Pagi ini merupakan awal yang buruk untuk memulai hari, bagaimana tidak. Kaki Cira sulit untuk digerakkan saat akan melangkah. Bahkan tidak merasakan apapun saat menginjakkan kakinya di lantai. Ia panic dan mulai berpikir buruk. Mungkinkah ia lumpuh atau bahkan kakinya kini sedikit berair dan tidak bisa tertolong. Pikirnya.
Cira berjalan dengan satu kaki dan menjadikan dinding sebagai alat bantunya untuk berjalan, perlahan membuka pintu. Kemudian menangis keras agar seisi rumah tahu keadaannya sekarang.
“Ma. Kaki aku sakit.” kata Cira.
Abang Cira yang sedang merapikan kasetnya di ruang keluarga, tidak kaget dengan kaki Cira dan berkata, “O Bengkak. Bentar lagi kita ke kliniknya. Soalnya baru jam tujuh.”
“E
Cira mempersilahkan teman – temannya masuk ke dalam kamar, sekaligus Cira juga belum bisa berdiri terlalu lama dan ingin duduk di atas kasur lebih lama dan menselonjorkan kakinya.“Masuklah.” kata Cira. Mereka masuk dengan sungkan, sembari menyusuri seisi kamar dengan tatapannya. Ini pertama kalinya mengajak teman sekolahnya masuk ke dalam kamar. Terutama para cowok, mungkin baru kali ini juga mereka masuk ke dalam kamar cewek yang berisi banyak boneka dan buku-buku di rak kecil. Tidak ada foto masa kecil. Hanya ada foto remaja yang terpajang di bingkai foto kecil. Itupun foto bersama saat dengan teman se-geng SMPnya sebelum kelulusan.“Maaf, ya. Duduknya di bawah aja.” kata Cira.“Nggak apa-apa, Cir. Santai aja.” jawab Aska. Ia masih saja berdiri sementara teman yang lainnya sudah duduk di lantai karpet. Memperhatikan rak buku Cira yang berisi ban
Di ruang tengah, saat hendak pamit pulang, mama menyiapkan aneka gorengan yang masih panas di meja kecil kayu, dihidangkan khusus buat teman-teman Cira.“Kalian mau kemana?” tanya Mama.“Kami pamit pulang, buk.” jawab Nando sopan.“Nanti aja pulangnya. Makan dulu gorengannya. Kalau udah habis baru boleh pulang.” seru Mama menahan mereka untuk tetap tinggal lebih lama. Melihat banyak gorengan yang baru keluar dari penggorengan. Akhirnya mereka duduk sembari menikmati aneka gorengan, bakwan, tahu isi, risoles. Juga ditemani dengan minuman teh es yang segar.“Assalamualaikum.” Terdengar ucapan salam dari luar. Suara yang tidak asing di telinga Cira. Suara lantang seperti tukang palak yang ada di pasar.“Waalaikumsalam.” jawab mereka serentak.&nbs
Cira duduk di teras rumah, menunggu Aska yang tak kunjung kembali dari masjid. Belum ada tanda-tanda kedatangannya saat ini, saat Abang Cira sudah pulang ke rumah, Bahkan, mungkin saja, Abang Cira tidak sadar kalau sebelumnya Aska berangkat ke masjid bersamanya. Sama sekali tidak ada membicarakan temannya tersebut ketika sampai di rumah. Untuk meredam kekhawatiran, Cira mencoba mengalihkannya dengan membaca buku meski tidak fokus. Cira hanya membalikkan lembaran demi lembaran ke halaman selanjutnya tanpa tahu alur ceritanya. Sebenarnya saat ini Cira sedang tidak ingin membaca buku novel. Apalagi diwaktu maghrib, yang seharusnya saat ini, ia sudah berada di meja makan bersama keluarga. Sebenarnya dengan membaca buku dapat mengalihkan rasa bosannya selama menunggu Aska. Biasanya Cira bisa masuk ke dalam alur cerita novel tersebut. Seakan bi
"Jadi, Gimana?" tanya Aska, seketika suasana menjadi lebih hening. Cira diam menunduk, dengan pernyataan Aska. Di koridor, depan kelas. Setelah semua kelas telah bubar saat beberapa menit yang lalu. Murid - murid berdesakan, tidak sabar keluar kelas menyandang tasnya. Di sana hanya ada mereka berdua. "Aku nggak sedang ngancam kamu Ra, Kenapa takut gitu ngeliat aku." katanya memecahkan keheningan. "Aku pikir kamu bakalan terbiasa dengan kedekatan kita selema beberapa bulan ini. Perlahan Cira mengangkat kepalanya. Menatap Aska dengan ragu. "Jangan jawab sekarang. Pikir aja dulu." sarannya mengurangi sedikit beban hati Cira. Cira mengangguk pelan. Belum bisa bersuara. Seakan saat ini pita suaranya tertahan oleh rasa takut. "Aku antar pulang." ajaknya. Cira kembali mengangguk pelan. Ia menuruni anak tangga dan tersandung. "Gerogi banget emangnya." kata Aska menahan tawa. "Kamu serius nggak
Belum komplit rasanya kalau tidak ada ketua kelas yang akan jadi pesuruh oleh para guru untuk kepentingan di kelas, setelah melewati tiga hari tanpa melakukan apapun dan menunggu kabar dari wali kelas untuk pelajaran selanjutnya. Hari ini kelas X.5 akan melakukan pemungutan suara dengan menuliskannya di secari kertas. Tiga peserta siap untuk dipilih melalui voting, tanpa basa basi semuanya berjalan dengan lancar tanpa ada pertarungan seperti peliknya pemilihan ketua osis. Seorang cowok berkumis tipis, berbadan besar bernama Ade, telah terpilih menjadi ketua kelas, dengan perbandingan suara terbanyak, dengan jumlah 30 suara dari empat puluh murid. Kemenangan yang telak dan tak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Semuanya bersorak senang atas kemenangannya, terutama para cewek berparas cantik yang duduk melingkar di sekelilingnya. Saat pemilihan berlangsung Cira menulis nama kandidat lain, menurutnya Ade tidak cocok menjadi ketua
Cira mempunyai kebiasaan membaca sebelum tidur, di kamarnya terdapat rak buku khusus untuk meletakkan berbagai macam buku hiburan dengan genre romantis dan comedy. Ada juga beberapa buku fantasi. Dari novel, komik dan kumpulan kisah lainnya yang tersusun rapi di rak berukuran kecil. Malam ini Cira mencoba membaca buku novel ‘Harry Potter’ di bawah selimut, karena malam ini cukup dingin disertai dengan angin kencang diluar. Buku yang baru dibelinya dengan harga murah dari pedagang kaki lima yang ada di pasar. Pedagang satu-satunya yang menjual buku bekas di sana.Buku terjemahan pertama yang pernah dibacanya, mencoba memahami cerita tersebut sangat lama. Sudah satu minggu membaca buku tersebut dengan penuh pemahaman dan detail setiap kata yang tertulis. Bahkan rangkaian kata yang menjadi sebuah kalimatpun hanya sedikit yang bisa dipahaminya. Cira mengulang beberapa halaman cerita &lsquo
Cira masuk dengan ragu. Ia tahu kalau Aska sedang duduk bersama temannya yang berkacamata, si kurus yang pintar. Tempat duduk mereka berada di dekat pintu. Setiap melintas, tatapan mereka tak lepas dari Cira yang berjalan seperti layaknya model. Cira kini telah diberi julukan oleh teman sekelas si model yang angkuh. Cira baru tahu dari temannya Awan, bahwasannya para cewek tukang gossip di kelas telah memberinya julukan yang menjengkelkan. Inilah yang membuatnya semakin malas untuk masuk ke dalam kelas. Cara berjalan Cira memang seperti itu. Lurus ke depan sedikit menaikkan dagu dan melenggokkan sedikit pinggulnya. Body yang kurus serta rambut panjang dengan poni yang baru dipotong sebagai penampilan baru. Tidak ada yang menyukai dan berteman dengan Cira kecuali Awan.
Cira menatap papan tulis yang berisikan rangkuman penuh dengan tulisan spidol, membuatnya mengantuk dan malas untuk mencatatnya kembali ke buku tulis. Belum lagi cuaca panas menyelimuti kelas ini yang dipenuhi dengan bau keringat. Hanya ada dua kipas angin yang bergantung di atap kelas, itu pun sudah hampir rusak dilempari anak cowok yang berperilaku seperti monyet. Mereka sering melakukannya di kelas dengan bangga serta tawa ngakak hingga terdengar ke luar kelas. Terkadang guru yang sedang mengajar di kelas sebelah merasa terganggu dengan keributan yang dilakukan, hingga mendatangi kelas mereka dengan ancaman hukuman. Baru sebulan di sini. Kelas sepuluh empat sudah dicap nakal oleh para guru. Tidak ada yang dapat mendiamkan kelas X.4 kecuali ketua kelas. Dialah sumber keributan di kelas. Yang mengajak teman lainnya untuk bersenang senang selama masa SMA.