Cira mempunyai kebiasaan membaca sebelum tidur, di kamarnya terdapat rak buku khusus untuk meletakkan berbagai macam buku hiburan dengan genre romantis dan comedy. Ada juga beberapa buku fantasi. Dari novel, komik dan kumpulan kisah lainnya yang tersusun rapi di rak berukuran kecil. Malam ini Cira mencoba membaca buku novel ‘Harry Potter’ di bawah selimut, karena malam ini cukup dingin disertai dengan angin kencang diluar. Buku yang baru dibelinya dengan harga murah dari pedagang kaki lima yang ada di pasar. Pedagang satu-satunya yang menjual buku bekas di sana.
Buku terjemahan pertama yang pernah dibacanya, mencoba memahami cerita tersebut sangat lama. Sudah satu minggu membaca buku tersebut dengan penuh pemahaman dan detail setiap kata yang tertulis. Bahkan rangkaian kata yang menjadi sebuah kalimatpun hanya sedikit yang bisa dipahaminya.
Cira mengulang beberapa halaman cerita ‘Harry Potter’ agar mengerti alur cerita tersebut. Biasanya Cira bisa menghabiskan satu buku dalam waktu tiga hari. Setiap malam Cira harus membaca buku meski satu halaman. Untuk referensi sebagai penambah kosa kata dalam menulis cerita. Ya. Cira mulai tertarik dengan komunitas menulis yang ditemukan di perpustakaan wilayah di kota Pekanbaru. Cira mulai tertarik saat mereka membacakan ceritanya dihadapan para anggota komunitas dengan percaya diri dan penuh semangat.
Sudah pukul delapan malam. Cira sudah selesai dengan rutinitasnya menggunakan skincare. kata itu yang dipakai oleh anak sekarang. Pada zamannya belum ada kata skincare, yang ada hanya perawatan kulit. Menggunakan Handbody, pembersih wajah setelah itu berbaring.
Hp Berbunyi…
Kebetulan Hp Mama Cira berada di kamarnya. Setelah selesai menelpon keluarganya yang berada di Medan, Mama memberikannya kepada Cira karena tidak bisa mematikan ponsel. Mama memang sangat gaptek. Hp nokia yang sangat mudah tidak bisa digunakannya. Bahkan untuk menelpon saja meminta tolong kepada Cira. Yang bisa dilakukan Mama adalah mengangkat telpon setelah itu urusannya diserahkan pada Cira sepenuhnya.
“Halo.” jawab Cira.
“Cira.” katanya. Suara ini terdengar tidak asing bagi Cira.
“Aska.” tebak Cira dengan ragu.
“Kamu langsung mengenal suaraku.” katanya tertawa kecil.
“Ya. gitu deh.” jawab Cira gerogi.
Sejenak tidak ada suara yang terdengar. Mereka terdiam, hanya suara angin yang melintas di antara keheningan mereka. Terdengar jelas dari sana. Di tempat Aska angin berhembus kencang. Mungki saat ini Aska sedang berada di luar. Oh tidak, malam ini hujan turun. Mungkin di sana juga sedang hujan sama seperti di tempat Cira. Tidak ada topik pembicaraan yang menghubungkan pembicaraan mereka.
“Hmm.” Cira memulai pembicaraan dengan cara yang klasik.
“Eeh, maaf.” kata Aska. “Nggak tau kenapa, Tiba-tiba aku jadi gerogi nih.”
“Masak sih kamu gerogi. Seharusnya aku yang gerogi.” kata Cira dengan lirih. Menahan degup jantung yang tidak henti memompa dengan kencang.
“Katanya nggak punya HP?” kata Aska.
“Ini Hp mamaku. Kebetulan aku hp ini di kamarku. Jadi ya-.” jelas Cira tidak karuan.
“Ya..ya.. Pecaya deh, percaya.” kata Aska tidak yakin.
“Beneran. Aku nggak bohong.” jawab Cira meyakinkan.
“Iya deh yang ketahuan bohongnya. Nggak apa-apa kok. Yang penting sekarang aku udah tau nomor kamu. Jadi kita bisa dong…”
“Bisa apanya?” tanya Cira penasaran.
“Nanti kamu bakalan tahu kejutan yang aku berikan. Tunggu aja.” kata Aska.
Deg!
Perasaan Cira mulai tidak karuan. Gerogi dan panas dingin. Cira meletakkan ponselnya sejenak di atas kasur. Dan membuka jendela kamar karena tubuhnya tiba-tiba terasa gerah. Cira berulang kali menghela nafas, menghirup dari hidung mengeluarkannya dari mulut. Cira merasa kalau Aska menyukainya dan Cira belum siap menerimanya.
“Halo.. halo..” kata Aska dari seberang sana.
Cira bergegas mengambil ponsel. “Ya. Halo.”
“Kenapa? Kamu melamun?” kata Aska.
“Gak kok. Aku nggak melamun. Cuma.. Mmm.”
“Cuma apa? Kayaknya malam ini aku ngejutin kamu ya, maaf. Ya udah selamat tidur. Bye.”
Tangan Cira bergetar melepaskan ponsel dari genggamannya. Cira menyandarkan punggungnya sembari menghela napas panjang, menatap kosong ke dinding kamarnya.
Hp kembali berbunyi…
“Halo Aska.” jawab Cira dengan cepat.
“Aska? Hey ini aku Awan. Ketahuan deh, pasti habis telponan dengan Askan kan?” kata Awan menggodanya.
“Kenapa kamu bisa tau? Jangan-jangan? Astaga., kamu pelakunya ya.” kata Cira.
“Kenapa? Senangkan? Ya pastilahkan, masak enggak?” kata Awan kembali menggodanya.
“Kamu mau jadi mak comblangku. Hah?”
“Nggak kok. Tadi pulang sekolah aku dihadang dengan Aska dan temannya. Yaudah deh, aku kasih aja nomor Hp kamu. Senangkan?” kata Awan.
“Udah deh. Aku mau tidur dulu. Soalnya Aska udah ngucapin selamat tidur. Bye.”
“Ciee. Yang udah ada kemajuan. Senang banget kayaknya.”
Cira mematikan ponsel, sebelum Awan membuatnya semakin tidak karuan. Malam itu Cira terbaring di atas kasur dengan banyak pikiran. Jendela kamar tetap terbuka meski malam semakin larut.
Cira berpikir untuk bersikap seperti apa besok dihadapan Aska. Saat ditelpon Cira bisa bicara lancar. Tapi. Saat bertemu langsung Cira akan bicara ketus dan cuek. Hal itu terus terpikir hingga tertidur.
Cira masuk dengan ragu. Ia tahu kalau Aska sedang duduk bersama temannya yang berkacamata, si kurus yang pintar. Tempat duduk mereka berada di dekat pintu. Setiap melintas, tatapan mereka tak lepas dari Cira yang berjalan seperti layaknya model. Cira kini telah diberi julukan oleh teman sekelas si model yang angkuh. Cira baru tahu dari temannya Awan, bahwasannya para cewek tukang gossip di kelas telah memberinya julukan yang menjengkelkan. Inilah yang membuatnya semakin malas untuk masuk ke dalam kelas. Cara berjalan Cira memang seperti itu. Lurus ke depan sedikit menaikkan dagu dan melenggokkan sedikit pinggulnya. Body yang kurus serta rambut panjang dengan poni yang baru dipotong sebagai penampilan baru. Tidak ada yang menyukai dan berteman dengan Cira kecuali Awan.
Cira menatap papan tulis yang berisikan rangkuman penuh dengan tulisan spidol, membuatnya mengantuk dan malas untuk mencatatnya kembali ke buku tulis. Belum lagi cuaca panas menyelimuti kelas ini yang dipenuhi dengan bau keringat. Hanya ada dua kipas angin yang bergantung di atap kelas, itu pun sudah hampir rusak dilempari anak cowok yang berperilaku seperti monyet. Mereka sering melakukannya di kelas dengan bangga serta tawa ngakak hingga terdengar ke luar kelas. Terkadang guru yang sedang mengajar di kelas sebelah merasa terganggu dengan keributan yang dilakukan, hingga mendatangi kelas mereka dengan ancaman hukuman. Baru sebulan di sini. Kelas sepuluh empat sudah dicap nakal oleh para guru. Tidak ada yang dapat mendiamkan kelas X.4 kecuali ketua kelas. Dialah sumber keributan di kelas. Yang mengajak teman lainnya untuk bersenang senang selama masa SMA.
Suara bel berbunyi ketika Cira baru saja turun dari motor. Tanpa pamit Cira berjalan cepat, berpapasan dengan beberapa guru yang sama telatnya dengan Cira. Banyak sekali yang datang telat hari ini ke sekolah. Dari ujung gerbang terlihat siswa siswi yang bergeromblan mengejar waktu. Di sekolah ini mempunyai peraturan unik. Ketika ada yang terlambat, harus membeli tiket masuk kepada guru piket dengan harga 3.000 rupiah. Jika dihitung-hitung, ada puluhan orang yang membeli tiket masuk kelas. Uang hasil terlambat akan diberikan kepada pelajar yang kurang mampu dan berprestasi. Dengan kata lain adalah beasiswa untuk pelajar. Secara tidak langsung mereka menjadi donatur tetap sekolah bagi pelajar yang dengan sukarela menyumbangkan uangnya tersebut untuk amal di akhirat kelak.&n
“Cepet jalannya.” kata Ara menembus keramaian di kantin sembari menarik tangan Cira agar jangan terpisah di kerumunan. Ini pertama kalinya makan Cira berada di kantin sekolah sebelah. Sekolah satu satunya yang disebut komplek. Karena terdapat tiga sekolah dalam satu wilayah. SMA,SMK dan SMP. Dan Cira berada di sekolah SMA. Namun kebanyakan siswi SMA yang sering makan dikantin SMK. Semuanya bergabung menjadi satu di kantin yang berukuran besar ini. Mereka berdesakan bersama di lautan manusia yang harus memenuhi kebutuhan perut, dan ini sangat menyesakkan.“Mending kita nggak usah makan aja deh.” kata Cira ketika wajahnya diserempet beberapa kali oleh tubuh yang lebih tinggi dari tubuhnya.“Tanggung, udah nyampai sini.” tegas Ara bersikukuh harus makan di kantin.&n
Cira tersentak bangun dari tidurnya yang singkat, menyeka air liur yang menetes sedikit ke pipinya dan memperbaiki posisi duduk ketika suara guru sejarah yang lantang mengegetkannya. Dalam keadaan kesadaran penuh dan masih bingung. Semuanya menutup buku dan memasukkannya ke dalam laci dengan decakan kesal. Semuanya bersorak halus tidak setuju. Cira sungguh tidak tahu apa yang terjadi selama ia tidur. Rasanya selamatidur Cira merasa sudah sampai di penghujung dunia berkelana di alam mimpinya. Cira menatap Awan dalam keadaan bingung dan mata memerah.“Simpan buku kamu.” kata Awan sembari mengeluarkan kertas dua lembar dari dari bagian tengah buku.“Ngapain?” tanya Cira masih bingung.“Kuis dadakan. Mampus kamu!” ujar Awan mempersiapkan alat tulis yang lengkap di atas meja “Nggak boleh minjem ya.”“Palingan nanti pinjam tipe x.&rdqu
Cira bergegas merapikan alat tulis yang berserakan di atas meja. Membiarkan Aska berdiri mematung di sampingnya, setelah pertanyaan yang tidak ingin di dengarnya. Seharusnya Aska tidak perlu bertanya tentang hal yang memalukan tersebut. Tidak ada yang mau mendapatkan nilai nol, karena semua orang sudah berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik dan ini adalah keadaan darurat yang tidak bisa dihindarkan karena alasan sembelit. Cira meninggalkan Aska yang sejak tadi menunggunya untuk melanjutkan kerja kelompok.“Kamu kemana?” tanya Aska. Namun tidak mengehentikan langkah Cira yang berlalu keluar kelas. Cira berlari kecil menuruni anak tangga dengan terdesak, menuju toilet yang kini dipenuhi cewek di sekolah untuk berdandan dan diskusi. Di dalam toilet yang dibatasi dengan sekat-sekat menjadi lima kelompok semuanya terisi p
Selagi menunggu jemputan abangnya, Cira kembali lagi ke toilet dengan berlari kecil sambil membungkuk menahan sembelit yang hampir keluar dari perutnya. Cira memilih toilet terdekat yang berada di sebelah ruang guru dan terletak di lantai dua. Toilet tersebut dilarang keras digunakan oleh murid dengan alasan kebersihan yang harus terjaga.Di toilet guru, kebersihannya sangat terjaga dan berukuran lebih besar serta wangi, tidak ada pemisahan antara toilet cewek dan cowok. Semuanya terpisah antara pintu ke pintu berjumlah tiga ruangan. Di samping toilet terdapat cermin berukuran besar dan dihiasi daun hijau di sekelilingnya serta bunga plastic sebagai penghias cermin agar tampak lebih bagus. Pantas saja para murid berbondong-bondong datang kesini hanya untuk melihat seluruh tubuhnya di depan cermin serta bergaya selfie dengan kamera belakang. Sialnya, Cira bertemu kembali dengan ketiga kakak kelas yang pe
Semuanya terdiam ketika Cira melangkah masuk ke dalam rumah. Suasana ini kembali lagi terlihat setelah beberapa bulan mulai mereda. Kedua orang tuanya tengah duduk berhadapan dengan pandangan kosong dan berselonjor di lantai ditemani dengan suara tv yang menyala. Kali ini bukan hanya kedua orang tuanya yang di rumah. Ada abangnya, anak pertama dari keluarga ini. Biasanya siang ini ia tidak berada di rumah. Cira mengingat kembali hari apakah ini? Dan ini adalah hari selasa setelah melihat seragam sekolahnya, putih dongker. dan terlihat jelas kalender berukuran besar yang bergantung di dinding menunjukkan tanggal dan hari yang jelas. Memang benar ini hari selasa. Mengapa abang Cira bisa ada di rumah. Padahal ini adalah jadwal kerjanya sebagai supir di sebuah toko grosir. Seharusnya saat ini dia sedang berkelana ke luar kota mencari langganan ke toko-toko kecil untuk menawarkan barangnya tersebut.“C