“Cepet jalannya.” kata Ara menembus keramaian di kantin sembari menarik tangan Cira agar jangan terpisah di kerumunan.
Ini pertama kalinya makan Cira berada di kantin sekolah sebelah. Sekolah satu satunya yang disebut komplek. Karena terdapat tiga sekolah dalam satu wilayah. SMA,SMK dan SMP. Dan Cira berada di sekolah SMA. Namun kebanyakan siswi SMA yang sering makan dikantin SMK. Semuanya bergabung menjadi satu di kantin yang berukuran besar ini.
Mereka berdesakan bersama di lautan manusia yang harus memenuhi kebutuhan perut, dan ini sangat menyesakkan.
“Mending kita nggak usah makan aja deh.” kata Cira ketika wajahnya diserempet beberapa kali oleh tubuh yang lebih tinggi dari tubuhnya.
“Tanggung, udah nyampai sini.” tegas Ara bersikukuh harus makan di kantin.
Tubuh Cira mulai tergeser oleh desakan orang yang keluar masuk bergantian makan berebut kursi. Ara menyambar kasar tempat yang hampir saja di huni oleh orang lain. Sempat bersitegang sebentar dengan adu mulut ringan. Dan dihentikan oleh temannya agar pergi dari kantin. Karena mulai menjadi pusat perhatian orang lain. Semua mata tertuju kepada mereka dan mulai berbisik halus.
Sangat jelas dari gerakan mulut orang-orang yang berada di seberang meja mereka sedang membicarakan dengan mulut yang berjungkit ke atas dengan mata yang memutar sinis. Malu rasanya bertengkar hanya karena berebut kursi seperti yang dilakukan para tikus kelas atas saat ini.
Abang tukang bakso datang menghampiri mereka menanyakan pesanan.
“Aku bakso kosong. Kuahnya yang banyak.” kata Awan. “Kalian?
“Bakso tiga porsi paket lengkap bang.” sahut Cira.
“Nggak pake lama ya bang.” timpal Cira tidak sabar.
Cira meraih tangan Awan melihat jam tangannya.
“Waktu kita dua puluh lima menit untuk makan. Bisa nggak ya?” Cira merasa cemas dan takut terlambat saat masuk kelas. Cukup di pagi hari saja datang telat. Tidak untuk jam istirahat.
“Santai aja. Nggak perlu terburu buru. Nikmati aja.” kata Ara tanpa beban.
Abang tukang bakso membawa dua mangkok ke hadapan mereka.
“Dua lagi mana bang?” tanya Ara.
“Sabar ya.” jawab Abang tukang bakso. Menekankan dengan senyum dan nada yang kesal.
Cira memelototi Ara sedari tadi tidak sabar menunggu makanan.
“Sabar dong. Nih ambil bagianku.” Menggeser mangkok ke hadapannya.
Ara menyambar cepat bakso dihadapannya. Tanpa saos dan kecap. Dengan rasa original Ara bisa memakannya dengan lahap.
“Ini baksonya neng.” Meletakkan dua mangko bakso lagi kepada mereka.
“Makasih bang.” ucap Cira mendongak ke samping. Ternyata Aska yang telah mengantarkan makanan untuknya.
Aska bergabung bersama teman yang sudah menunggunya sejak tadi. Tempat mereka hanya berselang satu meja, Cira berusaha menyembunyikan senyuman dihadapan teman-temannya. Awan tahu saat ini Cira sungguh merasa senang.
Cira menuangkan banyak saos dan sedikit kecap kedalam mangkoknya. Ditambah cabe rawit beberapa sendok. Mengubah warna kuah bakso menjadi lebih keruh.
“Jangan banyak banyak cabenya. Entar sakit perut lagi.” kata Aska melirik Cira dari seberang mejanya.
Cira mengaduk baksonya dengan dengan gugahan selera. Ia tidak sabar ingin memakannya. Sebelumnya, Cira mencicipi terlebih dahulu rasa kuahnya. Rasanya masih belum pas dilidah. Cira kembali menambah cabe rawit di kuahnya.
Aska mendekat menghampiri meja mereka dan mengambil cabe beserta saos dari meja Cira. Dan meninggalkan satu botol kecap manis di sana.
“Jangan diambil.” seru Cira menarik bajunya.
“Mau dituangkan ke mangkokku semuanya.” ujar Aska meninggalkan mereka.
Cira kembali mengaduk baksonya yang sudah pasti sangat pedas. Kuahnya berubah semakin keruh bewarna hijau akibat pencampuran dari cabe rawit. Cira mencobanya satu sendok ke dalam mulut. Matanya terbelalak menahan pedas.
“Gimana pedaskan?” seru Aska dari seberang tempatnya.
Cira menoleh dengan mata berair dan wajah yang memerah. Seperti sedang menahan kesedihan menutup mulutnya yang mulai terbakar oleh rasa pedas.
“Iya.” jawabnya lirih.
Cira kembali memasukkan suapan selanjutnya. Kini bibirnya terasa bengkak dan Cira sangat suka dengan rasa seperti ini.
Aska kembali menghampiri Cira memberikan teh panas sebagai pelebur pedas.
“Minum aja ini.” kata Aska. Mengambil minuman dingin dari hadapan Cira.
“Ngapain dibawa teh esku.”
Cira beranjak dari tempatnya berusaha mengambil minuman dari genggaman Aska.
“Kalau sedang makan pedas jangan minum yang dingin. Nanti bertambah pedas bisa sampai ke kuping panasnya.” ujar Aska mengayunkan langkah kembali ke tempatnya.
Cira pasrah menyeruput teh gentong panas dengan pelan Rasanya lega dan pedas pun sudah berkurang.
Perutnya mulai terasa melilit dan panas. Ada rasa nyeri sedikit dibagian bawah perut. Cira menahanya dan melanjutkan makanan yang masih tersisa hingga habis tak tersisa. Sangat disayangkan jika makanann itu tidak dihabiskan karena sudah mengeluarkan uang saku yang seharusnya ditabung justru dibelanjakan di kantin ini.
Setelah menghabiskan bakso satu mangkok dan teh gentong. Yang seharusnya dihabiskan oleh dua orang. Namun. Dihabiskan oleh Cira seorang diri hingga membuatnya tidak sanggup berdiri.
“Kenyang banget.” Cira bersandar kenyang di kursinya.
Separuh dari isi perut Cira hampir saja keluar. Memenuhi batas kebutuhan perut.
“Lima menit lagi kita masuk nih.” kata Ara menyeruput sisa kuah yang ada di mangko dan menyekanya dengan lengan bajunya.
Melihat perilakunya yang jorok, Cira mengeluarkan sendawa yang kuat dan segera menutup mulutnya dengan cepat. Melirik ke kanan dan ke kiri. Dan pandangannya terhenti pada Aska yang tampak sibuk mengobrol dengan teman-temannya.
Cira menghela napas lega. Aska tidak mendengar sendawanya yang terlalu keras dan sangat memalukan tersebut.
“Gimana sih. Ini tissue di muka kamu.” Mendorongnya ke hadapan Ara yang masih menyeka sisa makanan dengan tangannya.
“Nggak perlu pakai tissue. Ada baju kok. Kasian tu abang baksonya. Kita kan cuma bayar makanan dan minuman aja. Tisunya nggak!”
“Ini namanya pelayanan dari kantin. Service yang diberikannya untuk pelanggan. Karena pelanggan adalah ratu.” ujar Cira tidak setuju dengan penjelasan Ara.
“Ratu? Bukannya Raja ya.” protes Ara.
“Kita cewek. Jadi ratu dong.” timpal Awan.
Cira berjalan sedikit lambat dari teman yang sudah mendahuluinya. Panas di perut semakin dirasakannya. Terasa melilit setiap kali melangkah cepat.
Cira berusaha menahan rasa sakit dengan berjalan pelan akibat kebanyakan konsumsi makanan pedas.
“Tungguin dong.” seru Cira memanggil temannya yang hampir hilang dari pandangannya.
Tidak ada yang mendengar seruannya. Justru mereka semakin hilang dari pandangannya. Cira menghentikan langkah sejenak duduk di bangku yang di sediadakan di setiap kelas lantai bawah.
Terlihat Aska sedang berjalan dengan teman –temannya dan berpisah ketika di persimpangan koridor.
“Nanti jangan lupa pulang sekolah.” seru temannya melangkah cepat menuju kelas.
Yang paling dihindarinya saat ini adalah bertemu dengan Aska disaat sembelit. Cira memalingkan wajah ke arah lain. Berpura tidak melihat keberadaannya. Dan sialnya Aska berlari kecil dengan senyum semringah mendekati Cira yang sedang menahan sakit perut.
“Nungguin aku.” seru Aska duduk di sebelahnya.
“Nggak.” jawab Cira dengan tenang.
“Pergilah!” bathin Cira.
Mata Aska beralih ke jacket yang dikenakannya di bagian pinggang.
“Rokku robek.” Cira memberikan jawaban dari isyarat mata Aska.
Aska mengangguk paham.
Bel berbunyi hingga membubarkan kerumunan pelajar yang sedang nongkrong dan semuanya bergegas masuk kelas.
“Cepat ke kelas. Udah bunyi bel tuh.”
Cira hanya berdiam diri duduk termangu. Setelah beberapa menit duduk. Rasa sakit dalam perutnya hilang perlahan.
“Woi. Nggak ada habisnya berduaan terus.” Agung menghampiri mereka dengan prasangka yang salah.
“Nggak gitu agung.” protes Cira tidak setuju.
“Udah ngaku aja.” timpal Aska.
“Aska!!” batinnya. Memasang wajah kesal. Sebenarnya saat ini Cira sangat gerogi.
Aska dan Agung berjalan beriringan sementara Cira mengikuti mereka dari belakang.
“Cepetan jalannya.” seru Aska meraih tangan Cira justru tidak berhasil.
“Jangan malu-malu. Aku tutup mata nih.” kata Agung melangkah lebih cepat dari mereka.
“Cira cepatan.” Aska memberikan gandengan kepada Cira.
“Nggak.” jawabnya cepat.
Cira mendahului langkah mereka. Segera disusul oleh Aska. Mereka saling mendahului langkah. Seakan sedang berlomba dalam berlari. Agung yang memperhatikannya dari sudut pandangnya merasa geli dan menggeleng.
Di ujung tangga lantai tiga. Guru sejarah yang akan mengajar di kelas sedang membawa beberapa buku dan tas besarnya. Bawaan wajib sang guru untuk memoles penampilan luarnya. Padahal sangat tidak penting membawa tas yang hanya berisi pena dan alat tulis berukuran kecil lainnya.
Aska melangkah cepat dengan semangat menghampiri guru sebelum masuk ke kelas.
“Sini buk. Biar aku bawain semua barangnya.” pinta Aska.
Guru sejarah memberikan semua barang yang ada ditangannya kepada Aska.
“Ini sogokan kan? biar Ibu nggak marahin kalian karena telat.” Melirik mereka bertiga.
Dibalas senyum semingah oleh Aska. Sedangkan Cira dan Agung berjalan membuntutui guru yang melenggang tanpa bawaan apapun.
Aska menaruh barang bawaannya ke meja guru dan merapikannya dengan baik. Sementra Cira dan agung kembali duduk ke tempatnya masing masing.
Tanpa basa-basi guru sejarah langsung memberikan tugas dengan mengerjakan soal di lembar jawaban siswa. Karena hari sebelumnya sudah di jelaskan. Dan seluruh jawaban sudah ada did alam buku. Tinggal menyalinnya saja dan dikumpul selama dua jam ke depan.
“Sumpah deh, perutku sakit banget.” keluh Cira.
“Makanya, jangan sok-sokan makan cabe sebanyak itu. Rasakan akibatnya.” Awan justru mengomelinya ketika Cira sungguh merasakan sakit yang luar biasa melebihi saat datang bulan hari pertama.
“Ada minyak kayu putih nggak atau semacamnya yang bisa meredam sakit perut.” pinta Cira memelas.
“Untung ada aku.” kata Awan mengeluarkan minyak kayu putih dari dalam tasnya. “Cepat oleskan ke perutmu.”
Cira memperhatikan sekitar kelas ketika akan mengoles minyak kayu putih ke perutnya yang mulai menggerogoti ke seluruh tubuh.
Cira merasa tubuhnya terkuras oleh rasa sakit yang kini mulai menguras tenaganya. Ia merebahkan kepalanya di atas meja dengan landasan tas berisi buku paket dan tidur sejenak.
Cira tersentak bangun dari tidurnya yang singkat, menyeka air liur yang menetes sedikit ke pipinya dan memperbaiki posisi duduk ketika suara guru sejarah yang lantang mengegetkannya. Dalam keadaan kesadaran penuh dan masih bingung. Semuanya menutup buku dan memasukkannya ke dalam laci dengan decakan kesal. Semuanya bersorak halus tidak setuju. Cira sungguh tidak tahu apa yang terjadi selama ia tidur. Rasanya selamatidur Cira merasa sudah sampai di penghujung dunia berkelana di alam mimpinya. Cira menatap Awan dalam keadaan bingung dan mata memerah.“Simpan buku kamu.” kata Awan sembari mengeluarkan kertas dua lembar dari dari bagian tengah buku.“Ngapain?” tanya Cira masih bingung.“Kuis dadakan. Mampus kamu!” ujar Awan mempersiapkan alat tulis yang lengkap di atas meja “Nggak boleh minjem ya.”“Palingan nanti pinjam tipe x.&rdqu
Cira bergegas merapikan alat tulis yang berserakan di atas meja. Membiarkan Aska berdiri mematung di sampingnya, setelah pertanyaan yang tidak ingin di dengarnya. Seharusnya Aska tidak perlu bertanya tentang hal yang memalukan tersebut. Tidak ada yang mau mendapatkan nilai nol, karena semua orang sudah berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik dan ini adalah keadaan darurat yang tidak bisa dihindarkan karena alasan sembelit. Cira meninggalkan Aska yang sejak tadi menunggunya untuk melanjutkan kerja kelompok.“Kamu kemana?” tanya Aska. Namun tidak mengehentikan langkah Cira yang berlalu keluar kelas. Cira berlari kecil menuruni anak tangga dengan terdesak, menuju toilet yang kini dipenuhi cewek di sekolah untuk berdandan dan diskusi. Di dalam toilet yang dibatasi dengan sekat-sekat menjadi lima kelompok semuanya terisi p
Selagi menunggu jemputan abangnya, Cira kembali lagi ke toilet dengan berlari kecil sambil membungkuk menahan sembelit yang hampir keluar dari perutnya. Cira memilih toilet terdekat yang berada di sebelah ruang guru dan terletak di lantai dua. Toilet tersebut dilarang keras digunakan oleh murid dengan alasan kebersihan yang harus terjaga.Di toilet guru, kebersihannya sangat terjaga dan berukuran lebih besar serta wangi, tidak ada pemisahan antara toilet cewek dan cowok. Semuanya terpisah antara pintu ke pintu berjumlah tiga ruangan. Di samping toilet terdapat cermin berukuran besar dan dihiasi daun hijau di sekelilingnya serta bunga plastic sebagai penghias cermin agar tampak lebih bagus. Pantas saja para murid berbondong-bondong datang kesini hanya untuk melihat seluruh tubuhnya di depan cermin serta bergaya selfie dengan kamera belakang. Sialnya, Cira bertemu kembali dengan ketiga kakak kelas yang pe
Semuanya terdiam ketika Cira melangkah masuk ke dalam rumah. Suasana ini kembali lagi terlihat setelah beberapa bulan mulai mereda. Kedua orang tuanya tengah duduk berhadapan dengan pandangan kosong dan berselonjor di lantai ditemani dengan suara tv yang menyala. Kali ini bukan hanya kedua orang tuanya yang di rumah. Ada abangnya, anak pertama dari keluarga ini. Biasanya siang ini ia tidak berada di rumah. Cira mengingat kembali hari apakah ini? Dan ini adalah hari selasa setelah melihat seragam sekolahnya, putih dongker. dan terlihat jelas kalender berukuran besar yang bergantung di dinding menunjukkan tanggal dan hari yang jelas. Memang benar ini hari selasa. Mengapa abang Cira bisa ada di rumah. Padahal ini adalah jadwal kerjanya sebagai supir di sebuah toko grosir. Seharusnya saat ini dia sedang berkelana ke luar kota mencari langganan ke toko-toko kecil untuk menawarkan barangnya tersebut.“C
“Ma, Cira berangkat dulu ya.” Cira berangkat dengan tergesa-gesa, meninggalkan kamarnya dalam keadaan berantakan yang seperti kapal pecah. Biasanya sebelum berangkat ke sekolah Cira selalu membersihkan kamarnya terlebih dahulu. Pagi itu Cira sedang kalang kabut. Merasa bimbang antara ingin merapikan kamarnya atau segera berangkat ke sekolah dengan segera. Belum lagi mata pelajaran yang belum disusun untuk hari ini. Maka dari itu, Cira berinisiatif memasukkan semua buku ke dalam tasnya.Pukul setengah tujuh pagi Cira baru bangun dari tidurnya yang panjang setelah berulang kali terdengar teriakan Mamanya memanggil dan juga alarm yang berbunyi hingga tiga kali barulah Cira terbangun saat percikan air mendarat di wajahnya.Cira bangkit dari kasurnya dengan tubuh yang ringkih. Ia merasakan pegal hingga diseluruh tubuhnya. Pikirannya tentang biaya sekolah menguras tenaga dan pikirannya seja
Di lapangan sekolah terlihat banyak murid dengan kesibukannya masing-masing sedang melakukan aktivitas. Dan yang paling sering berada di tengah lapangan sekolah adalah para anak marching band yang berlatih hampir setiap hari hingga malam. Cira mendongak melihat kelasnya yang berada di lantai atas terbuka lebar. Matanya melihat keadaan sekitar memastikan tidak ada guru yang berada di luar ruangan khususnya buk Nia seorang guru fisika rangkap menjadi guru BK. Ia sering mengintai murid yang berkeliaran saat jam pelajaran berlangsung apalagi melihat ada sisiwi yang baaru datang pada jam segini, masih berada di lapangan sekolah. Cira merasa was-was karena ini bukan pertama kalinya ia terlambat datang melainkan untuk kesekian kalinya dengan alasan yang sama, telat bangun. Jika ditanya oleh guru Cira akan mengatakan alasan yang dipakai oleh banyak murid. Ban motor bocor atau motor mogok. Cira pernah mengatakan alasan
“Mampus.” kata Aska menepuk dahinya “Tadikan aku sedang latihan marching band.” Aska berlari keluar, melihat dari depan kelas teman-teman lainnya sedang berlatih di bawah terik matahari. Aska berlari, menuruni tangga dengan cepat. Tidak peduli dengan orang-orang yang tersenggol dengan tubuhnya beberapa kali. Merasa bersalah meninggalkan anggota marching band akan kena marah oleh pelatihnya. Ia masuk ke dalam kelompok bass drumnya dengan nafas yang terengah. Menghadap pelatihnya yang sedang memarahi teman-teman lainnya karena salah ketukan nada berulang kali. Mungkin mereka sudah lelah berlatih selama tiga jam berdiri di lapangan dengan cuaca yang begitu panas di pagi ini.“Kamu! Katanya izin sebentar. Kemana aja dari tadi. Kalau nggak niat latihan, sana pergi ke kelas ka
Jalan menuju tangga begitu padat dipenuhi dengan murid yang memilih nongkrong di deretan anak tangga. Cira merasa risih harus membungkuk melewati mereka yang menghalangi jalan. Para cowok dengan modal dengkul dan bisanya cuma bisa siulin cewek cantik ketika lewat menambah kesan buruk terhadap mereka yang berstatus jomblo akut.“Hai Cira.” Seorang cowok di keramaian menyebut namanya dengan suara yang menggoda. Tidak tahu sumber asal suara tersebut. Cira mempercepat langkahnya menuju kelas. Panggilan tersebut tidak dihiraukan Cira meski saat ini ia penasaran seseorang dari lantai dua yang menyebut namanya tadi. Karena kelas yang berada di lantai dua adalah senior satu tingkat di atas mereka.“Ngapain sih mereka pada nongkrong di tangga.” gerutu Ara ketika sampai di lantai tiga matanya menoleh ke bawah melihat para abang kelas yang sedang bergurau dengan teman-temannya.