“Dia adikku. Dan sampai kapanpun tetap akan menjadi adikku. Tidak perlu cemburu dengannya!”
Darren kemudian menyentil kening Esme berusaha menyadarkan wanita itu.
Di titik ini, Esme tak sanggup menahan tawanya lagi.
Darren semakin kesal melihat istrinya menertawakannya. Tidak ada yang lucu. Lalu, kenapa tertawa? Pikirnya.
“Kenapa tertawa? Tidak ada yang lucu.”
“Ada,” jawab Esme penuh teka teki, juga sengaja menggoda Darren.
“Apa yang lucu?” tanya Darren dengan wajah merengut.
Dia kembali mengeluarkan rokok yang baru dan hendak membakarnya. Esme mengambil batang rokok itu dari tangan suaminya.
“Aku tak tau kau merokok.”
“Iya. Hanya kadang-kadang.” Dalam hati Darren dia menambahkan jawabannya, ‘hanya saat kesal.’
Dia hendak mengambil lagi dari tangan Esme, tetapi gadis itu mengelaknya. Dengan ketangguhan Darren dalam bela diri, sebenarnya dia bisa saja merampas barang itu dari tangan istriny
Esme baru pulang ke rukonya di hari pertama Darren kembali masuk ke kantor. Catherine menyambutnya dengan wajah merengut, tetapi terdapat ejekan di sana. “Pengantin baru masih ingat rumah lama,” ejek Catherine saat menemukan Esme berada di rumah lagi. “Ya, tentu donk. Kan bisnisku di sini,” jawab Esme tanpa merasa sedang disindir. Catherine menggelengkan kepalanya. “Ck, aku menyindirmu tau!” Esme tertawa garing. Sesaat kemudian, Catherine mendekatinya dan bertanya, “Bagaimana kehidupan pernikahan? Apa kau sudah mulai melihat keburukannya?” “Keburukannya?” tanya Esme bingung. “Aku malah semakin melihat kebaikannya.” Cahterine kesal dan iri, hingga dia mengejek Esme. “Itu karena cintamu padanya masih sangat besar. Tahi kucing pun rasa cokelat.” “Enak saja!” Esme menyikutnya sambil tertawa. Kemudian, dia memamerkan cincinnya. Cahterine melihatnya, tidak terpukau. “Ya, memang sih. Dia belinya
Pagi-pagi sekali Darren bangun, jauh lebih pagi dari biasanya. Esme juga telah bangun dari tidurnya dan sedang sibuk menyiapkan sarapan. Darren menghampiri, memeluknya dari belakang, dan mengecupi pundak bahunya.“Morning, Baby,” ucapnya menyapa dengan lembut.Esme menoleh dan tersenyum. Dia sedang memotong-motong wortel saat ini sehingga tidak bisa bersikap banyak kecuali menikmati pelukan hangat Darren.Detik demi detik berlalu dan Darren masih tidak melepaskan pelukannya, membuat Esme bertanya, “Kenapa? Kau tidak mandi? Apa tidak kerja hari ini?”Darren enggan menjawab, sehingga Esme bertanya lagi, “Tumben kau bangun pagi sekali hari ini?”“Iya. Ada tugas berat di lapangan,” jawab Darren menyiratkan maksudnya bahwa tugas beratnya adalah menangkap Uncle Rod, ayah Catherine.Tetapi Esme yang tidak mengerti hanya mengangguk. “Hati-hati. Makan yang banyak biar ada tenaga cuku
Pagi berikutnya disambut Darren dengan perasaan penuh waspada. Kapan saja, dia perkirakan, Catherine bisa memberitahu Esme. Dan saat itu terjadi, meledaklah semuanya. Darren yang memikirkan itu, tidak bisa tidur. Pagi-pagi sekali dia telah bangun meskipun tubuhnya masih lelah. Dia menyiapkan sarapan sederhana, baru kemudian membangunkan Esme. “Tumben?” tanya Esme begitu dia membuka mata dan diberitahu tentang sarapan yang telah siap. “Kau tidak lelah?” “Tidak. Justru aku bersemangat membuatnya.” “Terima kasih. Harusnya aku yang membuatkanmu sarapan.” “Tidak apa. Sekali-sekali. Ayo, kita makan!” Mereka sarapan bersama dengan obrolan ringan. Setelahnya, Darren bersiap untuk ke kantor. Esme juga bersiap untuk ke bakery. “Baby, maaf, aku ada kerjaan di kantor. Aku drop di depan jalan menuju bakery saja ya?” kata Darren saat mereka telah hampir tiba di bakery. Darren berusaha menghindari Catherine. Esme yang tidak mengetahui apa pun
Keesokan paginya, Esme terbangun sangat pagi dengan segala perasaan hati yang masih kesal dan marah. Dia melihat Darren masih terlelap di sofa. Esme pun bersiap dan membawa beberapa barangnya kembali ke bakery.Nyatanya, saat dia tiba di sana, saat dia telah memasuki bakery-nya, dia merasakan tempat itu kosong.Esme menuju lantai 3 dan mendapati seluruh kamar kosong. Tidak ada Catherine, tidak ada juga ibunya.Hatinya mencelos ngilu. Apakah Catherine telah meninggalkan tempat ini? Kenapa?Dengan segenap rasa sedih di hatinya, Esme menekan nomor Cahterine di ponselnya.“Cath!” serunya saat sepupunya itu telah menjawab. “Kau di mana? Kenapa tidak ada di bakery?”“Maaf, Esme, aku pulang ke rumah. Menemani Mom. Dia terlihat takut, dan masih shock. Aku harus menemaninya. Lagipula, aku juga sedang hamil. Mom bisa membantuku mengurus bayi saat aku sudah melahirkan nanti.”“Oh, Catherine. Aku sungguh
Dave berusaha untuk memaksakan ciumannya pada Esme.Esme yang terkejut hanya bisa berusaha menghindarri ciuman Dave. Biar bagaimana pun dia sekarang adalah istri Darren. Dia tidak ingin ada yang menciumnya lagi selain Darren. SEkalipun ada kemarahan dan kekecewaan di antara mereka, dia tidak ingin disentuh pria lain.Dengan segala ketakutannya itu, tiba-tiba terdengar namanya dipanggil dari luar.Dave terkejut dan segera menghentikan aksinya. Esme menghela napas lega.Dan saat mereka menoleh ke pintu, tampak Enrique di sana.Wajah kakaknya itu bahkan lebih marah dan murka dari raut Dave sebelum ini. ***"Esme! Esme!” panggil suara itu sembari mendekat ke pintu Emerald Cake and Bakery yang terbuka lebar. Enrique menghampiri pintu itu dengan langkahnya yang lebar, tergesa, dan penuh kemarahan.Sampai di sana, dia tak menyangkan akan melihat Esme dengan
Melewati satu malam sendirian di rumah, setelah sempat berminggu-minggu bersama Esme, Darren mengakui rasanya tidaklah mudah. Setiap sudut rumahnya terasa memancarkan aroma Esme. setiap ruangan yang diinjaknya seakan menayangkan bayangan Esme di sana. Semua yang dia lakukan di rumah terasa menusuk kulit dan dagingnya. Rumah yang dulunya ceria, kini kosong dan hampa. Darren tidak tahan dengan itu. Dia bangkit dan keluar lagi. Awalnya dia hendak menuju pub, mengusir rasa sakitnya lewat minuman. Tapi saat terbayang-bayang Esme berada di Emerald sendirian, Darren merasa khawatir. Sudah tiga kali wanita itu mengalami penculikan. Tiga bukanlah jumlah yang lumrah jika menyangkut penculikan. Itu bahkan tidak bisa dikatakan sedikit! Dengan semua rasa khawatirnya, Darren memutar haluan mobil menuju Emerald. Dia berhenti dan parkir di pinggir bakery. Duduk di sana, mematikan mesin mobil, dan membuka sedikit kaca jendela, Darren memundurkan sandaran k
ESme terkejut melihat Darren ada di dalam mobil. Yang membuatnya lebih heran adalah pria itu sedang tidur. Seperti patung, Esme berdiri di sana memikirkan hal yang tak terpikirkan olehnya selama ini. Kenapa Darren di situ? Di dalam mobil? Bukannya di California? Benaknya menggaungkan kata-katanya 6 hari lalu yang meminta Darren untuk menolak kenaikan jabatannya. Esme tercengang sendiri. Benarkah Darren menolak? Entah dia harus merasa senang, atau merasa bersalah. Lalu, apa pula yang dia lakukan di sini? Kenapa dia ada di dalam mobil dan tertidur? Dia bukan hanya tertidur, tetapi berada di dalam selimut yang hangat. Apakah selama berhari-hari ini suaminya ini menungguinya di dalam mobil seperti ini? Darren tidur di sebelah bakerynya selama ini? Air mata ESme kembali mengalir mengingat kekesalan hatinya yang sempat membuatnya berburuk sangka pada Darren. Esme kembali mengintip. Di saat bersamaan, kelopak mata Darren membuk
“Darren!” bisik Esme tepat di telinganya. Pria itu sedang membaca di ponselnya seraya minum segelas kopi panas.Pria itu menoleh pada sang istri. Sebelah tangannya merengkuh pinggang Esme. Segera saja perut besar Esme menempel di pinggang Darren.Dia membelai perut itu dengan tangan satunya, setelah meletakkan ponselnya.“Ada apa?” tanyanya sambil terus membelai.“Kau tidak ada jadwal apa pun kan siang ini?” tanya Esme lagi. Hari itu hari Minggu. Seharusnya Esme tak perlu bertanya lagi. Sudah pasti Darren tidak bekerja. Kecuali, mendadak ada kasus baru dan dia perlu melihat TKP. Nyatanya, Esme tetap bertanya. Ini menandakan dia hendak meminta waktu Darren.“Tidak ada. Ada apa? Kau mau mengajakku makan siang?”Esme tertawa, tetapi menggeleng. “Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu berbelanja pakaian bayi. Bayi kita akan lahir bulan depan. Tapi belum selembar pun bajunya yang kita
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te
Sementara itu di kamarnya, Claire juga menangis tersedu. Dia memikirkan betapa James Carter adalah pria yang baik.James sudah berteman dengan Darren sejak mereka di awal karier kepolisian. Claire suka berada di dekat mereka jika James datang ke rumah.Dan entah sejak kapan, James mulai menunjukkan tanda-tanda suka pada Claire. Meskipun gadis itu tidak menganggap James lebih dari seorang teman, Claire tidak pernah meremehkan perasaan James.Di hari ketika kabar tewasnya James tiba di telinganya, Claire mulai sering memikirkan pria itu. Saat itu, Claire merasa tidak ada salahnya membuka hatinya untuk James. Pria itu dewasa dan sangat baik. Dirinya yang manja mungkin akan bisa merasakan cinta yang manis saat bersama James.Claire bahkan sudah menyusun kata-kata yang akan dia ungkapkan pada James, bahwa dia ingin membuka hatinya untuk James.Tetapi kemudian kabar itu datang. Hatinya hancur remuk.Baru bertahun-tahu
Garry benar-benar mengajak Catherine ke apartemennya. Dalam setiap langkahnya, Catherine merasa semakin gelisah.Meskipun semua ini adalah idenya sendiri, tetapi memikirkan dia akan kepergok Martinez mengunjungi apartemen pria lain, yang malahan baru dia kenal lewat kencan buta, tetaplah membuat perutnya terasa mual.Langkah kaki Cahterine hampir saja berbalik arah jika bukan karena wanita itu terngiang lagi akan ucapan Martinez sebelum ini.‘Kau berhak mendapatkan pria lain yang lebih sempurna. Yang layak mendapatkan dirimu.’Huh! Dasar lelaki tidak peka! Memangnya Martinez tidak sadar jika yang Catherine inginkan adalah pria itu sendiri? Dan karena kebodohannya itu, sekarang Catherine benar-benar ingin mencari yang lebih baik dari pria itu. Dia akan tunjukkan bahwa dia tidak akan mengemis cinta.“Unitmu di lantai ini?” tanya Cahterine terkejut saat mereka keluar dari lift. Bahkan unit Garry berada di lantai yang sama denga
Garry pun memberitahu apartemen tempatnya tinggal. Cahterine terkejut karena nama apartemen yang disebut Garry adalah apartemen tempat Martinez tinggal. Mendadak, selintas ide gila lewat di otak Catherine. Dan idenya ini telah menghilangkan rasa malu Cahterine sebagai wanita. Dia berkata, “Boleh aku mampir ke apartemenmu? Ehm, maksudku, sekarang?” Pertanyaan Cahterine sukses membuat Garry tercengang. Tidak ada wanita yang lebih seterus terang dan segesit dia. Garry juga tidak menyangka jika Catherine bisa mengatakan ini semua mengingat saat makan di kafe tadi, Catherine tidak terlihat ramah. Dia begitu cuek, dingin, dan jutek. Wanita itu seperti tidak memiliki pikirannya di tubuhnya. Tetapi sekarang, tiba-tiba wanita ini memintanya untuk mengajaknya ke apartemen? Mungkin sebentar lagi akan hujan uang. Namun begitu, Garry laki-laki normal. Tidak mungkin dia melewatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi Catherine adalah wanita pirang seksi. Sungguh me