Romy tercenung cukup lama. Saat membaca sebuah pesan masuk. Entah dari siapa.
"Nomer HP ... Amelia? Nomer baru?"
Dia melihat sebuah pesan yang menuliskan sebuah nomer ponsel seseorang. Entah mengapa Romy beranggapan bila itu nomer Amelia. Dia berpikiran kalau Salsa dan ibunya pasti dari rumah lama Amelia.
"Aku harus coba telpon nomer ini! Siapa tahu ini beneran nomer Amelia? Karena sangat aneh Salsa bisa berada di daerah sini. Arah ke Malang lagi," bisik Romy.
Buru-buru dia keluar ruangan. Dengan memakai sebuah nomer baru, yang Amelia tak mengetahui. Romy mencoba untuk menelepon.
"Yes, ternyata masuk. Semoga ada yang angkat."
Langkahnya mondar mandir mengitari depan bilik Salsa. Hampir satu menit. Telepon tak ada yang angkat. Membuat Romy semakin gusar.
"Apa ... memang bukan Amelia? Mungkin aku salah?"
Dalam kegelisahan Romy saat ini. Seorang perawat menghampirinya.
"Tolong ditandatangani, Pak. Untuk pengantaran je
Tanpa pernah disadari oleh Salsa. Jika sang ibu ternyata sudah meninggal. Sejuta penyesalan dia labuhkan. Karena perasaan bersalah yang menghimpit dirinya. Masih teringat segala omelan sang ibu. Saat dia menambah kecepatan mobil. Namun dia acuhkan."Maafkan aku Ibu. Semoga ibu baik-baik aja dan cepat sembuh."Terdengar derap langkah yang menghampiri ke arah Salsa. Ternyata seorang perawat yang ingin memeriksa kondisi dirinya. Wanita muda itu tersenyum ramah."Setelah ini, Mbak akan dipindah kamar. Sambil menunggu jadwal operasi.""O-operasi?""Iya, di bagian lengan kanan patah. Tapi, tak terlalu parah kok Mbak."Sejenak Salsa terdiam. Lalu melirik ke arah tangan kanannya. Yang terasa nyeri."Mbak, kondisi ibu saya gimana?""Satu jam yang lalu, sudah dibawa naik ambulan," sahutnya dengan pandangan heran."Ambulan? Maksud Mbak?"Saat itu sang perawat baru tersadar. Kalau Salsa belum mengetahui kondisi sang ibu yang
Tampak Raffian sibuk mengirimkan pesan pada Sella. Dia juga mengirimkan beberapa foto, termasuk mobil berwarna merah dan putih. Dia juga memberikan laporan jika ada dua orang wanita asing yang tengah melabrak Amelia. Tak lama kemudian. Terdengar bunyi ponsel. Segera pandangan mata Raffian tertuju pada sebuah nama. "Sella!" Terdengar dia menghela napas panjang. "Kamu ini kenapa sih? Setiap kali aku telpon selalu seperti menghindar. Memangnya ada apa?" Terdengar suara lembut dari seorang wanita. Yang semakin lama akan mengoceh tak karuan. Yang membuat Raffian selalu malas bila bicara dengannya. "Kamu kan tahu aku masih di rumah sakit. Jadi enggak bisa kencang-kencang kalau ngomong." "Ahhh, kau selalu pintar cari alasan." Lalu keduanya terdiam dan hening. "Aku mau ke sana!" "Ehhh, mau apa kamu ke sini, Sell? Ini rumah sakit. Bukan hotel!" "Udah tau. lagian kalau rumah sakit mau apa? A
Tampak keraguan muncul di hati Sella. Saat Raffian menanggapinya dengan begitu dingin. Seakan tak ingin dia berada di dekatnya saat ini. "Kamu enggak suka aku di sini ya, Raff?" Tak ada jawaban dari lelaki berparas manis itu. Dia hanya melempar pandangannya jauh lurus ke depan. "Kamu, benci sama aku?" "Bukannya kamu ke sini untuk bahas pekerjaan aku hari ini tadi 'kan? jadi, tanya aja yang berhubungan dengan pengintaian aku di rumah Amelia." "Huuufhhh! Kamu ini lama-lama menjengkelkan, Raff!" "Bukannya dari dulu aku seperti ini?" Sella yang kesal, memalingkan wajahnya. Entah mengapa dia tak begitu peduli dengan hasil laporan Raffian. Dia lebih memedulikan atas sikap lelaki manis yang tengah mengacuhkan dirinya. "Kamu enggak cemburu tuh sama Amelia?" "Apaan?" "Sepertinya hubungan mereka sudah sangat dekat, Sell." Tak ada tanggapan dari Sella. Yang terlihat cemberut. "Kamu kok b
"Dan, menurutmu. Bagaimana aku harus bersikap pada Papa?" "Memangnya apa yang telah dilakukan oleh Papa kamu?" "Papa kelakuannya tak pernah berubah, Raff. Sejak Mama masih hidup. Papa terus suka main cewek. Dan sekarang semakin parah. Macam Sugar Dady. Tapi, 'kan kamu tau sendiri, Papa aku udah tak lagi muda. Iya 'kan?" Raffian hanya mengangguk. "Nah, dengan kelakuan Papa yang kayak gini. Apa yang mesti aku lakukan?" "Apa kamu pernah melihat sendiri Papa kamu jalan sama cewek?" "Pernah. Waktu di hotel saat aku ada janjian sama Tante Santi. Sekilas aku melihat Papa di loby lagi gandeng cewek muda, Rafff. Seumuran aku coba?" "Kamu yakin sama cewek itu?" "Aku sangat yakin, Raff. Dengan gelagat dia aku pasti paham." "Lalu mau kamu apa?" Tampak Sella memonyongkan bibirnya. "Kan bener pertanyaan aku. Kalau aku jadi kamu, ya EGP aja sih. Lagian Mama kamu 'kan sudah enggak ada." "Enak aj
Tanpa pikir panjang. Sella memutar haluan. Dan mengejar mobil sport hitam yang meluncur dengan kecepatan tinggi."Sepertinya bukan Papa yang berada di dalamnya. Siapa dia?"Segera Sella mengejar mobil sport hitam yang melaju sangat kencang. Bila dia melihat dari arah belakang. Tampak dua orang yang berada di dalamnya."Tapi, siapa?" tanya Sella berbisik.Tampak mobil yang berada di depannya mulai mengurangi kecepatan. Sampai akhirnya memasuki sebuah pelataran parkir sebuah apartemen. Sengaja Sella tak membuntuti. Dia memilih berhenti di depan pintu masuk."Sebaiknya aku foto mobil dan mereka yang nanti keluar. Bisa-bisanya ya, itu orang pakai mobil Papa. Mana yang mehong dipakai. Iiiishhh!"Sekian detik menunggu. Akhirnya Sella melihat dua orang yang keluar dari mobil sport itu. Dia melihat seorang wanita muda seumuran dia. Berambut merah roseberry. Lalu, tak lama kemudian. Turun seorang lelaki muda. Dengan penampilan yang modis. Sang wanita
"Papa itu dibohongi Melinda kok mau saja. Sekarang apa yang ingin Papa miliki dari sundel itu? Apa, Pa? Yang ada dia hanya mengeruk duit dan harta Papa. Aku yang enggak sudi!" teriak Sella tanpa bisa lagi mengendalikan dirinya."Sekarang jawab aku, Sell! Di mana kamu sekarang?""Untuk apa Papa tau?""Aku tak ingin kau buat keributan."Tanpa menjawab. Sella mematikan telepon sang papa. Lalu dia ganti menggunakan Video call. Lalu mengarahkan ponselnya pada mobil milik sang papa. Yang berada di samping mobilnya."Papa apa masih ingat punya mobil ini?!""Iya. Memang aku kasih pinjam ke Melinda.""Untuk pacaran?"Tiba-tiba ....Klik!Video call dia matikan. Tampaknya Handy malas untuk bersilat lidah dengan anaknya. Dan hal itu semakin memicu kemarahan Sella."Baik, Pa. Kita lihat saja nanti. Aku akan buat perhitungan dengan si Melinda itu."Lalu Sella menelepon seseorang."Hal
Laju sebuah mobil sport mewah dengan CC tinggi, berwarna hitam, melesat dengan kecepatan tinggi. Udara pagi masih terasa segar. Tampak Dita terus tersenyum ceria."Kamu senang?""Senang lah Ma. Kan emang Mama sudah janji kita akan ke Jogja.""Kalau diantar Om, senangnya dobel apa engga nih?"Dita tersipu malu. Dia bersembunyi dibalik lengan Rini. Dengan kedua tangan yang menutup pada wajah.Perjalanan mereka pagi itu, memang tak ada rencana sebelumnya. Kalau bukan maksud hati menyenangkan Dita. Amelia dan Adrian tak mungkin mengadakan perjalanan ke luar kota dalam waktu dekat ini."Serius, kamu enggak lagi sibuk Adrian?""Enggak ada yang serius atau juga santai Mel. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya.""Bukannya semalam si Sella ingin ketemu?"Dia hanya tersenyum masam."Sebenarnya aku sudah malas bertemu cewek toxic macam dia. Cuman kadang aku masih kasihan. Lagian hubungan aku sama Om Handy sangat baik
Adrian melebarkan telapak tangannya mengarahkan pada Dita. Yang tiba-tiba memeluk Adrian."Kalau Om baik sama Dita dan Mama, Om boleh jadi Papa aku."Kalimat yang baru saja terlontar membuat Adrian terharu. Hingga membuat lelaki tampan yang selalu terlihat kuat dan kokoh itu, berkaca-kaca. Segera dia membuang wajahnya dari Dita. Dia tak ingin bocah yang ada di hadapannya, melihat matanya berembun."Om, kok diam? Apa Om enggak mau jadi Papanya, Dita?"Sekian detik lamanya. Setelah sanggup menguasai keadaan. Adrian kembali menoleh pada bocah kecil itu. Lalu tersenyum lebar."Siapa bilang enggak mau?""Habis Om jawabnya lama. Cuman--"Tiba-tiba, gadis itu tertunduk. Tanpa meneruskan kalimatnya yang terpenggal. Lalu dia memandang ke arah Amelia."Cuman apa nih?" sahut Adrian penasaran."Cuman Om enggak akan ninggalin kita tanpa kabar 'kan?"Adrian menggeleng seraya tersenyum."Enggak akan! Bukannya Om Adrian ud