Cira tersentak bangun dari tidurnya yang singkat, menyeka air liur yang menetes sedikit ke pipinya dan memperbaiki posisi duduk ketika suara guru sejarah yang lantang mengegetkannya. Dalam keadaan kesadaran penuh dan masih bingung. Semuanya menutup buku dan memasukkannya ke dalam laci dengan decakan kesal. Semuanya bersorak halus tidak setuju.
Cira sungguh tidak tahu apa yang terjadi selama ia tidur. Rasanya selamatidur Cira merasa sudah sampai di penghujung dunia berkelana di alam mimpinya. Cira menatap Awan dalam keadaan bingung dan mata memerah.
“Simpan buku kamu.” kata Awan sembari mengeluarkan kertas dua lembar dari dari bagian tengah buku.
“Ngapain?” tanya Cira masih bingung.
“Kuis dadakan. Mampus kamu!” ujar Awan mempersiapkan alat tulis yang lengkap di atas meja “Nggak boleh minjem ya.”
“Palingan nanti pinjam tipe x.&rdqu
Cira bergegas merapikan alat tulis yang berserakan di atas meja. Membiarkan Aska berdiri mematung di sampingnya, setelah pertanyaan yang tidak ingin di dengarnya. Seharusnya Aska tidak perlu bertanya tentang hal yang memalukan tersebut. Tidak ada yang mau mendapatkan nilai nol, karena semua orang sudah berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik dan ini adalah keadaan darurat yang tidak bisa dihindarkan karena alasan sembelit. Cira meninggalkan Aska yang sejak tadi menunggunya untuk melanjutkan kerja kelompok.“Kamu kemana?” tanya Aska. Namun tidak mengehentikan langkah Cira yang berlalu keluar kelas. Cira berlari kecil menuruni anak tangga dengan terdesak, menuju toilet yang kini dipenuhi cewek di sekolah untuk berdandan dan diskusi. Di dalam toilet yang dibatasi dengan sekat-sekat menjadi lima kelompok semuanya terisi p
Selagi menunggu jemputan abangnya, Cira kembali lagi ke toilet dengan berlari kecil sambil membungkuk menahan sembelit yang hampir keluar dari perutnya. Cira memilih toilet terdekat yang berada di sebelah ruang guru dan terletak di lantai dua. Toilet tersebut dilarang keras digunakan oleh murid dengan alasan kebersihan yang harus terjaga.Di toilet guru, kebersihannya sangat terjaga dan berukuran lebih besar serta wangi, tidak ada pemisahan antara toilet cewek dan cowok. Semuanya terpisah antara pintu ke pintu berjumlah tiga ruangan. Di samping toilet terdapat cermin berukuran besar dan dihiasi daun hijau di sekelilingnya serta bunga plastic sebagai penghias cermin agar tampak lebih bagus. Pantas saja para murid berbondong-bondong datang kesini hanya untuk melihat seluruh tubuhnya di depan cermin serta bergaya selfie dengan kamera belakang. Sialnya, Cira bertemu kembali dengan ketiga kakak kelas yang pe
Semuanya terdiam ketika Cira melangkah masuk ke dalam rumah. Suasana ini kembali lagi terlihat setelah beberapa bulan mulai mereda. Kedua orang tuanya tengah duduk berhadapan dengan pandangan kosong dan berselonjor di lantai ditemani dengan suara tv yang menyala. Kali ini bukan hanya kedua orang tuanya yang di rumah. Ada abangnya, anak pertama dari keluarga ini. Biasanya siang ini ia tidak berada di rumah. Cira mengingat kembali hari apakah ini? Dan ini adalah hari selasa setelah melihat seragam sekolahnya, putih dongker. dan terlihat jelas kalender berukuran besar yang bergantung di dinding menunjukkan tanggal dan hari yang jelas. Memang benar ini hari selasa. Mengapa abang Cira bisa ada di rumah. Padahal ini adalah jadwal kerjanya sebagai supir di sebuah toko grosir. Seharusnya saat ini dia sedang berkelana ke luar kota mencari langganan ke toko-toko kecil untuk menawarkan barangnya tersebut.“C
“Ma, Cira berangkat dulu ya.” Cira berangkat dengan tergesa-gesa, meninggalkan kamarnya dalam keadaan berantakan yang seperti kapal pecah. Biasanya sebelum berangkat ke sekolah Cira selalu membersihkan kamarnya terlebih dahulu. Pagi itu Cira sedang kalang kabut. Merasa bimbang antara ingin merapikan kamarnya atau segera berangkat ke sekolah dengan segera. Belum lagi mata pelajaran yang belum disusun untuk hari ini. Maka dari itu, Cira berinisiatif memasukkan semua buku ke dalam tasnya.Pukul setengah tujuh pagi Cira baru bangun dari tidurnya yang panjang setelah berulang kali terdengar teriakan Mamanya memanggil dan juga alarm yang berbunyi hingga tiga kali barulah Cira terbangun saat percikan air mendarat di wajahnya.Cira bangkit dari kasurnya dengan tubuh yang ringkih. Ia merasakan pegal hingga diseluruh tubuhnya. Pikirannya tentang biaya sekolah menguras tenaga dan pikirannya seja
Di lapangan sekolah terlihat banyak murid dengan kesibukannya masing-masing sedang melakukan aktivitas. Dan yang paling sering berada di tengah lapangan sekolah adalah para anak marching band yang berlatih hampir setiap hari hingga malam. Cira mendongak melihat kelasnya yang berada di lantai atas terbuka lebar. Matanya melihat keadaan sekitar memastikan tidak ada guru yang berada di luar ruangan khususnya buk Nia seorang guru fisika rangkap menjadi guru BK. Ia sering mengintai murid yang berkeliaran saat jam pelajaran berlangsung apalagi melihat ada sisiwi yang baaru datang pada jam segini, masih berada di lapangan sekolah. Cira merasa was-was karena ini bukan pertama kalinya ia terlambat datang melainkan untuk kesekian kalinya dengan alasan yang sama, telat bangun. Jika ditanya oleh guru Cira akan mengatakan alasan yang dipakai oleh banyak murid. Ban motor bocor atau motor mogok. Cira pernah mengatakan alasan
“Mampus.” kata Aska menepuk dahinya “Tadikan aku sedang latihan marching band.” Aska berlari keluar, melihat dari depan kelas teman-teman lainnya sedang berlatih di bawah terik matahari. Aska berlari, menuruni tangga dengan cepat. Tidak peduli dengan orang-orang yang tersenggol dengan tubuhnya beberapa kali. Merasa bersalah meninggalkan anggota marching band akan kena marah oleh pelatihnya. Ia masuk ke dalam kelompok bass drumnya dengan nafas yang terengah. Menghadap pelatihnya yang sedang memarahi teman-teman lainnya karena salah ketukan nada berulang kali. Mungkin mereka sudah lelah berlatih selama tiga jam berdiri di lapangan dengan cuaca yang begitu panas di pagi ini.“Kamu! Katanya izin sebentar. Kemana aja dari tadi. Kalau nggak niat latihan, sana pergi ke kelas ka
Jalan menuju tangga begitu padat dipenuhi dengan murid yang memilih nongkrong di deretan anak tangga. Cira merasa risih harus membungkuk melewati mereka yang menghalangi jalan. Para cowok dengan modal dengkul dan bisanya cuma bisa siulin cewek cantik ketika lewat menambah kesan buruk terhadap mereka yang berstatus jomblo akut.“Hai Cira.” Seorang cowok di keramaian menyebut namanya dengan suara yang menggoda. Tidak tahu sumber asal suara tersebut. Cira mempercepat langkahnya menuju kelas. Panggilan tersebut tidak dihiraukan Cira meski saat ini ia penasaran seseorang dari lantai dua yang menyebut namanya tadi. Karena kelas yang berada di lantai dua adalah senior satu tingkat di atas mereka.“Ngapain sih mereka pada nongkrong di tangga.” gerutu Ara ketika sampai di lantai tiga matanya menoleh ke bawah melihat para abang kelas yang sedang bergurau dengan teman-temannya.
“Kenapa dimuntahkan airnya.” kata Cira menatap Aska kaget.“Kamu tau sendirikan bagaimana Ara. Mulutnya kalau bicara kayak apa. Kalau aku minum bekas dia nanti bakalan nular.” kata Aska dengan cepat menyeka mulutnya hingga tidak tersisa setetes airpun di mulutnya.“Penyakit kali nular. Nggak mungkin dong bisa nular. Cuma minum bekas mulut doang kok.”“Nggak bisa Ra. Ini tuh seperti kita disuruh minum air dari comberan. Gimana perasaan kamu kalau minum air comberan? .” seru Aska mengibaratkannya dengan sesuatu yang tidak wajar. Untuk kali ini Cira tidak bisa menjawab. Bukan berarti ia setuju dengan pernyataannya. Aska masih menyeka mulutnya dengan lengan baju hingga kering.“Udahlah Aska jangan berlebihan gitu. Kalau kita terlalu benci sama orang. Ujung-ujungnya bakalan suka.”“Itu nggak berlaku sama aku.”