Share

Edisi Kelas
Edisi Kelas
Author: Cira

Prolog

"Jadi, Gimana?" tanya Aska, seketika suasana menjadi lebih hening.

Cira diam menunduk, dengan pernyataan Aska. Di koridor, depan kelas. Setelah semua kelas telah bubar saat beberapa menit yang lalu. Murid - murid berdesakan, tidak sabar keluar kelas menyandang tasnya. Di sana hanya ada mereka berdua. 

"Aku nggak sedang ngancam kamu Ra, Kenapa takut gitu ngeliat aku." katanya memecahkan keheningan. "Aku pikir kamu bakalan terbiasa dengan kedekatan kita selema beberapa bulan ini.

Perlahan Cira mengangkat kepalanya. Menatap Aska dengan ragu.

"Jangan jawab sekarang. Pikir aja dulu." sarannya mengurangi sedikit beban hati Cira.

Cira mengangguk pelan. Belum bisa bersuara. Seakan saat ini pita suaranya tertahan oleh rasa takut.

"Aku antar pulang." ajaknya.

Cira kembali mengangguk pelan. Ia menuruni anak tangga dan tersandung. 

"Gerogi banget emangnya." kata Aska menahan tawa.

"Kamu serius nggak sih." tanya Cira. Ini bukan pertama kalinya Aska menyatakan cinta. Berulang kali dengan candaan. Tetap saja Cira belum terbiasa dengan guyonannya.

"Serius, Ra. Atau mau aku ulang lagi. Aku serius, aku serius, aku benar-benar serius." ucapnya berulang kali hingga Cira tidak tahan mendengarnya. Menuruni anak tangga sembari menutup kedua telinga melangkah lebih cepat meninggalkan Aska.

***

Hari pertama Cira menginjakan kaki sebagai pelajar, sekolah swasta yang menjadi pilihan keduanya setelah dinyatakan tidak lulus di sekolah negeri pilihannya yang berada tidak jauh dari rumahnya, dengan jarak sekitar satu kilometer. Alasan Cira memilih sekolah negeri saat itu karena jaraknya dekat dari rumah dan Cira bisa lebih irit biaya selama sekolah. Sejak awal Cira sudah yakin 100% bahwa dirinya tidak akan lolos masuk ke sekolah itu.  Dan sekarang Cira sudah menjadi sisiwi SMA swasta meski masih menggunakan seragam SMP.

Di sini Cira langsung disuguhkan dengan adegan romantis di tempat pendaftaran murid baru. Di ruang tunggu, tepatnya di belakang ruangan guru piket, di bawah tangga yang berukuran kecil. Seorang cowok yang sedang merayu cewek dihadapannya dengan perkataan lembut, dan cewek yang kini termakan rayuannya terlihat sedang malu-malu.

Cira melirik dengan geli dan berkata pelan, "Makan tuh cinta." Pandangannya beralih ke tulisan yang terletak di atas meja bertuliskan 'penfaftaran murid baru' yang seharusnya tidak lagi dipajang di sana. Karena pendaftaran sudah ditutup sejak seminggu yang lalu.

Apa gini ya kehidupan anak SMA? Pertanyaan itu muncul di pikiran Cira karena saat itu banyak yang sedang berjalan berpasangan. Ada juga yang baru tiba di depan sekolah, diantar dengan motor turun dari boncengannya. Dan ada juga yang ketika keluar dari mobil, pintunya dibukakan lalu mereka jalan dengan bangga seakan mereka adalah selebrity. 

Tahun 2010 Cira memasuki SMA swasta di Pekanbaru, karena nilainya yang tidak mencukupi untuk bisa masuk ke sekolah negeri yang menjadi impian banyak orang. Sekolah swasta yang cukup popular dikalangan masyarakat, karena menghasilkan murid yang berprsetasi dalam berbagai bidang ilmu mata pelajaran maupun ektrakurikuler.

Di lingkungan masyarakat, sekolah negeri menjadi tempat pendidikan favorite bagi pelajar yang menginginkan biaya yang ringan, serta menjadi tujuan utama bagi pelajar yang mempunyai nilai yang tinggi. Mereka akan bersaing ketat saat ujian tes masuk sekolah negeri, bahkan seluruh tempat les akan dipenuhi oleh para pelajar, bukan untuk belajar atau menambah wawasan melainkan untuk bisa mendapatkan gambaran soal ujian.

Hal itu sudah menjadi kebiasaan dari tahun ke tahun. Bahkan pelajar yang jarang masuk di kelas bisa mendapatkan nilai terbaik di sekolahnya. Selama tiga tahun di bangku SMP Cira belajar dengan jujur dan rajin. Selalu mengerjakan tugas tepat waktu dan mendapat nilai yang bagus. Tetap saja, bagaimanpun giatnya belajar, orang yang berbuat curang pasti akan menang. Begitulah pemikirannya saat itu.

Di kelas baru ini Cira merasa sangat bosan, sebab tidak ada yang dikenalnya seorang pun di sini, bahkan teman SMP yang kini satu sekolah pun tidak ada yang sekelas dengannya. Semuanya terlihat asing, mulai dari kelas yang ruangannya berukuran lebih besar dari SMP dengan jumlah murid  yang lebih banyak, hingga orang-orang yang berasal dari sekolah yang menghasilkan bibit unggul, dan menjadikannya sedikit minder.

Sekolah yang saat ini diminati oleh banyak orang, terutama para pejabat dan orang kaya lainnya yang menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik dengan akreditas ‘A’ yang memiliki fasilitas sekolah yang memadai. Kelas Cira berada di lantai tiga, berada di samping tangga yang menghubungkan antara lantai dua dan tiga.

            Saat MOS berlangsung, Cira bertemu dengan teman sekelasnya yang ada di SMP. Mereka berbincang sesaat sampai akhirnya terpisah oleh kelas. Hanya ada tiga alumni SMP yang masuk ke SMA yang sama dengannya. Semuanya berada di kelas yang berbeda dan kini Cira merasa sendirian di antara keributan di kelas. Dari pintu gerbang sekolah yang tinggi, Cira sudah punya firasat buruk tentang dirinya.

Saat ini Cira mempunyai prinsip untuk tidak pacaran selama masa sekolah, ia akan fokus belajar untuk bisa masuk ke universitas impiannya. Dibalik alasannya tidak mau pacaran adalah karena teman-temannya sering menangis karena dikecewakan selama pacaran, dengan alasan sudah bosan dan perselingkuhan. Dan yang lebih membuatnya menghindari pacaran adalah karena faktor keluarga. Makanya Cira memilih untuk tidak menjalin hubungan dengan cowok termasuk berteman dekat. 

Ruangan kelas tanpa guru menjadi peluang bagi mereka, siswa-siswi baru untuk saling berkenalan satu sama lain. Beberapa orang sudah mempunyai teman dan berkumpul di salah satu meja. Mereka sangat mudah akrab dengan orang baru. Sedangkan Cira? masih belum bisa beradaptasi dengan teman baru.

Cira duduk nomor dua dari belakang sendirian. Memperhatikan orang-orang yang bisa beradaptasi dengan mudah tanpa rasa canggung. Bahkan saat ini mereka bisa tertawa lepas dengan lemparan candaan receh secara bergantian. Tidak ada yang mengajaknya berbicara dan Cira juga enggan untuk menghampiri mereka karena merasa tidak percaya diri.

            Suara riuh terdengar dari setiap sudut ruangan kelas. Para cowok yang sedang berkumpul mulai tertawa. Salah satu dari mereka sedang melakukan stand up comedy. Pada saat itu istilah stand up comedy belum terlalu popular. Ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkannya yaitu sebuah lawakan yang dilakukan oleh satu orang. Tawa keras membuatnya tertekan karena belum mempunyai teman di kelas. Di antara canda tawa mereka, disini ada Cira yang sedang menunggu seorang teman. Setidaknya Cira butuh teman sebangku.

            Seorang cewek yang sedang berdiri di depan, menyapu seisi kelas dengan sorot mata kebingunan. Cira memperhatikannya sejak dia masuk dari pintu. Menggendong tas ransel dan memakai kacamata. Menggenggam kedua tali ranselnya dan menunduk ragu. Dia seperti mencari sesuatu. Cira sadar, mungkin yang dicarinya adalah bangku kosong. Semua kursi memang sudah di duduki tas sebagai tanda sudah ada penghuninya. Cira melambaikan tangan dengan ragu. Namun. Dia tidak menyadarinya.

            Cira memanggilnya dengan suara pelan dengan posisi berdiri agar cewek itu melihat ke arahnya. Barulah dia menghampiri Cira dengan malu. Cira berusaha tersenyum meski terpaksa agar ada yang mau duduk di sebelahnya.

“Aku boleh duduk di sebelahmu.” ucapnya dengan suara kecil. Dia sedikit menunduk dan tampak ragu.

“Boleh kok.” Cira kembali tersenyum dan sedikit menyipitkan mata.

            Dia duduk meletakkan tangannya di atas meja dan memainkan jari-jarinya. Menyematkan antara jari satu kejari lainnya dan menatap lurus ke tangannya. Cira tahu dia sedang gerogi saat ini. Untuk pertama kalinya Cira memulai dalam pertemanan.

Cira menoleh ke arahnya, “Aku Cira.” Tanpa mengulurkan tangan. Tidak ada jawaban darinya. Cira mematah matahkan jarinya hingga berbunyi. Karena Merasa kesal, dan tidak ada respon darinya. Justru Dia menunduk dan meletakkan tangannya bersandar di paha. Cira kembali ke posisinya semula. Seperti tadi, menatap teman-teman yang lain sedang asik bersenda gurau.

“Aku Awan.” katanya setelah beberapa menit Cira mengenalkan diri kepadanya.

            Sebenarnya Cira masih gondok dengan anak yang ada di sebelahnya. Sebelumnya Cira belum pernah punya teman secupu dan sependiam dirinya. Untuk menunjukkan keramahan, Cira kembali mengutas senyum. “Aku Cira. Kenapa bisa telat masuk kelas?”

“Tadi aku sempat kesasar dan sempat duduk di kelas lain. Aku baru sadar ketika wali kelas masuk.”

“Oo gitu ya.” Cira merespon seadanya. Pandangannya kembali ke depan melipat kedua tangan dan duduk dengan menyilangkan kaki. Seperti biasa Cira memsasang wajah yang datar tanpa ekspresi.

Cira tahu teman-teman yang sedang duduk dua baris paling depan sedang membicarakannya. Mereka tampak sesekali melihat Cira sekilas lalu berbisik. Namun, suara mereka terdengar samar samar. Cira sudah terbiasa dengan respon orang-orang yang baru mengenalnya. Mereka pasti menyangka Cira adalah orang yang sombong dan jutek. Meski begitu Cira tidak pernah tersinggung dengan anggapan orang lain.

            Wali kelas belum juga masuk ke dalam kelas. Sementara Cira sudah mulai gelisah duduk di kelas ini. Rasanya begitu sesak. Entah kenapa hari ini Cira merasa gelisah dan ingin segera pulang ke rumah.

Cira kembali bertanya, “Awan dari sekolah mana?”

“Aku dari SMP unggul.” jawabnya.

“Hah, Serius.” Cira kaget merasa tidak percaya. Melihat lambang sekolah di lengan bajunya. Awan berkata benar. Dan Cira melihat banyak diantara temannya yang berpakaian sama seperti Awan. Saat itu mereka belum mendapatkan seragam karena hari pertama masuk sekolah sesuai jadwal. Mereka masih mengenakan seragam SMP, putih dongker.

“Kenapa kamu enggak gabung dengan mereka aja.” Cira tertegun dengan ucapan yang baru saja dilontarkannya seolah Cira ingin mengusir Awan dari sebelahnya.

“Aku enggak terlalu dekat dengan mereka. Kami cuma satu sekolah. Tapi jarang ngobrol.” jelas Awan.

Cira paham dengan situasinya. Sering kali di dalam satu kelas para cewek  membentuk sebuah geng, dan cuma yang berada di dalam geng tersebut yang dianggap sebagai teman. 

            Pandangan Cira teralihkan saat dua orang cowok masuk ke dalam kelas. Cowok berkacamata, tinggi serta kurus dan cowok berkulit putih dan lumayan ganteng. Mata mereka bertemu saat dia hendak duduk di kursi depan berjarak dua tempat darinya.

Dua cowok itu bergabung dengan keempat cewek yang sedang membicarakannya, dan melemparkan pandangan yang sama seperti yang dilakukan teman sekelas lainnya. Rasanya Ingin sekali Cira menghampiri mereka dan mengucapkan, “Say hello.” Namun Cira tidak bisa melakukannya, karena sudah terlanjur kesal dengan lirikan aneh mereka terhadapnya. Cira mengeluarkan cermin dari dalam tas. Memastikan tidak ada yang aneh pada wajahnya, Karena sejak tadi mereka terus mencuri pandang terhadapnya dengan cekikikan kecil.

            Cira berusaha mengabaikan mereka dan lebih memilih mengobrol dengan Awan, sementara menunggu wali kelas datang. Obrolan intens ini dilakukan hanya untuk  bisa mengenal Awan lebih dekat lagi. Meski saat itu masih terasa canggung. Tetap saja Cira berusaha untuk menggandengnya menjadi teman.

            Ditengah obrolan, dua cowok yang sejak tadi mencuri pandang kepada Cira, kini duduk di belakangnya dan memanggil sembari menunjuk punggung Cira dengan jarinya.

Cira  menoleh ke belakang, “Nama kamu Cira ya?”

“Iya.” jawab Cira. Sontak membuatnya kaget ketika dia mengetahui namanya. Pandangan Cira kembali beralih ke depan.

“Kok ketus banget. Boleh minta nomor handphone enggak?”

Cira kembali menoleh ke belakang, “Aku enggak punya Handphone.” jawab Cira seadanya. Saat itu Cira memang belum punya handphone seperti teman lainnya. Karena memang tidak ingin dan tidak punya uang untuk membelinya. Orang tua Cira tidak pernah membelikannya barang. Kecuali memang sangat penting. Kalau untuk membeli handphone, Cira harus menabung dengan uang jajannya. Uang yang diberikan pun hanya cukup untuk makan di kantin. Terkadang Cira masih merasa kurang dengan uang sakunya, karena makanan di kantin memang agak mahal.

“Masak sih kamu gak punya hp.” tanya Aska kembali.

“Beneran.” jawab Cira menahan gigi gerahamnya agar tidak kedengaran dengan teman lainnya.

“Jangan mengerang gitu dong. Kalau enggak punya, enggak apa apa kok.” Aska kembali ke tempatnya diikuti temannya dari belakang dan menyikut lengannya sembari tersenyum.

“Kayaknya dia suka dengan kamu deh.” kata Awan mulai menggoda Cira.

“Nggak mungkinlah. Hari pertama masuk kelas. Udah langsung suka!” Cira berusaha menepis prasangka Awan.

            Seorang guru wanita masuk ke dalam kelas dengan senyum yang terpasang di wajahnya. Membawa buku besar yang di genggam di tangannya, serta mengenakan kerudung menutupi aurat seperti layaknya muslimah. Penampilannya persis seperti guru ngaji. Guru itu meletakkan bukunya di atas meja dan berdiri di tengah papan tulis lalu berjalan ke tengah mereka sambil memperkenlkan diri.

“Assalamualaikum dan selamat siang. Maaf ibuk datang terlambat karena ada keperluan yang harus di kerjakan. Nama ibuk Henna kalian panggil saja Ma’am Henna. Ibuk guru bahasa inggris dan akan menjadi wali kelas kalian. Untuk saat ini kita free. Tidak ada pelajaran dan digantikan dengan perkenalan diri dari kalian.”

             Masing masing mulai memperkenalkan diri dengan candaan bahka disaut dengan sorakan karena jawaban yang dilontarkan sedikit nyeleneh. Kini tiba saatnya giliran Cira untuk memperkenalkan diri dengan berdiri di tempatnya. Cira merasa gerogi ketika semua mata tertuju padanya. Suaranya tertahan dan sulit bicara. Perasaannya berubah menjadi takut dan gerogi. Ditambah lagi Aska menoleh ke arahnya, tatapannya tidak lepas dari Cira.

“Namaku Cira. Berasal dari SMP N****I. Impianku adalah. “Hmm”. Cira tertunduk mencari impiannya. Sebenarnya Cira mempunyai impian yang tidak ingin disebutkannya. Impian yang dimiliki oleh semua orang. “Belum tahu buk.” katanya dengan santai. Suara gemuruh dari teman sekelas mulai terdengar di telinganya. Mereka mentertawakan Cira karena tidak memiliki impian. Cira tidak peduli karena waktu yang akan membawanya pada impian.

            Kini giliran Awan  memperkenalkan dirinya. Namun dia hanya tertunduk diam. Suara Awan sama sekali tidak terdengar dengan yang lainnya. Hanya Cira yang mendengar bisikan dari suaranya. Awan menggengam erat tangannya. Tidak tahan berdiri terlalu lama karena sangat takut menjadi pusat perhatian.

“Ya udah. Cukup perkenalannya.” kata Ma’am Henna.

            Awan duduk dengan kaki gemetaran. Dia meletakkan kedua tangannnya di atas meja dan  berkeringat.

“Santai aja. Enggak apa apa kok.” Cira mencoba menenangkannya.

            Perkenalan telah usai. Wali kelas keluar dan mereka mulai duduk berkelompok seperti tadi. Sebenarnya mereka diperbolehkan untuk pulang. Namun tidak ada yang beranjak dari tempatnya dan Cira pun enggan untuk keluar. Dua orang cewek baru saja masuk berlari ke dalam kelas. Dengen tawa terkikik dan duduk dihadapannya. Mereka terengah menarik nafas. “Hari pertama masuk kelas sudah berani bolos. Apalagi selanjutnya,” kata Cira lirih. Mereka mengangkat kedua tangannya dan bertepuk. Entah apa yang sudah dilakukan mereka. Yang jelas mereka terlihat bahagia.

            Mereka berbalik ke arah Cira dan Awan. “Namaku Ara dan dia Lisa.” Mereka mengobrol panjang hari itu…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status