Esme baru pulang ke rukonya di hari pertama Darren kembali masuk ke kantor. Catherine menyambutnya dengan wajah merengut, tetapi terdapat ejekan di sana.
“Pengantin baru masih ingat rumah lama,” ejek Catherine saat menemukan Esme berada di rumah lagi.
“Ya, tentu donk. Kan bisnisku di sini,” jawab Esme tanpa merasa sedang disindir.
Catherine menggelengkan kepalanya. “Ck, aku menyindirmu tau!”
Esme tertawa garing.
Sesaat kemudian, Catherine mendekatinya dan bertanya, “Bagaimana kehidupan pernikahan? Apa kau sudah mulai melihat keburukannya?”
“Keburukannya?” tanya Esme bingung. “Aku malah semakin melihat kebaikannya.”
Cahterine kesal dan iri, hingga dia mengejek Esme. “Itu karena cintamu padanya masih sangat besar. Tahi kucing pun rasa cokelat.”
“Enak saja!” Esme menyikutnya sambil tertawa. Kemudian, dia memamerkan cincinnya.
Cahterine melihatnya, tidak terpukau.
“Ya, memang sih. Dia belinya
Pagi-pagi sekali Darren bangun, jauh lebih pagi dari biasanya. Esme juga telah bangun dari tidurnya dan sedang sibuk menyiapkan sarapan. Darren menghampiri, memeluknya dari belakang, dan mengecupi pundak bahunya.“Morning, Baby,” ucapnya menyapa dengan lembut.Esme menoleh dan tersenyum. Dia sedang memotong-motong wortel saat ini sehingga tidak bisa bersikap banyak kecuali menikmati pelukan hangat Darren.Detik demi detik berlalu dan Darren masih tidak melepaskan pelukannya, membuat Esme bertanya, “Kenapa? Kau tidak mandi? Apa tidak kerja hari ini?”Darren enggan menjawab, sehingga Esme bertanya lagi, “Tumben kau bangun pagi sekali hari ini?”“Iya. Ada tugas berat di lapangan,” jawab Darren menyiratkan maksudnya bahwa tugas beratnya adalah menangkap Uncle Rod, ayah Catherine.Tetapi Esme yang tidak mengerti hanya mengangguk. “Hati-hati. Makan yang banyak biar ada tenaga cuku
Pagi berikutnya disambut Darren dengan perasaan penuh waspada. Kapan saja, dia perkirakan, Catherine bisa memberitahu Esme. Dan saat itu terjadi, meledaklah semuanya. Darren yang memikirkan itu, tidak bisa tidur. Pagi-pagi sekali dia telah bangun meskipun tubuhnya masih lelah. Dia menyiapkan sarapan sederhana, baru kemudian membangunkan Esme. “Tumben?” tanya Esme begitu dia membuka mata dan diberitahu tentang sarapan yang telah siap. “Kau tidak lelah?” “Tidak. Justru aku bersemangat membuatnya.” “Terima kasih. Harusnya aku yang membuatkanmu sarapan.” “Tidak apa. Sekali-sekali. Ayo, kita makan!” Mereka sarapan bersama dengan obrolan ringan. Setelahnya, Darren bersiap untuk ke kantor. Esme juga bersiap untuk ke bakery. “Baby, maaf, aku ada kerjaan di kantor. Aku drop di depan jalan menuju bakery saja ya?” kata Darren saat mereka telah hampir tiba di bakery. Darren berusaha menghindari Catherine. Esme yang tidak mengetahui apa pun
Keesokan paginya, Esme terbangun sangat pagi dengan segala perasaan hati yang masih kesal dan marah. Dia melihat Darren masih terlelap di sofa. Esme pun bersiap dan membawa beberapa barangnya kembali ke bakery.Nyatanya, saat dia tiba di sana, saat dia telah memasuki bakery-nya, dia merasakan tempat itu kosong.Esme menuju lantai 3 dan mendapati seluruh kamar kosong. Tidak ada Catherine, tidak ada juga ibunya.Hatinya mencelos ngilu. Apakah Catherine telah meninggalkan tempat ini? Kenapa?Dengan segenap rasa sedih di hatinya, Esme menekan nomor Cahterine di ponselnya.“Cath!” serunya saat sepupunya itu telah menjawab. “Kau di mana? Kenapa tidak ada di bakery?”“Maaf, Esme, aku pulang ke rumah. Menemani Mom. Dia terlihat takut, dan masih shock. Aku harus menemaninya. Lagipula, aku juga sedang hamil. Mom bisa membantuku mengurus bayi saat aku sudah melahirkan nanti.”“Oh, Catherine. Aku sungguh
Dave berusaha untuk memaksakan ciumannya pada Esme.Esme yang terkejut hanya bisa berusaha menghindarri ciuman Dave. Biar bagaimana pun dia sekarang adalah istri Darren. Dia tidak ingin ada yang menciumnya lagi selain Darren. SEkalipun ada kemarahan dan kekecewaan di antara mereka, dia tidak ingin disentuh pria lain.Dengan segala ketakutannya itu, tiba-tiba terdengar namanya dipanggil dari luar.Dave terkejut dan segera menghentikan aksinya. Esme menghela napas lega.Dan saat mereka menoleh ke pintu, tampak Enrique di sana.Wajah kakaknya itu bahkan lebih marah dan murka dari raut Dave sebelum ini. ***"Esme! Esme!” panggil suara itu sembari mendekat ke pintu Emerald Cake and Bakery yang terbuka lebar. Enrique menghampiri pintu itu dengan langkahnya yang lebar, tergesa, dan penuh kemarahan.Sampai di sana, dia tak menyangkan akan melihat Esme dengan
Melewati satu malam sendirian di rumah, setelah sempat berminggu-minggu bersama Esme, Darren mengakui rasanya tidaklah mudah. Setiap sudut rumahnya terasa memancarkan aroma Esme. setiap ruangan yang diinjaknya seakan menayangkan bayangan Esme di sana. Semua yang dia lakukan di rumah terasa menusuk kulit dan dagingnya. Rumah yang dulunya ceria, kini kosong dan hampa. Darren tidak tahan dengan itu. Dia bangkit dan keluar lagi. Awalnya dia hendak menuju pub, mengusir rasa sakitnya lewat minuman. Tapi saat terbayang-bayang Esme berada di Emerald sendirian, Darren merasa khawatir. Sudah tiga kali wanita itu mengalami penculikan. Tiga bukanlah jumlah yang lumrah jika menyangkut penculikan. Itu bahkan tidak bisa dikatakan sedikit! Dengan semua rasa khawatirnya, Darren memutar haluan mobil menuju Emerald. Dia berhenti dan parkir di pinggir bakery. Duduk di sana, mematikan mesin mobil, dan membuka sedikit kaca jendela, Darren memundurkan sandaran k
ESme terkejut melihat Darren ada di dalam mobil. Yang membuatnya lebih heran adalah pria itu sedang tidur. Seperti patung, Esme berdiri di sana memikirkan hal yang tak terpikirkan olehnya selama ini. Kenapa Darren di situ? Di dalam mobil? Bukannya di California? Benaknya menggaungkan kata-katanya 6 hari lalu yang meminta Darren untuk menolak kenaikan jabatannya. Esme tercengang sendiri. Benarkah Darren menolak? Entah dia harus merasa senang, atau merasa bersalah. Lalu, apa pula yang dia lakukan di sini? Kenapa dia ada di dalam mobil dan tertidur? Dia bukan hanya tertidur, tetapi berada di dalam selimut yang hangat. Apakah selama berhari-hari ini suaminya ini menungguinya di dalam mobil seperti ini? Darren tidur di sebelah bakerynya selama ini? Air mata ESme kembali mengalir mengingat kekesalan hatinya yang sempat membuatnya berburuk sangka pada Darren. Esme kembali mengintip. Di saat bersamaan, kelopak mata Darren membuk
“Darren!” bisik Esme tepat di telinganya. Pria itu sedang membaca di ponselnya seraya minum segelas kopi panas.Pria itu menoleh pada sang istri. Sebelah tangannya merengkuh pinggang Esme. Segera saja perut besar Esme menempel di pinggang Darren.Dia membelai perut itu dengan tangan satunya, setelah meletakkan ponselnya.“Ada apa?” tanyanya sambil terus membelai.“Kau tidak ada jadwal apa pun kan siang ini?” tanya Esme lagi. Hari itu hari Minggu. Seharusnya Esme tak perlu bertanya lagi. Sudah pasti Darren tidak bekerja. Kecuali, mendadak ada kasus baru dan dia perlu melihat TKP. Nyatanya, Esme tetap bertanya. Ini menandakan dia hendak meminta waktu Darren.“Tidak ada. Ada apa? Kau mau mengajakku makan siang?”Esme tertawa, tetapi menggeleng. “Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu berbelanja pakaian bayi. Bayi kita akan lahir bulan depan. Tapi belum selembar pun bajunya yang kita
Enrique baru saja selesai dengan segala persiapan konser setelah merilis album barunya. Sore itu dia senggang dan mengunjungi Esme dengan segala pembahasan yang belum selesai di waktu dulu. Denting lonceng di pintu masuk Emerald berbunyi di saat Esme sedang sibuk membuat milk pie untuk dessert nya malam ini. Semua karyawan Emerald telah pulang. Hanya tinggal Esme yang masih memanggang pie untuk dia nikmati bersama Darren setelah makan malam. Sudah empat minggu terakhir ini mereka tinggal di Emerald. Sejak Esme hamil dan harus bolak balik Emerald dan apartemen Darren, mereka pun akhirnya kewalahan. Mereka akhirnya pindah ke Emerald. Mendengar bunyi lonceng, Esme bergegas ke depan, mengira Darren yang telah pulang. Sampai di pintu, sosok yang membuka pintu adalah Enrique. Kakaknya itu terkejut melihat Esme dalam keadaan hamil besar. “Kau …,” seru Enrique tapi kemudian kehilangan kata-katanya. Dia hanya mampu berkacak pinggang dan memandangi Esme