Cira masuk dengan ragu. Ia tahu kalau Aska sedang duduk bersama temannya yang berkacamata, si kurus yang pintar. Tempat duduk mereka berada di dekat pintu. Setiap melintas, tatapan mereka tak lepas dari Cira yang berjalan seperti layaknya model. Cira kini telah diberi julukan oleh teman sekelas si model yang angkuh. Cira baru tahu dari temannya Awan, bahwasannya para cewek tukang gossip di kelas telah memberinya julukan yang menjengkelkan. Inilah yang membuatnya semakin malas untuk masuk ke dalam kelas.
Cara berjalan Cira memang seperti itu. Lurus ke depan sedikit menaikkan dagu dan melenggokkan sedikit pinggulnya. Body yang kurus serta rambut panjang dengan poni yang baru dipotong sebagai penampilan baru.
Tidak ada yang menyukai dan berteman dengan Cira kecuali Awan.
Cira tidak mempedulikan orang di sekitarnya selama tidak ada perilaku bullying di sekolah. Cira masih bisa sabar menghadapi gosipan anak di kelas yang belum mengenalnya dengan baik.
Saat di depan kelas Cira baru menyadari terdapat bercak hitam di tangannya bekas dari mencuci kuali hitam di rumah. Saat itu Cira hendak berangkat ke sekolah dengan tas yang sudah bergelantung di bahunya. Namun, Mama berteriak dari arah dapur meminta tolong untuk mencuci kuali karena masakannya tidak bisa ditinggalkan dengan alasan takut hangus. Dengan rasa gondok dalam hati Cira melakukannya dengan gerutuan kecil.
Suara Cira yang sedang mengomel terdengar oleh Mamanya dan dibalas dengan celotehan keras, “Kalau enggak mau bantu Mama. Ya, udah pergi aja ke sekolah. Selalu aja ngomel kalau disuruh ngerjakan sesuatu. Selalu aja menggerutu. Kamu itu sebagai anak harus berbakti dengan orang tua. Baru disuruh gitu aja ngomel terus, bukannya mama nyuruh kamu ngamen atau cari uang di jalanan. Cuma cuci kuali aja, bawaannya ngomel!”
“Maa, udah dong. Pagi-pagi malah diomelin. Aku kan mau sekolah.” protesnya. Meletakkan kuali yang dibersihkan di atas kompos gas.
“Kan kamu yang ngedumel duluan pagi gini. Cepat berangkat sana. Nanti telat.” Mama melanjutkan masaknnya disertai nyanyian lawas.
Cira berangkat dengan kesal dan wajah yang cemberut. Saat ini tangannya dipenuhi dengan jejak hitam dan berminyak bekas kuali hitam yang di cucinya di dapur, hingga lupa membasuh tangannya kembali.
Sebelum masuk kelas Cira pergi ke toilet untuk membersihkannya. Salah satu teman sekelas yang berpapasan dengannya saat di tangga melihat tangan Cira dengan noda hitam.
“Tangan kamu kenapa? Habis kerja bengkel?” katanya sembari ketawa kecil. Ditambah lagi desisan suara dari teman lainnya yang berusaha menahan tawa.
“Aku nggak kerja bengkel. Habis racik bom tadi. Nggak sengaja meledak, Jadi hitam deh, tanganku.” jawabnya. buru-buru menuju toilet sebelum ada anak julid lainnya yang akan berkomentar asal.
Bukan Cira namanya kalau berlama-lama di toilet menyaksikan banyak cewek genit yang sedang berdandan. Memoles wajah dengan foundation, belum lagi lipstick yang terang serta mascara yang membuat bulu mata membahana. Mereka mengepak bibirnya di depan cermin, memonyongkannya dan bergaya centil. Sentuhan terakhir menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh dan menyebar kesetiap sudut sekat toilet ini. Astaga, seharusnya mereka harus masuk ke sekolah fashion atau kecantikan yang bisa menyalurkan bakat terpendam mereka seperti ini. Sangat disayangkan jika gaya mereka cuma bisa dipamerkan di toilet ini.
Cira menggosoknya dengan sekuat tenaga hingga tangannya memerah. Noda di tangannya sangat sulit dihilangkan, harus menggunakan sabun cair atau sejenisnya untuk menghilangkan jejak hitam yang mulai menyebar ke permukaan kulit tangannya. Yang menjadi masalah saat ini adalah bajunya juga terkena air bekas bilasan dari tangannya dan ikut berubah warna menjadi hitam. Cira melirik cewek yang di sebelahnya sedang mengeluarkan sabun cair dari botol.
“Permisi. Boleh minta sabunnya sedikit.” kata Cira sedikit ragu.
“Boleh kok.” Menyerahkannya ketanggan Cira.
“Terima kasih.”
Mereka mulai bergosip sembari menunggu teman lainnya selesai berdandan. Sementara di sebelah Cira, cewek yang memberikannya sabun cair ke tangannya tadi bercerita dengan semangat.
“Kalian tau Aska? Cowok ganteng yang yang sering main drum band?”
“Aska siapa?” jawab temannya menoleh.
“Astaga! Aska? Adik kelas kita yang kulitnya putih. Naik motor ninja.” serunya melototi temannya yang tidak tahu keberadaan Aska.
“Santai aja dong say. Kasih tau kita dimana Aska. Seganteng apa sih dia. Bisa-bisanya buat My princess sampai melongo kayak gini.”
Dia mendengus, cewek yang dikatakan Princess oleh temannya. Memang dia seperti putri kerajaan. Cantik dengan meke up menornya. Ini adalah wajah topeng yang diperlihatkan kepada teman-temannya. “Aku harus mendapatkannya.” katanya mengibaskan rambut dengan angkuh menghadap cermin.
Medengar percakapan tersebut. Cira bergegas menyelesaikan urusannya dengan cepat.
“Terima kasih ya kak?” kata Cira sekali lagi melangkah keluar.
“Wait. Berhenti bentar.”
Langkah Cira terhenti, “Aku?” Menunjuk dirinya.
“Iya. Kamu anak kelas satu kan?” tanya Princess.
“I-iya. Ngapa kak?” tanya Cira dengan wajah polos.
“Kamu teman sekelas Aska? Iya kan?” tanya princess.
“Iya.” jawab Cira singkat.
“Karena kamu udah terlanjur dengar omongan kami. Jadi aku minta tolong. Sampaikan salamku ya. Bilang dari Laras. Atau Princess juga boleh.” Menirukan suara Syahrini. Penyanyi yang terkenal dengan gayanya yang selalu mencuri perhatian netizen. Jika diperhatikan dengan lekat. Laras memang bergaya seperti Syahrini versi anak sekolahan. Ditambah lagi, Syahrini sering menyebut namanya dengan Incess. Yang berarti Princess.
“Oke kak. Nanti kusampaikan.”
Cira mengayunkan langkah keluar toilet. Di ambang pintu masih terdengar celotehan mereka. Sedikit suara yang tertangkap oleh pendengaran Cira. “Hahah. Bisa aja kamu ngandalin teman sekelasnya.”
Hal ini yang membuat Cira malas ke toilet meski harus menahan pipis selama di kelas. Tetap saja toilet digunakan sebagai ruangan serbaguna.
Aska berdiri di depan kelas dengan melipat kedua tangannya memperhatikan Cira yang sedang mengusap wajahnya yang natural tanpa embel-embel seperti gadis di dalam toilet tersebut.
“Lama banget ke toiletnya. Aku tuh nugguin kamu dari tadi di sini. Udah sepuluh menit baru nongol.” katanya berdecak candaan.
“Ngapain nungguin aku. Gak kayak biasanya.” jawab Cira melangkah masuk ke dalam kelas.
Aska menghadangnya di ambang pintu. Melebarkan kedua tangannya dihadapan Cira.
“Eittss. Udah ditungguin sejak tadi. Main pergi aja. Aku mau ngomong.”
“Lah. Ini udah ngomong.” jawab Cira tersenyum tipis.
“Jangan senyum!” Menunjuk Cira dengan wajah yang serius.
“Apa sih. Buat aku takut aja.” kata Cira.
“Kamu tuh yang buat aku takut. Jantungku hampir copot melihat senyumanmu.” Aska terkekeh melihat reaksi Cira yang tertegun dengan sikapnya.
“Aska!”
Cira mengernyit kesal bercampur senang. Aska mengayunkan tangannya ingin menggapai tangan Cira. Namun, niat itu diurungnya. Belum waktu yang tepat untuk menggenggam tangannya.
Aska mengajaknya menuruni tangga ke lantai dua.
“Ngapain?” tanya Cira penasaran.
“Udah ikut aja. Jangan banyak tanya. Entar kamu juga tau.”
Mereka berpapasan dengan salah satu cewek kelompok gossip di kelas yang bernama Aurel. Melirik kedua sejoli tersebut berjalan beriring dengan canggung.
“Kalian mau kemana?” tanya Aurel.
“Kepo lu.” jawab Aska mengabaikan keberadaannya. Menuruni tangga lagi ke lantai satu.“Aku tau. Pasti mau nembakkan?” teriak Aurel dari lantai dua. Sehingga mengundang perhatian orang di sekitar.
“Bisa diam enggak? Jangan ikut campur.” teriak Aska.
“Sebenarnya kita mau kemana sih?” Cira tetap mengikuti Aska dengan pertanyaan yang sama diajukannya sejak tadi.
“Sekali lagi nanya. Aku tembak nih.” kata Aska.Deg!
Seketika perasaan Cira tidak karuan. Perutnya terasa mules dan cemas.
Aska menoleh ke belakang, “Jangan gitu dong reaksinya. Kalau aku tembak. Entar kamu mati lagi. Aku belum siap kehilangan kamu.” kata Aska cenger-cengir.
“Aska! Jangan bercanda terus deh.” Cira kembali manyun.
“Ya udah. Sekarang aku serius.”
Langkah mereka berhenti di kantin sekolah. Di keramaian, banyak orang berkumpul untuk memenuhi kebutuhan perut. Suara riuh ini membuat Cira semakin greget. Takut dan belum siap menerima pernyataan cinta dari Aska. Waktunya terlalu singkat untuk memulai suatu hubungan.
“Kita cari tempat dulu yuk.” kata Aska.
“Cari tempat? lima menit lagi bel bunyi Aska. Lagian ini hari pertama kita belajar. Jangan sampai telat.”
Cira merasa khawatir. Waktu menunjukkan pukul 06.55. Tidak ada waktu untuk memesan makanan.
“Santai aja. Lagian kita kesini bukan untuk makan kok.”
“Jadi?”
Guru konseling datang membawa kayu membubarkan orang-orang yang sedang makan. Sudah waktunya masuk kelas. Kayu yang dibawa oleh guru konseling bukan untuk memukul hanya untuk menakuti mereka agar segera menyelesaikan makannya.
“Yah. Enggak jadi deh.” Aska mendengus kecewa. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya tadi.
Mereka kembali ke kelas beriringan, diselingi percakapan kecil yang biasa di bicarakan saat remaja sedang PDKT.
Cira menatap papan tulis yang berisikan rangkuman penuh dengan tulisan spidol, membuatnya mengantuk dan malas untuk mencatatnya kembali ke buku tulis. Belum lagi cuaca panas menyelimuti kelas ini yang dipenuhi dengan bau keringat. Hanya ada dua kipas angin yang bergantung di atap kelas, itu pun sudah hampir rusak dilempari anak cowok yang berperilaku seperti monyet. Mereka sering melakukannya di kelas dengan bangga serta tawa ngakak hingga terdengar ke luar kelas. Terkadang guru yang sedang mengajar di kelas sebelah merasa terganggu dengan keributan yang dilakukan, hingga mendatangi kelas mereka dengan ancaman hukuman. Baru sebulan di sini. Kelas sepuluh empat sudah dicap nakal oleh para guru. Tidak ada yang dapat mendiamkan kelas X.4 kecuali ketua kelas. Dialah sumber keributan di kelas. Yang mengajak teman lainnya untuk bersenang senang selama masa SMA.
Suara bel berbunyi ketika Cira baru saja turun dari motor. Tanpa pamit Cira berjalan cepat, berpapasan dengan beberapa guru yang sama telatnya dengan Cira. Banyak sekali yang datang telat hari ini ke sekolah. Dari ujung gerbang terlihat siswa siswi yang bergeromblan mengejar waktu. Di sekolah ini mempunyai peraturan unik. Ketika ada yang terlambat, harus membeli tiket masuk kepada guru piket dengan harga 3.000 rupiah. Jika dihitung-hitung, ada puluhan orang yang membeli tiket masuk kelas. Uang hasil terlambat akan diberikan kepada pelajar yang kurang mampu dan berprestasi. Dengan kata lain adalah beasiswa untuk pelajar. Secara tidak langsung mereka menjadi donatur tetap sekolah bagi pelajar yang dengan sukarela menyumbangkan uangnya tersebut untuk amal di akhirat kelak.&n
“Cepet jalannya.” kata Ara menembus keramaian di kantin sembari menarik tangan Cira agar jangan terpisah di kerumunan. Ini pertama kalinya makan Cira berada di kantin sekolah sebelah. Sekolah satu satunya yang disebut komplek. Karena terdapat tiga sekolah dalam satu wilayah. SMA,SMK dan SMP. Dan Cira berada di sekolah SMA. Namun kebanyakan siswi SMA yang sering makan dikantin SMK. Semuanya bergabung menjadi satu di kantin yang berukuran besar ini. Mereka berdesakan bersama di lautan manusia yang harus memenuhi kebutuhan perut, dan ini sangat menyesakkan.“Mending kita nggak usah makan aja deh.” kata Cira ketika wajahnya diserempet beberapa kali oleh tubuh yang lebih tinggi dari tubuhnya.“Tanggung, udah nyampai sini.” tegas Ara bersikukuh harus makan di kantin.&n
Cira tersentak bangun dari tidurnya yang singkat, menyeka air liur yang menetes sedikit ke pipinya dan memperbaiki posisi duduk ketika suara guru sejarah yang lantang mengegetkannya. Dalam keadaan kesadaran penuh dan masih bingung. Semuanya menutup buku dan memasukkannya ke dalam laci dengan decakan kesal. Semuanya bersorak halus tidak setuju. Cira sungguh tidak tahu apa yang terjadi selama ia tidur. Rasanya selamatidur Cira merasa sudah sampai di penghujung dunia berkelana di alam mimpinya. Cira menatap Awan dalam keadaan bingung dan mata memerah.“Simpan buku kamu.” kata Awan sembari mengeluarkan kertas dua lembar dari dari bagian tengah buku.“Ngapain?” tanya Cira masih bingung.“Kuis dadakan. Mampus kamu!” ujar Awan mempersiapkan alat tulis yang lengkap di atas meja “Nggak boleh minjem ya.”“Palingan nanti pinjam tipe x.&rdqu
Cira bergegas merapikan alat tulis yang berserakan di atas meja. Membiarkan Aska berdiri mematung di sampingnya, setelah pertanyaan yang tidak ingin di dengarnya. Seharusnya Aska tidak perlu bertanya tentang hal yang memalukan tersebut. Tidak ada yang mau mendapatkan nilai nol, karena semua orang sudah berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik dan ini adalah keadaan darurat yang tidak bisa dihindarkan karena alasan sembelit. Cira meninggalkan Aska yang sejak tadi menunggunya untuk melanjutkan kerja kelompok.“Kamu kemana?” tanya Aska. Namun tidak mengehentikan langkah Cira yang berlalu keluar kelas. Cira berlari kecil menuruni anak tangga dengan terdesak, menuju toilet yang kini dipenuhi cewek di sekolah untuk berdandan dan diskusi. Di dalam toilet yang dibatasi dengan sekat-sekat menjadi lima kelompok semuanya terisi p
Selagi menunggu jemputan abangnya, Cira kembali lagi ke toilet dengan berlari kecil sambil membungkuk menahan sembelit yang hampir keluar dari perutnya. Cira memilih toilet terdekat yang berada di sebelah ruang guru dan terletak di lantai dua. Toilet tersebut dilarang keras digunakan oleh murid dengan alasan kebersihan yang harus terjaga.Di toilet guru, kebersihannya sangat terjaga dan berukuran lebih besar serta wangi, tidak ada pemisahan antara toilet cewek dan cowok. Semuanya terpisah antara pintu ke pintu berjumlah tiga ruangan. Di samping toilet terdapat cermin berukuran besar dan dihiasi daun hijau di sekelilingnya serta bunga plastic sebagai penghias cermin agar tampak lebih bagus. Pantas saja para murid berbondong-bondong datang kesini hanya untuk melihat seluruh tubuhnya di depan cermin serta bergaya selfie dengan kamera belakang. Sialnya, Cira bertemu kembali dengan ketiga kakak kelas yang pe
Semuanya terdiam ketika Cira melangkah masuk ke dalam rumah. Suasana ini kembali lagi terlihat setelah beberapa bulan mulai mereda. Kedua orang tuanya tengah duduk berhadapan dengan pandangan kosong dan berselonjor di lantai ditemani dengan suara tv yang menyala. Kali ini bukan hanya kedua orang tuanya yang di rumah. Ada abangnya, anak pertama dari keluarga ini. Biasanya siang ini ia tidak berada di rumah. Cira mengingat kembali hari apakah ini? Dan ini adalah hari selasa setelah melihat seragam sekolahnya, putih dongker. dan terlihat jelas kalender berukuran besar yang bergantung di dinding menunjukkan tanggal dan hari yang jelas. Memang benar ini hari selasa. Mengapa abang Cira bisa ada di rumah. Padahal ini adalah jadwal kerjanya sebagai supir di sebuah toko grosir. Seharusnya saat ini dia sedang berkelana ke luar kota mencari langganan ke toko-toko kecil untuk menawarkan barangnya tersebut.“C
“Ma, Cira berangkat dulu ya.” Cira berangkat dengan tergesa-gesa, meninggalkan kamarnya dalam keadaan berantakan yang seperti kapal pecah. Biasanya sebelum berangkat ke sekolah Cira selalu membersihkan kamarnya terlebih dahulu. Pagi itu Cira sedang kalang kabut. Merasa bimbang antara ingin merapikan kamarnya atau segera berangkat ke sekolah dengan segera. Belum lagi mata pelajaran yang belum disusun untuk hari ini. Maka dari itu, Cira berinisiatif memasukkan semua buku ke dalam tasnya.Pukul setengah tujuh pagi Cira baru bangun dari tidurnya yang panjang setelah berulang kali terdengar teriakan Mamanya memanggil dan juga alarm yang berbunyi hingga tiga kali barulah Cira terbangun saat percikan air mendarat di wajahnya.Cira bangkit dari kasurnya dengan tubuh yang ringkih. Ia merasakan pegal hingga diseluruh tubuhnya. Pikirannya tentang biaya sekolah menguras tenaga dan pikirannya seja