“Kenapa dimuntahkan airnya.” kata Cira menatap Aska kaget.
“Kamu tau sendirikan bagaimana Ara. Mulutnya kalau bicara kayak apa. Kalau aku minum bekas dia nanti bakalan nular.” kata Aska dengan cepat menyeka mulutnya hingga tidak tersisa setetes airpun di mulutnya.
“Penyakit kali nular. Nggak mungkin dong bisa nular. Cuma minum bekas mulut doang kok.”
“Nggak bisa Ra. Ini tuh seperti kita disuruh minum air dari comberan. Gimana perasaan kamu kalau minum air comberan? .” seru Aska mengibaratkannya dengan sesuatu yang tidak wajar.
Untuk kali ini Cira tidak bisa menjawab. Bukan berarti ia setuju dengan pernyataannya. Aska masih menyeka mulutnya dengan lengan baju hingga kering.
“Udahlah Aska jangan berlebihan gitu. Kalau kita terlalu benci sama orang. Ujung-ujungnya bakalan suka.”
“Itu nggak berlaku sama aku.”
Keributan kembali terjadi di kelas lebih heboh lagi. Kali ini bukan antara Ade dan Ara. Mereka semua berkumpul di satu meja paling belakang, di tempat Cira semuanya terlihat sedang melakukan diskusi dengan suara keras hingga menimbulkan keramaian yang lebih ketika beberapa murid masuk ke dalam kelas saat bel berbunyi. Termasuk Cira yang baru saja melangkah masuk ke dalam kelas langsung menyaksikan pertunjukan yang menghebohkan. Cira terus mengayunkan langkah mendekat, penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Melihat Ade yang sedang berkoar-koar keras dengan wajah yang penuh amarah. Cira pun menembus kerumunan dengan sopan, dengan sedikit membungkuk hingga ke tengah mereka. Disana ada Ara dan juga Awan yang sangat antusias mendengar ocehan Ade yang berkobar. Cira bertanya dengan tatapannya kepada Awan.&nb
“Jadi latihan nggak nih.” kata Cira ketika kelas telah bubar.“Jadi dong.” jawab Aska pasti.“Rajin amat sih kalian latihannya.” sambung Agung masih bersama mereka berdiri di ambang pintu.“Dari kemarin tuh kami nggak pernah latihan. Kesal banget jadinya.” keluh Cira melirik Aska yang merasa tidak punya beban. Aska sadar kalau Cira sedang menyindirnya, ia mendekat berdiri di samping Cira yang sedang bersandar di pembatas koridor depan kelas.“Hari ini aku janji bakalan ikut latihan dengan yang lainnya.” katanya meyakinkan.“Terus yang lainnya pada kemana?” keluh Cira kembali. “Suka banget ngaret. Emang susah kalau punya teman kelompok isinya cowok semua. Kelakuannya sama banget.”“Kebetulan aja, Ra. Kami sedang ada jadwal yang sama terus ngaret. Kitakan nggak pernah tau situasi or
Di ujung koridor lantai tiga di samping tangga.Aska memandangi dirinya di depan cermin sedang mengenakan baju putri salju. Ia terlihat lebih cantik daripada cewek - cewek yang ada di sekolahan. Wajah Aska yang tirus serta alis matanya yang tebal. Dan terlebih lagi wajahnya yang memerah membuatnya semakin terlihat cantik saat ini.“Cantik banget.” kata Aska kagum, tersipu melihat dirinya. Kemudian ia menyadarkan diri dengan membelalakkan mata dan berkata lagi sembari menepuk kedua pipinya. “Aku adalah lelaki sejati.” Lalu membusung dan menepuk dadanya dengan kuat hingga ia meringis kesakitan.“Kamu kenapa?” kata Cira menghampiri. Mengenakan baju peyihir jahat bewarna hitam. Namun kelihatan manis. Cira menyematkan bando tanduk merah dikepalanya. Ia sedikit berdandan. Bibirnya bewarna merah. Tersenyum kepada Aska dengan senyum kecilnya.Cantik…&nbs
Yang menarik perhatian bagi Raula saat di kelas adalah sekelompok orang yang berkostum aneh. Mereka tidak menggunakan seragam seperti yang lainnya. Matanya tidak lepas dari Cira. Cewek yang sedang dikelilingi banyak cowok, teman sekelompoknya. Dia sangat beruntung bisa berteman dengan humble.“Terima kasih untuk hiburan hari ini. Ibuk senang dengan kalian yang sangat totalitas memeprsiapkan segalanya untuk pertunjukkan di kelas.”“Sama – sama ibuk.” jawab mereka serentak. Kelas kembali riuh. Berkumpul di beberapa titik dengan teman terdekat. Aska mengambil bando tanduk merah dari kepala Cira yang sedang melangkah menuju keluar kelas. Cira berusaha mengambilnya dengan berjinjit menggapai tangan Aska.“Balikin nggak.” kata Cira berupaya mengambil bandonya.&ldqu
Ketika bel berbunyi Cira yang sudah bersiap sejak tadi menyandang tasnya dan melangkah lebih dulu keluar kelas saat yang lainnya masih bersiap memasukkan alat tulis ke dalam tas. Aska yang tahu watak Cira lebih siap lagi menyusun strategi menahan Cira yang akan kabur darinya. Ia sengaja keluar kelas terlebih dulu menunggunya di anak tangga sebelum waktunya pulang. Jelas saja Cira merasa kaget ketika rencananya kali ini gagal total karena Aska telah berdiri bersandar menunggunya dengan satu kedipan mata ketika Cira tepat dihadapannya.“Buru – buru banget. Udah nggak sabarkan mau jalan dengan aku.” kata Aska. Cira pasrah. Kali ini sungguh tidak ada jalan baginya untuk kabur dan memberikan alasan untuk menolak ajakannya.&nb
Cira dan Agung berhenti ke pinggir jalan. Singgah di salah satu tempat tongkrongan anak sekolahan dengan budget yang minim. Sangat cocok untuk keuangan Cira yang pas – pasan. Agung mengajaknya untuk mencicipi makanan yang ada di pinggir jalan tersebut. Meski belum pernah mencobanya. Namun ia sering melewatinya dan memperhatikan banyak anak – anak sekolahan yang berkumpul di sana. Beberapa kali Agung berniat untuk bisa makan bersama temannya. Niatnya hanya sebagai wacana belaka. Kini ada kesempatan untuknya bisa mengajak nongkrong teman sekelasnya Cira. Meski belum lama ini mereka menjadi teman.“Makan lagi nih?” tanya Cira merasa perutnya masih kenyang. Baru sejam yang lalu mereka makan di kantin bersama kini harus mencicipi kembali makanan pinggir jalan yang menjadi tongkrongan anak sekolahan.“Udah lama banget pengen makan di sini. Kayaknya enak deh.” 
Cira meraih hapenya yang berada di bawah bantal. Inilah kebiasaannya setelah pulang sekolah. Memeriksa pesan masuk dari Aska. Kini sudah menjadi rutinitas keseharian dalam hidupnya. Banyak pesan yang masuk. Hampir semuanya dari Aska dan beberapa dari operator yang menawarkan paket nelpon murah. Cira menghapus pesan yang tidak penting dan hanya membaca pesan dari Aska sejak dua jam yang lalu. Menanyakan kabar padahal baru saja berpisah sejak mengembalikan kostum tersebut Pesan kembali masuk Cira membukanya lalu membalasnya dengan pesan singkat. Ya, sangat singkat. “Sudah.” jawaban yang dikirimkan untuk Aska ketika ia sangat mengkhawatirkan Cira belum juga sampai ke rumah dan setelah tiga jam berpisah dari toko kostum Cira baru membalasnya. Hape berbunyi. Cira tahu siapa yang menelponnya setelah pulang sekolah. Ia merasa lelah
Pengakuan Aska berdiri bersandar di samping tangga lantai satu, di samping kopsis. Menunggu Cira melewati tempat itu. Ia sengaja menunggu di sana meski mereka akan beretemu di kelas nanti. Banyak pertanyaan yang ingin diajukannya kepada Cira tentang perjalanan pulangnya bersama Agung kemarin. Di tangannya sudah ada bungkusan makanan dengan sterofoam dan dibalut lagi dengan plastic putih kemudian Aska mengikatnya dengan pita bewarna merah hati. Ia nenuliskan gambar love dengan tinta bewarna merah. Tujuannya agar Cira merasa kagum dengan pemberiannya. Seperti biasanya beberapa cewek yang melintas dihadapannya dibuat kagum oleh pesonanya. Kalau kata Cira sih Aska itu wajahnya ganteng tapi biasa aja kayak kebanyakan cowok yang lain. Cira hanya tidak mau mengatakan saja kepada orang lain. Terlalu gengsi mengakuinya meski itu