"Amel!"
"Apa Adrian?"
"Tolong jawab dengan jujur. Apa kamu masih mencintai Romy?"
Seketika pertanyaan klasik Adrian membuat Amelia menoleh padanya. Dia langsung berhenti dan berjalan pelan, hingga berdiri di depan Adrian.
"Aku akan setia padamu, sampai kapan pun! Jangan pernah ragukan hal ini, Adrian."
Binar kedua mata mereka terlihat benderang. Penuh kebahagian oleh rasa ketulusan dan kepercayaan.
"Sedikit pun aku tak pernah ragu."
Sontak kalimat yang keluar dari bibir Adrian, membuat Amelia membenamkan kepalanya di dada bidang Adrian. Sesaat merasakan detak jantung lelaki tampan ini, yang terasa lembut teratur.
"Kenapa?"
"Entah, Adrian. Malam ini, menaruh kepalaku di dada kamu seperti ini, membuat aku nyaman. Aku merasa seperti anak kecil yang berada dalam dekapan seorang ayah. Begitu melindungi dan menjaga aku agar tak terluka. Apa ... kamu akan melakukan hal yang sama?"
"Kelihatannya, gimana?"
<Amelia kembali membenamkan kepalanya ke dalam pelukan Adrian. Membiarkan debaran di dada mereka masing-masing semakin bergemuruh."I love you, Adrian. Kau yang mampu membuat hatiku tenang dan nyaman."Seulas senyum mengambang di wajah tampan Adrian."Aku ingin detik ini juga menikahi kamu."Terdengar gelak tawa Amelia. Dia langsung menarik tangan Adrian untuk duduk di atas kasur."Duduklah sini, Adrian.""Kenapa nih? Mau dikasih?""Iiishhh ...!" Cubitan mesra bersarang di pinggang Adrian. "Aku ingin kamu memakai cincin ini!" Tampak Amelia mengeluarkan sebuah kalung dari balik bajunya. Sebuah cincin dengan batu berwarna hijau tua. Terlihat sangat unik dan menarik."Smoga cukup di jari kamu Adrian."Amelia meraih jemari Adrian yang terasa sangat mulus dan lembut. Lalu memasangkannya perlahan."Memangnya ini cincin siapa?""Ini cincin hadiah ulang tahun Mas Faiz. Saat itu aku mmeblinya sebagai kado ulang
Kali ini mereka berdua terdiam. Hanya pandangan mata yang berbinar mengartikan rasa yang ada pada diri mereka malam ini."Iya, Adrian. Aku selalu kamu ada di saat aku hancur dan terpuruk.""Tahu doa aku?"Amelia menjawab dengan gelengan kepala."Aku berdoa kamu akan jadi istri aku.""Serius?""Mungkin kamu malah enggak pernah sangka kalau aku akan berdoa seperti itu. Karena saat itu pun aku ragu bisa dapatkan dirimu, Mel. Karena yang aku lihat kalian berdua saling mencintai dengan segala permasalahan yang tampak di permukaan. Tapi, kamu--""A-ku, kenapa?""Kamu berani menabraknya. Seperti menghantam arus sungai yang paling deras. Dan, itu bukan cuman kamu, Romy pun melakukan hal yang sama. Gila enggak sih kalian ini? Keren waktu itu dalam pikiran aku. Saat kita pertama kali ketemu di hotel. Yang Romy waktu itu cemburu. Kalau enggak salah pas dia baru nikahan.""I-iya, kenapa?""Dalam pikiran aku saat itu. Ini anak
Laju mobil berwarna hitam itu, melesat kencang. Meninggalkan pusat kota Jogja. Setelah puas menghabiskan beberapa malam di sana. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju Semarang."Aku deg-degan, Adrian. Kamu gimana?""Sedikit. Tapi, santai aja."Malam ini Adrian terlihat sangat tenang. Tak terbesit kegelisahan atau keresahan yang melanda hati. Melihat sikap yang sangat matang seperti ini. Semakin membuat Amelia yakin. Bahwa Adrian pilihan tepat untuk dirinya."Apa sebaiknya enggak kamu telepon Mbak Maya?""Inginku sih berikan surprise buat dia, Adrian.""Terserah aja, Mel. Mana yang menurut kamu nyaman aja."Tiga jam berlalu ....Mobil pun sudah berhenti di depan rumah Maya tepat pukul satu malam. Buru-buru Amelia turun dan menekan bel rumah. Cukup lama dia menunggu di depan pagar. Sesekali melihat ke arah Adrian yang menyandarkan kepalanya. Tampak dia sangat lelah dan mengantuk.Ta
Sontak Amelia dan Adrian saling berpandangan. Dari gurat wajah mereka keheranan dengan rencana Maya itu."Mbak May, emangnya siapa Mbah Wiryo itu?""Wong pinter. Biar carikan hari yang baik buat kalian! Wes, enggak usah ngeyel kalau aku bilangin. Besok kita ke Mbah Wiryo! Iya kan Pah?""Iya. Bener yang Mbak kamu bilang Mel. Wong Jowo kudu ngerti Jowo ne (Orang Jawa harus tahu adatnya). Bukannya begitu kan Mas Adrian?"Adrian hanya bisa tersenyum masam. Dalam keluarganya tak pernah memakai adat yang terlalu pakem seperti ini. Hanya saja semua dia serahkan semua pada keluarga Amelia."Kalau saya serahkan semua pada Amelia. Enaknya seperti apa, Mas.""Ya, sudah kalau begitu. Besok kita ke Mbah Wiryo.""Tapi, Mbak. Aku paling enggak suka kalau sudah membahsa soal weton. Yang ada nanti malah kita enggak jadi nikah.""Wes toh ... ahhh! Yang terpenting kamu manut saja sama aku dan Mas kamu. Yo?"Amelia hanya bisa menga
Setelah Amelia mengantar Adrian ke kamarnya. Dengan langkah gontai, dia menuju kamar Romy. Dia menghela napas panjang sembari menempelkan punggungnya di daun pintu. Seraya melihat ke arah Dita dan Rini yang sudah terlelap.Amelia pun berjalan menuju sofa panjang yang berada didekat jendela. Dia hempaskan bokongnya, dengan menghela napas panjang. Sejenak Amelia masih terpaku dengan cerita Maya dan Handoko."Wanita itu meninggal? Apa, kecelakaan itu karena aku?" Berulang kali Amelia berdesis. Seperti tanya itu terus bersarang di kepala. Kepalanya pun di sandarkan ke sofa. Perasaan Amelia semakin tidak tenang. Bayangan mereka berdua saat melabrak ke rumahnya, semakin menghantui."Kenapa aku jadi enggak tenang kayak gini? Perasaan aku bilang kalau semua ini disebabkan karena aku. Tapi kenapa? Aku enggak melakukan hal apa pun. Enggak mungkin Salsa menyalahkan aku. Pasti enggak!"Tiba-tiba ...."Mbak Amel!"Suara Rini sangat mengejutkannya
Detik pun berlalu dengan cepat. Sampai sebuah tangan mempermainkan bulu matanya yang lentik. Hingga samar-samar Amelia mendengar suara yang sangat dia hapal."Mamaaa ...!""Ehhh ...."Amelia hanya menggeliat lemah. Dita kembali mempermainkan bulu matanya. Lalu meniup keras kedua mata Amelia."Mama bangung dong!""Hemmm, Dita. Jam berapa emangnya sekarang?""Udah siang, Ma. Budhe Maya udah selesai masak juga. Om Adrian malah udah rapi.""Haaahhh!"Sontak Amelia langsung beranjak turun. Bergegas dia menyambar handuk dan ke kamar mandi. Cukup lama Dita menunggunya di atas kasur."Mama, mandinya lama sih?""Bentar, Dita. Mama keramas biar seger nih.""Cepetan!"Tak lama kemudian. Amelia sudah berdandan cantik. Dia pun mengajak Dita keluar kamar."Kok enggak ikutan Mbak Rini?""Enggak mau. Sama Mama aja."Amelia menghampiri Maya, Hartono dan Adrian di ruang tengah."Maaf, Mbak
Terlihat ragu dan enggan Amelia untuk menjelaskan. Setelah Adrian memaksa. Pada akhirnya Amelia mulai menceritakan tentang mimpi buruk yang dia alami. Serta keresahan dan kegelisahan hati yang melanda dirinya."Kau, beranggapan kematian Ibu Salsa karena kamu?""Iya, Adrian. Aku mimpi buruk. Mereka seperti datang dan menyalahkan aku.""Sudahlah! Jangan dipikirkan, Mel! Itu hanya karena perasaan yang terus menghaatui saja. Masalahnya mereka baru menemui kamu dan ada perselisihan. Iya 'kan?"Amelia mengangguk. Dan menganggap semua yang dikatakan Adrian itu benar."Ya, kamu harus bisa keluar dari perasaan bersalah kamu itu, Mel!""Aku sedang coba ini, Adrian. Suliiiit ...!"Terdengar Adrian menghela napas panjang. Lalu menolah pada Amelia yang masih terlihat tegang. Tanpa banyak bicara lagi, Adrian menggenggam tangan Amelia dengan erat."Kamu harusnya bisa lebih tenang. Ingat, Mel. Ada aku yang selalu akan ada buat kamu," bisik Adr
Sepanjang perjalanan pulang dari Mbah Wiryo. Amelia lebih banyak terdiam. Maya yang mengetahui hal itu, berusaha menghiburnya. Dia pun mengusap lembut pundak Amelia berulang-ulang."Jangan dimasukkan hati. Kata Mbah Wiryo sebaiknya kalian mengambil hari baik jumat legi. Yang artinya dua minggu lagi. Bagaimana?""Saya manut (ngikut), Mbak aja.""Loh, ya kalian harus punya pendapat sendiri toh, Mel," sahut Hartono."Ehhh, nanti biar kita bicarakan lagi Mas. Pasti saya dan Amelia ada perencanaan, hanya saja belum matang.""Baguslah kalau begitu."Tampak Maya meraih tangan Amelia yang berada di atas pangkuan. Dia menggenggamnya erat."Akan banyak doa, pengharapan, kebahagiaan atas rencana kalian ini, Mel. Mbak pun sama. Berharap kamu segera bahagia bersama Adrian. Jangan pernah lelah berdoa dan terus berdoa. Apa yang telah dikatakan Mbah Wiryo tadi. Hilangkan buruknya, kita ambil baiknya saja.""I-iya, Mbak Maya. Aku enggak apa-apa