membuat beberapa peziarah memperhatikan.Wanita itu terus terisak dan membuat Andrean bingung. Diajaknya Bu Evi duduk di sebuah bangku seme