Di ujung koridor lantai tiga di samping tangga.
Aska memandangi dirinya di depan cermin sedang mengenakan baju putri salju. Ia terlihat lebih cantik daripada cewek - cewek yang ada di sekolahan. Wajah Aska yang tirus serta alis matanya yang tebal. Dan terlebih lagi wajahnya yang memerah membuatnya semakin terlihat cantik saat ini.
“Cantik banget.” kata Aska kagum, tersipu melihat dirinya. Kemudian ia menyadarkan diri dengan membelalakkan mata dan berkata lagi sembari menepuk kedua pipinya. “Aku adalah lelaki sejati.” Lalu membusung dan menepuk dadanya dengan kuat hingga ia meringis kesakitan.
“Kamu kenapa?” kata Cira menghampiri. Mengenakan baju peyihir jahat bewarna hitam. Namun kelihatan manis. Cira menyematkan bando tanduk merah dikepalanya. Ia sedikit berdandan. Bibirnya bewarna merah. Tersenyum kepada Aska dengan senyum kecilnya.
Cantik…
&nbs
Yang menarik perhatian bagi Raula saat di kelas adalah sekelompok orang yang berkostum aneh. Mereka tidak menggunakan seragam seperti yang lainnya. Matanya tidak lepas dari Cira. Cewek yang sedang dikelilingi banyak cowok, teman sekelompoknya. Dia sangat beruntung bisa berteman dengan humble.“Terima kasih untuk hiburan hari ini. Ibuk senang dengan kalian yang sangat totalitas memeprsiapkan segalanya untuk pertunjukkan di kelas.”“Sama – sama ibuk.” jawab mereka serentak. Kelas kembali riuh. Berkumpul di beberapa titik dengan teman terdekat. Aska mengambil bando tanduk merah dari kepala Cira yang sedang melangkah menuju keluar kelas. Cira berusaha mengambilnya dengan berjinjit menggapai tangan Aska.“Balikin nggak.” kata Cira berupaya mengambil bandonya.&ldqu
Ketika bel berbunyi Cira yang sudah bersiap sejak tadi menyandang tasnya dan melangkah lebih dulu keluar kelas saat yang lainnya masih bersiap memasukkan alat tulis ke dalam tas. Aska yang tahu watak Cira lebih siap lagi menyusun strategi menahan Cira yang akan kabur darinya. Ia sengaja keluar kelas terlebih dulu menunggunya di anak tangga sebelum waktunya pulang. Jelas saja Cira merasa kaget ketika rencananya kali ini gagal total karena Aska telah berdiri bersandar menunggunya dengan satu kedipan mata ketika Cira tepat dihadapannya.“Buru – buru banget. Udah nggak sabarkan mau jalan dengan aku.” kata Aska. Cira pasrah. Kali ini sungguh tidak ada jalan baginya untuk kabur dan memberikan alasan untuk menolak ajakannya.&nb
Cira dan Agung berhenti ke pinggir jalan. Singgah di salah satu tempat tongkrongan anak sekolahan dengan budget yang minim. Sangat cocok untuk keuangan Cira yang pas – pasan. Agung mengajaknya untuk mencicipi makanan yang ada di pinggir jalan tersebut. Meski belum pernah mencobanya. Namun ia sering melewatinya dan memperhatikan banyak anak – anak sekolahan yang berkumpul di sana. Beberapa kali Agung berniat untuk bisa makan bersama temannya. Niatnya hanya sebagai wacana belaka. Kini ada kesempatan untuknya bisa mengajak nongkrong teman sekelasnya Cira. Meski belum lama ini mereka menjadi teman.“Makan lagi nih?” tanya Cira merasa perutnya masih kenyang. Baru sejam yang lalu mereka makan di kantin bersama kini harus mencicipi kembali makanan pinggir jalan yang menjadi tongkrongan anak sekolahan.“Udah lama banget pengen makan di sini. Kayaknya enak deh.” 
Cira meraih hapenya yang berada di bawah bantal. Inilah kebiasaannya setelah pulang sekolah. Memeriksa pesan masuk dari Aska. Kini sudah menjadi rutinitas keseharian dalam hidupnya. Banyak pesan yang masuk. Hampir semuanya dari Aska dan beberapa dari operator yang menawarkan paket nelpon murah. Cira menghapus pesan yang tidak penting dan hanya membaca pesan dari Aska sejak dua jam yang lalu. Menanyakan kabar padahal baru saja berpisah sejak mengembalikan kostum tersebut Pesan kembali masuk Cira membukanya lalu membalasnya dengan pesan singkat. Ya, sangat singkat. “Sudah.” jawaban yang dikirimkan untuk Aska ketika ia sangat mengkhawatirkan Cira belum juga sampai ke rumah dan setelah tiga jam berpisah dari toko kostum Cira baru membalasnya. Hape berbunyi. Cira tahu siapa yang menelponnya setelah pulang sekolah. Ia merasa lelah
Pengakuan Aska berdiri bersandar di samping tangga lantai satu, di samping kopsis. Menunggu Cira melewati tempat itu. Ia sengaja menunggu di sana meski mereka akan beretemu di kelas nanti. Banyak pertanyaan yang ingin diajukannya kepada Cira tentang perjalanan pulangnya bersama Agung kemarin. Di tangannya sudah ada bungkusan makanan dengan sterofoam dan dibalut lagi dengan plastic putih kemudian Aska mengikatnya dengan pita bewarna merah hati. Ia nenuliskan gambar love dengan tinta bewarna merah. Tujuannya agar Cira merasa kagum dengan pemberiannya. Seperti biasanya beberapa cewek yang melintas dihadapannya dibuat kagum oleh pesonanya. Kalau kata Cira sih Aska itu wajahnya ganteng tapi biasa aja kayak kebanyakan cowok yang lain. Cira hanya tidak mau mengatakan saja kepada orang lain. Terlalu gengsi mengakuinya meski itu
“Yuk pergi?” ajak Aska bersemangat. Ia tidak mau jauh dari Cira sejak keluar dari kelas hingga menuruni tangga Aska tetap mengawalnya di sampingnya seperti bodyguard pribadi.“Aska. Jangan mepet-mepet dong jalannya.” Cira menjaga jarak sedikit jauh. Aska tetap tidak peduli. Ia tetap memepetnya lebih dekat. Mengawalnya sampai parkiran dan meraih tas Cira sebagai sanderaan.“Cepat naik.” kata Aska. Melihat Cira dari spion motor masih mematung di belakangnya. “Cepeten.” desaknya. Entah kenapa pada saat berboncengan dengan Agung rasanya biasa aja. Nggak ada rasa canggung atau cemas seperti ini. Setiap akan mau jalan dengan Aska perasaannya selalu tidak karuan. Gerogi dan perutnya terasa mulas. Matanya tidak lepas dari kursi belakang tersebut. Membayangkan bagaimana ia akan memeluknya atau tertidur di punggungnya. Atau tidak melakukan sentuhan sedikitpun
Gerah“Ini mah hutan kota.” sahut Aska. Matanya beralih pada Cira yang masih mengenakan helm meski sudah sampai ke tempat tujuan. Hahaha. “Kamu nggak gerah tuh helm dipasang terus.” Cira baru sadar memutar bola matanya ke atas. Masih ada benda yang mengganjal di kepalanya.“Sini aku lepasin.” kata Aska berinisiatif melepaskannya. Cira menolak dan memilih melepaskan helmnya sendiri. Hanya membuka katup helem aja harus pakai adegan romantis segala. Cira melepas pengunci helem tersebut dari dagunya. Tetapi ia tidak berhasil melakukannya. Seakan benda tersebut tidak ingin lepas dari kepalanya. Aska ingin membantunya membuka helem tersebut yang agak sulit dibuka. Karena ia tahu helm tersebut sudah lama rusak dan hanya dipajang di atas lemarinya selama ini. Mengingat hari ini i
“Udah sampai sini aja. Kan udah dekat.” kata Cira ketika sampai di depan gang rumahnya. Sekitar sepuluh meter lagi Cira akan sampai dengan berjalan kaki. Rumahnya yang terletak tidak jauh dari jalan besar yang dilewati banyak kenadaraan angkutan umum semenjak enam bulan yang lalu baru diaspal. Agung tetap melajukan motornya meski Cira menyuruhnya untuk berhenti di depan gang. Di samping warung kecil. Terdapat banyak anak remaja sedang nongkrong sembari mengunyah jajanan kecil dengan kaki terangkat dan kehebohan dengan suara yang keras. Cira merasa was-was, takut terjadi sesuatu di rumahnya saat Agung di sini. Di depan pagar rumahnya.“Kamu langsung pulang aja.” kata Cira. Bukan maksud untuk mengusirnya. Tetapi Cira tidak ingin kalau Agung mengetahui tentang keluarganya.“Ngusir nih.”