"Sepertinya kau lebih suka kami melakukan hal kekerasan!"
Salsa sudah mengangkat tinggi batu yang ada di tangan. Lalu saat dia hendak mengarahkan batu itu ke kaca mobil. Tanpa mereka kira. Mobil itu bergerak cepat mundur. Dan sampai membuat Sulastri terjengkang.
"Ibuuuu ...!" teriak Salsa histeris.
Sulastri meringis kesakitan.
"Ibu, enggak apa-apa?"
Wanita itu menggeleng.
"Mobil itu menabrak Ibu?"
Kembali Sulastri menggeleng.
"Ibu tadi cuman kaget, Sa. Kok tiba-tiba mobilnya itu jalan. Maksud Ibu ingin melompat minggir. Yang ada Ibu malah terpeleset."
"Yakin Ibu enggak apa-apa?"
"Yakin, Sa."
Salsa langsung menggandeng sang Ibu untuk segera naik ke mobil. Sulastri meminum air mineral untuk menenangkan hatinya. Yang sempat tersentak. Salsa terus menatap wajah sang Ibu yang masih terlihat syok.
"Ibu beneran enggak apa-apa?"
"Enggak apa-apa, Sa. Ayo kita ke rumah Amelia sekarang!" ajak Sulastri pe
"Ibu, anda ini lucu. Sepertinya anda salah orang. Sebaiknya pergi sekarang juga!" Dengan intonasi suara yang meninggi penuh penekanan.Sangat terlihat jelas Amelia murka. Dia tak ingin harga dirinya diinjak dan dihina seenaknya saja. Apalagi orang itu datang ke rumahnya. "Sebaiknya ibu kamu ajak pulang, Salsa! Aku tak ingin lagi bertemu kalian!""Hei, Amelia! Kalau ini pelakor enggak tahu diri. Masa ponakan sendiri mau kau embat juga. Lihat umur kamu yang sudah tua."Deru napas Amelia membuncah. Ingin rasa hati menampar mulut wanita yang ada di hadapannya. Sampai dia berdiri dan menggebrak meja keras.Braaakkk!"Kalian keluar sekarang atau aku teriak maling!" bentak Amelia kasar."Teriak saja maling. Aku juga bisa teriak kau ini pelakor ponakan kamu sendiri. Memalukan Amelia! Merusak harga diri dan martabat keluarga. Kalau aku jadi kamu, sangat malu sekali. Apalagi foto-foto itu terpampang di sosmed. Pikir pake otak kamu Amelia," ter
"Makanya, Ibu kan sudah bilang. Kamu ini terlalu baik sama dia. Pelakor macam Amelia itu perlu kita berantas. Jangan beri ruang gerak. Apalagi kau biarkan dia untuk merebut Romy." "Enggak akan, Bu! Aku ... akan membuat dia menyesal dengan perlakuannya hari ini terhadap aku!!!" Setelah selesai sedikit menenangkan pikirannya. Salsa segera melajukan mobil meninggalkan rumah Amelia. Yang masih memerhatikan kepergian mobil Salsa. Tampak dia menghela napas panjang. "Haaahhh! Jangan kalian kira aku ini diam dan membiarkan sikap kalian yang menyakitkan," bisik Amelia. Terdengar suara teriakan Dita dari dalam rumah. "Mama! Bukannya tadi Tante Salsa, istri Om Romy?" Amelia menghampiri anak gadisnya. "Iya, Dita. Kamu tadi sempat lupa?" Gadis kecil itu mengangguk. "Dita kira orang lain. Habis waktu di rumah Budhe juga enggak mau akrab sama aku sih," seloroh gadis kecil itu. Amelia hanya tersenyum menanggapi perkataa
Walau dalam pikiran Adrian terbersit sosok yang mungkin melakukannya. Akan tetapi dia pendam. Karena tak ingin membuat Amelia semakin sedih dan terlalu memikirkannya. 'Biar aku yang akan menyelesaikannya! Kau baik-baik saja Sayang. Aku tak ingin kau memikirkan hal tak penting ini!' "Kamu ... mikirin apa Adrian?" Lelaki tampan itu hanya tersenyum. Lalu menarik tangan Amelia dan menciumnya lembut. "Ingin cium bibir kamu." "Ihhhh ... sukanya begitu. Canda mulu!" "Emang enggak boleh? Aku kangen." "Baru dua hari tak ketemu." Belum sempat Adrian bicara. Dari arah belakang mereka. Terdengar celoteh anak kecil yang sengaja menggoda keduanya. "Mama sama Om Adrian enggak boleh uwu-uwu!" Dengan logat cedal gaya khas anak kecil. Sontak mereka berdua tertawa keras. "Sini, Dita! Duduk di sebelah Om. Ada yang mau Om bicarain sama Dita." Tanpa penolakan Dita langung duduk di sebelah Adrian.
Kekesalan dan kemarahan yang tergambar di raut wajah Salsa masih tergurat. Tarikan napasnya naik turun dengan cepat. Sesekali terdengar hembusan napa yang menderu. Dia masih tak bisa menerima dengan perlakuan Amelia padanya."Aku masih kesal sama dia, Bu. Benar-benar marah!" Suara Salsa hampir berteriak."Tenanglah, Sa. Kamu konsentrasi dengan nyetir kamu aja, Jangan pikirin soal Amelia tadi. Bakalan nambah kemarahan kamu aja," tukas Sulastri. Dia berusaha untuk menenangkan Salsa yang masih terlihat emosi."Aku enggak bisa tinggal diam, Bu! Nyakitin, nyebelin, bikin marah. Ingin rasanya aku jambak rambut Amelia itu!""Tenang Salsa. Tenang. Kamu enggak bisa kayak gini. Jangan sampai emosi menguasai kamu. Lagian perjalanan kita tinggal dikit lagi. Entar nyampe apartemen kamu luapkan kemarahan kamu, Sa!""Aaaahhh! Aku marah Bu. Kesaaaal!" teriak Salsa. Sesekali memukul setirnya. Berulang-ulang. Membuat Sulastri cemas dengan ulahnya."Salsa, itu
"Ibu, Pak. Ibu Salsa mengalami kecelakaan." "Apaaa?" teriak Romy tersentak. "Iya, Pak. Ibu mengalami kecelakaan. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit." "Suruh Pak Willy antar saya. Sekarang juga!" "Baik, Pak Romy!" "Kamu WA alamat rumah sakitnya." "Sudah, Bapak." Romy berusaha menelepon ponsel Salsa. Tak terdengar nada masuk. Jantungnya seketika berdetak keras. "Rita, kamu bilang ke semua tamu rekanan. Aku langsung pergi, enggak bisa berpamitan sama mereka semua." "Baik, Pak!" Tak berapa lama. Romy sudah berada di dalam mobil. Dengan kecepatan sedang mobil segera meluncur memecah kemacetan kota Surabaya. "Kita naik tol saja Pak? Biar cepat sampai." "Kamu atur aja Pak Willy!" sahut Romy. Hanya satu jam perjalanan akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang dimaksud. Bergegas Romy berlari menuju ruang UGD. Terlihat dari raut wajahnya, Romy sangat cemas. Buru-buru dia menghampir
Romy tercenung cukup lama. Saat membaca sebuah pesan masuk. Entah dari siapa."Nomer HP ... Amelia? Nomer baru?"Dia melihat sebuah pesan yang menuliskan sebuah nomer ponsel seseorang. Entah mengapa Romy beranggapan bila itu nomer Amelia. Dia berpikiran kalau Salsa dan ibunya pasti dari rumah lama Amelia."Aku harus coba telpon nomer ini! Siapa tahu ini beneran nomer Amelia? Karena sangat aneh Salsa bisa berada di daerah sini. Arah ke Malang lagi," bisik Romy.Buru-buru dia keluar ruangan. Dengan memakai sebuah nomer baru, yang Amelia tak mengetahui. Romy mencoba untuk menelepon."Yes, ternyata masuk. Semoga ada yang angkat."Langkahnya mondar mandir mengitari depan bilik Salsa. Hampir satu menit. Telepon tak ada yang angkat. Membuat Romy semakin gusar."Apa ... memang bukan Amelia? Mungkin aku salah?"Dalam kegelisahan Romy saat ini. Seorang perawat menghampirinya."Tolong ditandatangani, Pak. Untuk pengantaran je
Tanpa pernah disadari oleh Salsa. Jika sang ibu ternyata sudah meninggal. Sejuta penyesalan dia labuhkan. Karena perasaan bersalah yang menghimpit dirinya. Masih teringat segala omelan sang ibu. Saat dia menambah kecepatan mobil. Namun dia acuhkan."Maafkan aku Ibu. Semoga ibu baik-baik aja dan cepat sembuh."Terdengar derap langkah yang menghampiri ke arah Salsa. Ternyata seorang perawat yang ingin memeriksa kondisi dirinya. Wanita muda itu tersenyum ramah."Setelah ini, Mbak akan dipindah kamar. Sambil menunggu jadwal operasi.""O-operasi?""Iya, di bagian lengan kanan patah. Tapi, tak terlalu parah kok Mbak."Sejenak Salsa terdiam. Lalu melirik ke arah tangan kanannya. Yang terasa nyeri."Mbak, kondisi ibu saya gimana?""Satu jam yang lalu, sudah dibawa naik ambulan," sahutnya dengan pandangan heran."Ambulan? Maksud Mbak?"Saat itu sang perawat baru tersadar. Kalau Salsa belum mengetahui kondisi sang ibu yang
Tampak Raffian sibuk mengirimkan pesan pada Sella. Dia juga mengirimkan beberapa foto, termasuk mobil berwarna merah dan putih. Dia juga memberikan laporan jika ada dua orang wanita asing yang tengah melabrak Amelia. Tak lama kemudian. Terdengar bunyi ponsel. Segera pandangan mata Raffian tertuju pada sebuah nama. "Sella!" Terdengar dia menghela napas panjang. "Kamu ini kenapa sih? Setiap kali aku telpon selalu seperti menghindar. Memangnya ada apa?" Terdengar suara lembut dari seorang wanita. Yang semakin lama akan mengoceh tak karuan. Yang membuat Raffian selalu malas bila bicara dengannya. "Kamu kan tahu aku masih di rumah sakit. Jadi enggak bisa kencang-kencang kalau ngomong." "Ahhh, kau selalu pintar cari alasan." Lalu keduanya terdiam dan hening. "Aku mau ke sana!" "Ehhh, mau apa kamu ke sini, Sell? Ini rumah sakit. Bukan hotel!" "Udah tau. lagian kalau rumah sakit mau apa? A
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."