Belum komplit rasanya kalau tidak ada ketua kelas yang akan jadi pesuruh oleh para guru untuk kepentingan di kelas, setelah melewati tiga hari tanpa melakukan apapun dan menunggu kabar dari wali kelas untuk pelajaran selanjutnya. Hari ini kelas X.5 akan melakukan pemungutan suara dengan menuliskannya di secari kertas. Tiga peserta siap untuk dipilih melalui voting, tanpa basa basi semuanya berjalan dengan lancar tanpa ada pertarungan seperti peliknya pemilihan ketua osis.
Seorang cowok berkumis tipis, berbadan besar bernama Ade, telah terpilih menjadi ketua kelas, dengan perbandingan suara terbanyak, dengan jumlah 30 suara dari empat puluh murid. Kemenangan yang telak dan tak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Semuanya bersorak senang atas kemenangannya, terutama para cewek berparas cantik yang duduk melingkar di sekelilingnya. Saat pemilihan berlangsung Cira menulis nama kandidat lain, menurutnya Ade tidak cocok menjadi ketua kelas, sebab Adelah yang menjadi penyebab keributan dengan sekelompok wanita yang duduk di pojok belakang, seharusnya ketua kelas itu harus bersikap tegas dan beribawa bukan malah menambah kegaduhan saat di kelas.
Setelah Ade dilantik oleh wali kelas dan disaksikan oleh teman sekelas dengan memberikannya mandat dan tugas selama satu tahun, yang dibacakan guru dengan sumpah yang diucapkannya. Kini saatnya Ade menjalankan tugas dengan membagikan mata pelajaran untuk jadwal selanjutnya. Melihat banyaknya pelajaran yang akan dikuasai membuat Cira tertidur lemas di atas meja dengan menghela nafas panjang berulang kali.
Cira kembali membuka mata, menatap dinding bercoretkan banyak tulisan dari penghuni tempat sebelumnya. Belum lagi meja yang tidak kalah banyak dengan coretan tip ex. Berbagai kata kotor yang terlihat selama beberapa hari di hadapannya. Mungkin penghuni sebelumnya mempunyai masalah kejiwaan sehingga mencurahkan segala isi hatinya dengan tulisan.
Di kelas ini, Cira menunggu sendirian hingga bosan, sudah setengah jam Awan belum juga kembali dari toilet. Entah kenapa para cewek betah sekali dengan tempat tersebut. Berlama lama mencium aroma tidak sedap di ruangan yang pengap, bahkan untuk buang air harus didampingi teman dengan alasan takut. Sebuah alasan yang dipakai oleh banyak wanita hingga penerusnya saat ini.
Ketika Cira sedang termenung di tempatnya seseorang mencoleknya dengan ujung jari dari belakang. Cira pun menoleh,
“Hai.” sapanya.
“Ya. Aska.” jawab Cira sembari menegakkan tubuh.
Aska menarik kursi ke hadapan Cira dan duduk di satu meja dengannya, dan melanjutkan percakapan kemarin yang belum kesampaian. Saat itu Cira masih merasa canggung berada di dekatnya. Cira mengontrol pernapasannya yang mulai terasa sesak dihadapan Aska lurus menghadap depan, namun matanya melihat ke arah lain. Sedangkan Aska fokus menghadap Cira menyodorkan Hp Blackberry. Saat itu Blackberry menjadi kebutuhan setiap orang terutama para remaja.
Cira? Jangankan Blackberry. Hp dengan merk Nokia dengan harga yang masih bisa dijangkau oleh banyak orang saja tidak punya, apalagi Blackberry yang menjadi trend saat masih sekolah. Hampir semua orang punya barang tersebut. Kecuali, Cira dan teman sebangkunya.
“Aku enggak punya Hp.” kata Cira dengan tenang. Padahal saat itu Cira sungguh malu mengatakannya.
“Masak sih?” tanya Aska kembali. Cira tahu Aska pasti tidak percaya. Wajar saja di zaman itu tak ada orang yang tidak memiliki barang tersebut. Dan Cira tampak seperti orang yang sedang berbohong.
“Benar.” jawabnya lirih. Cira menunduk sejenak lalu beralih memandangnya dengan lantang.
“Jangan liat aku kayak gitu dong. Aku percaya kok.” Aska menarik kursinya dari hadapan Cira. Menaruh kembali kursi tersebut pada tempatnya.
Sejak kapan Aska tertarik padaku? Pertanyaan itu muncul di kepala Cira ketika Aska mengayunkan langkah kembali ke tempatnya. Cira memandangnya dari belakang. Dari punggungnya, dia terlihat seperti orang yang berbeda. Cira ingin memanggilnya kembali ke sini, ke tempatnya dan menyodorkan nomor ponsel kepadanya. Saling bertukar nomor dan saling sapa melalui SMS.
Ya, saat itu SMS menjadi penghubung untuk berkomunikasi jarak jauh dan dekat. Cira sering meminjam Hp Mamanya untuk menghubungi teman-temannya di sekolah. Hanya sebatas meminjam yang bisa dilakukannya. Karena Cira memang tidak mempunyai uang untuk membelinya. Berbagai cara dan upaya yang dilakukan Cira dari menabung di celengan, berhemat dengan tidak jajan saat jam istirahat, Dan banyak cara lain yang telah dilakukannya. Tetap saja tidak bisa membelinya. Cira bersyukur bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang SMA meski dengan susah payah.
Aska masih saja mencuri pandang. Sesekali membalikkan tubuhnya ke belakang hanya untuk melihat Cira, dan dibalas dengan respon yang biasa saja tanpa ekspresi dari wajahnya. Diam dan tenang. Cira belum tahu tujuan Aska meminta nomor ponselnya. Setelah terpikir, Cira merasa bahwa Aska mungkin menyukainya. Biasanya feeling Cira selalu tepat soal perasaan. Ia tidak bisa menarik kesimpulan begitu saja.
***
Sudah tiga hari Cira berada di kelas. Tetapi masih belum belajar dengan teratur. Meski hari ini sudah ada jadwal belajar. Nyatanya guru pun masih belum masuk ke dalam kelas untuk memberikan materi. Cira masih betah duduk di bangku belakang menunggu Awan yang belum kembali dari toilet.
Buku catatannya sudah penuh dengan coretan pena. Cira Tidak tahu harus menulis apa. Bahkan segabut-gabutnya Cira, masih ada sesuatu yang ditulisnya di kertas lembaran belakang. Misalkan menggambar orang yang disukainya dan menuliskan namanya hingga penuh satu lembar kertas. Lalu memejamkan mata dan sebut namanya tiga kali. Itu cara yang ampuh untuk bisa merebut hatinya. Karena ia akan merasakan ketika kita menyebut namanya dalam hati. Itu yang dikatakan temannya meski belum pernah dicoba.
Hari ini Cira akan mencobanya. Menulis nama Aska di buku catatan halaman belakang. Menutup buku tersebut lalu memejamkan mata sembari menyebut namanya.
Hitungan ketiga Cira membuka mata. “1, 2, 3.” Aska berada di hadapannya dengan senyum lebar sembari merebut catatan yang ada ditangan Cira.
“Pinjam buku kamu sebentar.” katanya.
Cira menahan buku catatan tersebut dengan kuat, “Untuk apa?” tanya Cira. Karena dicatatan tersebut penuh dengan namanya.
“Kalau gitu pinjam tangan kamu.” Aska menarik tangan Cira dan menuliskan nomor hpnya dilengan Cira.
“Aku enggak punya hp Aska!” kata Cira.
“Kalau kamu udah punya hp bisa hubungi nomorku.” kata Aska. “Aku tunggu telpon kamu.”
Awan kembali dengan penuh tanya. Setelah melihat Aska baru saja duduk dihadapan Cira. “Benarkan? Aska suka denganmu.” seru Awan membenarkan prasangkanya.
“Aku enggak mau terlalu kepedean. Mungkin aja Aska cuma mau temenan denganku.” ujar Cira.
Awan melihat tulisan dilengan Cira. “Ini apa? Dia kan yang nulis nomor hpnya dilenganmu.” kata Awan tersenyum geli.
“Apaa sih Awan.” jawab Cira malu.
“Gak nyangka aja dengan Aska. Bisa-bisanya nulis nomor hp-nya di lenganmu.” Awan terus mengejek Cira.
Cira menutupinya dengan sweter. Agar tidak menjadi perhatian bagi orang lain.
Cira mempunyai kebiasaan membaca sebelum tidur, di kamarnya terdapat rak buku khusus untuk meletakkan berbagai macam buku hiburan dengan genre romantis dan comedy. Ada juga beberapa buku fantasi. Dari novel, komik dan kumpulan kisah lainnya yang tersusun rapi di rak berukuran kecil. Malam ini Cira mencoba membaca buku novel ‘Harry Potter’ di bawah selimut, karena malam ini cukup dingin disertai dengan angin kencang diluar. Buku yang baru dibelinya dengan harga murah dari pedagang kaki lima yang ada di pasar. Pedagang satu-satunya yang menjual buku bekas di sana.Buku terjemahan pertama yang pernah dibacanya, mencoba memahami cerita tersebut sangat lama. Sudah satu minggu membaca buku tersebut dengan penuh pemahaman dan detail setiap kata yang tertulis. Bahkan rangkaian kata yang menjadi sebuah kalimatpun hanya sedikit yang bisa dipahaminya. Cira mengulang beberapa halaman cerita &lsquo
Cira masuk dengan ragu. Ia tahu kalau Aska sedang duduk bersama temannya yang berkacamata, si kurus yang pintar. Tempat duduk mereka berada di dekat pintu. Setiap melintas, tatapan mereka tak lepas dari Cira yang berjalan seperti layaknya model. Cira kini telah diberi julukan oleh teman sekelas si model yang angkuh. Cira baru tahu dari temannya Awan, bahwasannya para cewek tukang gossip di kelas telah memberinya julukan yang menjengkelkan. Inilah yang membuatnya semakin malas untuk masuk ke dalam kelas. Cara berjalan Cira memang seperti itu. Lurus ke depan sedikit menaikkan dagu dan melenggokkan sedikit pinggulnya. Body yang kurus serta rambut panjang dengan poni yang baru dipotong sebagai penampilan baru. Tidak ada yang menyukai dan berteman dengan Cira kecuali Awan.
Cira menatap papan tulis yang berisikan rangkuman penuh dengan tulisan spidol, membuatnya mengantuk dan malas untuk mencatatnya kembali ke buku tulis. Belum lagi cuaca panas menyelimuti kelas ini yang dipenuhi dengan bau keringat. Hanya ada dua kipas angin yang bergantung di atap kelas, itu pun sudah hampir rusak dilempari anak cowok yang berperilaku seperti monyet. Mereka sering melakukannya di kelas dengan bangga serta tawa ngakak hingga terdengar ke luar kelas. Terkadang guru yang sedang mengajar di kelas sebelah merasa terganggu dengan keributan yang dilakukan, hingga mendatangi kelas mereka dengan ancaman hukuman. Baru sebulan di sini. Kelas sepuluh empat sudah dicap nakal oleh para guru. Tidak ada yang dapat mendiamkan kelas X.4 kecuali ketua kelas. Dialah sumber keributan di kelas. Yang mengajak teman lainnya untuk bersenang senang selama masa SMA.
Suara bel berbunyi ketika Cira baru saja turun dari motor. Tanpa pamit Cira berjalan cepat, berpapasan dengan beberapa guru yang sama telatnya dengan Cira. Banyak sekali yang datang telat hari ini ke sekolah. Dari ujung gerbang terlihat siswa siswi yang bergeromblan mengejar waktu. Di sekolah ini mempunyai peraturan unik. Ketika ada yang terlambat, harus membeli tiket masuk kepada guru piket dengan harga 3.000 rupiah. Jika dihitung-hitung, ada puluhan orang yang membeli tiket masuk kelas. Uang hasil terlambat akan diberikan kepada pelajar yang kurang mampu dan berprestasi. Dengan kata lain adalah beasiswa untuk pelajar. Secara tidak langsung mereka menjadi donatur tetap sekolah bagi pelajar yang dengan sukarela menyumbangkan uangnya tersebut untuk amal di akhirat kelak.&n
“Cepet jalannya.” kata Ara menembus keramaian di kantin sembari menarik tangan Cira agar jangan terpisah di kerumunan. Ini pertama kalinya makan Cira berada di kantin sekolah sebelah. Sekolah satu satunya yang disebut komplek. Karena terdapat tiga sekolah dalam satu wilayah. SMA,SMK dan SMP. Dan Cira berada di sekolah SMA. Namun kebanyakan siswi SMA yang sering makan dikantin SMK. Semuanya bergabung menjadi satu di kantin yang berukuran besar ini. Mereka berdesakan bersama di lautan manusia yang harus memenuhi kebutuhan perut, dan ini sangat menyesakkan.“Mending kita nggak usah makan aja deh.” kata Cira ketika wajahnya diserempet beberapa kali oleh tubuh yang lebih tinggi dari tubuhnya.“Tanggung, udah nyampai sini.” tegas Ara bersikukuh harus makan di kantin.&n
Cira tersentak bangun dari tidurnya yang singkat, menyeka air liur yang menetes sedikit ke pipinya dan memperbaiki posisi duduk ketika suara guru sejarah yang lantang mengegetkannya. Dalam keadaan kesadaran penuh dan masih bingung. Semuanya menutup buku dan memasukkannya ke dalam laci dengan decakan kesal. Semuanya bersorak halus tidak setuju. Cira sungguh tidak tahu apa yang terjadi selama ia tidur. Rasanya selamatidur Cira merasa sudah sampai di penghujung dunia berkelana di alam mimpinya. Cira menatap Awan dalam keadaan bingung dan mata memerah.“Simpan buku kamu.” kata Awan sembari mengeluarkan kertas dua lembar dari dari bagian tengah buku.“Ngapain?” tanya Cira masih bingung.“Kuis dadakan. Mampus kamu!” ujar Awan mempersiapkan alat tulis yang lengkap di atas meja “Nggak boleh minjem ya.”“Palingan nanti pinjam tipe x.&rdqu
Cira bergegas merapikan alat tulis yang berserakan di atas meja. Membiarkan Aska berdiri mematung di sampingnya, setelah pertanyaan yang tidak ingin di dengarnya. Seharusnya Aska tidak perlu bertanya tentang hal yang memalukan tersebut. Tidak ada yang mau mendapatkan nilai nol, karena semua orang sudah berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik dan ini adalah keadaan darurat yang tidak bisa dihindarkan karena alasan sembelit. Cira meninggalkan Aska yang sejak tadi menunggunya untuk melanjutkan kerja kelompok.“Kamu kemana?” tanya Aska. Namun tidak mengehentikan langkah Cira yang berlalu keluar kelas. Cira berlari kecil menuruni anak tangga dengan terdesak, menuju toilet yang kini dipenuhi cewek di sekolah untuk berdandan dan diskusi. Di dalam toilet yang dibatasi dengan sekat-sekat menjadi lima kelompok semuanya terisi p
Selagi menunggu jemputan abangnya, Cira kembali lagi ke toilet dengan berlari kecil sambil membungkuk menahan sembelit yang hampir keluar dari perutnya. Cira memilih toilet terdekat yang berada di sebelah ruang guru dan terletak di lantai dua. Toilet tersebut dilarang keras digunakan oleh murid dengan alasan kebersihan yang harus terjaga.Di toilet guru, kebersihannya sangat terjaga dan berukuran lebih besar serta wangi, tidak ada pemisahan antara toilet cewek dan cowok. Semuanya terpisah antara pintu ke pintu berjumlah tiga ruangan. Di samping toilet terdapat cermin berukuran besar dan dihiasi daun hijau di sekelilingnya serta bunga plastic sebagai penghias cermin agar tampak lebih bagus. Pantas saja para murid berbondong-bondong datang kesini hanya untuk melihat seluruh tubuhnya di depan cermin serta bergaya selfie dengan kamera belakang. Sialnya, Cira bertemu kembali dengan ketiga kakak kelas yang pe