Author's POVBu Salwa merasa makin kerdil saja. Dia terpojok pada situasi yang sangat kebetulan. Apalagi sang suami juga tidak mendampingi di sana. Biasanya dulu dia bisa tersenyum dengan bangganya, melangkah dengan jumawa, tapi sekarang telah kehilangan taringnya. Tidak ada anak dan suami yang membelanya. Wanita itu benar-benar bungkam seribu bahasa.Tante Verra juga diam setelah sadar ada putra bungsunya di antara mereka. Dia tadi benar lepas emosi. Sementara Andrean yang sudah selesai salat duduk menunggu papanya di bangku besi depan mushalla. Selang lima menit sang papa duduk di sebelahnya."Kamu nggak menyematkan nama Darmawan di belakang nama baby Kalandra?" tanya Pak Darmawan karena tadi beliau membaca nama sang cucu di berkas atas meja, perlengkapan untuk mengurus aktenya Kalandra.Andrean menggeleng."Begitu bencinya kamu sama papa. Sampai menghilangkan nama besar keluarga kita."Pria berkaus warna abu-abu itu tersenyum. "Saya rasa itu tidak masalah, Pa," jawab Andrean ringa
Author's POV"Mumpung ada saudaraku, bilanglah Pa!" Pak Bagas memandang Bu Evi. Bagaimanapun juga ada rasa bersalah dalam hatinya, karena telah mengkhianati pernikahan mereka yang sudah berjalan tiga puluh empat tahun. Harusnya usia pernikahan segitu sudah mematangkan mereka berdua. Namun justru sebaliknya, mereka mengalami masa krisis di saat anak-anak sudah pada dewasa dan menikah. Anak perempuan Pak Bagas dengan istri keduanya pantas seumuran dengan cucunya.Sebelum bicara pria itu menarik napas panjang. "Papa nggak bisa milih, Ma.""Terus, aku harus menerima perempuan itu sebagai madu? Aku nggak mau," jawab Bu Evi ketus. Wanita yang membiasakan menyebut dirinya 'mama', kini berubah jadi 'aku'."Maaf, papa nggak bisa milih," ulang Pak Bagas. Dirinya tidak bisa meninggalkan perempuan simpanannya karena wanita itu juga bergantung hidup padanya. Mereka juga dikaruniai anak perempuan yang baru masuk sekolah TK. Istrinya itu sudah tidak punya sanak saudara.Pak Darmawan sendiri bungka
Author's POV"Kamu salah. Andrean bukan anak serakah. Sedikit pun dia nggak pernah menyinggung harta peninggalan keluarganya. Sejak kecil dia hidup jauh dari kata mewah. Lihat bagaimana cara hidup dia selama ini?""Dan papa mau membandingkan dengan kehidupan Hendriko?" "Nggak usah dibandingkan karena semua sudah terlihat dan orang lain pun tahu itu.""Sekarang mama tahu hati papa condong ke mana. Pantesan Hendriko keluar dari perusahaan papa nggak benar-benar membujuknya untuk diajak kembali. Perusahaan itu asalnya memang bukan milikmu, Pa. Tapi papa yang membesarkannya seperti sekarang ini." Bu Salwa mulai emosi saat merasa putranya di banding-bandingkan."Kalau nggak ada perusahaan Pak Nardi yang hampir gulung tikar, Papa juga nggak akan bisa memiliki usaha sebesar ini. Keluarga papa hanya punya modal tapi nggak punya wadah usaha. Sebenarnya kami saling melengkapi, Ma. Sudahlah, kita sudah sama-sama tua. Nggak usah lagi punya ambisi yang memalukan diri sendiri." Setelah berkata dem
Author's POV"Kenapa? Aku nggak menarik bagimu?" tanya Miranda menatap suaminya. Sebagai wanita dewasa dengan usia tiga puluh tahun, tentunya ia paham kalau sang suami tadi terpancing gairahnya. Hanya egonya saja yang masih berkuasa.Hendriko diam mengatur napas. Menahan gejolak dalam dada yang malam itu kian menggila. Beberapa hari tidur sekamar di rumah sang mertua membuat dirinya baru bisa terlelap menjelang pagi. Diam-diam memperhatikan Miranda tidur di sampingnya tiap malam merupakan godaan tersendiri."Aku nggak menarik ya? Dilihat dari pandangan seorang laki-laki dewasa saja, bukan dari pria yang nggak mencintai wanitanya.""Kamu menarik," jawab Hendriko setelah diam beberapa saat.Miranda tersenyum. "Alhamdulillah, kalau aku menarik." Usai bicara, Miranda berbalik. Memunggungi suaminya. "Setidaknya bakalan ada yang tertarik denganku suatu ketika nanti jika pernikahan kita berakhir sia-sia," lanjutnya lirih.Ada rasa nyeri menusuk-nusuk ulu hati Hendriko ketika mendengar kalim
Author's POVBunyi kicau burung di dahan-dahan pepohonan halaman rumah seolah menyambut kedatangan anggota baru di rumah bergaya kolonial itu. Mbok Darmi tergesa menghampiri Andrean yang membuka mobil untuk istrinya. Wanita sepuh itu mengambil baby Kalandra dari pangkuan Embun. "Masya Allah, selamat datang ke istana kita, bayi ganteng," ucap Mbok Darmi sambil tersenyum menatap bayi di gendongannya.Pak Karyo dan Cici yang menyusul segera mengambil barang-barang bawaan yang ada di mobil. Sedangkan Andrean mengandeng istrinya berjalan pelan-pelan memasuki rumah.Di atas meja yang ada di ruang keluarga telah banyak kado tertumpuk di sana."Dari orang-orang kantor, Mas. Kemarin siang Mas Rozak yang mengantarnya. Ada kado dan kartu ucapan dari anak-anak panti. Terus ada beberapa kado dari relasi bisnis, Mas Andrean." Cici menjelaskan. Sebab sejak kemarin dia sudah membantu ibunya di sana untuk persiapan acara aqiqah baby Kalandra."Ya, terima kasih, Mbak."Embun berjalan menuju ayunan bay
Author's POVBayangan peristiwa semalam membuat Hendriko susah konsentrasi pada pekerjaan. Akhirnya ia sampai juga pada titik itu. Yang tentunya akan menjadi titik balik hubungannya dengan Miranda.Ia termenung, membiarkan perlengkapan menggambarnya masih berserakan di atas meja, bahkan komputernya juga masih menyala. Padahal dia harus segera menyelesaikan desain gambar itu untuk membuktikan bahwa ia layak di perhitungkan. Di perhitungkan oleh perusahaan keluarganya sendiri. Secara tidak langsung ia tertantang untuk berkompetisi pada dirinya sendiri.Diraihnya ponsel yang berpendar dan tergeletak di sebelah keyboard. Ada pesan masuk dari mamanya.[Mama ingin bertemu kamu sepulang kerja nanti, Hen.]Hendriko meletakkan kembali ponsel tanpa berniat membalasnya.Jujur, nalurinya sebagai anak ia kasihan dengan mamanya. Dia menyayangi wanita yang melahirkannya itu. Tapi ego telah membuatnya bertindak sebaliknya. Iba dan kecewa kadarnya sama besarnya.Diambilnya sebuah undangan yang baru di
Author's POV Andrean melambatkan langkah ketika melihat seorang wanita memakai kerudung hitam berjongkok di samping makam mamanya.Ia akhirnya berhenti beberapa meter dari makam. Memperhatikan sosok itu dari belakang. Sama sekali ia tidak mengenali wanita berpakaian longgar warna hitam, senada dengan kerudung yang dipakainya. Di luar ada beberapa mobil dan motor yang terparkir. Namun ia tidak memperhatikan tadi. Jadi tidak bisa menduga siapakah wanita yang sedang ziarah ke makam sang mama.Di pandangnya ke angkasa, mendung kelabu menggantung dan siap menurunkan hujan. Jadi dia pun harus cepat-cepat dan pulang. Andrean melangkah mendekat. Pada saat yang bersamaan sosok itu pun menoleh dan mereka beradu pandang. "Tante," sebut Andrean lirih.Bu Evi langsung berdiri dan memeluk keponakannya. Menangis di dada Andrean yang terbalut kemeja warna hitam. Membuat beberapa peziarah memperhatikan.Wanita itu terus terisak dan membuat Andrean bingung. Diajaknya Bu Evi duduk di sebuah bangku seme
Author's POV Andrean membenahi kelambu box bayi yang tersingkap. Dia melihat putranya tidur dengan lelap setelah kenyang minum ASI. Tapi nanti sekitar jam satu pasti terbangun dan terkadang begadang sampai menjelang subuh. "Begitulah bayi baru lahir, Mas. Biasanya sampai umur sebulan lebih ngajakin begadang" kata Mbok Darmi memberitahunya. Dan Andrean menikmati momen itu. Dia tidak akan melepaskan sedikit pun prosesnya hingga anaknya besar nanti.Pandangannya beralih pada Embun yang terlelap. Perlahan ia mendekat hendak mengecup keningnya, tapi diurungkan. Takut istrinya kaget dan terbangun. Kasihan, dia kelihatan capek.Andrean berbaring di sebelah sang istri. Teringat pertemuannya dengan kedua tantenya tadi di makam. Pertemuan yang akhirnya mengungkap sisi lain masa lalu mamanya. Ternyata ada juga orang yang mendukung sebuah perselingkuhan, walaupun jelas itu adalah hal yang salah. Hanya demi persahabatan.Harusnya ia tidak perlu mengingatnya lagi. Itu sudah menjadi masa lalu. Nam
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su