“Yuk pergi?” ajak Aska bersemangat. Ia tidak mau jauh dari Cira sejak keluar dari kelas hingga menuruni tangga Aska tetap mengawalnya di sampingnya seperti bodyguard pribadi.
“Aska. Jangan mepet-mepet dong jalannya.” Cira menjaga jarak sedikit jauh. Aska tetap tidak peduli. Ia tetap memepetnya lebih dekat. Mengawalnya sampai parkiran dan meraih tas Cira sebagai sanderaan.
“Cepat naik.” kata Aska. Melihat Cira dari spion motor masih mematung di belakangnya. “Cepeten.” desaknya.
Entah kenapa pada saat berboncengan dengan Agung rasanya biasa aja. Nggak ada rasa canggung atau cemas seperti ini. Setiap akan mau jalan dengan Aska perasaannya selalu tidak karuan. Gerogi dan perutnya terasa mulas. Matanya tidak lepas dari kursi belakang tersebut. Membayangkan bagaimana ia akan memeluknya atau tertidur di punggungnya. Atau tidak melakukan sentuhan sedikitpun
Gerah“Ini mah hutan kota.” sahut Aska. Matanya beralih pada Cira yang masih mengenakan helm meski sudah sampai ke tempat tujuan. Hahaha. “Kamu nggak gerah tuh helm dipasang terus.” Cira baru sadar memutar bola matanya ke atas. Masih ada benda yang mengganjal di kepalanya.“Sini aku lepasin.” kata Aska berinisiatif melepaskannya. Cira menolak dan memilih melepaskan helmnya sendiri. Hanya membuka katup helem aja harus pakai adegan romantis segala. Cira melepas pengunci helem tersebut dari dagunya. Tetapi ia tidak berhasil melakukannya. Seakan benda tersebut tidak ingin lepas dari kepalanya. Aska ingin membantunya membuka helem tersebut yang agak sulit dibuka. Karena ia tahu helm tersebut sudah lama rusak dan hanya dipajang di atas lemarinya selama ini. Mengingat hari ini i
“Udah sampai sini aja. Kan udah dekat.” kata Cira ketika sampai di depan gang rumahnya. Sekitar sepuluh meter lagi Cira akan sampai dengan berjalan kaki. Rumahnya yang terletak tidak jauh dari jalan besar yang dilewati banyak kenadaraan angkutan umum semenjak enam bulan yang lalu baru diaspal. Agung tetap melajukan motornya meski Cira menyuruhnya untuk berhenti di depan gang. Di samping warung kecil. Terdapat banyak anak remaja sedang nongkrong sembari mengunyah jajanan kecil dengan kaki terangkat dan kehebohan dengan suara yang keras. Cira merasa was-was, takut terjadi sesuatu di rumahnya saat Agung di sini. Di depan pagar rumahnya.“Kamu langsung pulang aja.” kata Cira. Bukan maksud untuk mengusirnya. Tetapi Cira tidak ingin kalau Agung mengetahui tentang keluarganya.“Ngusir nih.”
Murid-murid mulai berdatangan memenuhi sekolah. Beberapa wanita menyambut hangat temannya dengan riang saling berpelukan dan jalan bergandengan menuju kelas. Mereka seakan sudah lama berpisah dan sekalinya bertemu kerinduan itu pecah ketika langsung bertatap muka dengan sapaan.Begitulah wanita kalau sudah berteman akrab sekalinya pisah meski itu hanya pulang ke rumah masih akan melanjutkan dengan percakapan lewat hape sampai mereka kehabisan toipik atau salah satu diantara mereka mulai agak sedikit lama membalas pesan dan saat itulah obrolan berakhir. Coba aja liat pernah nggak ada cowok kalau ketemuan menjerit histeris dan berpelukan dengan temannya. Sekalipun ada pikiran orang akan berpikir mereka adalah cowok yang tidak normal. Itulah kelebihan cewek bisa bersikap hangat seperti mentari pagi dan bisa juga berubah menjadi lebih parah lagi kalau bertengkar seperti petir yang menggelegar. Menakutkan.&n
“Duduk semuanya.” Guru ekonomi berdiri di depan membanting bukunya di atas meja. Meski begitu tidak ada yang sadar dengan kehadirannya. Semunya masih berhamburan berlari menghindari kecoa yang mulai menjalar ke bawah meja dengan lincah. “Perhatian.” Guru ekonomi melangkah ke tengah memukul papan tulis dengan penggaris.“Ibuk..”“Ibuk..” Semuanya kembali ke tempat masing-masing dengan berdesakan. Kelas kembali agak tenang meski perasaan masih tetap gusar, takut kalau kecoa tersebut menjalar ketubuh, mereka merasa geli dengan kehadiran hewan kecil yang kotor itu.“Kalian bisa tenang?” kata guru dengan marah melihat tingkah murid X.5 yang masih terdengar riuh. Memantau di bawah meja menghentakkan kaki ketika seekor kecoak kecil melintas di salah satu meja. Hanya satu ekor yang muncul sudah membuat kegaduhan yang luar biasa hingga
Cira masuk ke dalam kelas dengan pakaian yang sedikit basah dan tentu saja teman-teman di kelas bertanya-tanya. Matanya sembab dan rambutnya sedikit lepek. Ia membawa sebuah payung bewarna hitam dengan tetesan air yang berjatuhan di lantai.“Maaf buk telat.” kata Cira melangkah masuk tanpa mempedulikan pandangan orang terhadapnya.“Sejak kapan letak toilet dipindahkan sampai kamu kebasahan kayak gitu.” tegur guru tanpa melihatnya. Ia fokus menulis di mejanya. Cira tidak menjawab, ia duduk di tempatnya sembari mengibaskan rambutnya yang tergerai lalu menggantungkan payungnya di punggung kursi membiarkan airnya menetes di lantai supaya lekas kering dan payung itu bisa segera dikembalikan kepemiliknya.“Darimana?” Ara berbalik penasaran dengan apa yang dilakukan Cira.“Ada deh.” jawab Cira merahasiakannya.“Ara putar kepala k
Raula menutup wajahnya menunduk sembari terisak-isak. Ia lagi-lagi menangis hanya karena kesalahan kecil. Suaranya terdengar jelas hingga mengundang perhatian teman sekelas. “Udah sini aja Raula.” tendengar sahutan dari depan. Gerombolan cewek tukang gossip yang prihatin dengan keadaannya. Perlahan ia mengangkat wajahnya memandangi Ara yang menatap sinis dirinya.“Tuh sana pergi udah tau nggak cocok temenan dengan kami, malah datang kesini.” celetuk Ara pedas.“Aku cocok kok temenan dengan Cira. Aku pengen temenan dengan kalian semua. Nggak mau ada musuh dalam hidup aku.” jawabnya seraya mengusap air mata. Ara menggeleng geram dengan tingkahnya yang menjengkelkan. Tangannya mengepal memeras kemarahan yang mendalam. “Jangan sampai kemarahan aku meluap kayak gunung merapi. Bakalan aku muntahin semua kata-kata mutiaraku.” ucapnya memberikan ultimatum.
Aska duduk di samping Cira sembari memainkan rambutnya yang tergerai kusut hingga ke bahu. Tangannya yang jahil terus saja merayap hingga ujung kepalanya, mengacaknya kemudian mengikat rambut Cira dengan kedua tangannya lalu mendongak ke wajah Cira memandangnya dengan lekat. “Kayaknya kamu lebih cocok nggak pakai poni, Ra.” “Usil banget. Lepasin nggak tangan kamu.” tegasnya menepis tangan Aska dari rambutnya yang kini semakin terlihat kusut. Cira merapikanya dengan sela-sela jari tangannya. “Lagian si Agung lama banget ke toiletnya.” Cira mulai tidak sabar menunggu Agung yang tak kunjung keluar dari toilet sejak bel berbunyi pulang sekolah sampai sekarang. Sudah jam tiga kurang lima belas menit dan sebentar lagi ruangan TU akan segera tutup dan mereka baru bisa mengambil seragam baru besok harinya. “Agung tuh paham banget dengan perasaan temannya, Ra. Dia nggak mau ganggu kita berdua. Udah biarin aja dia lama-lama di toiletnya.” “Tenang aku nggak akan b
“Lama banget jemputnya.” gerutu Cira sembari duduk menunggu sendirian dengan menghentakkan kakinya di ruang guru piket bawah tangga. Kemudia ia bersandar lelah memejamkan matanya sejenak melepas penat. “Tau gini mending minta antar Agung aja.” keluhnya kemudian matanya menangkap dua sejoli sedang berboncengan hangat yang sedang berlalu keluar pagar. Mereka kelihatan menikmati kesempatan berdua tersebut. Aska mencoba bermain api di tengah PDKT nya dengan Cira yang saat ini sedang menimang-nimang perasaanya yang bimbang.Oke Fix! Raula memeluknya dengan erat dari belakang, sengaja banget mencondongkan dadanya ke depan supaya kelihatan seperti orang yang sedang pacaran atau dianya emang yang kegenitan. Dan Aska menerima begitu saja pelukan dari Raula. Cewek cengeng dan nyebelin yang mencoba masuk ke circle pertemanannya.&nbs
Cira duduk di teras rumah, menunggu Aska yang tak kunjung kembali dari masjid. Belum ada tanda-tanda kedatangannya saat ini, saat Abang Cira sudah pulang ke rumah, Bahkan, mungkin saja, Abang Cira tidak sadar kalau sebelumnya Aska berangkat ke masjid bersamanya. Sama sekali tidak ada membicarakan temannya tersebut ketika sampai di rumah. Untuk meredam kekhawatiran, Cira mencoba mengalihkannya dengan membaca buku meski tidak fokus. Cira hanya membalikkan lembaran demi lembaran ke halaman selanjutnya tanpa tahu alur ceritanya. Sebenarnya saat ini Cira sedang tidak ingin membaca buku novel. Apalagi diwaktu maghrib, yang seharusnya saat ini, ia sudah berada di meja makan bersama keluarga. Sebenarnya dengan membaca buku dapat mengalihkan rasa bosannya selama menunggu Aska. Biasanya Cira bisa masuk ke dalam alur cerita novel tersebut. Seakan bi
Di ruang tengah, saat hendak pamit pulang, mama menyiapkan aneka gorengan yang masih panas di meja kecil kayu, dihidangkan khusus buat teman-teman Cira.“Kalian mau kemana?” tanya Mama.“Kami pamit pulang, buk.” jawab Nando sopan.“Nanti aja pulangnya. Makan dulu gorengannya. Kalau udah habis baru boleh pulang.” seru Mama menahan mereka untuk tetap tinggal lebih lama. Melihat banyak gorengan yang baru keluar dari penggorengan. Akhirnya mereka duduk sembari menikmati aneka gorengan, bakwan, tahu isi, risoles. Juga ditemani dengan minuman teh es yang segar.“Assalamualaikum.” Terdengar ucapan salam dari luar. Suara yang tidak asing di telinga Cira. Suara lantang seperti tukang palak yang ada di pasar.“Waalaikumsalam.” jawab mereka serentak.&nbs
Cira mempersilahkan teman – temannya masuk ke dalam kamar, sekaligus Cira juga belum bisa berdiri terlalu lama dan ingin duduk di atas kasur lebih lama dan menselonjorkan kakinya.“Masuklah.” kata Cira. Mereka masuk dengan sungkan, sembari menyusuri seisi kamar dengan tatapannya. Ini pertama kalinya mengajak teman sekolahnya masuk ke dalam kamar. Terutama para cowok, mungkin baru kali ini juga mereka masuk ke dalam kamar cewek yang berisi banyak boneka dan buku-buku di rak kecil. Tidak ada foto masa kecil. Hanya ada foto remaja yang terpajang di bingkai foto kecil. Itupun foto bersama saat dengan teman se-geng SMPnya sebelum kelulusan.“Maaf, ya. Duduknya di bawah aja.” kata Cira.“Nggak apa-apa, Cir. Santai aja.” jawab Aska. Ia masih saja berdiri sementara teman yang lainnya sudah duduk di lantai karpet. Memperhatikan rak buku Cira yang berisi ban
Pagi ini merupakan awal yang buruk untuk memulai hari, bagaimana tidak. Kaki Cira sulit untuk digerakkan saat akan melangkah. Bahkan tidak merasakan apapun saat menginjakkan kakinya di lantai. Ia panic dan mulai berpikir buruk. Mungkinkah ia lumpuh atau bahkan kakinya kini sedikit berair dan tidak bisa tertolong. Pikirnya. Cira berjalan dengan satu kaki dan menjadikan dinding sebagai alat bantunya untuk berjalan, perlahan membuka pintu. Kemudian menangis keras agar seisi rumah tahu keadaannya sekarang.“Ma. Kaki aku sakit.” kata Cira. Abang Cira yang sedang merapikan kasetnya di ruang keluarga, tidak kaget dengan kaki Cira dan berkata, “O Bengkak. Bentar lagi kita ke kliniknya. Soalnya baru jam tujuh.”“E
Sepulang sekolah di ruang tunggu, seperti biasa Cira sedang menunggu jemputan sendirian. Sebelumnya ada Agung yang duduk bersamanya sekitar beberapa menit yang lalu. Entah apa yang dimakannya hari ini. Hingga membuatnya dua kali keluar masuk toilet dengan wajah yang kecut. Memegang perut dengan sedikit membungkuk, tanpa pamit ia kabur tanpa suara. Mengatakan dengan bahasa isyarat kalau ini adalah keadaan darurat. Cira pun paham betapa darurat keadaannya. Suara drumband terdengar keras dari lapangan. Para anggotanya akan berlatih keras selama satu minggu kedepan untuk acara festival antar sekolah yang diadakan setahun sekali. Pihak sekolah biasanya akan mengundang sekolah swasta lain. Tentu saja hal itu membuat para murid menyambut gembira acara tersebut. Akan banyak cowok
Cira berjalan sedikit terbata – bata menahan sakit di pergelangan kakinya. Belum lagi punggungnya yang juga ikut sakit akibat terkena himpitan Agung saat melompat, bercampur menjadi satu.“Sorry, Cir. Biar abang bantu jalan.” kata Nando merasa bersalah, memapah Cira berjalan.“Gak usah bang. Biar aku aja yang bantuin Cira. Abang jalan aja sana.” kata Agung ikut memapah Cira.“Udahlah, Gung. Biar abang aja. Kayaknya kaki kamu terkilir tuh.” seru Nando. Padahal kakinya hanya sedikit lecet, akibat tersandung saat melompat tadi.“Lecet gini aja, udah biasa bang. Masak luka gini aja aku harus minta rangkul juga.” balas Agung ikut merangkul Cira. Cira berhenti sejenak, menatap Agung. “Kamu nyindir aku. Mending aku jalan sendiri aja deh. Gak perlu ditolong
Cira mendongak ketika Nando ikut memasukkan sampah minuman.“Iya nih, Hitung-hitung cari pahala.” jawabnya asal. Sebenarnya Cira hanya ingin menghindar dari Aska. Entah sampai kapan seperti ini. Bagaimanapun ia menghindar, tetap saja tidak bisa. Mereka akan terus bertemu setiap hari di kelas.“Yang lainnya mana, nggak bantuin.”“Aku mau ngerjainnya sendiri bang. Kalau semuanya ikut. Entar aku cuma dapat sedikit pahala.” kekehnya. Kemudian menyeret kantung sampah berisi penuh ke tempat pembuangannya.“Biar abang bantu.” Merebutnya dari tangan Cira. Cira pasrah dengan kebaikan Nando, semakin hari mereka semakin dekat. Cira merasa ada yang melindunginya di sekolah. Seorang senior sekaligus abang yang akan berpisah beberapa bulan lagi dengannya. Akan lebih sibuk lagi ke dep
Cira menyusuri seisi kelas dengan pandangannya. Tentu saja yang ia cari adalah pasangan yang belum berstatus menjadi pacar. Dan berharap mereka segera menjadi pacar sungguhan meski sedikit menyakitkan. Daripada merasa digantungin, diberi harapan seperti ini. Lebih baik mereka segera mengumumkan perubahan statusnya dari ‘teman’ menjadi ‘pacar’ itu lebih baik bagi Cira. Entahlah. mendadak Cira menjadi sangat khawatir dengan mereka. Perasaan yang bimbang antara ingin tahu lebih dalam atau hanya sekedar penasaran.Seperti biasa cuaca panas melanda kelas yang berada di lantai tiga ini. Sedangkan kelas unggul dan bilingual sedang menikmati pelajaran dengan suhu sejuk di ruangn AC. Tidak seperti mereka yang hanya mempunyai dua kipas angin yang bergelantunagn di atap. Itupun sudah tidak berputar seperti layaknya kipas angin. Akibat ulah dari sekelompok teman cowok yang berharap jika kipas angin ini rusak akan segera diganti oleh pihak sekolah. Makanya mereka m
Baru saja kemarin Aska bersumpah bahwa dia tidak mempunyai hubungan special kepada Raula. Bahkan Aska juga meyakinkannya kalau mereka hanyalah sekedar teman. Kalau dilihat lagi hari ini. Dari ekspresinya disaat semua tidak ada yang memihak Raula. Ada Aska yang selalu siap menjadi pelindungnya, bagaikan malaikat. Bahkan Aska tidak pantas dianggap sebagai malaikat. Karena dia hanya bersikap lembut kepada Raula. Murid baru yang menjadi pusat perhatian sejak hadir di kelas X.5. Mereka pun bubar ketika bel baru saja berbunyi. Ade pun menirukan suara bel dengan nada jengkel. Karena baru saja mereka selesai menyantap makanan, belum sempat mengobrol banyak, bel sudah berbunyi. Raula bahkan menggandeng tangan Cira seakan mereka adalaha teman yang sangat dek