Detik pun berlalu dengan cepat. Sampai sebuah tangan mempermainkan bulu matanya yang lentik. Hingga samar-samar Amelia mendengar suara yang sangat dia hapal.
"Mamaaa ...!"
"Ehhh ...."
Amelia hanya menggeliat lemah. Dita kembali mempermainkan bulu matanya. Lalu meniup keras kedua mata Amelia.
"Mama bangung dong!"
"Hemmm, Dita. Jam berapa emangnya sekarang?"
"Udah siang, Ma. Budhe Maya udah selesai masak juga. Om Adrian malah udah rapi."
"Haaahhh!"
Sontak Amelia langsung beranjak turun. Bergegas dia menyambar handuk dan ke kamar mandi. Cukup lama Dita menunggunya di atas kasur.
"Mama, mandinya lama sih?"
"Bentar, Dita. Mama keramas biar seger nih."
"Cepetan!"
Tak lama kemudian. Amelia sudah berdandan cantik. Dia pun mengajak Dita keluar kamar.
"Kok enggak ikutan Mbak Rini?"
"Enggak mau. Sama Mama aja."
Amelia menghampiri Maya, Hartono dan Adrian di ruang tengah.
"Maaf, Mbak
Terlihat ragu dan enggan Amelia untuk menjelaskan. Setelah Adrian memaksa. Pada akhirnya Amelia mulai menceritakan tentang mimpi buruk yang dia alami. Serta keresahan dan kegelisahan hati yang melanda dirinya."Kau, beranggapan kematian Ibu Salsa karena kamu?""Iya, Adrian. Aku mimpi buruk. Mereka seperti datang dan menyalahkan aku.""Sudahlah! Jangan dipikirkan, Mel! Itu hanya karena perasaan yang terus menghaatui saja. Masalahnya mereka baru menemui kamu dan ada perselisihan. Iya 'kan?"Amelia mengangguk. Dan menganggap semua yang dikatakan Adrian itu benar."Ya, kamu harus bisa keluar dari perasaan bersalah kamu itu, Mel!""Aku sedang coba ini, Adrian. Suliiiit ...!"Terdengar Adrian menghela napas panjang. Lalu menolah pada Amelia yang masih terlihat tegang. Tanpa banyak bicara lagi, Adrian menggenggam tangan Amelia dengan erat."Kamu harusnya bisa lebih tenang. Ingat, Mel. Ada aku yang selalu akan ada buat kamu," bisik Adr
Sepanjang perjalanan pulang dari Mbah Wiryo. Amelia lebih banyak terdiam. Maya yang mengetahui hal itu, berusaha menghiburnya. Dia pun mengusap lembut pundak Amelia berulang-ulang."Jangan dimasukkan hati. Kata Mbah Wiryo sebaiknya kalian mengambil hari baik jumat legi. Yang artinya dua minggu lagi. Bagaimana?""Saya manut (ngikut), Mbak aja.""Loh, ya kalian harus punya pendapat sendiri toh, Mel," sahut Hartono."Ehhh, nanti biar kita bicarakan lagi Mas. Pasti saya dan Amelia ada perencanaan, hanya saja belum matang.""Baguslah kalau begitu."Tampak Maya meraih tangan Amelia yang berada di atas pangkuan. Dia menggenggamnya erat."Akan banyak doa, pengharapan, kebahagiaan atas rencana kalian ini, Mel. Mbak pun sama. Berharap kamu segera bahagia bersama Adrian. Jangan pernah lelah berdoa dan terus berdoa. Apa yang telah dikatakan Mbah Wiryo tadi. Hilangkan buruknya, kita ambil baiknya saja.""I-iya, Mbak Maya. Aku enggak apa-apa
Amelia pun melempar pandangannya ke luar jendela. Walau dia tak mengerti sepenuhnya cerita Adrian. Tetap saja ada perasaan bersalah dalam hati."Dari situ dia aku antar pulang. Makanya aku tau apartemen dia.""Apa dia juga bercerita tentang perselingkuhan Romy? Atau seorang wanita yang merebut suaminya?""Kenapa pertanyaan kamu jadi seperti itu?""Ehhh, aku hanya ingin tau Adrian."Lelaki tampan itu tak menjawab pertanyaan Amelia. Dia terdiam sesaat dengan pandangan mata yang terfokus pada jalanan."Kok diam?""Mau jawab apa?""Ya, omongannya si Salsa waktu itu. Apa aja tentang aku? Pasti dia cerita 'kan?""Aku udah lupa. Tapi, dia enggak ada jelekin kamu. Atau marah sama kamu saat itu. Entah sekarang?""Hemmm ....""Udahlah. Hal yang enggak jelas jangan dipermasalahin, Mel."Amelia pun manggut-manggut. Dia melempar pandangannya pada jalanan yang mulai gelap."Adrian, kalau capek bilang
Adrian pun merengkuh bahu Amelia agar duduk lebih dekat. Dia pun merangkul pundaknya. Dan sesekali mencium rambut wangi Amelia."Kenapa kamu berubah pikiran?""Karena aku ingin mereka tahu, bahwa aku sudah bahagia sama kamu. Dan kita akan segera menikah.""Apa kamu akan mengatakannya pada Romy?"Amelia mendongak pada Adrian, yang juga tengah memandang dirinya."Kalau kamu ijinkan, aku akan bilang. Tapi, kalau menurut kamu itu enggak perlu. Ya enggak usah.""Kurasa biar aku saja yang bilang. Kamu temani aku aja. Gimana?""Deal!"Adrian menarik tangan Amelia agar memeluknya. Terlihat Amelia membenamkan wajahnya di dada Adrian yang berdegup kencang."Detak jantung kamu?""Selalu begitu kalau dekat kamu. Apalagi dipeluk kayak gini."Terdengar lirih suara tawa mereka berdua."Dua minggu lagi di hari jumat. Kamu setuju, Adrian?""Aku terserah aja. Pasti Mbak Maya dan Mas Hartono inginkan yang terbai
Sontak Adrian terpaku saat melihatnya. Pakaian itu sangat pas di tubuh Amelia. Bahkan belahan yang sedikit rendah di bagian dada. Semakin membuat Adrian terpesona dengan keindahan tubuh Amelia."Bukan bagus lagi. Tapi, cantik Amelia Pratiwi."Adrian langsung merentangkan kedua tangan. Agar Amelia merapatkan padanya. Amelia pun mengahmbur pada Adrian, dan duduk di pangkuannya."Apa kamu ingin aku memakai baju ini waktu di akad nikah nanti?""Kamu ... mau?"Dengan tersenyum lebar Amelia mengangguk."Serius kamu mau memakainya?""Iya, Adrian sayang. Memangnya kenapa? Baju ini masih sangat bagus, enggak perlu beli lagi. Pasti harganya jutaan," bisik Amelia manja."Kalau kamu ingin beli yang baru, juga enggak apa-apa Sayang."Amelia menggeleng."Enggak perlu, Adrian! Ini saja cukup. Apa ada kerudungnya?""Ada juga. Lengkap semuanya di kotak putih yang tadi."Amelia pun bangkit dari pangkuan Adrian.
Sejenak jantung Amelia berdetak cukup kencang. Dadanya berdebar-debar kuat. 'Kenapa perasaan aku jadi kayak gini sih? Aku sampai sulit untuk bisa terlihat tenang.' "Kamu kok tegang gitu, Mel?" "Ehhh, enggak kok. Biasa aja Adrian." "Ya udah ayo turun!" Amelia pun mengikuti apa kata Adrian. Bergegas dia turun dari mobil dan mengikuti langkahnya menuju pos security. Tak lupa dia juga membawa sebuah bungkusan titipan dari keluarga Salsa. "Siang, Bapak. Mau tanya apa Bapak Romy dan Bu Salsa tinggal di kamar mana ya?" tanya Adrian. Lelaki itu berjalan mendekati mereka, dengan penuh selidik. "Mereka baru saja datang. Itu mobilnya!" Lelaki tegap itu menunjuk ke arah sebuah mobil. "Bisa tahu berapa nomer apartemennya?" "Lantai tiga, pintu kamar yang ada boneka beruang kecil. Saya lupa nomernya." "Oke, Bapak. Terima kasih banyak atas infonya," ucap Adrian santun. "Ihhh, itu securi
Tiba-tiba, suara lantang dan melengking berteriak dari dalam."Aku tak akan pergi ke pernikahan kaliaaan! Kau pembunuh Ibuku Amelia!"Adrian semakin erat menggenggam telapak tangan Amelia yang berkeringat dingin."Kau pembunuh Ibuku! Kau pembunuh ...!"Amelia tersentak. Sampai kotak yang terbungkus rapi itu terjatuh ke lantai. Dia bergerak mundur beberapa langkah."Amelia, sini!"Adrian menarik telapak tangannya. Dan mendekap pinggang Amelia dengan erat. Sedangkan Romy mengarahkan pandangannya pada Salsa yang sudah berada di belakangnya."Kau jangan membuat keadaan kacau. Sa!""Dia yang menyebabkan aku kecelakaan. Dia yang membuat Ibu meninggal, Mas. Apa kau juga membela dia?!" sentak Salsa.Sejenak keadaan menjadi hening. Tak ada sepatah kata yang berbicara. Semua pandangan kini tertuju pada Salsa. Yang masih bersikeras menuduh Amelia.Adrian mau dua langkah. Sikapnya terlihat sangat tenang. Tanpa ada emosi yang
Amelia berjalan mengikuti langkah Adrian yang terus menggandengnya."Kamu oke, Mel?""Entah, Adrian. Perasaan aku tiba-tiba sakit dengan tuduhannya.""Sudahlah, Sayang! Jangan buat sedih. Kalau Salsa ingin bersikap seperti itu. Biarkan saja. Mungkin dia sedang mencari pelampiasan terhadap perasaan bersalahnya pada diri dia sendiri.""Aku paham, Adrian. Cuman ... ahhh, sudahlah!""Baiknya, kamu fokus pada pernikahan kita yang tinggal 2 minggu lagi, Sayang.""Iya, Adrian. Maafkan aku."Adrian hanya tersenyum sembari megusap lembut rambut Amelia."Kita makan dulu aja ya?""Iya, Adrian. Cuman aku lagi enggak mood makan nih.""Ehhh, kalau sama aku harus makan. Kalau enggak, pasti aku suapin!"Sikap yang ditunjukkan Adrian begitu membuat Amelia tenang dan damai. Dia merasa terlindungi. Seakan nyaman berada di sisinya."Makasih Adrian atas semuanya.""Kok kamu bilang begitu.""Baru kali