Cira menatap papan tulis yang berisikan rangkuman penuh dengan tulisan spidol, membuatnya mengantuk dan malas untuk mencatatnya kembali ke buku tulis. Belum lagi cuaca panas menyelimuti kelas ini yang dipenuhi dengan bau keringat. Hanya ada dua kipas angin yang bergantung di atap kelas, itu pun sudah hampir rusak dilempari anak cowok yang berperilaku seperti monyet. Mereka sering melakukannya di kelas dengan bangga serta tawa ngakak hingga terdengar ke luar kelas. Terkadang guru yang sedang mengajar di kelas sebelah merasa terganggu dengan keributan yang dilakukan, hingga mendatangi kelas mereka dengan ancaman hukuman. Baru sebulan di sini. Kelas sepuluh empat sudah dicap nakal oleh para guru.
Tidak ada yang dapat mendiamkan kelas X.4 kecuali ketua kelas. Dialah sumber keributan di kelas. Yang mengajak teman lainnya untuk bersenang senang selama masa SMA.
Cira setuju dengan pendapat ketua kelas. Namun, sebagai lelaki tidak seharusnya ia juga ikut bergosip dengan teman cewek lainnya yang mengundang kesenjangan di dalam kelas. Hal itu yang menjadi pembentukan kelompok geng para cewek di kelas untuk membedakan mana yang cantik dan yang pintar. Semua itu seperti sudah menjadi aturan kelas yang tidak bisa dirubah.
Sekertaris kelas terus menoleh ke belakang. Cira memperhatikannya sejak tadi. Pandangannya fokus kepada Aska yang sedang memberikannya arahan. Tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan dengan suara yang pelan dan gerakan tubuh dari Aska. Sekertasris kelas mengangguk paham berulang kali.
Selanjutnya rangkuman tersebut dihapus. Dan Cira baru mencatat sebagiannya saja. Matanya mengerling ke catatan Awan yang lengkap. Cira merasa lega bisa meminjam dan membawa pulang catatannya.
Ada pembagian kelompok yang terbagi menjadi 6. Cira dan Aska berada di kelompok yang sama. Jika diteliti seharusnya Cira tidak satu kelompok dengan Aska melainkan teman di depannya. Aska menoleh Cira ke belakang dengan menyengir.
“Apa!” kata Cira kepada Aska dengan bingung. Suranya terdengar oleh Awan yang sedang memperhatikan papan tulis.
“Ciee senang?” kata Awan menggodanya.
“Aku sedang marah nih. Jangan ganggu aku.” Cira melipat kedua tangannya di atas meja dijadikan sandaran kepala untuk tidur.
“Yah kan. Selalu aja gini. Kalau udah gerogi pasti kepikiran.” seru Awan.
Cira menegakkan tubuhnya. Mengerling malas kepada Awan yang terkekeh.
“Jangan senang gitu dong.” Awan mendorong tubuh Cira yang lemas.
“Udah deh, aku mau tidur.” jawab Cira dengan suara pelan.
“Biar bisa mimpiin Aska ya?” godanya kembali.
“Iya.” jawab Cira melotot.
Pembagian kelompok sudah ditentukan oleh guru. Diam-diam Aska menggantinya agar bisa satu kelompok dengan Cira.
Tidak ada yang beda menurut Cira. Ketika satu kelompok atau tidak dengan Aska tetap saja malas mengerjakan tugas yang katanya kelompok. Namun, pada akhirnya dikerjakan per individu. Tetap saja hanya satu orang yang mengerjakannya dan saat dihadapan guru semuanya ikut andil dalam presentasi secara bergantian.
“Kok lemas gitu sih.” Awan kembali mendorongnya dengan ujung jari.
“Apaan sih Awan.?” Cira menoleh dengan posisi tidur di atas meja.
“Si Aska dari tadi ngeliatin kamu. Tapi kamunya cuek bebek nggak jelas. Come on. Kamu harus bangkit. Ada cinta di pelupuk mata kamu.” ujarnya menyemangati Cira.
“Dimana cinta?” tanya Cira sedikit mendongak.
“Disini.” jawab Aska yang duduk dihadapan Cira.
“Sejak kapan kamu di sini?” Mendirikan tubuhnya sembari mengusap wajah.
“Sejak kamu merebahkan kepala terus ngobrol dengan Awan dan aku datang.” ujar Aska.
“Oo gitu.” Cira kembali merebahkan kepalanya dan dihadang dengan tangan Aska. Bagian pipi Cira menyentuh tangannya yang memakai cincin besi. “Aw.. sakit.”
Cira mengelus pipinya yang terkena cincin. Meringis kesal dihadapan Aska.
“Maaf.. maaf.” Aska mengelus pipi Cira dengan lembut.
“Astaga. Apa yang kalian lakukan?” Awan menutup mulutnya yang menganga.
“Aska! Enggak enak diliatin dengan teman lain.” Cira cukup kaget dengan sikap Aska yang seperti itu. Tidak ada lelaki yang pernah menyentuh pipinya selain Papanya. Itupun ketika kecil. Masih ingin dimanja.
“Yaudah. Kalau enggak mau diliatin orang ke tempat sepi aja.” ujar teman Aska yang berkacamata. Wajah polos seperti ini memiliki ucapan yang tidak pernah terpikir oleh Cira.
Mendengar omongannya, Cira menutup wajah di atas meja. Menggelang kuat berulang kali sembari menangis sendu tanpa air mata.
“Lebay amat.” kata Agung.
“Telingaku ternodai mendengar omongan kotor itu!” sahut Cira dengan mata berair.
“Bercanda Ra. Jangan dianggap serius.” kata Agung melepaskan kacamatanya sejenak. Menghebuskan nafasnya ke kaca yang terkena debu.
Cira dan Awan tertegun melihat wajah Agung tanpa kacamata.
“Enggak usah segitunya ngeliat ketampanan aku. Memang banyak cewek yang melongo kalau liat wajahku ini.” kata Agung melekatkan kembali kacamatanya.
“Bukan itu. Muka kamu kok kayak kecambah ya. Kecil amat.” sahut Cira.
“Kalau muka aku besar. Ya, enggak sesuailah dengan badanku yang kurus langsing ini.” jawabnya dengan bangga.
“Udah deh Cira. Jujur aja. Mukanya Agung memang tampankan?” Bela Awan masih menatap Agung.
“Waduh. Parah nih. Lain kali kita double date aja gimana?” sahut Aska menatap lurus ke arah Cira.
“Enggak.” jawab Cira dan Agung serempak.
“Kenapa enggak mau.” tanya Aska tidak setuju.
“Yang namanya double date itu orang yang pacaran atau sedang PDKT. Lah, kita kan baru kenal. Enggak mau ah.” tolak Agung blak blakan.
“Yaudah kalau enggak mau. Aku sama Cira aja nge date nya. Kalian enggak usah ikut. Entar ngerepotin lagi.” Aska tersenyum sembari menaikkan sebelah alisnya berulang kali ke arah Cira.
“Apaan sih Aska. Enggak usah ngadi-ngadi deh.” Cira memutar bola matanya dengan malas.
“Aku tuh enggak ngad-ngadi.” Menirukan gaya Cira memutar bola matanya.
“Aska!!”
“Ya udah. Aku tunggu kapan kamu bisa.” kata Aska kembali ke tempatnya.
“Aku kan enggak setuju.” teriak Cira sehingga kedengaran oleh teman lainnya dan melirik Cira dengan bisikan halus.
Cira mendengus kesal. Menatap tajam Aska dari belakang, memanahnya dengan tatapan yang membidik langsung tepat di bagian kepala. Aska mengelus rambutnya bagian belakang seakan merasakan yang sedang dilakukan Cira dengan nalurinya.
“Cira. Ngapain ngeliatin Aska terus.” teriak Ade. Sang ketua kelas yang rempong sedang berkumpul dengan teman cewek segengnya. Disahut segerombol tawa cekikikan.
“Apaan sih kamu gigolo.” timpal teman yang duduk di depan Ara.
Kini mereka berteman di kelas. Meski hanya sekedar obrolan kecil untuk mengisi waktu luang.
“Siapa yang bicara barusan.” teriak guru mencari sumber suara tersebut.
Tidak ada yang menyahut. Semua murid tahu yang bicara barusan adalah Ara. Cewek bar-bar yang sering bolos padahal baru sebulan masuk sekolah. Ara dan teman sebelahnya memang asyik untuk diajak berteman. Namun. Cira tidak bisa mengikuti arus pergaulan mereka untuk dapat berteman.
“Siapa?!” tanya guru sekali lagi.
Tidak ada yang menggubris pertanyaa guru. Semuanya sibuk dengan urusan masing masing.
“Jangan ada yang bicara kotor selama di kelas!!” kata guru memperingati mereka.
“Berarti bebas dong kalau di luar kelas.” sahut Ara berbisik, menoleh ke belakang kepada Cira.
“Hussh. Nanti ada yang dengar.” timpal Cira.
“Santai aja. Jangan kaku amat jadi orang.” kata Ara. Pandangannya kembali ke depan.
Ara menopangkan punggungnya ke bahu teman sebangkunya sembari menunjuk jari tengah kepada Ade yang mengepul tangannya mengarahkan kepada Ara.
Cira mengerling ke arah Ade dan di balas dengan senyum palsunya.
“Jangan liat si gigolo itu. Entar kamu dijadikan bahan olokan sama geng kampretnya.” kata Ara.
“Serem amat ya kelas ini.” timpal Awan menggidik.
“Lebih tepatnya horror banget. Mungkin mereka roh jahat yang sedang mennggangu anak-anak baik kayak kita deh.” Cira bergaya imut seperti malaikat.
“Sebenarnya kita ngapain sih di kelas. Kelompok udah dibagi. Terus apa lagi. Senang banget kalau terus terusan kayak gini.” kata Awan.
Guru memberikan arahan agar mereka menyatukan meja dan kursi menyatu menjadi kelompok. Duduk sesuai dengan yang tertulis. Aska dengan semnagat menjemput Cira menuju tempat duduknya.
“Duduk sini.” Menarik kursi untuk Cira yang bersebelahan dengannya.
“Aku bisa kok Aska.” kata Cira dengan lesu.
Cira menunduk malu diperlakukan special oleh Aska. Cowok yang sedang mendekatinya saat ini mempunyai wajah ganteng, kulit putih dan banyak yang menyukainya. Cira bukanlah tipe cewek yang bisa diperlakukan romantis seperti ini. Baginya ini adalah perlakuan yang istimewa. Cira merasa dia hanyalah cewek biasa yang kebetulan sekelas dengan Aska. Meski di kelas pesonanya terlihat biasa saja. Saat di luar kelas banyak cewek yang ingin berkenalan dengannya. Bahkan terpesona dengan penampilannya.
Cira duduk sejajar di sebelah Aska yang sibuk menyibak lembaran kertas. Menunujukkan tulisan kepada Cira yang terlihat cuek dengan tugas kelompok.
“Kita disuruh memerankan judul ini nih.” kata Aska menunjuk kertas.
Cira melirik sedikit lalu mengangguk mengerti.
“Ya udah. Sekarang kita bagi peranannya ya.” kata Cira.
“Kayaknya kamu lebih cocok jadi putri salju deh.” Aska berusaha untuk bisa dekat dengan Cira yang terlihat tidak memedulikan keberadaannya.
“Terus kamu jadi kurcacinya.” sahut Cira ketus.
“Ya enggaklah. Aku jadi pangeran yang membangunkanmu dari tidur.” sahut Aska dengan nada lembut.
Pikiran Cira menerawang, mengingat adegan kecupan pada sang putri. Seketika membuatnya malu sendiri.
“Ayo apa yang sedang kamu pikirkan?” Aska menunjuk Cira dengan matanya yang lekat.
“Ng-nggak ada. Apaan sih Aska. Jangan mulai deh.”
“Memang belum dimulai Cira. Sabar ya putri salju. Kamu pasti sedang menantikan adegan tersebut.”
“Astaga, kalian enggak anggap kami ada disni. Ngomong ngawur berduaan aja. Nggak ngajak-ngajak.” sahut teman kelompok lainnya.
“Biar adil pembagian peranannya. Nanti kita buat di selembar kertas kecil. Kayak undian gitu. Dari sana kita dapat menentukan peranan yang kita ambil. Gimana?”
“Yah. Nasib-nasiban bakalan jadi pangeran.” sahut Aska.”
“Kamu udah kayak pangeran kok Aska.” Pernyataan itu terlontar begitu saja dari mulut Cira.
Aska yang mendengarnya tersenyum kecil merasa senang.
“Sekarang kita pendektan aja dulu. Biar enggak canggung nantinya.”
“Ini kita lagi pendekatan.” sahut Aska melirik Cira yang mulai tidak nyaman duduk di sebelahnya.
“Jadi gimana?” tanya Cira.
“Gimana kalau kita ngumpul pulang sekolah nanti buat kerja kelompok, nentuin peranan sekalian buat dialognya ala kita. Enggak usah terlalu ngikutin alur ceritanya. Gimana baguskan ideku?”
Aska memberikan ide yang memberi peluang bagi dirinya untuk bisa bertemu terus dengan Cira.
“Aku setuju.” sahut Cira tanpa tahu maksud Aska mengajak berkumpul.
“Setuju ya. Oke.” kata Aska sembari berdiri dengan semangat.
Mereka sepakat akan berkumpul sepulang sekolah nanti. Sebelumnya Aska telah menentukan tempat dan mengedikkan matanya kepada Cira yang bersikap dingin. Cira kembali ke tempatnya, duduk dengan memiringkan kepala di atas meja sembari menggerutu menyebut nama Aska.
###
Meski sudah berada di lingkungan sekolah, saat ini Cira masih menggunakan seragam SMP yang mulai sempit di badannya. Ia melirik para kakak kelas yang melintas dihadapannya dengan mengenakan seragam putih abu-abu. Melihat mereka seperti itu, ingin sekali rasanya Cira memakai seragam seperti mereka agar terlihat menjadi siswi SMA yang sesungguhnya.Cira paham semua yang sudah diterima di sekolah ini sudah resmi menjadi siswa-siswi sekolah Sumpah Pemuda.
Di sini Cira sedang menunggu teman sekelompoknya. Hal yang paling menjengkelkan saat ini adalah ketika janjian sudah ditentukan pada jam tiga sore, nyatanya Cira hanya duduk berdua dan sedang menunggu keempat teman lainnya termasuk Aska di labor ini. Tidak ada toleransi untuk orang yang datangnya telat. Waktu Cira terlalu berharga untuk ini.
Cira mendengus berulang kali sembari menekan ujung pena, lalu menulis di atas meja labor sekolah. Tempat ini cukup menyeramkan ketika hanya berdua berada di ruangan besar, dan saat ini teman di sebelahnya yang baru di kenal bahkan Cira lupa dengan namanya, tidak bicara sedikitpun bahkan untuk berdehem. Cira takut bertanya kembali identitas temannya. Ini adalah kesalahan Cira karena tidak bisa menghafal nama kelompoknya dan hanya mengingat nama Aska semata.
Emosi Cira mulai memuncak. Kakinya berulang kali menghentak pelan serta bergesekan dengan lantai sehingga menimbulkan suara yang aneh di ruang yang jarang dihuni. Kabarnya dari gossip yang di dengar. Pernah ada yang bunuh diri di sini. Makanya ruangan ini tidak digunakan lagi untuk praktek kelas. Sekolah ini membuat labor baru yang sedang dibangun di belakang sekolah dengan fasilitas lengkap demi kenyaman belajar.
Teman lelaki di sebelahnya melirik dengan tatapan tajam. Cira menangkap pandangannya tanpa berkedip sedikit pun sebagai perlawanan. Mata mereka seakan menyembur kebencian. Namun itu tidak benar. Kondisi ini yang membuat mereka hampir saja bertengkar akibat menunggu keempat teman yang tidak on time.
Tidak ada pembicaraan selama menunggu dan tidak ada juga yang memulai duluan. Mereka bertahan dalam diam. Duduk tanpa peduli keadaan sekitar. Setidaknya Cira ingin menyapa dengan say ‘Hello’.
Bukan Cira namanya kalau bersikap manis dan manja. Cira yang terkenal cuek dan angkuh sudah menjadi image kesehariannya selama sebulan berada di sekolah ini.
Cira berdehem sebagai permulaan pertemanan.
“Ini ada minum.” kata teman di sebelahnya, menyeret minuman di atas meja ke arah Cira. Sebotol minuman yang masih bersegel siap diminum.
Cira tersenyum garing. Berdehem hanya untuk memulai pembicaraan bukan karena tenggorokannya sedang gatal.
“Makasih.” Ucapan pertama yang dilontarkan Cira setelah seperkian menit terbuang sia-sia.
Tidak ada percakapan setelah itu. Cira mendengus kesal. Menjulurkan tangannya sebelah sebagai pengganti bantal. Berbalik arah dari hadapan teman yang duduk di sebelahnya.
“Halo. Sorry aku telat.” kata teman kelompok yang baru saja masuk dan disusul dengan yang lainnya. Mereka seakan telah merencanakan ini semua untuk datang telat.
Kini mereka berkumpul berlima. Aska? Kemana Aska? Mata Cira mencari keberadaannya. Mereka melanjutkan percakapan yang sempat tertunda di kelas tadi. Tidak butuh waktu lama, salah satu dari mereka telah membuat peranan di gulungan kertas kecil. Secara bergantian mereka mengambil bagiannya masing-masing. Cira menjadi Ibu tiri dan semuanya telah mengambil peranan. Karena Aska tidak hadir. Diberikan peranan sebagai kurcaci.
Mereka berdiskusi hingga pukul lima sore. Semuanya berakhir setelah semuanya tersusun dengan baik. Mereka akan melakukan latihan setiap pulang sekolah memerankan cerita Putri Salju.
Aska, cowol nyebelin yang ingkar janji. Ia sudah membuat Cira dan teman lainnya jengkel. Yang paling penting dalam kerja kelompok adalah kehadiran dan ikut andil dalam melakukannya.
Mereka menutup diskusi dengan anggukan kecil setelah mendengar penjelasan dari ketua kelompok yang baru saja terpilih. Semuanya bubar, berpisah tanpa obrolan sedikitpun.
Cira harus menunggu jemputan dari abangnya. Saat ini sudah pukul lima sore. Biasanya jemputan akan datang satu jam lagi. Tentu saja Cira harus pulang ketika matahari akan terbenam. Duduk termangu di ruang tunggu sekolah di dekat pagar. Perlahan lampu satu persatu dimatikan dan suasana menjadi gelap. Sedikit cahaya matahari yang akan terbenam meneranginya di sini.
Bahkan security yang biasa duduk di post saja tidak berada di tempatnya. Berkeliling sekolah memastikan tidak ada lagi yang berada di kelas dan menguncinya, serta menggunakan senter sebagai penerang langkah.
Pertama kalinya berada di sekolah sendirian. Tidak ada penghuni lainnya. Sendirian, merasa parno ketika terdengar langkah atau bayangan. Meski itu hanya kucing yang numpang lewat.
Merinding? sudah pasti yang dirasakan Cira ketika sendirian. Cira memutuskan meninggalkan ruangan tunggu menuju luar sekolah. Lebih memilih menunggu jemputan di depan pagar sembari memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Suara klakson dari kendaraan motor terdengar berulang kali, merasa tidak sabar ketika ada kendaraan mobil lain yang menghalangi jalannya. Mobil tersebut membalasnya dengan teriakan ketika kaca mobil dibuka lebar. Semuanya ingin cepat untuk sampai tempat tujuan.
Lampu jalanan mulai menyala di sepanjang jalan. Namun jemputan Cira belum juga datang.
Suara azan menggema di setiap sudut kota. Nalurinya menuntun Cira untuk berangkat menuju masjid untuk menunaikan sholat maghrib berjamaah. Disisi lain Cira ragu meninggalkan tempatnya menunggu, takut ketika sedang tidak berada di posisi saat ini, abangnya akan pergi meninggalkannya. Dan Cira akan pulang dengan berjalan kaki hingga ke rumah.
Dengan mengikuti kata hati, Cira mengayunkan langkah menuju masjid menempuh jarak 50 meter. Sangat dekat, hanya berselang dua gedung di samping sekolahnya.
Tin tin…
Di seberang jalan seorang lelaki berbadan gemuk mengenakan tas ransel dan baju kemeja merah, menggunakan sepeda motor matic memanggilnya dengan cara menyalakan klakson beberapa kali sampai Cira menoleh ke arah suara tersebut. Cira memandangnya dengan lekat dari seberang jalan. Ternyata itu adalah abang Cira yang telat menjemputnya sekitar satu setengah jam lamanya.
Abangnya menyebrang jalan dengan motor dan menghampiri Cira yang berhenti di trotoar jalan. Mereka berangkat bersama menuju masjid menunaikan sholat maghrib.
Usai melakukan sholat. Cira segera keluar menunggu abangnya di depan parkiran. Pertama kalinya selama sekolah pulang dalam keadaan gelap seperti ini. Rasanya tubuh ini merasa sangat lelah berkelana dalam penantian.
Cira cuma diam saat berada diboncengan. Begitu juga dengan abangnya. Tidak ada pertanyaan atau obrolan selama perjalanan pulang.
***
Assalamualaikum..
Cira masuk ke dalam rumah tanpa sambutan siapa pun. Hari senin biasanya kedua orang tua Cira sedang berada di masjid mendengarkan pengajian rutin yang diadakan oleh masyarakat sekitar. Cira meletakkan sepatunya di sembarang tempat. Menyeret tasnya ke lantai dengan lengan yang lelah.
Di kamar, Cira menyusun buku mata pelajaran yang akan dibawa besok. Sekaligus memeriksa PR yang akan dikumpulkan besok. Sialnya, ada PR matematika yang menjadi musuh terbesarnya dalam belajar. Bagaimanapun juga Cira harus mengerjakannya secara teliti dengan waktu yang lama tetap saja tidak bisa memecahkan lima soal yang singkat dengan jawaban yang akan memenuhi beberapa lembaran buku.
Terlintas dipikiran Cira untuk memeriksa Hp nokia yang ditinggalkannya seharian di kamar. Meski tidak akan ada yang menghubunginya atau mengirimkan pesan singkat. Cira tetap membukanya. Terdapat lima panggilan tak terjawab dari Aska pada pukul empat sore. Hah, Cira mengabaikan notifikasi tersebut dan melemparkan Hp tersebut ke kasur.
Cira kembali pada kegiatannya memasukkan buku ke dalam tas yang akan menjadi pelajaran besok di kelas.
Rasa penasarannya terhadap Aska membuat Cira kembali mengambil Hp yang tergeletak di atas kasur. Memeriksa isi pesan dari Aska yang bertuliskan. “Aku ada urusan lain. Lanjutkan aja kerja kelompoknya.
Cira terbaring lemas di atas kasur masih dengan seragam sekolah putih dongker dan kaos kaki yang terpasang di kedua kakinya. Ia menatap atap kamar dengan lelah. Melintas seekor cicak yang sedang berjalan di belakang cicak lainnya. Pemandangan yang tidak menarik bagi Cira.
Cira kembali menatap layar ponsel lalu meletakkannya kembali di atas kasur. Begitu terus selama beberapa waktu. Tidak ada panggilan dari Aska atau pertanyaan singkat lainnya untuk melepaskan penat ini.
Hal yang biasa dilakukan orang saat pendekatan adalah menghubungi gebetannya secara beruntun sebagai perhatian yang intens meski kadang terasa mengganggu Namun, menyenangkan. Saat itulah rasa nyaman mulai terasa.
Rasa penasaran terhadap Aska mulai mengusik Cira. Meski tidak ada niat untuk pacaran. Tapi seperti ada rasa yang mengganjal di hatinya untuk menghubungi Aska. Terlintas dipikiran Cira. Kenapa Aska harus memberikan harapan untuknya kalau ujung-ujungnya seperti ini?
Cira mengganti pakaian setelah mandi. Ia bersiap untuk tidur yang berada di bawah selimut dan memejemkan mata dalam beberapa detik. Dering Hp menandakan pesan masuk, Cira melonjak dari kasurnya mengambil Hp di atas meja belajar. Pesan yang diterimanya dari operator yang menawarkan gratis nelpon dan sms.
Kecewa, sudah pasti dirasakan Cira malam itu. Ia berharap Aska akan menghubunginya seperti pertama kali mereka berkenalan
Suara bel berbunyi ketika Cira baru saja turun dari motor. Tanpa pamit Cira berjalan cepat, berpapasan dengan beberapa guru yang sama telatnya dengan Cira. Banyak sekali yang datang telat hari ini ke sekolah. Dari ujung gerbang terlihat siswa siswi yang bergeromblan mengejar waktu. Di sekolah ini mempunyai peraturan unik. Ketika ada yang terlambat, harus membeli tiket masuk kepada guru piket dengan harga 3.000 rupiah. Jika dihitung-hitung, ada puluhan orang yang membeli tiket masuk kelas. Uang hasil terlambat akan diberikan kepada pelajar yang kurang mampu dan berprestasi. Dengan kata lain adalah beasiswa untuk pelajar. Secara tidak langsung mereka menjadi donatur tetap sekolah bagi pelajar yang dengan sukarela menyumbangkan uangnya tersebut untuk amal di akhirat kelak.&n
“Cepet jalannya.” kata Ara menembus keramaian di kantin sembari menarik tangan Cira agar jangan terpisah di kerumunan. Ini pertama kalinya makan Cira berada di kantin sekolah sebelah. Sekolah satu satunya yang disebut komplek. Karena terdapat tiga sekolah dalam satu wilayah. SMA,SMK dan SMP. Dan Cira berada di sekolah SMA. Namun kebanyakan siswi SMA yang sering makan dikantin SMK. Semuanya bergabung menjadi satu di kantin yang berukuran besar ini. Mereka berdesakan bersama di lautan manusia yang harus memenuhi kebutuhan perut, dan ini sangat menyesakkan.“Mending kita nggak usah makan aja deh.” kata Cira ketika wajahnya diserempet beberapa kali oleh tubuh yang lebih tinggi dari tubuhnya.“Tanggung, udah nyampai sini.” tegas Ara bersikukuh harus makan di kantin.&n
Cira tersentak bangun dari tidurnya yang singkat, menyeka air liur yang menetes sedikit ke pipinya dan memperbaiki posisi duduk ketika suara guru sejarah yang lantang mengegetkannya. Dalam keadaan kesadaran penuh dan masih bingung. Semuanya menutup buku dan memasukkannya ke dalam laci dengan decakan kesal. Semuanya bersorak halus tidak setuju. Cira sungguh tidak tahu apa yang terjadi selama ia tidur. Rasanya selamatidur Cira merasa sudah sampai di penghujung dunia berkelana di alam mimpinya. Cira menatap Awan dalam keadaan bingung dan mata memerah.“Simpan buku kamu.” kata Awan sembari mengeluarkan kertas dua lembar dari dari bagian tengah buku.“Ngapain?” tanya Cira masih bingung.“Kuis dadakan. Mampus kamu!” ujar Awan mempersiapkan alat tulis yang lengkap di atas meja “Nggak boleh minjem ya.”“Palingan nanti pinjam tipe x.&rdqu
Cira bergegas merapikan alat tulis yang berserakan di atas meja. Membiarkan Aska berdiri mematung di sampingnya, setelah pertanyaan yang tidak ingin di dengarnya. Seharusnya Aska tidak perlu bertanya tentang hal yang memalukan tersebut. Tidak ada yang mau mendapatkan nilai nol, karena semua orang sudah berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik dan ini adalah keadaan darurat yang tidak bisa dihindarkan karena alasan sembelit. Cira meninggalkan Aska yang sejak tadi menunggunya untuk melanjutkan kerja kelompok.“Kamu kemana?” tanya Aska. Namun tidak mengehentikan langkah Cira yang berlalu keluar kelas. Cira berlari kecil menuruni anak tangga dengan terdesak, menuju toilet yang kini dipenuhi cewek di sekolah untuk berdandan dan diskusi. Di dalam toilet yang dibatasi dengan sekat-sekat menjadi lima kelompok semuanya terisi p
Selagi menunggu jemputan abangnya, Cira kembali lagi ke toilet dengan berlari kecil sambil membungkuk menahan sembelit yang hampir keluar dari perutnya. Cira memilih toilet terdekat yang berada di sebelah ruang guru dan terletak di lantai dua. Toilet tersebut dilarang keras digunakan oleh murid dengan alasan kebersihan yang harus terjaga.Di toilet guru, kebersihannya sangat terjaga dan berukuran lebih besar serta wangi, tidak ada pemisahan antara toilet cewek dan cowok. Semuanya terpisah antara pintu ke pintu berjumlah tiga ruangan. Di samping toilet terdapat cermin berukuran besar dan dihiasi daun hijau di sekelilingnya serta bunga plastic sebagai penghias cermin agar tampak lebih bagus. Pantas saja para murid berbondong-bondong datang kesini hanya untuk melihat seluruh tubuhnya di depan cermin serta bergaya selfie dengan kamera belakang. Sialnya, Cira bertemu kembali dengan ketiga kakak kelas yang pe
Semuanya terdiam ketika Cira melangkah masuk ke dalam rumah. Suasana ini kembali lagi terlihat setelah beberapa bulan mulai mereda. Kedua orang tuanya tengah duduk berhadapan dengan pandangan kosong dan berselonjor di lantai ditemani dengan suara tv yang menyala. Kali ini bukan hanya kedua orang tuanya yang di rumah. Ada abangnya, anak pertama dari keluarga ini. Biasanya siang ini ia tidak berada di rumah. Cira mengingat kembali hari apakah ini? Dan ini adalah hari selasa setelah melihat seragam sekolahnya, putih dongker. dan terlihat jelas kalender berukuran besar yang bergantung di dinding menunjukkan tanggal dan hari yang jelas. Memang benar ini hari selasa. Mengapa abang Cira bisa ada di rumah. Padahal ini adalah jadwal kerjanya sebagai supir di sebuah toko grosir. Seharusnya saat ini dia sedang berkelana ke luar kota mencari langganan ke toko-toko kecil untuk menawarkan barangnya tersebut.“C
“Ma, Cira berangkat dulu ya.” Cira berangkat dengan tergesa-gesa, meninggalkan kamarnya dalam keadaan berantakan yang seperti kapal pecah. Biasanya sebelum berangkat ke sekolah Cira selalu membersihkan kamarnya terlebih dahulu. Pagi itu Cira sedang kalang kabut. Merasa bimbang antara ingin merapikan kamarnya atau segera berangkat ke sekolah dengan segera. Belum lagi mata pelajaran yang belum disusun untuk hari ini. Maka dari itu, Cira berinisiatif memasukkan semua buku ke dalam tasnya.Pukul setengah tujuh pagi Cira baru bangun dari tidurnya yang panjang setelah berulang kali terdengar teriakan Mamanya memanggil dan juga alarm yang berbunyi hingga tiga kali barulah Cira terbangun saat percikan air mendarat di wajahnya.Cira bangkit dari kasurnya dengan tubuh yang ringkih. Ia merasakan pegal hingga diseluruh tubuhnya. Pikirannya tentang biaya sekolah menguras tenaga dan pikirannya seja
Di lapangan sekolah terlihat banyak murid dengan kesibukannya masing-masing sedang melakukan aktivitas. Dan yang paling sering berada di tengah lapangan sekolah adalah para anak marching band yang berlatih hampir setiap hari hingga malam. Cira mendongak melihat kelasnya yang berada di lantai atas terbuka lebar. Matanya melihat keadaan sekitar memastikan tidak ada guru yang berada di luar ruangan khususnya buk Nia seorang guru fisika rangkap menjadi guru BK. Ia sering mengintai murid yang berkeliaran saat jam pelajaran berlangsung apalagi melihat ada sisiwi yang baaru datang pada jam segini, masih berada di lapangan sekolah. Cira merasa was-was karena ini bukan pertama kalinya ia terlambat datang melainkan untuk kesekian kalinya dengan alasan yang sama, telat bangun. Jika ditanya oleh guru Cira akan mengatakan alasan yang dipakai oleh banyak murid. Ban motor bocor atau motor mogok. Cira pernah mengatakan alasan
Cira duduk di teras rumah, menunggu Aska yang tak kunjung kembali dari masjid. Belum ada tanda-tanda kedatangannya saat ini, saat Abang Cira sudah pulang ke rumah, Bahkan, mungkin saja, Abang Cira tidak sadar kalau sebelumnya Aska berangkat ke masjid bersamanya. Sama sekali tidak ada membicarakan temannya tersebut ketika sampai di rumah. Untuk meredam kekhawatiran, Cira mencoba mengalihkannya dengan membaca buku meski tidak fokus. Cira hanya membalikkan lembaran demi lembaran ke halaman selanjutnya tanpa tahu alur ceritanya. Sebenarnya saat ini Cira sedang tidak ingin membaca buku novel. Apalagi diwaktu maghrib, yang seharusnya saat ini, ia sudah berada di meja makan bersama keluarga. Sebenarnya dengan membaca buku dapat mengalihkan rasa bosannya selama menunggu Aska. Biasanya Cira bisa masuk ke dalam alur cerita novel tersebut. Seakan bi
Di ruang tengah, saat hendak pamit pulang, mama menyiapkan aneka gorengan yang masih panas di meja kecil kayu, dihidangkan khusus buat teman-teman Cira.“Kalian mau kemana?” tanya Mama.“Kami pamit pulang, buk.” jawab Nando sopan.“Nanti aja pulangnya. Makan dulu gorengannya. Kalau udah habis baru boleh pulang.” seru Mama menahan mereka untuk tetap tinggal lebih lama. Melihat banyak gorengan yang baru keluar dari penggorengan. Akhirnya mereka duduk sembari menikmati aneka gorengan, bakwan, tahu isi, risoles. Juga ditemani dengan minuman teh es yang segar.“Assalamualaikum.” Terdengar ucapan salam dari luar. Suara yang tidak asing di telinga Cira. Suara lantang seperti tukang palak yang ada di pasar.“Waalaikumsalam.” jawab mereka serentak.&nbs
Cira mempersilahkan teman – temannya masuk ke dalam kamar, sekaligus Cira juga belum bisa berdiri terlalu lama dan ingin duduk di atas kasur lebih lama dan menselonjorkan kakinya.“Masuklah.” kata Cira. Mereka masuk dengan sungkan, sembari menyusuri seisi kamar dengan tatapannya. Ini pertama kalinya mengajak teman sekolahnya masuk ke dalam kamar. Terutama para cowok, mungkin baru kali ini juga mereka masuk ke dalam kamar cewek yang berisi banyak boneka dan buku-buku di rak kecil. Tidak ada foto masa kecil. Hanya ada foto remaja yang terpajang di bingkai foto kecil. Itupun foto bersama saat dengan teman se-geng SMPnya sebelum kelulusan.“Maaf, ya. Duduknya di bawah aja.” kata Cira.“Nggak apa-apa, Cir. Santai aja.” jawab Aska. Ia masih saja berdiri sementara teman yang lainnya sudah duduk di lantai karpet. Memperhatikan rak buku Cira yang berisi ban
Pagi ini merupakan awal yang buruk untuk memulai hari, bagaimana tidak. Kaki Cira sulit untuk digerakkan saat akan melangkah. Bahkan tidak merasakan apapun saat menginjakkan kakinya di lantai. Ia panic dan mulai berpikir buruk. Mungkinkah ia lumpuh atau bahkan kakinya kini sedikit berair dan tidak bisa tertolong. Pikirnya. Cira berjalan dengan satu kaki dan menjadikan dinding sebagai alat bantunya untuk berjalan, perlahan membuka pintu. Kemudian menangis keras agar seisi rumah tahu keadaannya sekarang.“Ma. Kaki aku sakit.” kata Cira. Abang Cira yang sedang merapikan kasetnya di ruang keluarga, tidak kaget dengan kaki Cira dan berkata, “O Bengkak. Bentar lagi kita ke kliniknya. Soalnya baru jam tujuh.”“E
Sepulang sekolah di ruang tunggu, seperti biasa Cira sedang menunggu jemputan sendirian. Sebelumnya ada Agung yang duduk bersamanya sekitar beberapa menit yang lalu. Entah apa yang dimakannya hari ini. Hingga membuatnya dua kali keluar masuk toilet dengan wajah yang kecut. Memegang perut dengan sedikit membungkuk, tanpa pamit ia kabur tanpa suara. Mengatakan dengan bahasa isyarat kalau ini adalah keadaan darurat. Cira pun paham betapa darurat keadaannya. Suara drumband terdengar keras dari lapangan. Para anggotanya akan berlatih keras selama satu minggu kedepan untuk acara festival antar sekolah yang diadakan setahun sekali. Pihak sekolah biasanya akan mengundang sekolah swasta lain. Tentu saja hal itu membuat para murid menyambut gembira acara tersebut. Akan banyak cowok
Cira berjalan sedikit terbata – bata menahan sakit di pergelangan kakinya. Belum lagi punggungnya yang juga ikut sakit akibat terkena himpitan Agung saat melompat, bercampur menjadi satu.“Sorry, Cir. Biar abang bantu jalan.” kata Nando merasa bersalah, memapah Cira berjalan.“Gak usah bang. Biar aku aja yang bantuin Cira. Abang jalan aja sana.” kata Agung ikut memapah Cira.“Udahlah, Gung. Biar abang aja. Kayaknya kaki kamu terkilir tuh.” seru Nando. Padahal kakinya hanya sedikit lecet, akibat tersandung saat melompat tadi.“Lecet gini aja, udah biasa bang. Masak luka gini aja aku harus minta rangkul juga.” balas Agung ikut merangkul Cira. Cira berhenti sejenak, menatap Agung. “Kamu nyindir aku. Mending aku jalan sendiri aja deh. Gak perlu ditolong
Cira mendongak ketika Nando ikut memasukkan sampah minuman.“Iya nih, Hitung-hitung cari pahala.” jawabnya asal. Sebenarnya Cira hanya ingin menghindar dari Aska. Entah sampai kapan seperti ini. Bagaimanapun ia menghindar, tetap saja tidak bisa. Mereka akan terus bertemu setiap hari di kelas.“Yang lainnya mana, nggak bantuin.”“Aku mau ngerjainnya sendiri bang. Kalau semuanya ikut. Entar aku cuma dapat sedikit pahala.” kekehnya. Kemudian menyeret kantung sampah berisi penuh ke tempat pembuangannya.“Biar abang bantu.” Merebutnya dari tangan Cira. Cira pasrah dengan kebaikan Nando, semakin hari mereka semakin dekat. Cira merasa ada yang melindunginya di sekolah. Seorang senior sekaligus abang yang akan berpisah beberapa bulan lagi dengannya. Akan lebih sibuk lagi ke dep
Cira menyusuri seisi kelas dengan pandangannya. Tentu saja yang ia cari adalah pasangan yang belum berstatus menjadi pacar. Dan berharap mereka segera menjadi pacar sungguhan meski sedikit menyakitkan. Daripada merasa digantungin, diberi harapan seperti ini. Lebih baik mereka segera mengumumkan perubahan statusnya dari ‘teman’ menjadi ‘pacar’ itu lebih baik bagi Cira. Entahlah. mendadak Cira menjadi sangat khawatir dengan mereka. Perasaan yang bimbang antara ingin tahu lebih dalam atau hanya sekedar penasaran.Seperti biasa cuaca panas melanda kelas yang berada di lantai tiga ini. Sedangkan kelas unggul dan bilingual sedang menikmati pelajaran dengan suhu sejuk di ruangn AC. Tidak seperti mereka yang hanya mempunyai dua kipas angin yang bergelantunagn di atap. Itupun sudah tidak berputar seperti layaknya kipas angin. Akibat ulah dari sekelompok teman cowok yang berharap jika kipas angin ini rusak akan segera diganti oleh pihak sekolah. Makanya mereka m
Baru saja kemarin Aska bersumpah bahwa dia tidak mempunyai hubungan special kepada Raula. Bahkan Aska juga meyakinkannya kalau mereka hanyalah sekedar teman. Kalau dilihat lagi hari ini. Dari ekspresinya disaat semua tidak ada yang memihak Raula. Ada Aska yang selalu siap menjadi pelindungnya, bagaikan malaikat. Bahkan Aska tidak pantas dianggap sebagai malaikat. Karena dia hanya bersikap lembut kepada Raula. Murid baru yang menjadi pusat perhatian sejak hadir di kelas X.5. Mereka pun bubar ketika bel baru saja berbunyi. Ade pun menirukan suara bel dengan nada jengkel. Karena baru saja mereka selesai menyantap makanan, belum sempat mengobrol banyak, bel sudah berbunyi. Raula bahkan menggandeng tangan Cira seakan mereka adalaha teman yang sangat dek