Cira meraih hapenya yang berada di bawah bantal. Inilah kebiasaannya setelah pulang sekolah. Memeriksa pesan masuk dari Aska. Kini sudah menjadi rutinitas keseharian dalam hidupnya. Banyak pesan yang masuk. Hampir semuanya dari Aska dan beberapa dari operator yang menawarkan paket nelpon murah. Cira menghapus pesan yang tidak penting dan hanya membaca pesan dari Aska sejak dua jam yang lalu. Menanyakan kabar padahal baru saja berpisah sejak mengembalikan kostum tersebut
Pesan kembali masuk Cira membukanya lalu membalasnya dengan pesan singkat. Ya, sangat singkat. “Sudah.” jawaban yang dikirimkan untuk Aska ketika ia sangat mengkhawatirkan Cira belum juga sampai ke rumah dan setelah tiga jam berpisah dari toko kostum Cira baru membalasnya.
Hape berbunyi. Cira tahu siapa yang menelponnya setelah pulang sekolah. Ia merasa lelah
Pengakuan Aska berdiri bersandar di samping tangga lantai satu, di samping kopsis. Menunggu Cira melewati tempat itu. Ia sengaja menunggu di sana meski mereka akan beretemu di kelas nanti. Banyak pertanyaan yang ingin diajukannya kepada Cira tentang perjalanan pulangnya bersama Agung kemarin. Di tangannya sudah ada bungkusan makanan dengan sterofoam dan dibalut lagi dengan plastic putih kemudian Aska mengikatnya dengan pita bewarna merah hati. Ia nenuliskan gambar love dengan tinta bewarna merah. Tujuannya agar Cira merasa kagum dengan pemberiannya. Seperti biasanya beberapa cewek yang melintas dihadapannya dibuat kagum oleh pesonanya. Kalau kata Cira sih Aska itu wajahnya ganteng tapi biasa aja kayak kebanyakan cowok yang lain. Cira hanya tidak mau mengatakan saja kepada orang lain. Terlalu gengsi mengakuinya meski itu
“Yuk pergi?” ajak Aska bersemangat. Ia tidak mau jauh dari Cira sejak keluar dari kelas hingga menuruni tangga Aska tetap mengawalnya di sampingnya seperti bodyguard pribadi.“Aska. Jangan mepet-mepet dong jalannya.” Cira menjaga jarak sedikit jauh. Aska tetap tidak peduli. Ia tetap memepetnya lebih dekat. Mengawalnya sampai parkiran dan meraih tas Cira sebagai sanderaan.“Cepat naik.” kata Aska. Melihat Cira dari spion motor masih mematung di belakangnya. “Cepeten.” desaknya. Entah kenapa pada saat berboncengan dengan Agung rasanya biasa aja. Nggak ada rasa canggung atau cemas seperti ini. Setiap akan mau jalan dengan Aska perasaannya selalu tidak karuan. Gerogi dan perutnya terasa mulas. Matanya tidak lepas dari kursi belakang tersebut. Membayangkan bagaimana ia akan memeluknya atau tertidur di punggungnya. Atau tidak melakukan sentuhan sedikitpun
Gerah“Ini mah hutan kota.” sahut Aska. Matanya beralih pada Cira yang masih mengenakan helm meski sudah sampai ke tempat tujuan. Hahaha. “Kamu nggak gerah tuh helm dipasang terus.” Cira baru sadar memutar bola matanya ke atas. Masih ada benda yang mengganjal di kepalanya.“Sini aku lepasin.” kata Aska berinisiatif melepaskannya. Cira menolak dan memilih melepaskan helmnya sendiri. Hanya membuka katup helem aja harus pakai adegan romantis segala. Cira melepas pengunci helem tersebut dari dagunya. Tetapi ia tidak berhasil melakukannya. Seakan benda tersebut tidak ingin lepas dari kepalanya. Aska ingin membantunya membuka helem tersebut yang agak sulit dibuka. Karena ia tahu helm tersebut sudah lama rusak dan hanya dipajang di atas lemarinya selama ini. Mengingat hari ini i
“Udah sampai sini aja. Kan udah dekat.” kata Cira ketika sampai di depan gang rumahnya. Sekitar sepuluh meter lagi Cira akan sampai dengan berjalan kaki. Rumahnya yang terletak tidak jauh dari jalan besar yang dilewati banyak kenadaraan angkutan umum semenjak enam bulan yang lalu baru diaspal. Agung tetap melajukan motornya meski Cira menyuruhnya untuk berhenti di depan gang. Di samping warung kecil. Terdapat banyak anak remaja sedang nongkrong sembari mengunyah jajanan kecil dengan kaki terangkat dan kehebohan dengan suara yang keras. Cira merasa was-was, takut terjadi sesuatu di rumahnya saat Agung di sini. Di depan pagar rumahnya.“Kamu langsung pulang aja.” kata Cira. Bukan maksud untuk mengusirnya. Tetapi Cira tidak ingin kalau Agung mengetahui tentang keluarganya.“Ngusir nih.”
Murid-murid mulai berdatangan memenuhi sekolah. Beberapa wanita menyambut hangat temannya dengan riang saling berpelukan dan jalan bergandengan menuju kelas. Mereka seakan sudah lama berpisah dan sekalinya bertemu kerinduan itu pecah ketika langsung bertatap muka dengan sapaan.Begitulah wanita kalau sudah berteman akrab sekalinya pisah meski itu hanya pulang ke rumah masih akan melanjutkan dengan percakapan lewat hape sampai mereka kehabisan toipik atau salah satu diantara mereka mulai agak sedikit lama membalas pesan dan saat itulah obrolan berakhir. Coba aja liat pernah nggak ada cowok kalau ketemuan menjerit histeris dan berpelukan dengan temannya. Sekalipun ada pikiran orang akan berpikir mereka adalah cowok yang tidak normal. Itulah kelebihan cewek bisa bersikap hangat seperti mentari pagi dan bisa juga berubah menjadi lebih parah lagi kalau bertengkar seperti petir yang menggelegar. Menakutkan.&n
“Duduk semuanya.” Guru ekonomi berdiri di depan membanting bukunya di atas meja. Meski begitu tidak ada yang sadar dengan kehadirannya. Semunya masih berhamburan berlari menghindari kecoa yang mulai menjalar ke bawah meja dengan lincah. “Perhatian.” Guru ekonomi melangkah ke tengah memukul papan tulis dengan penggaris.“Ibuk..”“Ibuk..” Semuanya kembali ke tempat masing-masing dengan berdesakan. Kelas kembali agak tenang meski perasaan masih tetap gusar, takut kalau kecoa tersebut menjalar ketubuh, mereka merasa geli dengan kehadiran hewan kecil yang kotor itu.“Kalian bisa tenang?” kata guru dengan marah melihat tingkah murid X.5 yang masih terdengar riuh. Memantau di bawah meja menghentakkan kaki ketika seekor kecoak kecil melintas di salah satu meja. Hanya satu ekor yang muncul sudah membuat kegaduhan yang luar biasa hingga
Cira masuk ke dalam kelas dengan pakaian yang sedikit basah dan tentu saja teman-teman di kelas bertanya-tanya. Matanya sembab dan rambutnya sedikit lepek. Ia membawa sebuah payung bewarna hitam dengan tetesan air yang berjatuhan di lantai.“Maaf buk telat.” kata Cira melangkah masuk tanpa mempedulikan pandangan orang terhadapnya.“Sejak kapan letak toilet dipindahkan sampai kamu kebasahan kayak gitu.” tegur guru tanpa melihatnya. Ia fokus menulis di mejanya. Cira tidak menjawab, ia duduk di tempatnya sembari mengibaskan rambutnya yang tergerai lalu menggantungkan payungnya di punggung kursi membiarkan airnya menetes di lantai supaya lekas kering dan payung itu bisa segera dikembalikan kepemiliknya.“Darimana?” Ara berbalik penasaran dengan apa yang dilakukan Cira.“Ada deh.” jawab Cira merahasiakannya.“Ara putar kepala k
Raula menutup wajahnya menunduk sembari terisak-isak. Ia lagi-lagi menangis hanya karena kesalahan kecil. Suaranya terdengar jelas hingga mengundang perhatian teman sekelas. “Udah sini aja Raula.” tendengar sahutan dari depan. Gerombolan cewek tukang gossip yang prihatin dengan keadaannya. Perlahan ia mengangkat wajahnya memandangi Ara yang menatap sinis dirinya.“Tuh sana pergi udah tau nggak cocok temenan dengan kami, malah datang kesini.” celetuk Ara pedas.“Aku cocok kok temenan dengan Cira. Aku pengen temenan dengan kalian semua. Nggak mau ada musuh dalam hidup aku.” jawabnya seraya mengusap air mata. Ara menggeleng geram dengan tingkahnya yang menjengkelkan. Tangannya mengepal memeras kemarahan yang mendalam. “Jangan sampai kemarahan aku meluap kayak gunung merapi. Bakalan aku muntahin semua kata-kata mutiaraku.” ucapnya memberikan ultimatum.