Adrian melebarkan telapak tangannya mengarahkan pada Dita. Yang tiba-tiba memeluk Adrian.
"Kalau Om baik sama Dita dan Mama, Om boleh jadi Papa aku."
Kalimat yang baru saja terlontar membuat Adrian terharu. Hingga membuat lelaki tampan yang selalu terlihat kuat dan kokoh itu, berkaca-kaca. Segera dia membuang wajahnya dari Dita. Dia tak ingin bocah yang ada di hadapannya, melihat matanya berembun.
"Om, kok diam? Apa Om enggak mau jadi Papanya, Dita?"
Sekian detik lamanya. Setelah sanggup menguasai keadaan. Adrian kembali menoleh pada bocah kecil itu. Lalu tersenyum lebar.
"Siapa bilang enggak mau?"
"Habis Om jawabnya lama. Cuman--"
Tiba-tiba, gadis itu tertunduk. Tanpa meneruskan kalimatnya yang terpenggal. Lalu dia memandang ke arah Amelia.
"Cuman apa nih?" sahut Adrian penasaran.
"Cuman Om enggak akan ninggalin kita tanpa kabar 'kan?"
Adrian menggeleng seraya tersenyum.
"Enggak akan! Bukannya Om Adrian ud
Adrian menurunkan tubuh Amelia. Lalu berbisik, "Masih deg-degan ...?"Bisikan Adrian semakin membuat Amelia tak karuan. Jantungnya semakin berdetak kencang. Hingga tarikan napasnya terdengar keras. Membuat Adrian mendekatkan wajahnya."Kamu kenapa?" Sembari tangan mengusap lembut rambut Amelia dengan penuh kelembutan. Bahkan membuat Amelia serasa bibirnya terkunci. Lidahnya terasa kelu. Tanpa mampu menjawab pertanyaan Adrian.Aroma parfum yang dikenakan Adrian. Semakin melesak memenuhi rongga hidungnya. membuat imajinasi Amelia melayang ke mana-mana. Hingga sentuhan ujung jari yang menyentuh hidungnya, membuat Amelia seperti tersadar."Ayooo! Lagi bayangin apa?""Ihhhh, Adrian kamu nackal!"Amelia yang kesal bercampur malu. Memukul dan mencubit lengan Adrian. Yang terus tertawa terbahak-bahak. Seakan senang membuat dirinya sampai jengah tersipu."Yuk, kita jalan keluar!" ajak Amelia."Bentarlah. Aku ingin berd
Malam ini langit terlihat sangat cerah. Mereka berempat menikmati pemandangan di teras depan kamar. Taburan lampu berbentuk lampion putih, semakin menambah indahnya suasana malam ini. "Mama, kita akan ke Semarang?" "Iya, Sayang." "Ngapain, Ma?" "Om Adrian kalau mau menikah sama Mama, harus datang ke keluarga kita Sayang. Biar pun Budhe Maya hanya kakak ipar Mama. Tapi, Mama sudah anggap mereka seperti saudara kandung sendiri." Dita mengangguk pelan. Berusaha mencerna apa yang dikatakan Amelia. "Om, kita foto bertiga yuk!" "Boleh. Siapa yang motoin?" Rini langsung mengangkat tinggi, "Kan ada saya Mas Adrian." Mereka bertiga langsung mengambil pose masing-masing. Setelah beberapa kali klik. Rini mengembalikan ponsel Adrian. "Sekarang foto Om sama Mama. Biar Dita yang moto!" seru gadis kecil itu riang. Setelah mendapatkan foto Amelia dan Adrian. Dita tak langsung mengembalikan ponsel Adrian. Dia sem
Adrian mengurungkan kalimatnya. Dia takut menyinggung perasaan Amelia. "Tapi, apa?" Amelia terus mendesak Adrian untuk mengatakannya. Sembari terus mencubit pinggang Adrian. "Tadi, mau ngomonmg apa?" "Enggak jadi. Abaikan!" "Iiihhh ... ini orang bikin penasaran." Adrian hanya tersenyum, walau dalam hati ingin sekali dia berkata, 'Kalau sama Romy kamu enggak jual mahal. Huuufffh!' Mereka berjalan menuju kafe yang berada di kawasan wisata itu. Mereka langsung naik ke lantai dua. Mengambil posisi yang berada di teras,yang bisa langsung melihat pemandangan di sekitar kafe. "Adrian!" "Hemmm ... apa?" "Kamu benar-benar serius ingin hidup sama aku?" "Apa aku kelihatan bercanda?" Amelia menggeleng. "Aku hanya tak ingin kecewa lagi, Adrian. Aku hanya ingin cinta yang tulus tanpa memandang apa pun. Ini lah aku, Amelia Pratiwi. Penuh kekurangan, apalagi dengan masa laluku." Adrian menggapai telapak
Laju mobil Santi menembus pekatnya malam. Meluncur melewati jalan tol yang relatif lebih sepi. Hanya dua puluh menit berselang. Mobil Santi sudah turun memasuki kota. Menuju rumah sakit terbesar di kota itu. Pandangan mata Santi terus mengamati maps yang ada di ponselnya. "Sepertinya depan itu rumah sakitnya," bisik Santi, seraya mengarahkan mobil berbelok memasuki pelataran rumah sakit. "Aduhhh, mana aku lupa nama istri Romy lagi." Tampak Santi menepuk jidatnya. Sebelum keluar mobil dia membuka ponsel. Tangannya bergerak cepat mencari bekas chat yang pernah ada. Antara dia dan Salsa. "Salsa Munandar. Tepat sekali," bisik Santi, menyeringai. Bergegas dia turun dari mobil. Dengan langkah sangat bersemangat. Santi segera mendatangi ruang resepsionis. Senyumnya yang lebar mengembang. "Malam." "Malam, Mbak. Ada apa?" tanya seorang perawat ramah. "Mau tanya, Sus. Apa ada seorang pasien yang bernama Salsa Munan
"Mereka 'kan mau menikah."Bagai disambar petir di siang bolong. Romy menarik pergelangan tangan Santi dengan erat. Lalu sedikit menghentaknya."Jangan bohong kamu!!!" sentak Romy gusar. Sorot matanya seolah tengah menyelidik pada Santi. Yang tersenyum tak jelas. Seperti begitu menikmati permainan yang sedang dia jalankan."Buat apa aku bohong?"Santi menyodorkan ponsel dia pada Romy."Nih, kamu lihat sendiri SW Adrian! Wanita itu 'kan Amelia? Atau mungkin aku salah lihat?"Terdengar Romy menghela napas panjang. Dengan pandangan yang menyipit, dia mengarahkan tatap matanya pada Santi."Kayaknya kamu datang ke sini hanya sengaja untuk nunjukin ini ke aku?""Enggak! Jangan salah paham kamu Rom!""Kamu ini wanita berpendidikan tinggi tapi otak kamu rendah. Aku enggak percaya apa yang aku lihat. Bisa saja mereka hanya sedang ngobrol santai. Jangan mengajak aku untuk emosi, Sam!""Siapa yang ajak kamu untuk emosi
Dia tak langsung menjawab pertanyaan Romy. Salsa hanya memalingkan wajah melihat ke arah jendela kamar."Sa, jawab aku! Membenci apa?"Sejenak Salsa masih saja terdiam. Sorot mata yang tajam menatap penuh selidik."Aku membenci dia ...!""Siapa maksud kamu ini, Sa?""Seorang wanita yang selalu ada di hatimu. Aku, membenci Amelia!"Deg!Jantung Romy berdesir. Pandangannya penuh selidik pada Salsa, yang terlihat geram. Hembusan napasnya yang memburu. Seperti menyimpan bara api kebencian pada Amelia. Dan Romy tahu, walau tak pernah mengerti alasan kuat Salsa untuk hal itu. Kecuali hubungan antara dirinya dan Amelia."Apakah ada hal lain yang tak aku ketahui?""Dialah penyebab kematian Ibu!""A-apa maksud kamu?""Semua, gara-gara wanita sialan itu. Dia yang menyebabkan kecelakaan ini terjadi," ucap Salsa berdesis.Kalimat yang terlontar semakin membuat Romy penasaran. Dia terus memaksa sang istri untuk b
"Amel!" "Apa Adrian?" "Tolong jawab dengan jujur. Apa kamu masih mencintai Romy?" Seketika pertanyaan klasik Adrian membuat Amelia menoleh padanya. Dia langsung berhenti dan berjalan pelan, hingga berdiri di depan Adrian. "Aku akan setia padamu, sampai kapan pun! Jangan pernah ragukan hal ini, Adrian." Binar kedua mata mereka terlihat benderang. Penuh kebahagian oleh rasa ketulusan dan kepercayaan. "Sedikit pun aku tak pernah ragu." Sontak kalimat yang keluar dari bibir Adrian, membuat Amelia membenamkan kepalanya di dada bidang Adrian. Sesaat merasakan detak jantung lelaki tampan ini, yang terasa lembut teratur. "Kenapa?" "Entah, Adrian. Malam ini, menaruh kepalaku di dada kamu seperti ini, membuat aku nyaman. Aku merasa seperti anak kecil yang berada dalam dekapan seorang ayah. Begitu melindungi dan menjaga aku agar tak terluka. Apa ... kamu akan melakukan hal yang sama?" "Kelihatannya, gimana?"
Amelia kembali membenamkan kepalanya ke dalam pelukan Adrian. Membiarkan debaran di dada mereka masing-masing semakin bergemuruh."I love you, Adrian. Kau yang mampu membuat hatiku tenang dan nyaman."Seulas senyum mengambang di wajah tampan Adrian."Aku ingin detik ini juga menikahi kamu."Terdengar gelak tawa Amelia. Dia langsung menarik tangan Adrian untuk duduk di atas kasur."Duduklah sini, Adrian.""Kenapa nih? Mau dikasih?""Iiishhh ...!" Cubitan mesra bersarang di pinggang Adrian. "Aku ingin kamu memakai cincin ini!" Tampak Amelia mengeluarkan sebuah kalung dari balik bajunya. Sebuah cincin dengan batu berwarna hijau tua. Terlihat sangat unik dan menarik."Smoga cukup di jari kamu Adrian."Amelia meraih jemari Adrian yang terasa sangat mulus dan lembut. Lalu memasangkannya perlahan."Memangnya ini cincin siapa?""Ini cincin hadiah ulang tahun Mas Faiz. Saat itu aku mmeblinya sebagai kado ulang
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."